"Ini kecupan atau obat tidur? Kenapa aku jadi terlelap dan malas bangun lagi?"
-Raya Aurora-
Raditya Malvino sedang duduk di balik kemudi; di sampingku. Kami sedang dalam perjalanan kembali dari Sukabumi ke Tangerang. Dia menjadi lebih banyak diam sejak pertengkaran kami semalam. Aku melirik bayangan wajahnya sekilas dari ujung ekor mataku, dia terlihat fokus ke arah jalan.
Perlahan aku mulai merasa bosan karena terus didiamkan olehnya. Aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi mobil dan perlahan memejamkan mata yang tidak mengantuk. Beberapa menit kemudian, aku merasa mobil Radit tidak lagi melaju. Terdengar suaranya membuka sabuk pengaman dan perlahan mendekatiku. Ya ampun, jantungku! Aku benci saat jantungku bergerak seperti sekarang ini. Aku lebih benci karena yang bisa membuat jantungku sebrutal ini hanyalah dia.
Aku membuka mata, karena tak ingin Radit melakukan hal yang tidak-tidak. "Mau ngapain?" tanyaku datar.
"Lo kira gue mau ngapain? Gue cuma mau..." Kata-kata Radit tergantikan oleh gerakannya menyelimuti tubuhku dengan sebuah selimut berwarna cream yang seketika membuatku merasa malu. Aku tak menduga hal yang ingin Radit lakukan adalah hal semanis ini dan aku tak menduga di dalam mobil laki-laki tengil ini terdapat sesuatu yang tak lazim dibawa oleh seorang laki-laki.
"Radit." Entah setan apa yang merasukiku, hingga kini aku menyentuh dagunya.
Radit menyentuh tanganku yang menempel di dagunya. "Kenapa? Lo mau gue apa-apain?" tanyanya dengan diakhiri tatapan dan seringai mesum.
"Apa, sih?!" Aku melepaskan tanganku dengan kasar. "Nggak lucu!"
"Ya udah, tidur lagi. Nanti gue bangunin kalau udah sampai," katanya lalu mendekatkan wajahnya padaku dan... mengecup keningku. Terakhir, dia mengelus singkat kepalaku sebelum menyalakan kembali mesin mobil. Kenapa harus kayak gini, Dit? Kenapa harus semanis ini? Kenapa harus semelayang ini? Kenapa?
Aku murka, aku ingin memakinya habis-habisan. Bila perlu aku ingin membuka pintu mobil, lalu meninggalkannya. Namun, yang aku lakukan hanyalah kembali memejamkan mata menuruti perintahnya. Ada ketenangan yang tak bisa kuelak. Kecupan Radit menenangkan, sekaligus bagaikan obat tidur. Perlahan rasa kantuk menguasaiku, lalu aku pun tak ingat apa-apa lagi.
--
"Aku sebenarnya bukan tipe laki-laki yang pintar berpura-pura manis. Maka dari itu, bila saat ini aku terlihat manis, ya karena aku memang manis."
-Raditya Malvino-
Raya Aurora, dia adalah gadisku. Baru saja aku mengecup keningnya. Sejujurnya, ini hanya menurut versiku karena menurut versi dia mungkin aku bukan siapa-siapanya. Namun, dari sorot matanya, aku yakin dia pun mencintaiku. Apalagi mengingat kejadian semalam saat dia terengah-engah mencariku, padahal aku hanya minum kopi di warung dan lupa pamit padanya. Terlihat sekali dia mengkhawatirkanku. Ya, dia hanya gengsi untuk mengakuinya. She is so cute.
Perjalanan Sukabumi-Tangerang terasa sebentar, tidak seperti perjalanan Tangerang-Sukabumi yang terasa sangat lama. Mungkin karena saat ini aku sudah menemukan gadisku. Di tengah perjalanan, aku terkejut oleh sebuah erangan. Raya mengigau. Aku panik, lalu membuka sabuk pengaman dan menepuk-nepuk bahunya, berusaha menyadarkan gadisku dari mimpi buruknya.
"Ray, Raya!" Mata Raya masih terpejam, erangannya semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahu apa yang dia impikan sampai dia terlihat sesedih ini. "Raya sayang, kamu kenapa? Bangun!" Aku menyentuh pipi lembutnya, basah. Raya bermimpi buruk hingga mengeluarkan air mata. "Raya sayang, kamu mimpi apa? Bangun, Raya!" Kepanikanku mereda sesaat setelah melihat Raya membuka mata indahnya dengan keterkejutan yang luar biasa.
"Radit..." Tiba-tiba dia memelukku yang tentu langsung aku balas, lalu tangisnya meledak di balik bahuku.
"It's okay, you're safe. I'm here with you." Pada akhirnya hanya itu yang mampu aku katakan, semoga kata-kata itu sedikitnya bisa menenangkan gadisku.
"Aku nggak mau kamu pergi. Aku nggak mau kamu pergi sama wanita itu. Aku nggak mau." Raya mengeluarkan kata-kata aneh di tengah isakannya. Seketika aku teringat kemungkinan Raya cemburu saat dia melihatku memeluk seorang wanita.
"Aku nggak akan ke mana-mana. Aku di sini sama kamu. Dan wanita itu? Wanita itu siapa?" Aku sebenarnya sudah bisa menduga, tapi aku ingin dia yang mengatakannya sendiri. Aku ingin dia yang bertanya sendiri. Aku egois, memang.
Raya seakan baru saja tersadar dari mimpi buruknya, padahal dia sudah bangun sebelum memelukku. Dengan kesadaran penuh, gadisku melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang membanjiri pipinya.
"Sayang, kamu kenapa?" Aku berusaha menanyainya lagi.
"Jangan panggil gue 'sayang' dan berhenti bilang 'aku kamu'!"
Nah, sekarang gadisku sudah kembali jutek. Pasti setelah ini, dia mengambil ponselnya, lalu mengabaikanku lagi. Tidak apa-apa, aku suka, kok. Aku akan akan tetep suka, tapi bukan itu masalahnya. Aku ingin dia mengaku kalau dia sebenarnya memendam rasa cemburu dan rasa penasaran.
"Oke, nggak akan bilang 'aku kamu' lagi, tapi tadi lo bilang lo nggak mau gue pergi sama wanita itu. Wanita siapa?"
"Nggak kok, gue nggak bilang gitu." Tepat seperti dugaanku, sekarang dia pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Ya udah, deh."
Raya selalu tampak cantik bagiku, bahkan dengan wajah cemberutnya saat ini, membuatku tidak tahan untuk tidak menyentuhnya. Dengan tanganku yang panjang, aku meraih puncak kepala gadisku, lalu membelainya lembut. Aku melihat Raya terpejam sesaat, lalu aura Mak Lampir keluar dari wajahnya dan menyingkirkan tanganku dengan kasar. Tanganku nyaris patah dibuatnya, tapi aku tidak bisa marah padanya, justru itu malah membuatku terkekeh geli. Raya sering sekali menolakku seperti ini, termasuk menolakku untuk lebih membahagiakan dan menjadikannya milikku. Namun, seberapa sering pun dia menolak, aku tetap akan membuatnya merasa lebih bahagia saat di dekatku karena aku mencintainya dan dia milikku.
Perjalanan berakhir. Aku dan Raya tiba di depan kantorku. Aku terkejut ketika mendapati Natasha sedang berdiri gelisah di depan kantor yang masih tertutup karena sedang aku liburkan. Astaga, aku melupakan Natasha lagi! Aku terburu-buru membuka sabuk pengaman, tapi tiba-tiba gerakanku tertahan. Raya menahan tanganku. Ketika aku melihat wajahnya, dia tampak panik dan tak rela. Kalau cemburu, bilang aja, Ray! ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi