“Aku sangat senang, akhirnya bisa berjumpa lagi denganmu,” ucap Yifan kepada Jeong-Min, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan sana.
Jeong-Min bergeming. Terlalu malas rasanya untuk sekadar menanggapi ucapan pemuda yang kini berstatus sebagai mantan kekasih dari saudara tirinya itu.
“Ekhem,” Yifan berdeham kecil. “Apa kau tidak senang berjumpa lagi denganku? Kuperhatikan, sedari tadi kau hanya diam saja.”
“Biasa saja,” jawab Jeong-Min datar.
“Omong-omong, kita mau ke mana?” tanya Yifan.
“Terserah,” jawab Jeong-Min, masih terkesan datar.
“Baiklah, aku akan membawamu jalan-jalan saja. Saat ini, aku sedang tidak mempunyai rekomendasi tempat yang bagus untuk dikunjungi. Mungkin, kalau aku mengajakmu ke Sungai Han, kau pasti akan menolak.”
“Hmm,” gumam Jeong-Min.
“Oh, ya, Jeong-Min~ssi.” Yifan terus mengajak Jeong-Min mengobrol, sekalipun gadis itu hanya menjawabnya dengan singkat dan datar. “Apa kau tahu, kenapa aku dulu bisa mengakhiri hubunganku dengan Soo-Kyo?”
Jeong-Min langsung menatap Yifan. Otaknya bekerja. Pertanyaan Yifan itu, sepertinya akan menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya apabila diabadikan. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menggeser-geser layar 5” itu dan berhenti saat menu “Voice Recording” sudah terbuka.
“Kau barusan bilang apa? Bisa kau ulangi?”
Jeong-Min diam-diam mulai merekam pembicaraannya dengan Yifan. Tentunya tanpa sepengetahuan pemuda tersebut.
“Yak, Jeong-Min~ssi. Apa kau tahu, kenapa aku dulu bisa mengakhiri hubunganku dengan Soo-Kyo?”
“Tidak.” Jeong-Min memang tidak tahu-menahu tentang hal itu. Saudara tirinya itu tidak pernah menceritakan hal tersebut kepadanya. Semua juga tahu, kalau hubungan Jeong-Min dan Soo-Kyo tidaklah baik. Yang Jeong-Min tahu, Yifan duluanlah yang memutuskan hubungan mereka. Jeong-Min tak sengaja mendengarnya saat Soo-Kyo tengah teleponan dengan Yifan. Ya, Yifan memutuskan Soo-Kyo hanya lewat telepon.
Yifan tersenyum kecil. “Itu karena aku menyukaimu,” ucapnya sambil menatap ke arah Jeong-Min sekilas.
Sontak saja Jeong-Min langsung membulatkan kedua matanya tak percaya. Seorang Wu Yifan ternyata menyukainya. Gadis itu lalu mendengus, “Tsk, tapi maaf, aku tidak menyukaimu.”
“Ya, aku tahu itu. Aku bisa melihatnya. Kau selalu tak acuh saat aku bertamu ke rumahmu. Kau tak pernah sedikit pun memandang ke arahku. Padahal, aku selalu memandangmu.”
Jeong-Min tak mengerti, kenapa Yifan bisa menyukainya. Menurutnya dia buruk, dan tidak ber-attitude baik. Tapi, secara fisik, jika dibandingkan dengan Soo-Kyo, Jeong-Min menang. Dia lebih cantik daripada Soo-Kyo. Apa mungkin karena hal itu Yifan menyukainya?
“Kenapa kau bisa menyukaiku?” tanya Jeong-Min, sambil menatap pemandangan kota Seoul yang penuh gemerlap lampu di malam hari. “Aku buruk. Sangat buruk malahan.”
“Tidak. Menurutku kau tidak buruk. Keburukanmu hanyalah kover belaka. Aku tahu, kalau kau itu sebenarnya adalah gadis yang baik,” jelas Yifan. “Dan, satu lagi. Kau cantik,” imbuh Yifan.
Jeong-Min menghela napas panjang. Dia memikirkan kata-kata Yifan barusan. Yifan salah. Aku buruk luar dalam. Bahkan semua orang juga tahu itu, batinnya. Dia lalu mengakhiri rekamannya. Sepertinya kata-kata Yifan sudah cukup untuk menjelaskan kenapa pemuda itu bisa mengakhiri hubungannya dengan Soo-Kyo. Gadis bermata sipit itu kemudian berdecak, “Ck, kau terlalu jujur.”
“Ya, aku memang selalu jujur.”
“Tapi, kenapa kau tidak jujur pada Soo-Kyo kalau kau menyukaiku?” Itu benar. Yifan tidak jujur pada Soo-Kyo. Dia memutuskan gadis itu tanpa alasan yang jelas. Yifan hanya bilang kalau dia ingin putus saja, tanpa alasan.
“Aku hanya tak ingin Soo-Kyo membencimu,” jelas Yifan.
Jeong-Min mendesah. “Tanpa kau jujur pun, Soo-Kyo sudah membenciku.”
Yifan tersenyum miris. Dia sangat tahu kalau Soo-Kyo memang membenci Jeong-Min. Gadis bermata kecil itu sering bercerita tentang keburukan Jeong-Min padanya. Yifan lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalanan yang sepi.
“Kenapa berhenti?” tanya Jeong-Min. “Apa bensinmu habis? Kukira kau anak orang kaya.”
Yifan menggeleng, “Tidak. Bensinku masih banyak.” Dia lalu menatap ke arah Jeong-Min dalam. “Jeong-Min~ssi,” panggilnya pelan.
Jeong-Min menoleh. Tanpa membalas panggilan Yifan.
“Kau memang tidak menyukaiku. Dan, kau mungkin tidak memiliki perasaan apa pun padaku.”
“Itu benar.”
“Tapi, bisakah kau mengabulkan satu permintaanku?” pinta Yifan dengan ekspresi memohon.
Jeong-Min mengernyit. “Permintaan?”
Yifan mengangguk. “Sekali ini saja. Aku mohon.”
“Apa itu?” tanya Jeong-Min. Dia sedikit penasaran sebenarnya.
“Bisakah ...,” Yifan menjeda kalimatnya. Dia lalu menghela napas panjang. “..., aku menciummu?”
“Mwo¹?!” Tentu saja Jeong-Min terperanjat kaget. Yifan bukan siapa-siapanya, dan tiba-tiba saja ingin menciumnya. (¹ : apa)
“Aku mohon, Jeong-Min~ssi.”
Jeong-Min menghela napas panjang. Otaknya berputar untuk berpikir. Bersyukur, dia bukanlah anak yang berotak dangkal. Jadi, meskipun dia bad girl, kemampuan otaknya tidak bad juga. “Baiklah, aku mau,” putusnya.
“Benarkah?” Yifan menatap Jeong-Min dengan mata yang berbinar-binar. Tak percaya bahwa gadis itu akan memenuhi permohonannya.
“Ya. Tapi ada syaratnya,” kata Jeong-Min. Zaman sekarang tidak ada yang gratis di dunia ini. Kecuali bernapas.
“A-apa syaratnya? Katakanlah.” Sepertinya Yifan akan memenuhi syarat yang akan diberikan oleh Jeong-Min.
“Aku mau kau menciumku, tetapi dengan syarat, aku harus mengabadikannya di galeri ponselku,” ucap Jeong-Min.
“Apa? Kenapa harus seperti itu?”
“Ya, agar aku tidak lupa bahwa kita pernah berciuman.”
“A-ah, begitu. Baiklah, aku setuju.” Yifan tersenyum lebar. Pemuda itu lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Jeong-Min, sedangkan Jeong-Min sudah siap dengan kamera ponselnya.
Cekrek!
Suara jepretan dan blitz yang berasal dari kamera ponsel Jeong-Min itu mengiringi ciumannya dengan Yifan. Bibir keduanya bersentuhan. Yang ada dipikiran Jeong-Min saat ini hanyalah: kapan dia bisa hidup bahagia. Dia sama sekali tidak menikmati ciumannya. Karena memang, Yifan bukanlah pemuda yang dicintainya.
Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Tentunya, Jeong-Min yang mengakhirinya duluan. Dia tidak ingin Yifan menganggap kalau dirinya menikmati ciuman tersebut.
Jeong-Min lalu melihat hasil jepretan kamera ponselnya. Terhitung, ada tiga foto yang dihasilkan. Dan, bibirnya kemudian menyunggingkan senyum kecil. Angel yang bagus, batinnya.
“Terima kasih, Jeong-Min~ssi,” ucap Yifan sembari tersenyum lebar. Bahagia, sudah pasti.
“Hmm,” Jeong-Min hanya bergumam menanggapinya.
Yifan lalu menjalankan mobilnya kembali. Dia masih ingin menikmati malamnya dengan Jeong-Min, ya meskipun hanya jalan-jalan saja.
Satu jam telah berlalu, namun Jeong-Min dan Yifan masih berada di dalam mobil. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 12.35 waktu setempat.
“Kau tidak ingin pulang?” tanya Yifan kepada Jeong-Min yang duduk di sebelahnya.
Pandangan Jeong-Min langsung teralihkan dari ponsel di tangannya. “Jadi kau menyuruhku pulang, begitu?” tanyanya balik.
“Bukan begitu. Hanya saja ... bukankah kau masih sekolah? Harusnya di jam seperti ini, anak sekolah sudah pada tidur.”
Jeong-Min yang mendengarnya berdecak. “Aku bukan Soo-Kyo yang setelah belajar malam langsung tidur. Aku Lee Jeong-Min, yang jam tidur malamnya tak pasti,” ucapnya dengan penuh penekanan.
“Yah ... itulah kau.”
Keduanya lalu terdiam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Tampak Jeong-Min tiba-tiba saja memegangi dada sebelah kirinya. Wajahnya kelihatan pucat, dan dia juga tampak menggigit bibir bagian bawahnya. “Yifan~ssi, bisa kau turunkan aku di sini?” perintahnya pada Yifan. Nada bicaranya ia buat setenang mungkin agar pemuda di sebelahnya itu tidak curiga.
“Ya?”
“Turunkan aku di sini.” Jeong-Min menekan kuat-kuat dadanya. Sakit, itulah yang dia rasakan saat ini.
“Di sini? Apa kau yakin? Aku akan mengantarmu pulang.”
“CEPATLAH!” teriak Jeong-Min. Napasnya naik turun menahan sakit dan emosi yang kini bercampur menjadi satu.
“B-baiklah.” Yifan pun akhirnya menepikan mobilnya. Jeong-Min pun segera turun dari sana. Yifan tidak langsung pergi. Pemuda itu malah menatap Jeong-Min dalam. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. Dia melihat wajah pucat Jeong-Min.
Jeong-Min menggeleng. “Pulanglah! Aku akan menghubungi Jong-In agar menjemputku di sini,” perintahnya.
“Tapi ....”
“PULANGLAH!” Jeong-Min meninggikan volume suaranya. Sedikit bentakan mungkin bisa membuat seorang Wu Yifan akan pergi dari sana secepatnya.
“B-baiklah, aku akan pulang.” Yifan pun mulai melajukan mobilnya pergi meninggalkan Jeong-Min yang merintih kesakitan di sana.
Sepeninggal Yifan, Jeong-Min masih terus saja memegangi dadanya. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Cepat-cepat ia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Jong-In yang entah berada di mana sekarang.
“Ada a–”
“Kau d-di mana sekarang? J-jemput aku s-sekarang juga. Aku ... mohon.”
Jong-In pasti tahu kalau Jeong-Min tengah kesakitan sekarang. Nada bicaranya kentara. Dan, Jong-In selalu menjadi orang yang pertama kali Jeong-Min hubungi jika gadis itu tengah kesakitan saat berada di luar rumah. Jong-In adalah satu-satunya orang yang tahu banyak tentang dirinya.
“Jeong-Min~a! Kau di mana, hah?”
“A-aku ....” Jeong-Min sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Gadis itu terduduk di tanah dan bersandar pada tiang lampu jalan yang kebetulan ada di dekatnya. Terlalu sakit rasanya untuk sekadar menyelesaikan kalimatnya untuk menjawab pertanyaan Jong-In tersebut. Jeong-Min tahu kalau saat ini Jong-In pasti sangat mengkhawatirkan dirinya. Karena kejadian seperti ini sudah sering terjadi padanya.
“Jeong-Min~a!” Suara Jong-In dari seberang telepon masih bisa Jeong-Min dengar apabila gadis itu mendekatkan ponsel yang saat ini tergeletak di sampingnya ke telinga. Namun, tak lama kemudian, Jong-In mengakhiri panggilan Jeong-Min saat gadis itu tak lagi menyahut seruannya.
“Jong-In~a ...,” Jeong-Min berucap lirih. Lokasi tempat ia berada saat ini cukup sepi. Ya, karena ini bukanlah di pusat kota. Dan, terlebih lagi, ini sudah lewat tengah malam. “Palliwa² ...,” lanjutnya. (² : cepatlah)
Tak lama kemudian, Jong-In pun datang. Pemuda itu langsung menghentikan laju mobilnya tepat di depan Jeong-Min begitu dilihatnya gadis itu tengah berada di pinggir jalan di bawah tiang lampu. Jangan tanya bagaimana Jong-In bisa dengan mudah menemukan keberadaan Jeong-Min. Ini zaman modern. Semua sudah serba canggih. Sekarang ada yang namanya GPS.
Tidak ada gunanya GPS bagi Jong-In jika bukan karena Jeong-Min. Ya, Jong-In memanfaatkan GPS hanya untuk mencari keberadaan Jeong-Min. Dia sudah mengaktifkan GPS di ponsel Jeong-Min dari jauh-jauh hari, sehingga pemuda itu tidak perlu lagi bersusah payah untuk menemukan gadis itu.
Buru-buru Jong-In langsung keluar dari dalam mobilnya dan menghampiri Jeong-Min. Dilihatnya wajah Jeong-Min yang tampak pucat. Ia tahu kalau gadis itu tengah menahan rasa nyeri di dadanya. “Jeong-Min~a,” Jong-In berucap pelan.
“Jong-In~a ... appo³,” lirih Jeong-Min. (³ : sakit)
Tanpa pikir panjang, Jong-In langsung mengangkat tubuh Jeong-Min dan membawanya ke dalam mobil.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit,” kata Jong-In saat sudah berada di dalam mobil. Ia sudah siap untuk melajukan mobilnya.
“Andwe⁴!” Namun, tiba-tiba saja Jeong-Min mencekal tangan Jong-In. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Menolak ajakan pemuda itu. “Andwe! Aku tidak mau.” (⁴ : jangan, tidak)
“Tapi, Jeong-Min~a ....”
“Aku mohon ... Jong-In~a. Kau menyayangiku, ‘kan? Jangan pernah bawa aku ke rumah sakit,” pinta Jeong-Min.
Jong-In yang mendengarnya tertegun. Dia lalu menangkup kedua bahu Jeong-Min, menyuruh gadis itu agar menatap ke arahnya. Dilihatnya mata gadis itu yang masih terbuka, walaupun tidak terlalu lebar. Jeong-Min masih terlihat memegangi dadanya, pertanda bahwa rasa sakit di sana masih terasa.
Jong-In sama sekali tidak melihat air mata di mata Jeong-Min. Ya, karena Jeong-Min adalah gadis yang kuat. Jong-In memercayai itu. Yang Jong-In tahu, Jeong-Min hanya menangis saat gadis itu mengingat mendiang ibunya. “Jeong-Min~a,” panggil Jong-In pelan. “Sampai kapan kau akan seperti ini terus?” tanyanya kemudian.
Jeong-Min lalu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh Jong-In. Napasnya terdengar tidak teratur. “Sampai aku mati,” Jeong-Min menjawab. “Jong-In~a ... apa kau tahu, aku sering bertanya kepada Tuhan. Kenapa Tuhan tidak cepat-cepat mengambil nyawaku? Apa Tuhan ingin aku merasakan lebih lama lagi penderitaanku ini? A-aku sebenarnya sudah tidak kuat lagi. Aku sangat ingin pergi menyusul eomma ....”
Jong-In menutup matanya dalam-dalam. Tangannya terangkat untuk memeluk gadis yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Dia tahu, bahkan sangat tahu, betapa menderitanya Jeong-Min selama ini. Oleh karena itu, dia selalu ada untuk Jeong-Min kapan pun gadis itu membutuhkannya. Sekalipun harus membolos kuliah.
Tak terasa, air mata Jong-In tiba-tiba saja menetes. Terlalu miris rasanya jika ia sudah mengingat tentang Jeong-Min. Jeong-Min yang malang, Jeong-Min yang kelihatan kuat namun sebenarnya rapuh, dan Jeong-Min yang sangat merindukan kasih sayang seorang ibu. “Jangan pergi ... aku sangat menyayangimu ....”
Jeong-Min sudah tak bersuara lagi. Dia tak menanggapi ucapan Jong-In barusan. Pemuda itu pun kemudian melepaskan pelukannya. Mendorong bahu Jeong-Min, dan menidurkannya pada jok di sebelahnya. Ya, gadis itu pingsan. Suatu hal yang sudah sering terjadi dan Jong-In lihat. Pemuda berkulit tan itu sudah tidak kaget lagi.
Jong-In menatap wajah Jeong-Min dalam. Ingin rasanya ia membawa gadis cantik itu ke rumah sakit. Namun, sepertinya hal itu sia-sia saja. Jong-In pernah dua kali membawa Jeong-Min ke rumah sakit, dan setelah sadar dari pingsannya, gadis itu selalu memberontak dan mencoba untuk kabur dari sana.
Jong-In lalu menyalakan mesin mobilnya, dan kemudian mulai melajukannya membelah jalanan yang sunyi itu. Sepertinya mengantar Jeong-Min pulang merupakan keputusan yang paling tepat.
~bad~
Sudah berkali-kali Jong-In menekan bel rumah mewah berlantai tiga di hadapannya itu. Di punggungnya terdapat seorang gadis yang masih enggan untuk membuka kedua kelopak matanya. Pemuda berambut hitam itu sesekali mendengus. Kenapa pemilik rumah lama sekali membukakannya pintu?
Tentu saja lama. Ini sudah lewat tengah malam, di mana orang-orang sudah pada beristirahat dari segala rutinitasnya di siang hari. Jong-In tidak mempermasalahkan hal itu. Karena, ini bukan pertama kalinya dia membawa pulang gadis di gendongannya itu larut malam. Sudah sering terjadi.
Kriet
Akhirnya, Jong-In bisa bernapas lega saat pintu gerbang yang terbuat dari besi itu ada yang menariknya. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan sebuah piyama terlihat. Seorang wanita yang selalu menampilkan ekspresi wajah dinginnya di hadapan Jong-In.
Jong-In
Wanita itu lagi. Tsk. Kenapa selalu dia yang membukakan pintu untukku dan juga Jeong-Min? Apa dia tidak tidur?
Wanita itu menatapku dingin, seakan-akan aku adalah musuh bebuyutannya. Aku pun balas menatap dia dingin. Tak ada gunanya juga membalasnya dengan senyuman.
“Kau lagi,” kata wanita itu padaku. Aku hanya diam saja, malas untuk menanggapinya. Tapi, tidak tahu kalau nanti. Biasanya, semakin lama ucapan wanita itu semakin tajam.
Aku melihat wanita itu sedang melihat ke arah Jeong-Min yang sementara kugendong. “Sampai kapan kau akan terus membuat Jeong-Min menjadi anak yang bengal?” ucap wanita itu lagi.
Aku mendesah. Ingin sekali rasanya aku mengumpat sekasar-kasarnya tepat di depan wajah wanita itu. Namun sayang, aku masih memiliki batas kesabaran dan sopan santun yang sudah diajarkan oleh appa dan eomma selama ini. Jadi, tidak mungkin aku membuat malu mereka dengan berbuat tidak sopan di hadapan orang yang lebih tua.
“Kau seharusnya mengubah Jeong-Min menjadi anak yang baik, bukan malah mengubahnya menjadi anak yang buruk!” Wanita itu bercerocos lagi.
Aku menghela napas panjang. Oh, tak tahukah dia kalau aku sudah mulai merasakan keram di tanganku karena menggendong Jeong-Min?
“Ajeomma¹!” Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan hal yang bisa kusebut ‘musibah’ ini agar aku bisa membawa Jeong-Min ke kamarnya. “Apa Ajeomma selama ini tidak pernah bercermin, hah? Apa selama ini Ajeomma selalu bersikap baik kepada Jeong-Min? Apa Ajeomma selama ini sudah memberikan kasih sayang kepada Jeong-Min selayaknya seorang ibu kepada anaknya? Apakah Ajeomma–” (¹ : bibi)
Plak!
Aku meringis saat kurasakan rasa perih yang baru saja mampir di pipi kiriku. Wanita itu sudah menamparku. Aku mendesah dan kemudian menatap wanita itu miris. “Kenapa, Ajeomma? Apa yang aku katakan benar?”
“Kau tak tahu apa-apa tentang keluarga kami,” sanggah wanita itu. Sepertinya dia merasa tersindir.
“Ya, aku mungkin memang tak tahu apa-apa tentang keluarga Ajeomma. Tapi, aku cukup tahu banyak hal tentang Jeong-Min yang mungkin saja tidak Ajeomma ketahui.”
“Jangan bicara omong kosong! Kau hanya sepupunya Jeong-Min, sementara aku adalah ibu tirinya. Jadi, aku yang lebih tahu banyak hal tentang Jeong-Min!” wanita itu bersungut-sungut.
“Oh, ya? Ajeomma tidak sedang bermimpi, ‘kan? Apa aku salah dengar? Ibu tiri? Hh, bahkan Jeong-Min saja tidak pernah mengakui keberadaan Ajeomma.”
“Apa?!”
“Jika Ajeomma tahu banyak hal tentang Jeong-Min, seharusnya Ajeomma tak akan membiarkan Jeong-Min sampai menderita seperti ini.” Aku lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Mengabaikan umpatan wanita itu di belakang. Membawa Jeong-Min ke dalam kamarnya. Jeong-Min yang malang, setidaknya masih ada aku yang menyayangimu di dunia ini.
.
.
.
TBC