"Momen-momen ketika kita berdua selalu membuat hatiku semerbak, tapi kepala dan jari-jemariku menolak untuk dibahagiakan."
-Raya Aurora-
"Jangan iket rambut lo ke atas, apalagi di depan cowok!" Radit menarik seutas ikat rambut yang baru saja dililitkan oleh Raya di rambut panjangnya.
"Apa sih, Dit? Balikin nggak!" Raya memberontak dan berusaha mengambil alih ikat rambut yang kini dimasukkan ke dalam saku celana Radit.
"Nggak bisa. Kalau lo mau, nih ambil sendiri!" Radit memberikan seringai jahilnya.
"Males! Lagian apa sih hubungannya ngiket rambut sama cowok?"
"Lo nggak tahu apa yang ada di pikiran cowok-cowok karena lo polos. Jadi, dengerin gue, jangan pernah iket rambut lo ke atas. Ngerti?"
Raya tersenyum lebar seperti bunga mawar yang merekah sambil menggeleng-gelengkan kepala. Baginya, tingkah jahil Radit yang baru saja mampir ke lamunannya terasa sungguh manis. Dia merasa dilindungi.
Berkat lamunan ini juga, Raya mengurungkan niat untuk mengikat rambut ke atas dan menggantinya dengan mengikat sebagian rambut sejajar dengan kedua telinganya, menyisakan sebagian rambut lagi yang tergerai manis. Terakhir, dia semakin merekahkan senyumnya sambil menggerakan pulpen di atas sebuah buku catatan, hendak menuliskan sesuatu.
Namun, tiba-tiba ada lamunan lain yang muncul; adegan mesra Radit dengan wanita lain. Seketika atmosfer yang menaunginya berubah suram. Sesuram suasana hatinya yang kini hancur, sementara puing-puingnya saling menggores satu sama lain. Lagi dan lagi. Terasa perih. Sakit tak tertahan. Raya terisak, lalu air mata mulai menampakkan diri tanpa malu-malu. Gadis itu menikmati kesedihannya, hingga melupakan pulpennya yang kini sudah terlepas dari genggaman.
"Ray, Raya! Kamu di mana?" Terdengar suara Aldo memanggil-manggil namanya. Pelan, tapi cukup membuat gadis yang sedang meratapi kisah cintanya itu terkejut.
"Aku di teras belakang, Kak Al."
Tak lama, Aldo pun muncul di hadapan Raya. Laki-laki itu tersenyum, lalu duduk di samping gadis yang sedang berusaha mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi. "Kamu nangis?" tanya Aldo, lalu meneliti tiap inci wajah Raya. "Ada masalah apa?"
"Kak Aldo kenapa manggil aku?" Raya balik bertanya. Dia merasa pertanyaan Aldo tidak harus dijawab oleh jawaban apa pun, karena apa yang saat ini dia rasakan tidak ada hubungannya dengan laki-laki itu.
"Aku cuma mau bilang, nanti malam aku berangkat lagi ke Jakarta. Kalau kamu mau balik besok, nggak apa-apa. Aku duluan."
"Oh..." Raya berpikir sejenak, mencari kata-kata lanjutannya. Dia masih bingung, akan kembali ke Jakarta malam ini atau besok.
"Kamu kenapa tadi nangis? Jangan bilang kamu baik-baik aja dan jangan mengalihkan pembicaraan lagi."
Skak mat! Raya tidak bisa membantah lagi. Atau dirinya saat ini sedang butuh teman bicara. Hingga akhirnya, dia menceritakan semua keluh kesahnya pada Aldo, sementara laki-laki itu mendengarkan dengan saksama. "Aku nggak baik-baik aja, Kak. Aku sakit," akunya di akhir cerita.
Aldo menghela napas sebelum memberikan tanggapan. "Oke. Soal wanita yang bersama Radit, kenapa kamu nggak tanya ke Radit, dia siapa? Kenapa mereka pelukan? Pasti ada alasannya."
"Kenapa mereka pelukan? Karena Radit mencintai wanita itu. Aku dengar sendiri Radit ngomong gitu sebelum mereka pelukan."
"Tanya dululah, Ray, biar jelas! Siapa tahu yang kamu kira, nggak seperti yang kamu dengar. Dan yang kamu dengar, nggak seperti yang sebenarnya terjadi. Makanya, tanya."
"Nggak mau. Aku udah telanjur sakit hati."
"Dasar cewek keras kepala!" kata Aldo sambil menatap Raya kesal. "Kalau soal puisi, kamu bilang sejak proyek ini berlangsung, kamu keingat terus momen-momen sama Radit. Terus ketika kamu mencoba menuliskan puisi ceria dari momen itu, tiba-tiba kamu keingat adegan Radit pelukan sama seorang wanita, akhirnya puisi yang kamu tulis hanyalah puisi-puisi patah hati."
"Kak, nggak usah dijabarin gitu juga kali!" protes Raya. Dia nyaris menginjak kaki Aldo kalau saja laki-laki itu tidak segera menggesernya.
"Ya udah, Raya, kamu tulis aja apa pun yang kamu rasain. Kalau lagi berbunga-bunga, ya tulis. Kalau lagi kangen sama seseorang, ya tulis. Kalau lagi marah, kecewa, dan frustrasi, ya tulis. Pokoknya, tulis apa pun yang kamu rasakan. Kata orang-orang di dunia kepenulisan, tulisan yang berasal dari hati, akan sampai ke hati juga. Kamu juga pasti udah sering dengar 'kan kalimat itu? Aku rasa, kamu juga setuju dengan itu."
"Begitu ya, Kak?"
"Yup!" Aldo mengangguk yakin dan menyakinkan.
"Ya udah."
"Ya udah, apa?"
"Ya udah, ini aku mau lanjutin nulis lagi," ujar Raya sambil menggengam kembali pulpen yang sempat diabaikannya.
"Kamu kan lagi cuti, nggak usah nulis dulu. Yuk, ngobrol-ngobrol sama orangtua kamu di depan!"
Raya merasa heran, kenapa jadi Aldo yang mengajaknya untuk mengobrol dengan orangtuanya sendiri? Namun, dia teringat perintah dan kemarahan Tian di telepon tadi siang. Dia harus segera menulis puisi. "Kak Aldo duluan aja. Aku mau nulis puisi dulu, ya. Ngejar deadline."
"Oke deh, kalau itu mau kamu." Aldo pun pergi meninggalkan Raya bersama buku catatan dan pulpennya.
Maafkanlah
Karya: Santi Nindi Asih
Sebab aku tak pernah sampai padamu
maka maafkanlah
Air itu terus mengalir
bahkan sampai pada muara pun
tidak akan pernah berakhir
Maka maafkanlah
kegaduhan yang pernah tercipta
akan selalu menjadi irama
pada malam-malam tanpa kita
Maka maafkanlah
jika pada musim ini
aku tidak memiliki sedikit kerelaan
untuk membias dari...
tatapanmu, suaramu, dan segalanya tentangmu
Maafkanlah
--
Udara di Sukabumi terasa dingin. Radit merasakannya sejak memasuki wilayah Cibadak, lalu lanjut ke Cikembang dan kini dia mengendarai mobilnya di perkebunan karet wilayah Cikembar. Radit sengaja mematikan AC mobil Honda Civic-nya dan membuka kaca. Angin dingin jelas terasa menelusup di kulitnya yang sawo matang. Beberapa detik kemudian, Radit melepaskan tangan kanan dari setir, lalu merentangkannya di udara. Mencoba menyerap energi positif dari dinginnya perkebunan karet yang terhampar indah di sisi kanan dan kiri jalan. Sisi kanan merupakan perkebunan dengan deretan pohon karet yang tertanam kokoh dengan sistem menurun seperti jurang yang tidak curam, sementara di sisi kiri dengan sistem menanjak membentuk bukit.
Di sekeliling perkebunan karet terlihat barisan wanita paruh baya yang menjinjing ember dengan cairan berwarna putih yang menempel mengelilingi bagian luarnya. Wanita-wanita paruh baya itu terlihat menyebar di setiap pohon karet bersama dengan laki-laki paruh baya yang tak kalah banyak jumlahnya. Mereka mengenakan topi, sarung tangan, dan sepatu boot. Mungkin mereka yang disebut petani karet, tebak Radit.
Jalan yang Radit tempuh merupakan jalan aspal yang sudah hancur nyaris seperti jalan bebatuan. Kalau petunjuk yang Radit dapatkan dari Dinda—ah, Dinda. Menyebut nama Dinda meski dalam hati, membuat Radit mengepalkan tangan. Dia ingin meninju wajah penipu gadis itu, tapi terhalang karena Dinda adalah wanita dan Radit tidak akan menyakiti wanita mana pun.
Oke, kembali lagi. Jadi, kalau petunjuk yang Radit dapatkan tidak salah, dia kini sudah memasuki kampung Jayabakti. Artinya sebentar lagi Radit tiba di rumah keluarga Raya. Radit menyentuh dadanya yang terasa bergemuruh. Belum bertemu dengan orangnya saja, Radit sudah merasa deg-degan. Laki-laki itu membayangkan dapat bertemu dengan belahan jiwanya yang hilang di sini; di kota Sukabumi.
Radit memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di bawah pohon karet. Dia kini sudah tiba di pemukiman penduduk. Laki-laki itu mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum berharap mendapatkan secercah kabar baik. Radit meraih tas ranselnya, lalu membuka pintu mobil. Oh, segarnya. Radit menghirup udara segar di kampung yang belum pernah dia kunjungi itu.
Kemudian, dia mendekati sebuah warung yang nampak sepi dan hanya terlihat seorang kakek yang sedang duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu. "Permisi, Bah, boleh saya numpang tanya?" tanya Radit sopan. Radit memanggil seorang kakek di hadapannya dengan sebutan abah. Abah adalah sebutan untuk kakek dalam bahasa Sunda.
"Iya, Jang, mau nanya apa?" sahut kakek di hadapan Radit dengan logat khas Sunda.
"Abah tahu di mana rumahnya Pak Farhan?"
"Oh, Ujang siapa, ya? Dari mana? Kalo rumahnya Mang Farhan mah di tongoh." Untuk kata ujang, Radit mengerti. Ujang adalah sebutan untuk laki-laki yang lebih muda. Namun, untuk kata tongoh, Radit bingung. Dia merogoh sakunya, mencari ponsel untuk googling.
"Ada siapa, Bah?"
Kedua bola mata Radit seketika beralih dan terfokus pada seorang gadis yang tiba-tiba keluar dari balik pintu warung. "Ray?" Radit mengenali wajah itu, tapi dia tidak ingin berhalusinasi lagi. "Raya?" Radit memastikan. Tak lama kemudian, terlihat samar-samar wajah laki-laki yang dibencinya menyembul dari balik pintu yang sama. "Aldo?" Kali ini Radit yakin bahwa gadis di hadapannya adalah Raya, yang selama ini dicari-carinya. "Ngapain lo ada di sini?" tanyanya pada Aldo. Orang yang ditanya bergeming. Aldo pun merasa kebingungan. Semuanya merasa kebingungan, tak terkecuali si abah.
Raya meletakkan kardus yang berisi jajanan anak-anak di atas bangku panjang yang terbuat dari bambu, lalu berjalan cepat meninggalkan warung. Radit sontak mengejarnya. Membuat langkahnya semakin cepat, bahkan setengah berlari.
"Raya!" Radit berhasil meraih pergelangan tangan kiri Raya. Kini keduanya berdiri di tengah hamparan perkebunan karet. "Raya, gue nggak tahu apa yang udah gue perbuat sampai bikin lo jadi ngejauh gini." Sebenarnya, dari cerita Dinda, Radit bisa menyimpulkan bahwa Raya melarikan diri seperti ini karena cemburu melihatnya memeluk wanita lain. Namun, laki-laki itu menginginkan Raya sendiri yang mengutarakannya.
"Gue nggak ngejauh dari lo," jawab Raya, berusaha sedatar mungkin meski suaranya jelas terdengar bergetar―tanpa menatap Radit.
"Lo keluar dari kosan, lo ninggalin toko, lo nggak bisa dihubungi, dan sekarang di saat gue nemuin lo, lo malah lari kayak gini. Kalau bukan ngejauh, jadi apa kata yang tepat, hah?"
"Gue butuh suasana baru." Raya memilin ujung cardigan-nya, mencoba tenang.
"Butuh suasana baru di dekat Aldo tanpa gue?" Radit tidak tahan lagi, dia menyentuh kedua bahu Raya, lalu menekannya. Tidak terlalu kuat, tapi sukses membuat gadis itu mendongak di tengah ringisannya.
"Radit, lepasin!" pinta Raya. Nyaris terisak, tapi air matanya ditahan sekuat mungkin agar tidak tumpah.
"Kalau emang lo suka sama si bajingan itu..."
"Radit, dia punya nama!" potong Raya, sedikit membela laki-laki yang dimaksud oleh Radit. Raya tidak lupa bahwa Aldo pernah melakukan kesalahan padanya, tapi laki-laki itu tetaplah memiliki nama.
"Oke. Kalau emang lo suka sama si Aldo-Aldo itu, lo harusnya nggak gantungin gue kayak gini. Lo tahu? Gue nyariin lo ke pasar, ke toko buku bekas, ke stasiun, bahkan gue nyaris nyari lo ke Serang—ke rumah kakak gue, dan sekarang gue di sini. Buat siapa? Buat siapa gue jauh-jauh datang ke sini? Buat lo! Sementara lo di sini berduaan sama laki-laki lain. Gue bukan buku yang lo baca, lalu lo tinggalin di lemari saat lo bosan. Gue manusia, gue ada. Sesekali lo pikirin perasaan gue!"
"Gue nggak minta lo untuk nyari gue."
"Apa?"
"Lo nggak dengar barusan gue ngomong apa? Gue sama sekali nggak minta dan nggak berharap lo nyariin gue, apalagi sampe nyusulin gue ke sini. Buat apa? Nggak ada yang harus kita omongin, dan apa tadi lo bilang? Gue gantungin lo? Sorry, but I don't feel like that. Gue sama sekali nggak ngerasa gantungin lo. Emang bagian mana yang butuh jawaban gue? Nothing."
"Lo suka sama Aldo?"
"Enggak."
"Raya Aurora, gue nggak habis pikir, kenapa cewek sepolos lo bisa mempermainkan dua cowok sekaligus."
"Raditya Malvino, lo seakan nunjuk gue pake telunjuk lo, sementara jari-jari lo yang lain mengarah ke diri lo sendiri. Lo paham artinya apa? Sama kayak lo lagi ngaca. Mantul!" ujar Raya tegas sambil menatap mata Radit tajam.
Radit merasa tertusuk oleh tatapan yang Raya berikan, terasa sakit tepat di dadanya. Belum pernah Raya menatapnya setajam itu. Memang secemburu itu dia? Memang sefatal itu kesalahan yang gue perbuat? Radit sibuk dengan pemikirannya sendiri, hingga tak sempat menghentikan langkah gadisnya yang kini perlahan menjauh. Radit membiarkan Raya pergi meninggalkannya. Dia menatap sekeliling perkebunan karet, memberikan waktu untuk otaknya berpikir jernih sejenak.
Kini dinginnya Sukabumi telah diadopsi oleh tatapanmu, sedangkan aku lupa caranya menyelimuti diri. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi