"Aku akan selalu menemukanmu, karena semesta berpihak padaku."
-Raditya Malvino-
Sepeninggal Raya 30 menit lalu, Radit masih memperhatikan pemandangan kebun karet di sekelilingnya. Laki-laki itu lalu menunduk, sedikit sedih karena merasa perjuangannya ke kota ini tidak dihargai oleh Raya. Di mata gadis itu, mungkin Radit salah besar. Namun, sekali lagi, dia menginginkan Raya sendiri yang mengungkapkan kemarahannya dan menanyai perihal kebenaran yang ada.
"A Radit?" Sebuah suara memanggil Radit dari balik punggungnya yang atletis.
Radit menoleh dan mendapati seorang gadis belia berdiri di hadapannya sambil tersenyum manis. "Iya?" sahutnya dengan sedikit senyum.
"A Radit, 'kan? Ayo, ke rumah!"
"Ke rumah?"
"Iya atuh ke rumah. A Radit mau di sini aja sampai malam? Emangnya nggak takut?" Radit bergeming. Dia masih tidak mengerti maksud perkataan gadis kecil ini. "Aku Amanda, adiknya Teh Aya."
"Teh Aya? Raya?" Radit mengulang.
"Iya, Teh Raya. Teh Aya nyuruh aku manggil A Radit," tutur gadis kecil yang menyebutkan namanya Amanda itu.
Radit menganggukkan kepala dengan kedua telapak tangan yang diselipkan di saku celana jinsnya, lalu berjalan mengikuti Amanda, membuat gadis itu menelan salivanya. Woooh, kerennya! puji Amanda dalam hati.
"Assalammu'alaikum." Amanda memberi salam setelah tiba di halaman sebuah rumah yang masuk ke dalam kategori rumah impian menurut versi Radit.
"Wa'alaikumsalam," jawab seorang wanita yang Radit yakini adalah ibunya Raya karena memiliki mata yang mirip dengan mata indah gadisnya itu. "Ini yang namanya A Radit?" tanyanya pada Radit yang baru saja menutup pintu pagar yang terbuat dari bambu.
Radit tersenyum, lalu mencium punggung tangan Ibu Raya. "Iya, Bu. Saya Radit."
"Sini, masuk! Maaf ya rumahnya kecil."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Di sini adem."
"Kak Aldo udah pulang ke Jakarta, katanya titip salam buat lo," ujar Raya yang muncul dari dapur dengan membawakan segelas teh hangat beserta rengginang dan gendar.
Ibu Raya duduk di antara Radit dan Raya, lalu tersenyum ramah. "A Radit makan malam dulu aja di sini dan nginap. Besok baru pulang bareng Aya."
"Tapi, Bu..." kata Radit dan Raya berbarengan. Mereka saling pandang dengan senyum yang kikuk.
"Tenang, dibolehin kok sama bapak. Tadi ibu udah bilang ke bapak."
Seperti baru saja turun dari pesawat, Radit masih jetlag. Baru saja dia dicampakkan oleh Raya, tapi detik ini dia diminta untuk masuk ke dalam rumah gadis itu dengan disambut hangat oleh keluarganya. Radit tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Dia hanya menerima perlakuan baik dari keluarga Raya yang mengajaknya makan malam dan menginap.
Radit melirik Raya yang terhalangi oleh kepala ibunya, lalu mendapati gadisnya itu senyum-senyum sendiri sambil menunduk malu. Gengsi lo kenapa tinggi banget sih, Ray? tanya Radit dalam hati sambil menahan tawa. Dia ingin menertawai Raya detik ini juga.
--
Setelah selesai mencuci piring usai makan malam bersama keluarganya dan Radit, Raya mendapati rumahnya sepi. Adiknya—Amanda, yang tadi membantunya mencuci piring kini sudah masuk ke dalam kamarnya untuk belajar. Ibu dan bapaknya sepertinya sudah terlelap di dalam kamar. Radit? Radit ke mana? Raya lalu mencari kartu simnya yang lama dan memasukannya ke dalam ponsel, mencoba menghubungi Radit. Namun, bukan Radit yang menjawab, melainkan operator. Raya mulai panik, Radit ke mana?
Raya menyusuri gelapnya malam dengan hati berkecamuk. Sekali lagi dia bertanya dalam hati, Radit ke mana? Kenapa pergi tidak pamit padanya? Awalnya Raya berjalan, tapi lama kelamaan langkahnya berubah menjadi berlari. Keringat membanjiri wajahnya karena dia berlari dari rumahnya yang terletak di bagian atas ke arah jalan yang terletak di bagian bawah. Jangan lupa, bahwa kampung Raya adalah daerah perbukitan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti, napasnya terengah-engah. Ada secercah ketenangan yang dia rasakan setelah melihat ternyata laki-laki itu masih berada di kampung halamannya. "Radit, lo ke mana aja, sih?" Raya bertanya setengah memaki. Dia memuntahkan kepanikannya, sementara Radit merasa bingung kenapa Raya terengah-engah seperti itu.
"Gue nggak ke mana-mana kok, cuma ngopi sama abah," jawab Radit. Radit sedikit khawatir saat menyadari wajah Raya yang memerah. "Raya, lo baik-baik aja?"
"Gimana gue bisa baik-baik aja? Lo pergi nggak pamit sama gue. Gue nggak tahu lo ke mana, HP lo nggak aktif. Gue lari-lari ngejar lo, gue takut lo kenapa-napa atau udah balik ke Tangerang."
"Jadi, sebenarnya lo masih bisa menghubungi gue?" tanya Radit terkejut, yang juga mengejutkan Raya. Raya merasa dirinya bodoh. "Raya, gue udah pamit kok sama orang tua lo," tutur Radit yang membuat Raya membulatkan bola matanya. "Gue pamit mau jalan-jalan dulu sebentar." Radit menarik napas dan membuangnya pelan. "Raya..." panggilnya lembut. "Gue nggak nyangka lo bisa bereaksi semengejutkan ini, tapi sekarang lo tahu 'kan gimana rasanya kehilangan jejak? Itu yang gue rasain kemarin pas lo tiba-tiba nggak ada."
Raya membisu, Radit menunggu jawaban. "Tahu, ah!" Raya menghentakkan kaki kirinya, lalu melangkah meninggalkan Radit. Pada akhirnya, hanya itu yang bisa Raya lakukan, alih-alih menjawab rangkaian pertanyaan dan pernyataan laki-laki yang kini menatap punggungnya.
"Selalu." Nada bicara Radit meninggi, sukses membuat langkah Raya terhenti. "Lo selalu kayak gini. Sebegitu menyenangkannya narik ulur gue?" Raya tetap berdiri di tempatnya, di antara kebimbangan untuk melanjutkan langkah atau membalikkan tubuhnya. "Apa susahnya bilang, 'Radit, iya gue khawatir sama lo,' dan apa susahnya lo stay di samping gue? Nggak kabur-kaburan kayak gini. Sekalipun lo mau pergi, tolong jelasin alasannya kenapa!" Radit menjeda perkataannya beberapa detik. "Tapi secuek apa pun lo, bagi gue lo tetep milik gue. Lo mau ngilang ke mana pun, terserah. Gue bakal tetap nemuin lo karena semesta berpihak ke gue." Kalimat Radit berakhir. Kali ini dia benar-benar menunggu jawaban, apa pun itu.
Raya menahan gemuruh di dadanya. Otaknya sudah terlalu banyak bekerja belakangan ini, sementara hasilnya nihil. Dia tidak menemukan keyakinan untuk menjawab pertanyaan Radit ataupun menanyakan langsung soal adegan antara Radit dengan wanita itu. Bagai terjebak dalam gulungan kawat yang berkarat. Sesak dan tertusuk.
"Raya Aurora..." panggil Radit lirih, bahkan malaikat pun nyaris tak mendengar.
Raya membalikkan tubuh, menatap kedua bola mata laki-laki di hadapannya. Perih. Itulah setidaknya yang bisa dia tangkap. Raya tak sanggup untuk mencari sesuatu yang lain lagi. Raya menyerah. Dia mengayun langkah, meninggalkan Radit yang kini mengusap wajahnya frustrasi.
Kan gue udah sering bilang; kalau ada apa-apa itu bilang, jangan disembunyiin kayak gini. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi