Memang benar pada saat itu ia terdiam, tetapi, yang diam itu bukanlah tubuhnya melainkan jalan pikirannya. Saat-saat dimana ke tidak sadarannya kembali terjadi, ia menampakkan kehebatannya dalam situasi yang sedang mendesaknya ini.
Menginjak kaleng kosong… Krek!
Menggulirkan kaleng yang baru di injaknya ke atas pergelangan kaki kanan, tepat setelah posisinya berada di tengah-tengah ia mengangkat kakinya secepat mungkin dan menghempaskan kaleng itu ke udara sampai setinggi sejajar dengan kepala. Menangkapnya dengan tangan kanan, lalu ia melemparkannya bersama kekuatan yang sudah di kurangi tingkat kecepatannya agar suara yang terdengar tidak terlalu berisik saat terbentur keras…
Ctak!
Eh? Apa yang barusan terjadi? Kamarku jadi gelap. A-ahh! Ikuti alurnya, Kiki!
“Tapi, aku lebih senang melihat langsung keadaan kak Kiki. Tidak lama kok, habis itu aku akan-” Sambil berbicara dan memutar gagang pintu, Sarah mendorongnya lalu melangkah masuk ke dalam. Baru selangkah ia menapaki lantai kamar kakaknya, tiba-tiba saja keinginannya untuk masuk lebih jauh dari ini hilang seketika dan berhenti di ambang pintu yang terbuka. “Gelap,” gumam Sarah pelan.
Dari lembah kegelapan yang mencekam kehadiran makhluk hidup lainnya, sesosok pemuda yang telah lama mengasingkan dirinya dari masyarakat ke tempat tak ramah ini akhirnya memperlihatkan bentuk rupanya.
Yang mengenakan baju putih polos dan celana olahraga hitam bergaris putih, lalu, rambutnya yang acak-acakkan tak beraturan itu adalah bagian di mana sosoknya belum hilang dari dirinya yang lama. Sarah tidak melihat banyak yang berubah setelah sekian lamanya waktu berlalu, cuma, mungkin rambutnya saja yang sedikit berubah warna ke biru samar-samar dan agak panjangan.
“Sarah, adikku yang tercinta. Sudah berapa kali aku memberitahumu soal ini, jangan masuk seenaknya. Kebiasaan itu tidak sopan tahu.”
Sarah menyampingkan pandangannya ke kanan, ia merasa bersalah atas tindakan seenaknya. “Aku tahu, cuma… Maaf. Sarah seharusnya tidak boleh begitu.”
Kiki melangkah lebih dekat lagi dengan Sarah, lalu berhenti tepat di depannya. Dan, waktu ia mengiri kakaknya akan marah padanya, sebuah sentuhan yang berulang kali di lakukan ke kepalanya mengejutkannya dan ia segara mengalihkan pandangannya ke atas untuk melihat apa yang terjadi.
Kapan terakhir kali aku melihat senyumannya? Sudah lama sekali, aku bahkan tidak mengingatnya lagi. Tapi, yang kulihat ini…
Dengan masih menyeringai senyuman simpul, Kiki berkata, “Ada apa Sarah? Oh iya, kamu kan sudah tidak menyukainya lagi, ya. Maaf-maaf, aku lupa kalau kamu sudah besar sekarang, hahaha.” Canda dan tawa yang Kiki mainkan tadi sungguh mengesankan tapi bukan berarti itu sempurna, ia tidak mau menyombongkan kemampuannya (Kebohongannya) karena hasil dari ini ia telah mengetahuinya. Akan tetapi, mungkin, ia akan mengatakan pada adiknya tentang ini (Kejujurannya) selepas peran yang ia mainkan berakhir dengan baik dan tidak meninggalkan jejak mencurigakan.
Sarah kembali mengalihkan pandangannya ke sisi lain, menyembunyikan wajahnya yang menggemaskan itu dengan menunduk melihat ke bawah lantai. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata, “Tidak, bukan itu… A-”
“Jadi, Sarah masih mau di perlakukan begini olehku, ya. Aku senang mendengarnya. Oh iya, bukannya kamu ingin mengajakku main monopoli, kan? Bagaimana kalau sekarang saja?” Kiki mengambil papan permainan dari tangan Sarah, lalu melihatnya secara keseluruhan papan tersebut yang penuh dengan gambar yang menjadi ciri khasnya permainan ini, yang melambangkan suatu ibu kota di suatu Negara. “Sudah lama sekali aku tidak memainkan ini, membuatku kangen Ini menarik, ayo cepat kita mainkan di ruang tamu,” ajak Kiki dengan mengambil langkah lebih dulu, kemudian melewati adiknya begitu saja sampai keluar kamar. Memerhatikan tubuh kecil Sarah dari belakang sembari menunggu jawabannya. Tapi, jawaban yang ia tunggu ternyata tak kunjung terdengar sehingga ia menjadi penasaran.
Aneh... Dari tadi Sarah tidak mengucapkan apapun padaku, dan, dia hanya menunduk ke bawah. Hah! A-apa… dia ke-kerasukan makhluk lembut?!
Menggeleng beberapa kali dan tertawa tanpa suara, dari respon yang di perlihatkannya itu sudah pasti ia menolak untuk menjawab iya pada pertanyaannya sendiri. Menghela napas, setelah itu ia tersenyum…
Kebiasaan buruk lagi. Jangan paranoid, Kiki... Memangnya apa sih yang di lihat Sa… rah?
Karena itu ia pun melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Namun, sesuatu yang tidak di sangka malah di lihatnya. Ini bahkan lebih menyeramkan daripada penampakkan hantu di film horror, pikirnya dalam hati yang ketakutan, jantungnya pun ikut terpacu oleh suara BGM (Background music) dalam film horror yang pernah ia tonton bersama Sarah pada hari kamis malam minggu lalu. Itu benar-benar menyeramkan sekali.
“Ini… benda apa ya, kak Kiki?”
“A-ahh… Dimana? A-aku tidak melihatnya,” ujar Kiki gemetaran setengah mati.
“Tentu saja, ada di…” Sambil berputar membalikkan badan, Sarah melanjutkan perkataannya yang sengaja ia tahan, “Kamar kak Kiki lah, masa di kamar Sarah, ya kan”
Candaan macam apa itu?! Lucu, kah? Terus, te-tekanan yang kurasakan ini, apa mungkin dia sedang tersenyum di belakangku? Menyeramkan, tahu!
Berusaha menenangkan diri dengan mengambil napas berulang kali tanpa terdengarnya suara hembusan angin. Namun, ketenangan yang Kiki cari tak kunjung ia dapatkan, malah sesak napas yang ia rasakan.
“Kak kiki, kenapa diam saja? Apa Sarah mengatakan sesuatu yang benar?” tanya Sarah dengan lemah lembutnya ia meminta jawaban dari sang kakak, yang terdiam seperti patung manusia di suatu taman dekat sini tapi sedang melamun menghadap dinding depan kamarnya sendiri.
Ya ampun, lagi-lagi dia mulai percaya diri. Yah, memang benar sih, tapi, aku masih punya rencana cadangan!
Berhembus seperti angin musim gugur yang tiba pada waktunya. Keheningan dan kehampaan tanpa suara daun kuning kelabu yang berguguran di atas bumi yang indah ini, sesaat kesunyian itu menyebar luas dengan cepatnya, sebuah suara langkah yang diam-diam membawa kekacauan datang menapaki dataran tersebut dan kemudian menggetarkan suasana ketenangan yang ada disana.
Dengan langkah seribu miliknya, Kiki langsung melarikan diri menjauhi Sarah yang telah mengetahui kebohongannya. Singkatnya begitu, jadi, mau tidak mau ia harus mengambil langkah ini demi keselamatan dirinya sendiri…
“Run…!”
“Jangan lari! Kak Kiki!” teriak Sarah di belakang sambil bersiap mengejarnya, tapi sebelum itu ia harus mengambil sesuatu dari dalam kamar kakaknya.
Kiki berhasil meninggalkan Sarah jauh di belakang sana setelah ia menuruni anak tangga yang dibencinya. Sesampainya di lantai bawah, langkah untuk melanjutkan pelarian hidup dan mati di hentikan sejenak, dan ia lalu menyenderkan punggungnya ke dinding sembari menunduk ke bawah.
Napas terengah-engah, wajah berubah pucat penuh keringat yang terus mengalir, dan tatapan matanya melotot sangat menyeramkan…
Ini tidak sampai 10 meter! Tapi lelahnya, inginku berkata ampun…! Ini belum seberapa, ini belum seberapa! Fight Kiki, fight!
Selesai mengeluh soal kondisi fisiknya yang begitu lemah, semangatnya tiba-tiba kembali berkibar di atas puncak tertinggi, dimana ia bisa menetapkan hatinya yang bimbang ini agar tidak terjerumus jurang kepasrahan. Langkah demi langkah di lakukan perlahan-lahan menuju pintu coklat yang terpasang sebongkah papan kayu kecil bersama dengan nama yang tertulis disana, berjalan sangat tenang sambil berpegangan pada dinding putih yang terasa dingin dan menyejukkan perasaan dalam hati.
Mengolah pernapasan menjadi lebih santai dan tidak terlalu terburu-buru. “Eh?!”
Kelamaan, tahu! Jangan main drama-drama’an tidak jelas, sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu!
Dalam sekejap mata ketenangannya langsung hancur berkeping-keping. Dan, di gantikan dengan kegelisahan karena ketakutan akan hukuman yang siap menunggunya jika ia tertangkap oleh sang algojo.
“Kiki,” panggil seseorang dari ruangan sebelah kiri yang terhubung tanpa adanya dinding yang menghalangi jalan.
Kiki yang di kejutkan dengan panggilan itu ia langsung menggunakan langkah seribunya sekali lagi, meski kondisinya masih dalam keadaan lelah… Gagang berbentuk bola di putar, lalu mendorongnya agar bisa membuka pintu tersebut. Agar bisa membukanya? Mustahil.
Ada apa dengan pintu ini? Susah di buka!
Dua sampai tiga kali ia mengulanginya, tapi yang terjadi tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Jelas sekali ini perbuatan yang di rencakan oleh seseorang, pikir Kiki curiga pada satu orang yang bisa memprediksi kejadian ini.
“Itu terkunci Kiki. Jangan di paksakan begitu dong, nanti kalau rusak siapa yang mau memperbaikinya?” Suara yang sama memanggilnya untuk melihat kearahnya, sekaligus memberitahukannya mengapa pintu yang mengesalkan ini tidak bisa di buka. “Memangnya apa yang kamu cari di kamar itu? Di sana tidak ada apa-apa lho, terutama yang kamu sedang cari… tempat persembunyian.”
Tebakanku benar! Dia lah orangnya!
Berbalik menghadap ke seorang perempuan muda (yang terlihat begitu natural) masih mengenakan piyama pink bermotif bintang sedang berdiri sambil memegangi buah apel yang sudah termakan separuhnya, terus memakannya mengunyahnya hingga menyisakan bagian tengahnya saja, itu yang ia lihat dari kejauhan sebelum memulai pembicaraan. Terlebih lagi… kekuatan gen itu benar-benar luar bisa. Tidak heran ia memiliki rambut yang sama dengannya, sama-sama terlihat acak-acakkan tak karuan.
“Kunci. Aku butuh kunci, cepat berikan,” ucap Kiki langsung berbicara ke intinya tanpa basa-basi, dan memintanya sekarang juga. “Melemparnya juga tidak masalah, asal cepat dan tidak pakai lama, tapi jangan sama ap-“
“Bersiaplah Catcher!” Berpose menirukan seorang Pitcher yang tengah bersiap melempar bola dalam permainan Baseball. Tarik napas sebelum awal permulaan, lalu membuangnya sebagai bentuk kesiapan diri, “Tangkap bola ini dengan segenap jiwamu!”
Anime? Diamon Ice? Ahh... Aku baru tahu kalau Ibu suka menonton tayangan olahraga ini, entah benar atau tidaknya tapi yang di tirukan ada kemiripannya.
Kalau sudah begini… Tidak ada pilihan, lagipula Kiki tidak punya pilihan dari awal kalau sudah berurusan dengannya. Masih belum bisa bergerak meski dirinya sudah memutuskan pilihannya, itu karena ia tertahan dengan rasa malunya yang menanggapi ini secara berlebihan. Tapi kalau terus berpikir seperti itu dan tidak mengikuti permainannya, maka ia akan tamat.
Menekan sikapnya sambil membayangkan dirinya sedang berada di sebuah pertandingan besar…
Itu jauh lebih buruk! Sudah cukup, jangan di bayangkan, bersikap biasa saja dan membiarkan alur ini berjalan singkat.
“Catcher siap! Playball!” ucap Kiki bersemangat.
“Tunjukkan kemampuanmu padaku!”
Huush…!
Kunci serta apel bekas gigitan langsung terhempaskan dari tangannya dengan kekuatan yang besar dan cepat. Ketepatan akurasi yang tak berkurang sedikit pun membuat Kiki terkesan saat melihatnya, tetapi rasa terkesannya itu ia harus ke sampingkan dulu karena ia juga akan menunjukkan kemampuannya sebagai mantan pemain bola.
Melambung tinggi dan menyentuh langit-langit atap rumah, bergesekkan lalu berputar-putar. Mencapai titik jarak tiga meter dari tempatnya berdiri, ketinggian kunci dan sisa apel bekas gigitan itu mulai menurun secara perlahan termasuk kecepatannya, dengan timing yang tepat Kiki pun melompat menyamping sembari tangan kanan menggapai salah satu targetnya yang melayang mendekati tangannya sendiri.
“Yes! Aku dapat…” Itu yang ingin kukatakan, tapi yah, namanya juga nasib, apapun bisa terjadi.
Dua yang tertangkap. Dan dua juga ekspresi yang di tunjukkannya, masing-masing terbagi antara senang dan kecewa… Jujur saja ia merasa jijik memegang apel ini.
“Bagaimana rasanya Catcher Kiki? Atas keberhasilan Anda yang memenangkan pertaruhan.” tanya wanita itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ibunya sendiri, yang bermaksud untuk mengerjainya.
“Hmph!” Membuang muka dan berbalik menghadap pintu di belakangnya. “Lemparan yang bagus… kalau tidak sama apelnya.”
“Terima kasih pujiannya. Bagaimana kalau kapan-kapan kita main yang aslinya saja?”
Mendengar ajakkan Ibu tangan kanan Kiki langsung berhenti bergerak sebelum sampai ke titik lubang kunci. “Akan kupikirkan.” Setelah menjawabnya, ia baru memasukkan kunci tersebut.
Memandang sedih dari balik tubuh Kiki begitu tahu jawabannya ambigu. Menyembunyikan seluruh isi perasaannya yang menyangkut kesedihan dan penyesalan dirinya.
Jawabannya masih tetap begitu… Memang benar, ini tidak semudah membalikkan tangan, tapi…
“Hah! Apa-apaan pintu ini! Tetap gak bisa di buka!” Mulai naik darah, betapa kesalnya Kiki dengan pintu yang tidak mau menuruti keinginannya agar bisa terbebas dari kejaran adik perempuannya. Sementara itu, tepatnya di sisi lain di belakang ia berdiri, ia mendengar tawa seseorang yang sedang di tutup-tutupi supaya tidak terdengar olehnya. Yah, meski pada kenyataannya ia tetap bisa mendengarnya tertawa menggelitik. “Terus saja ketawa. Nanti kalau susah bukanya, awas saja minta bantuan.”
“Maaf-maaf, habisnya lucu sih lihat orang buka pintu saja sampai kesal segala…” Tertawa lagi dan lagi, karena masih terasa menggelitik perutnya. Setelah berhasil mengendalikan diri, kemudian Ibu melangkah dari ruang dapur ke ruangan tamu dan setelah itu berjalan menuju pintu keluar. Sebelum sampai sana, Ibu berkata, “Ibu keluar dulu, mau beli sarapan pagi, dan… Semoga selamat.”
“Hah?! Kenapa? Aku sendiri yang akan membuatnya, jadi sekarang bantuin dulu, Bu!”
Menjatuhkan sepasang sandal pink yang di ambilnya dari rak di sebelah kiri dekat pintu keluar, lalu memakaikannya di kedua kakinya. “Ibu rasa gak akan sempat. Kiki, ganbatte kudasai…”
“Apa maksudnya?” Kiki terdiam dan kebingungan dengan apa yang di katakan Ibunya mulai sejak menerima kunci darinya, tapi yah, semua itu tidak perlu ia pikirkan sampai kepala pusing. Lagipula sekarang, yang harus ia pikirkan adalah bagaimana caranya ia membuka pintu terkutuk ini dengan tanpa memaksanya. “Ibu sudah pergi. Terus, bagaimana caraku membukanya?” Melamun memikirkan hal yang bisa ia lakukan untuk saat ini.
“Caranya mudah; Putar gagangnya sampai 90 derajat lalu tahan seperti itu, dan terus, tinggal menariknya saja. Simple, bukan?” Berbicara sambil mencontohkannya dengan singkat, padat, dan berisi sangat banyak. Dan pintu yang tadinya tertutup pun, sekarang menjadi terbuka di mata Kiki.
“Hooh~ Ya ampun, tidak kusangka ternyata hanya begini saja? Ngapain juga sampai mikir keras-keras kalau cuma begini caranya. Terus, yang meminta memasang pintu seperti ini pasti orangnya aneh.”
“Apa itu sebuah pujian untuk seseorang yang sedang berdiri di samping kak Kiki?”
“Yah~ Hahaha… Heh?” Baru menyadari ada seseorang yang berbicara padanya, entah sejak kapan orang itu sudah berdiri di sana, Kiki tidak tahu. “Yah, i-itu bagus Sarah, cara berpikirmu berbeda dengan orang lain adalah sesuatu yang bagus, menurutku. A-aku permisi dulu, boleh, ‘kan?”
Tersenyum manis, Sarah menjawabnya, “Tentu saja boleh…” Dari yang imut-imut dan menggemaskan untuk di lihat mau berapa pun lamanya waktu bergulir, itu pun jika memang kalau bertahan lama Kiki pasti akan mengharapkannya, tapi rasanya itu mustahil sih. Berubah dalam waktu singkat, tatapan matanya kepada Kiki sangat tajam dan menusuk. “Silahkan saja kalau berani melangkahkan kaki ke sana. Pintu sudah terbuka, lho.”
Mustahil!
Pasrah saja, untuk menemukan setitik cahaya penerangan saja adalah sesuatu yang mustahil dengan keadaan saat ini, mirip dengan tikus yang terjebak dalam kurungan, pikir Kiki yang terdiam tak melakukan apapun atau berbicara dengan Sarah yang terlihat ingin menyeretnya ke lantai atas. Kadang menyerah bukan lah tanda bahwa seseorang akan mengibarkan bendera putih pada lawannya, justru kata menyerah yang di ucapkan oleh orang itu adalah tanda dimana ia baru akan memulai pertarungan yang sebenarnya.
Tertangkap basah, seorang buronan laki-laki yang melarikan diri dari tahanannya, yang sebelumnya juga pernah melakukan tiga perbuatan buruk. Berbohong pada adiknya, penipuan yang di rencanakan, dan pelarian jangka pendek. Atas yang ia telah lakukan itu, hakim memutuskan akan memberikan hukumannya di depan saksi korban…
“Persiapkan dirimu… untuk kerja rodi!”
Melepas rasa lelah di pagi hari yang indah dengan berangkat ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) yang di wajibkan bagi para siswa-siswi yang ingin mengasah keterampilannya. Sungguh berharap begitu, kalau memang benar rasa lelah seorang pelajar bisa hilang ketika mengikuti kegiatannya, namun, pada kenyataannya rasa lelahnya malah semakin parah.
Sebagai pelajar yang di harapkan oleh banyak guru-guru, mau tidak mau ia harus menurutinya agar tidak mengecewakan kepercayaan yang besar kepadanya. Kepercayaan, kah?
Dasar bodoh… Timbal balik dari yang telah kulakukan untuk mereka kapan bisa kudapatkan? Mudah berharap pada orang lain, tapi sebaliknya, mereka yang katanya bisa di andalkan dalam hal apapun nyatanya tidak bisa di harapkan ketika aku membutuhkannya… Ada apa sebenarnya dengan kehidupanku?
Menyedihkan, bukan?
Setiap hari harus merasakan tekanan yang begitu berat di pundak kecilnya. Belum lagi tekanan tersebut bukan hanya satu saja, tetapi ada dua dan masing-masing datang dari arah yang berbeda.
Ini memang mau memaksanya untuk bertahan seorang diri dalam kekacauan yang menguras tenaga dan pikiran. Apakah cuma itu yang bisa di lakukannya?
Sepintar apapun dirinya bila di haruskan menjawab pertanyaan itu, tetap saja ia akan kesulitan menemukan jawabannya yang berdasarkan atas logikanya sendiri. Berpikir, berpikir, terus berpikir sampai mencapai batas tenaga yang ia miliki… Akhirnya datang setitik kegelapan dari balik bayang-bayang cahaya penerangan.
Mau itu beratus-ratus kali memikirkannya, mau itu membutuhkan waktu yang sangat lama, jawabannya yang sebenarnya ia cari selama ini ternyata… Tidak ada sama sekali. Sederhananya saja, memang pertanyaan itu adalah sudah menjadi sebuah kesalahan di awal-awal terbentuknya.
“Lelahnya… Aku tidak habis pikir dengan mereka! Perjuanganku mengajarkan selama satu bulan ini, malah jadi sia-sia. Memangnya aku akan berada di sana selamanya apa? Suatu saat juga aku pasti akan lulus dan melanjutkannya ke SMA… Tunggu!” Menghentikan jalannya tepat di depan tiga persimpangan. Melihat-lihat ke sekitar, kiri dan kanan, yang sepi akan pejalan kaki lewat. Terjadi suatu reaksi dengan jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak cepat, atau, semacam munculnya perasaan khawatir atau juga bisa di katakan panik pada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. “Jalanku benar, ‘kan? Dari sini tinggal belok kanan, lalu lurus ke depan. Semoga saja enggak nyasar.”
Mengambil langkah ke persimpangan di sebelah kanannya dengan terburu-buru. Ia bermaksud ingin meninggalkan tempat yang sepi ini secepatnya, karena firasatnya merasakan sesuatu yang tidak enak akan terjadi kalau berlama-lama di sini. Dan yang di rasakan firasatnya pun mulai menampakkan diri…
Ia secara tidak sengaja menabrak seorang perempuan muda berambut hitam yang masih mengenakan pakaian tidurnya sewaktu berbelok ke persimpangan jalan. Kedua-duanya pun juga sama-sama terkejut dan saling melangkah mundur ke belakang. Ini adalah murni kesalahannya yang tidak memerhatikan jalan. Jadi, tindakan yang harus di lakukan pertama kali adalah meminta maaf lebih dulu kepada perempuan yang di tabraknya dengan mengatakan, “Ma-maaf, aku minta maaf. A-aku tidak lihat-lihat jalan tadi.” Memandang ke bawah kaki perempuan itu, menunjukkan bahwa ia merasa bersalah atas yang terjadi karenanya.
“Tidak, sebenarnya aku juga tidak memerhatikan jalan, aku minta maaf…”
Suara ini... Tidak, jangan yakin dulu, pasti orang lain.
Rasa penasarannya memuncak seiring ia menahan-nahan kehendaknya, takut kalau perempuan itu adalah seseorang yang ia pernah kenal dulu, meski pun begitu ia tetap akan melihatnya daripada harus merasa menyesal nantinya. Dengan kesiapannya yang akan menerima kemungkinan terburuk, ia memberanikan diri mengangkat kepala sembari mengepalnya kedua tangannya untuk dapat melihat wajah perempuan itu.
Sesaat ia baru dapat melihat rambut hitam yang terurai panjang pada bagian pundaknya, perempuan itu tiba-tiba berjalan melewatinya dan lekas berbelok dari arah yang ia lalui tadi. Sayang sekali ia tidak sempat melihat rupa wajahnya seperti apa, tapi, setidaknya ia dapat menyimpulkannya.
“Bukan dia,” ucapnya begitu yakin dengan yang di rasakan hatinya, sebuah keraguan yang tersembunyi. Lalu, arah pandangnya di hadapkan ke depan ke arah trotoar jalan yang sunyi tanpa suara langkah pejalan kaki, bahkan suara kendaraan pun juga tidak terdengar sama sekali. Padahal jika di amati baik-baik, tempat ini benar-benar di penuhi dengan perumahan-perumahan bagus yang tertata rapih di sepanjang jalan.
“Dari Kiki… Eh! Sarah? ‘Kak Kiki sedang berusaha menahannya?’ Memangnya apa yang sudah terjadi, sih? Hah! Keadaan darurat! Kode merah, invasi K! Ibu akan secepatnya ke sana, bertahanlah!”
Kiki dan adik kecilnya, Sarah. Seseorang yang pernah…
Bergegas membalikkan badan dan melangkah keluar dari persimpangan jalan, kemudian menoleh ke berbagai arah, terutama dari arah yang di laluinya… Ia telah kehilangan perempuan itu. Menunduk bersedih, tak lagi dapat menyembunyikan ekspresinya.
Yang pernah… menjadi teman masa kecilku…
Kesungguhannya menetapkan perasaan pada hatinya yang telah hancur lama. Dan berkat itu, ia tidak sengaja mendatangkan sesuatu yang di sebut… “Awal dari semangat!”
“Aku… aku… pasti akan menemukannya!”
To be continue…
#Note...
Bab 1 selesai. Lanjut ke Bab 2, tapi ya, entah kapan datangnya Author tidak tahu, tapi yang jelas Author akan berusaha secepat mungkin untuk Update-nya.
Salam Literasi Indonesia, tetap semangat ya dalam menulis atau pun membaca (cerita ini, kalau bisa sih. Hahaha)...
Arigatou gozaimasu...
@Saber_Darkness28 wah di grup tinlit juga, kbtulan critaku juga masih tahap revisi boleh deh kasih sarannya. dan mnrutku crtamu bagus, rajin promo aja semangat!
Comment on chapter Prolog