Read More >>"> The Presidents Savior (Passion) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Presidents Savior
MENU
About Us  

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Diana berpikir dirinya harus mendaftarkan diri audisi casting di rumah produksi. Di depan ibunya, ia tetap terlihat tenang padahal ketika dirinya sendirian di kamar, Diana mulai menggila. Ia berlari memutari kamar sembari mengutuk namanya berkali-kali. Tindakannya kemarin tidak berterus terang kepada Kapolri Wijaya adalah sebuah tindakan fatal. Informasinya sangat dibutuhkan untuk membantu penyelidikan.

"Kamu nggak ada niatan mau jenguk Eva?" Diana terperanjat di tempatnya mendengar suara lembut Julia.

"Hah?" tanyanya setengah sadar. Pikirannya masih menerawang kejadian kemarin di kantor polisi.

Julia mengembalikan dua majalah bisnis yang baru ia selesai baca di bawah meja TV. "Ibu pikir semenjak makan malam kemarin, kalian berteman."

Bukannya mengingat momen berharga bersama Eva, yang Diana ingat justru wajah menyebalkan Rendra saat ibunya menyebutkan kata makan malam.

"I-Iya sih." Diana menghembuskan napas. "Aku juga pengin ketemu sama dia."

Ibunya mengambil jatah duduk di sebelah Diana dan merangkul putri semata wayangnya itu. "Kalau gitu, nanti malam ikut Mama besuk ke rumah Eva ya."

Dirasa pembicaraan ini cukup penting, Diana pun mengecilkan volume TV yang sebenarnya tak begitu fokus ia tonton. "Ayah nggak ikut? Bukannya Ayah baru pulang dari Brunei besok?"

"Ini khusus pertemuan antar perempuan," bisik Julia.

Diana mengangguk setuju. "Oke."

Keduanya pun menghabiskan sore di ruang keluarga. Memilih untuk menonton acara TV terkenal yang menyuguhkan tontonan berupa pemecahan solusi berbagai macam permasalahan, terutama permasalahan cinta.

***

Tepat pukul tujuh malam, mobil pribadi kepresidenan tiba di rumah yang penuh nuansa modern. Catnya kombinasi antara warna abu-abu dan hitam, halaman rumahnya pun disulap menjadi taman mini dengan kolam ikan memanjang. Seluruh ornamen tidak menimbulkan kesan mewah. Bahkan kata sejuk cocok mendeskripsikan rumah yang didominasi oleh warna abu-abu ini. 

Diana turun dari mobil menyusul langkah ibunya yang telah mendahuluinya. Malam ini ia hanya mengenakan celana jeans berpotongan satu perempat dan sweater hitam polos. Kunjungannya bukanlah kunjungan formal sehingga Julia tidak memaksanya mengenakan baju dari butik langganan mereka.

Julia menekan bel rumah dua kali. Tidak menunggu lama, tuan rumah pun membukakan pintu. "Ibu Julia?" sapa Rani dengan nada antara percaya tidak percaya. Dua wanita itu pun bersalam dengan cara menempelkan pipi kanan dan pipi kiri mereka bergantian. "Eh, Diana juga ikut ya? Lagi senggang?"

Diana mencium tangan Rani sesopan mungkin. "Iya, Tante."

"Ayo, masuk," ajak Rani yang membuka pintu ruang tamunya lebar-lebar.

Julia dan Diana pun duduk di sofa hitam yang disediakan. Seorang asisten rumah tangga langsung mengantarkan dua minuman bersirup untuk mereka.

"Stevi simpan dulu handphone­-nya, salaman dulu sama tamu." Suara Rani menggema di rumah modern itu. Julia dan Diana saling bertatapan canggung menunggu tuan rumah kembali.

Rani datang membawa Stevi yang sedang menarik baju ibunya dari belakang. Stevi menyalami Diana dan Julia, lalu duduk di pangkuan ibunya.

"Tunjukin Diana kamarnya Kak Eva ya," pinta Rani yang membuat Stevi beranjak dari pangkuannya.

"Yuk, Kak," ajak Stevi bersemangat. Penuh maklum, Diana meninggalkan Julia dan Rani mengobrol di ruang tamu. Mungkin keduanya ingin membicarakan sesuatu yang tidak ingin diketahui Diana.

Gadis kecil itu menuntun Diana menuju kamar Eva sambil bersenandung ria. Kakinya sesekali melompat sewaktu berjalan. Ketika mereka sampai di lantai dua, Stevi mengetuk beberapa kali pintu bercat putih yang terletak di dekat tangga.

"Kak Eva.... buka pintunya dong. Ada Kak Diana, lho." Stevi terus mengetuk pintu tanpa henti sampai suara knop pintu dibuka dari dalam.

"Diana?" sapa Eva dengan nada persis seperti yang ibunya gunakan tadi saat menyapa Julia di pintu ruang tamu.

"Eh, hai?" sapa balik Diana bingung. "Apa aku ganggu kamu?"

Eva menggeleng pelan. "Enggak. Ayo, masuk."

"Stevi tinggal dulu ya. Lagi nonton live streaming Wowo," ucap Stevi seraya berlalu menuruni tangga.

"Jangan tidur malem-malem, Dek!" pesan Eva yang tidak dibalas sepatah kata pun oleh Stevi.

Diana sempat tidak sengaja menginjak benang wol tebal berwarna coklat muda hingga membuat pusat lingkaran benang sedikit berantakan. Ia menatap miris kakinya yang suka melangkah seenaknya.

"Sori, agak berantakan." Dengan cekatan, Eva meraih tumpukan kain dan benang wol yang berserakan di lantai kemudian menyimpannya di atas sofa mini.

"Berantakan itu seni," ujar Diana yang mengangkat kedua bahunya.

Mata oriental Diana meneliti kamar Eva. Ia memuji dalam hati kepiawaian Eva menata kamarnya yang meskipun tampak berantakan, tapi entah mengapa penuh kesan nyaman. Mungkin karena warna-warna pastel yang mendominasi, atau mungkin perabotan kamar yang bernuansa vintage.

Pandangan Diana yang semula berputar ke seluruh penjuru kamar, kini fokus pada sebuah sweater berwarna gading yang tampak terabaikan di tepi kasur. "Wow." Mata Diana berbinar, ia mengambil sweater tersebut dan mengelusnya pelan. "Kamu suka ngerajut?"

Eva menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. "Iya."

"Desain kamu unik. Ngikutin trend tapi tetep kental nuansa klasik khas rajutan. It's cool. Ini yang namanya inovasi baru." Diana memuji sweater gading tersebut sambil mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Makasih," balas Eva menunduk malu.

Diana melepas sweater kainnya dan tanpa meminta izin, ia mencoba sweater rajut yang Eva buat. Eva hanya memandangi Diana dari cermin kamarnya.

"Sebenernya, aku tertarik sama dunia fashion. Sejak kecil, aku paling suka dandanin orang, mulai dari make up sampai milihin mereka baju," ungkap Diana yang sesekali membenarkan letak pundak sweater. "Mungkin Tuhan ngasih bakat ini sama aku karena aku lahir di lingkungan yang orang-orangnya cuek sama fashion. Apa lagi, ayah aku."

Ia pun duduk bersila di atas karpet berbulu yang juga di duduki Eva. Meninnggalkan kaca yang sudah menyuguhkan paparan dirinya yang anggun dengan sweater rajutan. "Kamu tahu kan seberapa parah kondisi rambut dia di video yang dulu sempet viral?" bisik Diana.

Eva mengangguk dan tersenyum lebar. Video berdurasi dua puluh detik yang menampilkan kondisi rambut David saat turun dari pesawat pribadinya, menggemparkan warganet selama sepekan lebih. Diana tidak tahu siapa yang mulai merekam dan menyebarkan video itu hingga viral di seluruh media sosial. Ia sempat protes kepada David karena tidak memperhatikan penampilan, tetapi David hanya menanggapi santai dan tidak membawa pusing video yang memperlihatkan dengan jelas rambut tipisnya yang entah mengapa, tiba-tiba terbentuk seperti rambut ala Superman.

"Kamu pernah coba publish karya kamu?" tanya Diana mengalihkan topik dari rambut tipis sang ayah.

"Nggak, aku nggak sampai sejauh itu. Bagi aku merajut itu cuma hobi," balas Eva.

"Kenapa nggak coba?"

Eva menjawab sedikit lama dan Diana mulai menyesal menanyakan hal itu padanya. "Ayah aku udah bilang, habis lulus SMA, aku bakal langsung dikuliahin di California jurusan hukum. Orang-orang hukum nggak butuh benang rajut sama jarum."

Diana menyandarkan kepalanya di kaki ranjang Eva yang cukup tinggi. Permasalahan klasik. Orangtua yang tidak mendukung kegemaran anaknya berdasarkan pada alasan masa depan.

"Memang orang-orang hukum nggak perlu ini, tapi diri kamu sendiri yang butuh," ucap Diana yang merapatkan duduknya dengan Eva. "Orang tua pasti ada baiknya mengatur jalan hidup anaknya. Tapi itu bukan batasan untuk kamu berkarya karena yang dinamakan berkarya itu nggak memiliki batas."

Eva sedikit menganga mendengar kalimat bijak Diana sebelum mengangguk. Bak ia baru menyadari sesuatu yang selama ini ia batasi sendiri. "Kamu bener."

"T-Tapi bukan maksudnya kamu harus menentang keputusan orang tua kamu nguliahin kamu di California. Banyak yang pengin kuliah di luar negeri, kamu salah satu yang beruntung," ralat Diana.

"Aku ngerti kok." Eva kembali mengangguk.

Diana beranjak dari tempat duduknya dan meraih beberapa benang wol serta jarum yang Eva tumpuk di sofa mininya. Ia menyodorkan barang-barang di tangannya kepada Eva dan meminta, "Aku juga mau nyobain, bisa ajarin?"

Eva mengikat rambut pendeknya dan meraih barang-barang yang disodorkan Diana. "Boleh."

Dua anak muda itu kini tengah disibukan kegiatan yang biasanya digemari kaum tua. Sembari merajut, Diana tenggelam pada pikirannya sendiri.

California. Dahulu, ia juga setengah mati ingin pergi ke sana, meninggalkan Indonesia tanpa rasa penyesalan sedikit pun.

***

"Gayanya punk banget, dia ke sekolah mau berantem ya?"

"Mungkin lagi cari muka."

Biasanya, yang dilakukan siswa lainnya saat jam istirahat adalah menyerbu kantin sekolah atau berebut tempat ternyaman untuk menyantap bekal. Berbeda dari siswa kebanyakan, Diana menggunakan jam istirahatnya berpura-pura tidur di kelas. Beberapa temannya yang duduk tepat di depannya, membicarakan dirinya dengan santai. Diana mendengar jelas semuanya, hanya saja ia lebih memilih diam.

Tidak sekali atau dua kali. Diana memang sering dijadikan bahan obrolan murid di SMP-nya. Sayangnya, bukan membicarakan parasnya yang memiliki wajah cantik unik campuran darah Cina dan Ambon. Melainkan membicarakan mengenai penampilan Diana yang sangat mencolok diantara ratusan siswa SMP lainnya.

Jaket kulit dengam taburan sedikit manik-manik tajam selalu membalut seragamnya. Gelang hitam dan cincin warna serupa juga ia pilih menghiasi tangannya. Terkadang ia memakai chooker dengan liontin lingkaran hitam kecil. Sekilas penampilan Diana biasa saja bagi sebagian orang. Tapi bagi teman-teman seangkatannya, penampilannya cukup menganggu meskipun ia tidak pernah mengajak adu jotos atau memalak.

"Orang tuanya kan pejabat. Kurang perhatian sih, jadi dia cari-cari perhatian. Disangka kita mau ngedeketin dia apa kalau dia udah nyentrik gitu?"

Diana menggebrak meja yang mulanya ia jadikan bantal dadakan. Ketiga temannya yang membicarakannya pun seketika mematung. Diana tidak peduli bila yang dijadikan bahan pembicaraan adalah dirinya, sekalipun itu pembicaraan buruk. Tetapi bila sudah menyangkut kedua orang tuanya, Diana tidak terima.

"Punk... nggak selalu hobi ngajak orang berantem. Sama aja kayak lo. Dandannya aja polos tapi ternyata hobinya ngomongin orang," ucap Diana tanpa memikirkan perasaan ketiga temannya, apakah tersinggung atau tidak. "Orang tua gue memang jarang di rumah, tapi dia mendidik gue dengan baik, supaya nggak seenaknya nge-judge orang sembarangan, apa lagi cuma lihat dari penampilan luar doang," lanjutnya yang masih belum puas menyampaikan isi hatinya.

Diana diusia tiga belas tahun, sungguh berbeda dari Diana tujuh belas tahun seperti saat ini. Empat tahun yang mengubah drastis rasa percaya dirinya. Dahulu, ia tidak pernah ingin melepaskan chooker kesayangannya hingga ia tidur, sekarang jangankan mengenakan chooker, satu cincin hitam pun tidak lagi melingkar di jemarinya.

Ketika itu ia masih sangat muda dan hanya ingin menunjukan pada dunia, siapa dirinya. Tapi dunia sekitarnya menolak. Sesungguhnya, menunjukan jati diri tidaklah salah, terkadang memang pandangan tiap manusia berbeda. Namun, bagi Diana, bukan cara pandang orang yang salah. Pengalaman mengajarkan Diana untuk menjaga pandangan orang lain terhadapnya. Meski itu berarti ia kehilangan jati dirinya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (7)
  • leonidas

    🤩🤩🤩🤩

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • yurriansan

    @brainwasher_ hah? Mahluk? Dan aku termasuk mahluku yg d follow. Wkwkwk.

    Mampir juga ya k storyku. Ksih krisanmu disana....

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • brainwasher_

    @yurriansan waw makasih yak, akhirnya sekarang aku bisa follow makhluk di tinlit:') btw, terima kasih sudah mau mampir

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • yurriansan

    tiap chapternya menarik untuk dibaca. di awal udah takut aja, ni bkln pke b. inggris. ehh trnyta bhsa indonesia :D.

    oke bntu jawab nih, cara follow tmn di tinlit. bisa buka dari profil yg kmu kenal misal profil likers kmu. klik aja foto mereka nnti mncul profil dan work. dstu ada plihan kok, untuk follow atau kirim permintaan berteman. semoga membantu...

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • brainwasher_

    @SusanSwansh thank u<3

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • SusanSwansh

    Kereeennn ... Ditunggu next chapternya, ya.

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
Similar Tags
Putaran Waktu
619      421     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
L.o.L : Lab of Love
2786      930     10     
Fan Fiction
Kim Ji Yeon, seorang mahasiswi semester empat jurusan film dan animasi, disibukan dengan tugas perkuliahan yang tak ada habisnya. Terlebih dengan statusnya sebagai penerima beasiswa, Ji Yeon harus berusaha mempertahankan prestasi akademisnya. Hingga suatu hari, sebuah coretan iseng yang dibuatnya saat jenuh ketika mengerjakan tugas di lab film, menjadi awal dari sebuah kisah baru yang tidak pe...
Operasi ARAK
288      198     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
PEREMPUAN ITU
485      324     0     
Short Story
Beberapa orang dilahirkan untuk membahagiakan bukan dibahagiakan. Dan aku memilih untuk membahagiakan.
The Arcana : Ace of Wands
119      104     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
KAU, SUAMI TERSAYANG
612      416     3     
Short Story
Kaulah malaikat tertampan dan sangat memerhatikanku. Aku takut suatu saat nanti tidak melihatku berjuang menjadi perempuan yang sangat sempurna didunia yaitu, melahirkan seorang anak dari dunia ini. Akankah kamu ada disampingku wahai suamiku?
An Angel of Death
321      198     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
The Best I Could Think of
486      343     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
My Reason
598      385     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."