"Menciptakan sebuah karya yang indah dan diakui tidak semudah mencintaimu."
-Raya Aurora-
Menciptakan sebuah karya yang indah dan diakui tidak semudah mencintai seseorang. Tidak pula semudah melarikan diri dari masalah. Juga tidak semudah mengkritisi hidup orang lain. Intinya, tidak semudah yang dibayangkan.
Raya Aurora mengalami hal itu selama 5 tahun belakangan ini, sejak dia berkecimpung di dunia kepenulisan. Sebanyak 26 kali dia pernah mengalami penolakan naskah novel oleh penerbit, 16 kali puisinya tidak diterima oleh redaksi majalah, 6 kali cerpennya tidak kunjung terbit di koran, dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan lain yang pernah dia alami. Termasuk sepinya pembaca di Wattpad dan platform menulis online lainnya.
Hari ini pun―di minggu ke-12 proyek buku puisi―Raya masih mendapat penolakan. Sejak pukul 8 pagi, Teo memarah-marahinya karena tidak berhasil menyelesaikan target 120 puisi. Raya berhenti di 112 puisi. Dia sudah lelah, waktu pun sudah habis.
"Jadi gimana, Raya? Kamu nggak bisa menyelesaikan target." Ini pertanyaan sekaligus omelan Teo yang keseribu kali hari ini pada Raya. Mereka sedang melaksanakan meeting untuk penerbitan buku perdana Raya bersama Bima, Aldo, dan semua staf yang terlibat dalam proyek ini.
"Mas, ini kan cuma kurang 8 puisi. Lagian, buku puisi itu biasanya terdiri dari 100 puisi." Raya membela diri.
"Udah, udah. Raya benar. Kita cetak 100 puisi, sementara 12 puisi yang tersisa terserah mau digunakan untuk apa sama Raya," ujar Bima, yang disetujui oleh Raya dan Aldo, sementara Teo terlihat kikuk.
"Oke, ya. Terus gimana, Teo, editing kapan beres?" tanya Aldo pada Teo.
Teo terkesiap. "Sebentar lagi, Bos. Tinggal finishing," jawabnya.
"Oke, abis itu langsung dikirim ke Yudha buat di-layout." Aldo memberi komando. "Yud, udah siap, 'kan? Walaupun lo di luar jadi editor novel, tapi sesekali bikin layout 'kan keren. Gue tahu lo juga punya bakat design," ujarnya pada Yudha―seorang anak kuliahan yang baru direkrutnya 1 bulan yang lalu untuk menjadi penata letak sekaligus admin WhatsApp.
"Siap, Mas Bro!" seru Yudha.
"Ver, cover udah jadi?" tanya Bima pada Vera―seorang wanita berhijab yang duduk di sebelah Raya. Dia adalah pendesain sampul sekaligus admin Instagram Rivmedia Utama.
"Udah jadi, Mas. Ada 4 pilihan yang nantinya akan di-share ke Instagram buat di-vote. Aku udah kirim juga ke semuanya. Mungkin Mas Bima belum cek email, ya." Vera menjelaskan.
"Oh iya, belum. Nanti saya cek," sahut Bima, menyadari kelupaannya. "Oke, berarti udah beres semua, ya. Mesin cetak dan lain-lain juga udah siap pakai. Tadi saya udah cek ke sebelah," ujar Bima."
"Persyaratan ISBN selain file naskah juga udah beres," kata Aldo. "Baik, berarti meeting hari ini selesai. Silakan kembali bekerja, semuanya. Selamat, pagi, " tutup laki-laki itu.
Kemudian, satu per satu meninggalkan ruang meeting. Namun, ketika Raya ingin melangkah keluar, Teo menahannya. Laki-laki itu menatap sinis penulisnya. Raya ingin mengabaikan, tapi Teo memanggilnya.
Suasan hening ketika Raya dan Teo berhadapan. "Kenapa, Mas?" tanya Raya, polos.
"Raya, kenapa kamu masih tahan ada di sini padahal saya sudah sangat keras ke kamu?"
"Aku udah biasa dikerasin, Mas. Hidupku udah keras kok dari lahir." Raya cengengesan di akhir kalimat, lalu menatap Teo yang menatapnya dengan lebih serius.
"Selamat, Raya! Selamat kamu bisa jadi penulis saya berikutnya, karena kamu lolos ujian tahap awal." Teo menyodorkan tangannya pada Raya, sementara gadis itu hanya menatapnya dengan kebingungan tingkat tinggi. "Selamat juga karena sebentar lagi buku kamu naik cetak," sambung Teo.
"Jadi, selama ini Mas Teo nguji aku?"
"Iya dong, biar kamu semakin kuat!"
Raya tersenyum lebar sambil mengembuskan napas lega, lalu menjabat tangan Teo yang masih menggantung di udara. "Makasih ya, Mas. Makasih, Mas Teo udah mau nguji aku. Udah mau marah-marahin aku hampir setiap hari, tapi masih mau ngasih solusi. Ya, walaupun kadang-kadang aja sih baiknya."
"Oke. Sukses ya buat bukunya. Saya mau finishing editing," ujar Teo sambil melepaskan jabatan tangan Raya, lalu berjalan ke ruangannya.
--
Sore hari di kantor Rivmedia Utama, Aldo terlihat sedang menikmati secangkir kopi di balkon. Bukan. Dia bukan sedang bersantai di saat yang lainnya sedang sibuk bekerja, tapi dia sedang mencari cikal bakal penulis yang akan direkrutnya untuk proyek buku berikutnya—melalui Wattpad dan Instagram.
Di ambang pintu, Yasmin maju mundur ingin menghampiri Aldo. Banyak keraguan dalam hatinya. Lalu tiba-tiba, bahunya menabrak pintu. Menimbulkan bunyi yang mengalihkan perhatian Aldo tepat pada dirinya.
"Yasmin? Kenapa?"
"Em ... nggak apa-apa, Mas."
"Sini!"
Dengan keraguan sekaligus rasa malu yang tak tertahan, Yasmin terpaksa menuruti perintah Aldo; menghampiri laki-laki itu. "Iya, Mas Aldo," sapa Yasmin ketika sudah duduk di sebelah Aldo.
"Kenapa? Kepentok pintu?" tanya Aldo sambil memperhatikan bahu sebelah kanan Yasmin yang terus dipegangi oleh gadis itu.
"Iya, Mas."
"Sakit?"
"Eng-enggak, kok."
"Terus kenapa masih dipegangin bahunya?"
Yasmin terkesiap, lalu melepaskan tangan dari bahunya dan duduk dengan tegak. "Mas, aku mau minta maaf. Aku udah keterlaluan sama Raya."
"Kamu udah menyadari kesalahan kamu?"
"Udah, Mas."
"Udah minta maaf ke Raya?"
"Belum."
"Udah selesaikan naskah senandika kamu?"
"Belum, tinggal 3 bab lagi."
"Minta maaf dulu ke Raya, lalu selesaikan naskah kamu. Baru boleh ngomong lagi sama saya."
"Jadi, Mas Aldo belum mau maafin aku?"
"Belum."
"Ya udah, deh. Aku permisi."
Yasmin meninggalkan Aldo yang menatapnya dengan tatapan misterius. Dalam hati, Yasmin menyesal karena telah bersikap buruk pada Raya selama ini. Dia juga menyesal karena baru menyadari perasaannya pada Aldo beberapa minggu belakangan ini. Mencintai seseorang memang mudah, tapi memilikinya tak semudah itu.
Andai manusia bisa selalu menjaga lisannya, pastilah telinga dan hati manusia lain akan selalu sejuk. Namun sayang, kata 'selalu' tidak berlaku dalam hal ini. Begitu juga dengan Yasmin.
Yasmin menghentikan langkah, lalu menoleh lagi pada Aldo. Aldo membalasnya dengan tatapan dingin. Membuat Yasmin mengembuskan napas lemas, lalu berjalan lagi. Kali ini benar-benar meninggalkan laki-laki itu. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi