Bab 2 – Sesuatu yang Berharga (Something Worthwhile)
Menyiapkan keperluan yang di butuhkan. Dari tas kecil untuk menyimpan cemilan dan minuman, serta beberapa barang-barang yang nantinya akan berguna, semoga saja begitu. Langsung saja ia memasukkan semuanya satu persatu ke dalam tas. Cemilan penunda lapar, minuman, dan dua barang lainnya berhasil di masukkan tanpa masalah namun sayangnya memakan banyak tempat, dan oleh karena itu tas miliknya jadi penuh. Meski tahu itu tak muat lagi ia tetap mencoba memaksakannya.
“Masih gak muat. Biarlah, ganti dengan itu saja kali, ya.” Pasrah pada keadaan yang tak memungkinkan untuk menolaknya. Melirik barang yang di maksud itu, yang menggantung di belakang pintu. “Yahh, lumayan, setidaknya gak kepanasan.”
Setelah selesai dengan semua persiapan itu ia pun keluar dari kamarnya. Berharap keajaiban akan datang hari ini, hari dimana ia memulai pencarian seseorang yang berharga.
Sesulit apapun rintangan yang menghadang, aku pasti akan menemukannya!
Satu petunjuk mengenai lokasi tempat tinggal sudah ia dapatkan. Benar sekali, tempat waktu itu, yang berada di perumahan sepi. Memang menyeramkan, tapi mau bagaimana lagi kalau disana lah petunjuk keberadaannya…
“Tumben pagi-pagi mau pergi, apa ada kegiatan di sekolah?” Seorang laki-laki bertubuh tinggi yang sedang memasang tali sepatu memanggilnya dari ruang sebelah kiri. Merasa terpanggil oleh suara laki-laki itu, langkahnya di hentikan sembari menoleh ke arahnya. “Ini masih jam 6 pagi, lho. Mending buat sarapan dulu, sekalian untukku juga ya.”
Mengangkat kepala sedikit lebih tinggi. Ia melihat tatapan mata meminta belas kasih tertuju padanya yang cukup pandai memasak. Ingin ia menerima permintaan itu, yang merupakan dari kakaknya sendiri, tapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk itu.
“Waktuku sedikit, silahkan buat sendiri.” Mengalihkan pandangan mata dari tatapan menyedihkan kakaknya. Semakin lama ia melihat wajahnya, semakin juga ketetapan hatinya runtuh.
“Ayolah, buatkan sebentar. Kau sendiri juga belum sarapan ’kan?”
“Belum, sih.” Ketetapan hatinya mulai terselimuti keraguan. Menggeleng-gelengkan kepala, lalu dengan tegasnya ia berkata, “Tidak. Jawabanku tetap tidak.” Lekas pergi meninggalkan kakaknya yang masih belum selesai memasang tali sepatu di ruang tamu…
“Dasar anak perempuan, kakaknya minta tolong malah kabur seenaknya! Adik perempuan yang satu ini memang keras kepala sekali, berbeda dengan Nay yang mudah di suruh samaku…” gerutu kesal dengan ucapan adiknya.
“Kak, ada telepon dari ibu, nih. Mau aku yang angkat?”
Panggilan tersebut mengalihkan padangannya ke arah luar ruang tamu yang dekat dengan anak tangga menuju lantai atas. Kelembutan dari suara yang terdengar bernada keras seakan langsung memberinya semangat penuh untuk melakukan aktivitas pagi hari yang indah ini, meski perutnya dalam keadaan belum terisi apa-apa selain api semangat yang membara.
Baru juga di omongin. Hebat sekali adik kecilku yang imut ini.
“Enggak perlu, Nay. Ibu menelponku pastinya ada sesuatu yang penting untuk di sampaikan, dan Nay, kau ‘kan masih anak kecil, tidak seharusnya kau mendengar pembicaraan orang dewasa…”
Tepat pada waktunya setelah selesai memasang tali di kedua sepatu. Seorang gadis kecil dengan rambutnya yang terurai panjang dan masih mengenakan baju tidurnya mulai menampakkan diri memasuki perbatasan antara ruang tamu dan dapur. Terdiam disana sambil memeluk boneka panda yang besarnya hampir menyamai ukuran tubuhnya…
Boneka itu lagi. Ahh…! Sial! Aku jadi ke ingat kejadian buruk waktu itu…
#SedikitFlashbackKejadianYangTakTerlupakan, by … (Beliave or NOT! Author ketawa mulu baca bagian di bawah ini. Smile… ☺)
Mahal? Tentu saja, boneka tersebut seharga… Delapan ratus lima puluh ribu (Rp 850.000). Cukup mengerikan melihat harganya untuk seorang gadis kecil membeli barang semahal itu, tapi tetap saja adiknya menginginkannya. “Mau bagaimana lagi, kakak akan menambahkan uangmu, atau, kakak sendiri yang akan membelikanmu secara cuma-cuma. Pilih lah, Nay~” Rasanya ingin sekali mengucapkannya di depan Nay ketika tahu uangnya tidak mencukupi. Namun sayang, yang terjadi seperti itu hanya ada dalam hayalannya yang membuat dirinya senyum-senyum sendiri di toko boneka itu.
“Kak, aku ingin membeli boneka panda itu, bisa tolong ambilkan?” pinta Nay dengan ramah dan tersenyum manis.
Mendengar Nay meminta tolong, kakaknya langsung menunjuk dirinya sebagai seorang yang bisa di andalkan dengan mengatakan, “Okey, serahkan pada kakak.” Menghempaskan rambut poninya ke atas sambil mencobam enebar pesona ketampanan yang ada pada dirinya sejak lahir ke bumi. “Yang mana Nay? Bisa tunjukkan sekali lagi~”
“Tentu saja.”
Aneh, jawaban Nay kok terdengar seperti suara orang dewasa, ya.
Rasa penasarannya memenuhi isi pikirannya dengan suara itu. Dan, akhirnya memilih untuk menengok ke belakang karena memang berasal dari sana… Melihat kenyataan ada di depan mata membuatnya terkena kutukan membatu dengan ekspresi yang tertahan oleh kesedihan.
Jahatnya, Nay!
Sungguh memalukan, lebih baik kehadirannya disini… Lenyap jadi abu! pikirnya bersikeras ingin mengasingkan diri karena sudah melewati batas (Yang mengira Nay memanggilnya tapi nyatanya tidak)… Dan kenyataan yang sesungguhnya adalah Nay berbicara sama seorang Sales perempuan yang kebetulan melintas di belakang kakaknya.
Setibanya di kasir terdekat dan mendengar harga yang akan di bayar, bagaimana reaksi mereka berdua menanggapi hal itu, ya…
“Mahal! Apa tidak bisa kurang? Ini benar kemahalan tahu untuk gadis kecil beli!”
Betapa terkejutnya Nay mendengar ucapan kakaknya, yah sedikit senang sih kakaknya mencoba membantu menanggapi, tapi, bukan pada tempatnya!
“Ma-maaf. Memang dari sananya harganya itu sudah segitu. Lagipula… disini, bukan pasar yang bisa menawar harga, tapi pusat perbelanjaan. Mohon maaf sekali.”
Terdiam seribu bahasa karena menahan malu yang menusuk hati. Orang-orang menatap tajam dan rasa curiga akan kejahatan kepada kakaknya, dan di saat keadaan mulai ramai Nay memberikan perintah tak bersuara pada kakaknya untuk memasang wajah menyedihkan agar tetap bisa tersenyum di hadapan orang banyak. Ternyata itu membuahkan hasil yang tak terduga, beberapa orang pergi meninggalkan toko boneka, tapi tetap tidak menutup kemungkinan kakaknya terus di bicarakan sampai akhirnya menyebar ke media sosial. Nay yang tak bisa menahan malu lagi di pertontonkan oleh orang-orang langsung pergi begitu saja membawa paksa kakaknya keluar dari panggung pertunjukkan menuju ke tempat yang sepi. Depan toilet.
“Ja-jangan bikin malu, dong! Haa-ahh… setelah ini kakak diam saja, jangan ke mana-mana dan tunggu aku DI-SI-NI, habis itu baru kita akan keluar. Mengerti!” ucap Nay sangat tegas.
“Me-mengerti.”
Dan begitulah akhirnya, seorang gadis kecil membuat kehebohan yang jauh lebih besar di banding kejadian memalukan tadi (Menawar harga di pusat perbelanjaan atau Mall). Nay membayar bonekanya secara tunai tanpa kekurangan sedikit pun, terus yang paling mengejutkan adalah saat tahu Nay itu sebenarnya menggunakan uangnya sendiri...
#SampaiDisiniDulu… Author: Lucu, bukan? Enggak, ya… (Mendesah)
Dengan mata masih mengantuk Nay menoleh ke kiri, lalu ke kanan, dan ia pun terus melihat ke arah itu karena orang yang ia cari ada disana.
“Ya sudah. Silahkan ambil sendiri,” ucap Nay setengah menahan emosi. Sangat mengesalkan mendengarnya berbicara seperti itu dan memperlakukannya kayak anak kecil. Yah, memang sih ia sendiri juga masih duduk di bangku kelas 6 SD tahun ini, tetapi tahun depan ia sudah memasuki SMP dan bukan lagi anak kecil, melainkan gadis remaja yang cantik seperti kakak perempuannya.
“Eh? Te-terus, Nay ngapain turun ke bawah?”
Pergi dari hadapan kakaknya dan berjalan ke ruang dapur, kemudian Nay berkata, “Ambil cemilan.”
“I-itu saja?”
“Umm…” Nay mengangguk. Kemudian, ia mengambil beberapa makanan ringan serta minuman yang sudah di persiapkannya untuk menyambut kedatangan hari ini dari dalam kulkas. Setelah semua yang di butuhkan terkumpul dan sudah menaruhnya di atas boneka panda besarnya yang di jadikan sebagai tatakan ia pun pergi begitu saja ke lantai atas menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kakak laki-lakinya itu. Namun, saat ia sudah hampir dekat dengan anak tangga terakhir, suara panggilan telepon Ibu yang sejak tadi berdering keras tiba-tiba hilang secara mendadak, dan konyolnya ia sendiri baru menyadari itu setelah sampai di depan pintu kamarnya. “Kasih tahu gak, ya… Daripada diam gak jelas di situ, mending kakak buru-buru angkat telepon Ibu, deh… sebelum… kena perpanjangan hukuman.”
Wajahnya memucat mengingat hukuman yang di bicarakan oleh Nay, lebih tepatnya yang pernah di lalui kakak laki-lakinya belum lama ini. Bagi orang seperti dirinya (Kakak laki-laki) yang sangat menyukai game pastinya sulit sekali melepas game tersebut dari tangannya meski hanya sehari saja. Dan karena terlalu fokus pada apa yang ada di hadapannya sampai-sampai berani mengabaikan sesuatu yang lebih penting, hukumannya pun siap menanti dirinya, tak mengherankan jika Ibu akan memberikan hadiah terbaik untuknya yang telah berusaha keras memperjuangkan kesenangan pribadi.
Semua barang yang ada hubungannya dengan game di sita Ibu dalam kurung waktu tiga minggu, tak terkecuali telepon genggam dan laptopnya yang berisi banyak game. Begitulah yang terjadi bila tak mau mendengarkan perkataan orang tua, ingat baik-baik, ya.
“Nay, tolong angkat teleponnya dulu!” teriak keras kakaknya, sangat panik sekali.
“Aku enggak…”
“Kenapa, Nay?! Ini keadaan darurat lho, aku mohon padamu, Nay yang dewasa dan baik hati! Cepatlah angkat sebelum kakakmu dapat masalah besar…!”
Terus mendengar ocehan dan rayuan tanpa henti kakaknya yang mengesalkan, Nay perlahan menggapai gagang pintu di depannya, lalu memutarnya dengan tenaga besar dari rasa kesalnya yang tak lagi bisa tertahankan mendengar ocehan itu terlalu lama. “Makanya, jangan memotong seenaknya! Aku belum selesai bicara, tahu!”
“A-aku minta maaf… Tolong ya, angkat-”
“Sudahlah, aku tidak peduli. Jangan ganggu aku!”
Brakk!
Nay membanting pintu dengan kerasnya hingga suara yang terdengar bergema sampai ke lantai bawah, ke tempat kakaknya berada. Perasaan Nay sekarang sedang dalam suasana yang buruk. Dan, jika terus memaksakannya berbicara justru membuat Nay akan lebih membencinya, pikir kakaknya dalam hati yang berusaha terlihat tenang.
Menghela napas pasrah. Menutup mata, lalu menyentuh dahi dengan jari telunjuknya sambil menggelengkan kepala. “Ya ampun. Kupikir Nay sudah dewasa seperti yang selalu di bilangnya, tapi nyatanya… Hehh! Masih anak-anak yang keras kepala.”
“Berhenti memanggilku anak-anak! Dan aku enggak keras kepala!” teriak Nay begitu keras pada kakaknya yang lagi membicarakan dirinya secara diam-diam.
“D-dia mendengarnya.” Tak menyangka akan mendapat balasan dari Nay. Tunggu, darimana Nay bisa mendengar ucapannya yang tidak terlalu keras? Pertanyaan yang membingungkan. “Lupakan. Nanti saja mikirnya… Oh iya, tadi ada keadaan gawat apa? Aku benar-benar melupakannya.”
Mengingat keadaannya sendiri yang saat ini benar-benar terasa aneh dan mengganjal di hati, dan sedikitnya merasa gelisah karena melupakan sesuatu yang bisa di bilang… cukup penting? Atau apapun itu.
Lari pagi, sarapan? Waktu, kah? Kayaknya bukan itu. Mungkin kata yang bisa membuatnya ketakutan adalah… “Ibu.”
Mendengar hatinya mengucapkan kata terlarang wajahnya langsung memucat bersama dengan keluarnya keringat sangat banyak di sekujur tubuh, menunjukkan satu hal kebenaran bahwa penyakit akutnya lagi-lagi sembuh mendadak, tetapi, yang di rasakannya sungguh jauh dari kata sembuh itu. Mengingat sebentar lagi dirinya akan melihat dan merasakan kedua kalinya badai yang menerjang dengan sangat ganas.
Berlindung pun tidak bisa menjadi jawaban yang tepat untuk menyelesaikan masalah sesungguhnya, karena kenyataannya memang tak ada tempat persembunyian yang dapat melindunginya…
“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya? Apa jangan-jangan…”
Dalam pikirannya yang kacau, wajah Ibunya yang menaruh curiga padanya terbayangkan. Desahannya yang begitu cepat seketika terhenti tiba-tiba, cukup menahannya saja dan baru menanggapi perkataan itu. “Tidak, tidak, tidak…” Menggelengkan kepala mengikuti ucapannya yang menolak kecurigaan Ibu, lalu lanjutnya, “Aku tidak akan melakukan hal sama untuk kedua kalinya! Tolong percaya lah yang kukatakan, bu.”
“Baik, Ibu percaya, tapi Ibu ingin mendengar alasanmu dulu.”
Setelah memberikan penjelasan secara terperinci dan sangat masuk akal, Ibu langsung mempercayainya begitu saja. Tentu, semua yang di ucapkannya tak masuk ke dalam unsur-unsur kebohongan yang terencanakan. Sedikit saja kata yang terucap terdengar seperti sedang bercerita atau berdongeng, maka berakhir sudah kehidupan yang menyenangkan (Bisa terbongkarnya sebuah kebohongan).
“Sudah cukup, Ibu percaya sekarang… (Mendesah dari balik telepon) Langsung ke intinya saja. Ibu mau kau hari ini mengikutinya pergi ke mana pun dia melangkah, cukup sehari saja dan pastikan jangan sampai kehilangan jejaknya, setelah itu-“
“Berisik!” ucapnya pelan dalam telepon yang berada di samping telinganya, namun terasa keras dan seperti membentak. Pucat pada wajahnya semakin parah dari yang sebelumnya, sadar akan yang di ucapkannya terlalu berlebihan.
“Berani sekali kau, Fajrul, berbicara lancang pada Ibumu sendiri!”
“Maaf, maaf, maaf… A-aku mohon maaf, atas yang telah kukatakan tadi sangat tidak sopan kepada Ibunda tercinta. A-aku ingin mo-mo-mohon ampunan Ibunda agar di beri keringanan serendah-rendahnya. Sampai nanti, salam Fajrul, good bye…”
“Fajrul, apa maksudmu?! Jelaskan dulu. Hei-”
Klik… Memutus panggilan telepon Ibu tanpa pertimbangan apapun. Tindakan yang sungguh berani dan patut di apresiasi karena telah mengobarkan separuh jiwanya yang juga ikut terputus bersama dengan pilihan yang di buatnya sendiri.
Terjatuh dan bersujud, lalu memukul-mukul lantai tak bersalah. “Habis sudah! Kehidupanku!” Berhenti melakukan pukulan yang sama sekali tak kelihatan bertenaga. Saat seseorang berada dalam kepanikan dan di ambang jurang kepasrahan, secercah cahaya yang walaupun itu hanyalah sebuah setitik kecil tetap akan di ambilnya untuk menerangkan kegelepan dalam hatinya. “Masih ada harapan? Benar! Masih ada harapan!!” teriak keras penuh semangat yang membara, sambil berdiri kembali dan mengusap keringat yang membasahi wajah paniknya itu, dan segera melangkah mengejar secercah cahaya petunjuk yang menuntunnya ke jalan kebenaran.
You Dead… Game Over, HaHaHa… (Suara permainan berakhir dari sebuah video game petualang yang sedang di mainkannya) Brak! Membanting controller playstation cukup keras. “Berisik, kak Fajrul!!! Jangan teriak-teriak dalam rumah!”
“Ma-maaf…”
To be continue…
#Note
1. Saya ingin minta maaf karena lama update atau sebut aja gak konsisten. Banyak kesibukan di real life, dan paling ngeselin itu kadang stress gak nemu kalimat yg pas. Sekali lagi mohon maaf.
2. Mungkin cuma ingin memberitahukan, besok update Bab 3! YEY!
@Saber_Darkness28 wah di grup tinlit juga, kbtulan critaku juga masih tahap revisi boleh deh kasih sarannya. dan mnrutku crtamu bagus, rajin promo aja semangat!
Comment on chapter Prolog