"Aku tahu aku egois, tapi aku ingin kamu sendiri yang menjelaskan isi hatimu."
-Raditya Malvino-
Para pria mengaku bahwa memahami hati wanita adalah hal yang sulit. Maka dari itu, ada beberapa golongan pria yang meminta wanitanya untuk selalu mengutarakan isi hati tanpa harus mengirimkan kode-kode yang bisa saja salah ditebak oleh mereka. Pasalnya, kalau salah menebak, akan berakibat fatal. Lebih fatal daripada sikap tidak peka. Serba salah memang jadi pria.
Itulah yang terjadi kini dengan Radit. Bedanya, dia sudah mendapatkan petunjuk tentang apa yang mungkin sedang dirasakan oleh Raya. Lalu egoisnya, Radit ingin Raya sendiri yang mengutarakannya tanpa dia tanya. Namun, kini kondisinya semakin kacau dan tidak terduga. Baru saja Raya melihat Radit dicium oleh Natasha―di pipi. Keduanya terkejut, tentu saja. Begitu juga dengan Natasha.
Setelah kejadian itu, Natasha menyapa Raya dengan canggung, sementara Raya membalasnya dengan senyum yang dipaksakan. Raya sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejut sekaligus sakit hatinya yang semakin parah. Melihat tidak ada lagi yang bisa dikatakan, Natasha pun pamit pulang. Meninggalkan Radit dan Raya yang masih berdiri dengan pikiran masing-masing.
"Raya, ada perlu apa kemari?" tanya Radit. "Nyariin gue?"
"Enggak. Gue mau ngambil barang yang ketinggalan. Boleh pinjem kuncinya?" Hilang sudah semua yang semula ingin Raya tanyakan pada Radit. Bibirnya memilih untuk mengatakan hal yang lain.
"Oh, boleh. Bentar ya gue ambil di atas dulu." Radit masuk ke kantornya, lalu kembali dalam 3 menit. "Nih. Emang barang apa yang mau diambil?" tanya Radit sambil menyodorkan kunci ruko sebelah.
"Buku catatan," jawab Raya singkat, lalu berjalan ke tokonya. Ya, ruko sebelah kantor Radit masih menjadi toko Raya.
"Oke." Radit mengikuti langkah Raya. Dalam hati, dia ingin memeluk Raya detik ini juga. Dia ingin menjelaskan apa yang tadi dilihat oleh Raya. Dia ingin menjelaskan semuanya.
Pintu toko terbuka. Raya melihat ke sekeliling. Dia merindukan berjualan dan dia lebih merindukan orang yang mendukung dan memfasilitasinya untuk berjualan. "Em ... gue belum tahu barang-barang ini mau diapain, karena gue belum tahu akan gimana hidup gue setelah proyek buku sama Kak Aldo selesai. Jadi, gue titip dulu ya di sini. Maaf, ngerepotin,"
"Ray, lo nggak pernah ngerepotin gue sama sekali."
"Dit, tapi ... gue bukan siapa-siapa lo."
"Lo milik gue, Ray."
"Gue nggak pernah setuju ya, Dit. Lagian, lo bilang gue milik lo, tapi ternyata itu nggak berlaku sebaliknya. Lo bukan milik gue, lo milik wanita lain." Suara Raya bergetar. Kakinya lemas. Dia ingin tumbang detik ini juga.
Radit meraih tangan Raya, tapi langsung dikibaskan oleh gadis itu. Raya mundur satu langkah. Radit terdiam untuk beberapa saat, lalu maju satu langkah. "Ray, wanita yang tadi lo lihat itu namanya Natasha. Dia klien gue. Dia lagi prepare pernikahan sama calon suaminya." Raya terpaku di tempatnya. Apa benar yang baru saja dia dengar? "Gue, Natasha, dan Bernard―calon suaminya―temenan sejak kuliah. Lo jangan salah paham sama Natasha. Gue sama dia udah nggak ada apa-apa," sambung Radit.
"Udah nggak ada apa-apa? Maksudnya, pernah ada apa-apa?"
"Ya, dulu waktu kuliah gue sama Natasha pernah pacaran 1 tahun. Itu udah lama banget, Ray. Sekarang gue udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Natasha."
"Lo pikir gue buta dan tuli apa gimana sih, Dit? Gue denger sendiri lo bilang kalau lo sayang sama dia, gue lihat kalian pelukan, gue lihat kalian keluar dari kantor dengan tampilan berantakan, dan baru aja gue lihat dia nyium lo. Itu yang lo maksud nggak ada perasaan apa-apa?" Akhirnya Raya bisa terbuka. Sebenarnya, dia juga sudah sangat lelah menyembunyikan ini semua.
"Soal kata-kata sayang, lo nggak denger dari awal. Sebelum itu, Natasha nanya ke gue, apa nggak apa-apa kalau gue nanganin acara pernikahan dia dengan laki-laki lain, sementara dulu gue sama dia ada hubungan dan sementara calon suaminya itu temen gue sendiri? Gue jawab, nggak masalah. Terus gue bilang, dulu gue memang sayang sama dia, gue mau dia ada di hidup gue selamanya, tapi itu dulu. Sekarang, kondisinya udah beda." Radit menarik napas sebelum melanjutkan penjelasannya. "Terus soal pelukan, itu hanya pelukan persahabatan. Tanda bahwa kita udah baik-baik aja."
"Dit!"
"Tunggu, denger dulu. Soal tampilan berantakan, asli gue pusing banget waktu itu, Natasha juga. Natasha itu klien yang banyak maunya, parah. Apalagi, dia kan harus satu suara sama Bernard, sedangkan Bernard susah banget waktunya untuk datang meeting. Jadi, kita pusing banget sampai nggak sadar pakaian kita jadi acak-acakan. Lo pasti ngira gue sama Natasha ngapa-apain―enggak, Ray. Kita nggak ngelakuin apa-apa selain meeting. Lo harus percaya. Terakhir, soal ciuman tadi. Itu Natasha cuma ngucapin terima kasih dan refleks. Udah. Nggak ada apa-apa."
Mereka saling tatap. Radit merasa lega karena sudah menjelaskan segalanya dan Raya merasa sedikit lebih baik setelah mendengarkan semua penjelasan Radit. Akhirnya, keresahan mereka selama ini menemui titik tenang.
Radit mencoba meraih tangan Raya untuk kedua kalinya dan kali ini tidak dikibaskan oleh gadis itu. "Ay..."
"Ay?"
"Aya, sekarang udah dengar semua penjelasan Radit, 'kan? Sekarang percaya 'kan sama Radit?"
"Apa, sih? Geli, tahu!" seru Raya, lalu mengibaskan tangan Radit, tapi ditahan oleh laki-laki itu.
"Ay, gue bisa aja langsung melakukan apa yang ingin gue lakukan ke lo seperti biasa, tapi kali ini gue mau tanya dulu. Gue mau denger lo sendiri yang bilang 'iya'."
Kening Raya mengerut. "Apa?"
"Aya, boleh Radit peluk?" tanya Radit, yang seketika membuat pipi Raya memerah. "Boleh nggak?" tanya Radit lagi.
"Iya," jawab Raya malu-malu.
Radit tersenyum manis. "Makasih," ucapnya, lalu memeluk Raya. Menghirup aroma gadis yang dirindukannya dalam-dalam. "Ay, mungkin gue belum pernah bilang ini, gue sayang sama lo. Gue cinta. Lo paham, 'kan? Lo bisa ngerasain, 'kan?"
Raya mengangguk di balik punggung Radit. Dia pun tersenyum dan nyaris meneteskan air mata haru. "Radit."
"Ya?"
"Gue nggak suka lo meluk-meluk dan cium-cium wanita lain."
"Tapi itu bagian dari kerjaan gue, Ay."
"Nggak. Nggak boleh."
"Oke, kalau itu mau lo. Gue ganti bisnis aja kali, ya. Jadi penerbit, kayak Aldo. Biar lo kerjasama sama gue."
"Radit, apaan sih?!" pekik Raya, lalu melepaskan diri dari pelukan Radit.
Namun, gagal. Radit menariknya lagi ke dalam pelukan yang lebih erat. Kali ini sambil mengelus-elus punggung gadis itu. "Jangan kabur lagi. Gue udah sering bilang, kalau ada apa-apa itu bilang, jangan disembunyiin. Gue bukan cowok yang peka dengan kode, Ay."
"Jadi, lo sayang sama gue, Dit?"
"Ya."
"Nggak ada wanita lain?"
"Nggak ada."
"Terus hubungan kita ini apa?"
"Lo milik gue. Gue milik lo."
"Kita masih milik diri masing-masing selama belum terikat secara sah."
Radit melepaskan pelukan dengan lembut, lalu menatap gadisnya sambil tersenyum. "Aya, lo sayang sama gue?"
Raya mengangguk pelan. "Sayang. Kalau nggak sayang, gue nggak akan sakit hati lama-lama lihat lo bermesraan sama wanita lain. Gue nggak akan galau. Gue nggak akan stuck dalam menulis."
"Lo stuck? Maksudnya lagi nggak bisa nulis?"
"Bisa nulis, tapi nggak produktif. Tulisan gue ancur."
"Kasian banget. Makanya, kalau ada apa-apa itu ngomong."
"Lo sengaja 'kan bikin karier gue ancur?"
"Nggak gitu dong, Aya, ngomongnya."
"Iya, maaf."
"Gue yang harus minta maaf. Maaf, nggak sengaja bikin lo kayak gini."
"Janji setelah ini bakal bikin gue selalu baik-baik aja?"
"Cewek seneng banget sih dikasih janji-janji? Gue nggak mau janji, lo lihat aja setelah ini hidup lo akan gimana sama gue."
"I will see."
"Termasuk ikatan sah kita. Lo lihat aja nanti. Tunggu. Berdoa jangan lupa."
Kata-kata Radit begitu menyentuh hati Raya. Terasa sejuk. Meredakan segala emosi buruk. Kemudian, terpikir oleh Raya sebuah puisi.
Biarkan Aku
Oleh: Rini Oktaviani
Mungkin benar,
aku tak begitu mengerti apa yang kau pikirkan
aku tak begitu memahami apa yang kau kerjakan
aku tak begitu menyadari apa yang kau perjuangkan
Namun, Sayang...
biarkan aku menenangkanmu
dari hari-harimu yang buruk
biarkan aku menjagamu
dari mimpi-mimpi yang mengganggumu
biarkan aku selalu ada di hidupmu
selamanya, bukan sekadarnya ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi