Read More >>"> The Presidents Savior (Stay) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Presidents Savior
MENU
About Us  

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS. 
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

"Diana, beberapa teman sekelas kamu ada yang mengeluh tentang gaya berpakaian kamu yang...." Guru muda itu sengaja memanjangkan nada di akhir kalimatnya. Memberikan waktu untuk berpikir supaya gadis tiga belas tahun yang duduk di hadapannya ini tidak tersinggung dengan penyampaiannya. "....tidak sewajarnya dipakai anak-anak perempuan yang lain."

Diana mengernyit mendengar hasil berpikir beberapa detik Bu Elis—guru BK kelasnya. "Saya wajar kok, Bu. Rok saya tidak di atas mata kaki, saya selalu memakai sepatu hitam sesuai aturan, tidak menggunakan make up berlebihan."

Bu Elis mengembuskan napas panjang. "Ibu nggak melarang kamu menyukai hal yang kamu suka, tapi Ibu mohon dengan sangat, coba deh pakai sesuatu yang biasanya dipakai teman-teman kamu yang lain." Wanita itu mencoba berbicara sesantai mungkin. "Menurut Ibu, aksesoris yang kamu pakai cukup berlebihan untuk di sekolah ini, Diana."

"Masa iya, Bu?" tanya Diana masih tidak percaya.

Jemari Bu Elis membelai rambut lurus Diana. "Iya, Sayang," ucap Bu Elis lembut. "Oh, ya. Diana, berat badan kamu akhir-akhir ini naik ya?"

Pertanyaan Bu Elis membuat Diana bingung karena meloncati permasalahan utama. "Saya aja nggak sadar berat badan saya naik."

Bu Elis bangkit dari tempat duduknya dan merangkul Diana dari belakang. "Kamu bisa jujur sama Ibu. Jangan takut." Kata-kata Bu Elis begitu ambigu, Diana semakin bingung untuk menanggapi. "Apa benar kamu hamil?"

Diana menahan napasnya, tenggorokannya terasa sakit. "Hamil?" katanya setengah berteriak. "Kenapa Ibu bisa bilang aku hamil?"

Bu Elis mengelus punggung Diana yang sekarang naik turun dengan cepat. "Ibu dapat kabar dari teman-teman kamu. Mereka curiga kamu hamil karena melihat bentuk badan kamu yang makin gemuk. Kehamilan di usia kamu benar-benar sensitif jadi andaikan hal itu benar, pasti kamu menyembunyikan bukti dan nggak mau ada orang lain yang tahu."

"Kenapa Ibu percaya sama mereka?!" Spontan, Diana berdiri dan langsung menghadap guru BK-nya itu. "Gara-gara selera saya berpakaian kayak berandalan apa saya juga bertingkah tanpa aturan?"

"Ibu nggak percaya sama mereka, makanya Ibu tanya langsung sama kamu." Bu Elis menggelengkan kepala sambil terus meraih Diana. "Kamu tenang ya, pasti Ibu bakal luruskan semuanya."

Diana ingin membanting apa saja yang ada di depannya, tapi ia tidak ingin bertindak bodoh. Pelampiasan emosi bukan jalan keluar dari salah sangka yang ia alami. Ia kembali duduk di kursinya dan memegangi kepalanya yang terasa berat.

"Tunggu sebentar," pinta Bu Elis seraya berlalu dari hadapan Diana. Guru berambut ikal itu kembali membawa cardigan berwarna putih. Ia memakaikan cardigan tersebut di tubuh Diana tanpa meminta izin dan Diana pun hanya menurut karena seluruh sarafnya lemas.

"Nih, coba lihat." Bu Elis menuntun Diana berdiri di hadapan kaca yang dipasang vertikal di salah satu sisi tembok ruangan konsultan. "Kamu cantik, lho."

Diana melihat pantulan banyangannya di depan cermin. Dan ia merasa itu bukanlah dirinya. "Makasih," balas Diana pelan.

Bu Elis merangkul Diana santai. Bak ia sedang merangkul kawan akrabnya. "Orang-orang sukses banyak mengatakan menjadi berbeda itu sebuah kewajiban. Tetapi bukan maksud mereka itu berbeda dalam konteks melenceng. Tapi berbeda pemikiran dalam menuangkan ide." Ia menyelipkan sebuah kertas ke saku rok Diana. "Surat ini tolong kasih orang tua kamu lalu tanda tangani. Lusa kumpulkan lagi sama Ibu."

Diana mengangguk seperti hendak mengikuti apa yang diperintahkan Bu Elis. Padahal yang ada dalam pikirannya saat ini adalah meminta Erik menandatangani surat itu dan memaksa kedua orang tuanya untuk menyetujuinya meninggalkan sekolahnya. Meninggalkan lingkungannya. Meninggalkan Indonesia.

***

"Kamu yakin mau pilih sekolah itu?" Julia sudah menanyakan hal ini berkali-kali pada Diana. Dan Diana selalu menjawab jawaban yang sama.

"Yakin," katanya tegas.

"California jauh dari Indonesia. Umur kamu juga masih masa-masa labil, takutnya kamu tinggal di sana seenaknya. Kalau kamu sekolah di sini, Mama sama Ayah masih bisa ngikutin perkembangan kamu secara langsung."

California High School of Art and Design adalah pilihan Diana sebagai tempat ia melewati masa SMA-nya. Sebenarnya, ia meminta Julia memindahkannya tahun depan, tetapi Julia menolak karena tahun depan Diana menginjak kelas tiga SMP dan keputusan itu sungguh disayangkan.

"Mau aku sekolah di Indonesia juga, aku jarang ketemu Ayah sama Mama," celetuk Diana ringan sebelum memasukan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

"Diana!" David menggebrak meja keras. Julia seketika meletakan sendok yang hendak menghampiri mulutnya, sementara Diana menatap ayahnya datar sambil mengunyah. "Cepat habiskan makan kamu, Ayah mau bicara."

Sepanjang lima belas menit ke depan, mereka makan dalam diam. Tak ada yang melanjutkan obrolan dan Julia benar-benar menyesal mengisi topik makan malam dengan obrolan keputusan Diana memilih SMA di California. Sebagai keluarga kecil, mereka jarang makan malam bersama. Julia sibuk dengan pengabdiannya di daerah-daerah terpencil, David sibuk mengurus pekerjaannya dan Diana menyibukan diri agar tidak merasa menunggu.

***

David mengajak Diana menuju rooftop di rumah mereka. Tanpa sepengetahuan keduanya, Julia membuntuti dari belakang. Julia percaya David tidak akan menyakiti Diana semarah apa pun pria itu. Julia mengenal persis siapa David. Hanya saja, naluri seorang ibu, pastilah selalu ingin mengetahui apa pun mengenai keluarganya.

"Apa yang kamu kejar di California?" Tidak melakukan basa-basi, David pun menghakimi Diana.

"Jurusan desain di sekolah itu bagus," jawab Diana santai, kedua tangannya mengeratkan jaket tipis yang selalu ia kenakan ketika tidur.

"Selain itu?" tanya David.

Diana memutar-mutar bola matanya mencari alasan lain. "Suasananya beda."

"Selain itu?"

Alis Diana berkerut. Ia tidak menyukai ini. Seolah dialah yang paling bersalah. "Banyak konser musik di sana."

"Selain itu?" kejar David.

"Maksud Ayah apa sih?" Diana berdecak.

"Selain itu?" paksa David yang mengetahui Diana menyimpan tujuan tertentu.

Udara malam memang cukup dingin, mungkin ada benarnya David memilih rooftop karena atmosfer panas sekarang tengah menyelimuti mereka.

"Lingkungan pergaulannya yang lebih bisa menghargai aku," kata Diana pada akhirnya, meskipun tidak beniat terus terang sepenuhnya kepada sang ayah. "Cuma gara-gara kesukaan aku beda dari temen-temen aku yang lain, mereka semua jadi nggak mau berteman baik sama aku. Apa suatu hubungan itu nggak boleh ada perbedaan? Aku nggak maksa mereka harus suka sama gaya atau kesukaan aku. Tapi kenapa mereka seolah-olah risih sama kehadiran aku?"

Setelah berbicara panjang, Diana menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya. David pun keluar dari rooftop tanpa kata. Diana mengira, ayahnya dan dia akan perang dingin selama beberapa hari ke depan. Tetapi David kembali ke rooftop dan menyodorkan handphone-nya pada Diana.

"Coba lihat ini." David menggulir layar handphone-nya perlahan.  "Ini SMK Ambrastha Jakarta. SMK nomor satu di Indonesia dan masuk sekolah kejuruan terbaik peringkat kedua di Asia Tenggara. Langganan juara lomba desain sama teknologi. Kalau kamu cari sekolah bagus, di Indonesia juga ada."

David keluar dari halaman browser dan memasukan handphone-nya ke dalam saku. "Kamu mau suasana berbeda yang gimana sih? Rumah deket pantai? Di tengah hutan? Di atas gunung? Di Indonesia jangankan pantai, hutan, gunung, apa aja ada. Pilih yang modern, tinggal di Jakarta, mau liburan bentar, Bogor sama Pulau Seribu deket! Nggak suka? Masih ada empat pulau besar lain."

Diana mengembuskan napas panjang mendengar petuah David. Pikirannya masih keras enggan mengalah.

"Konser musik," tekan David yang mengurutkan alasan-alasan Diana tadi. "Indonesia punya banyak aliran musik. Minggu ini nonton konser musik pop, lusa mampir dangdutan di kampung sebelah, minggu depan nonton karawitan di Gedung seni."

Diana ingin mengatakan bahwa selera musiknya belum David sebutkan. Tapi ia tidak mau menyela ketika ayahnya memberi nasihat. Ia sudah hampir membentak David dan ia tidak menambah runyam suasana.

"Apa kekurangan Indonesia? Masih belum kaya? Perlu ditambah budaya? Perlu ditambah bahasa lagi? Indonesia itu kaya. Tapi kenapa banyak orang merasa selalu kekurangan hidup di negara semakmur ini?" Ucapan David barusan seperti bermonolog, tidak terjurus hanya untuk anaknya saja. "Dan yang membuat Indonesia makmur itu karena perbedaan. Pantai dan pegunungan, jelas beda. Tapi berkat perbedaan itu, Indonesia bisa menjadi negara nomor satu di dunia yang memproduksi kelapa dan cengkeh. Cina dan Ambon itu beda, tapi bisa menghasilkan keturunan yang sipit dan eksotis yang nggak bisa dimiliki negara lain."

Diana menatap mata David ragu-ragu. Lewat sorot mata, ia membaca apakah David tengah mencoba bercanda atau tidak karena yang dimaksud Cina dan Ambon jelas adalah dirinya.
"Islam dan Kristen itu beda, tapi sama-sama membuat kita libur di hari perayaan mereka," lanjut David yang kemudian tersenyum canggung.

Diana mendengus sembari menggelengkan kepalanya. Keduanya pun mengakhiri perdebatan tanpa kata atau aba-aba. Suasana panas luruh dengan sendirinya.

Hari itu meskipun tak disaksikan siapa pun, Diana mengucap sumpah. Ia tidak akan meninggalkan Indonesia. Ayahnya benar. Negara ini membuatnya bangga dengan kekayaannya tetapi ia tidak pernah menyadarinya. Pemikirannya terlalu sempit berputar di lingkungan sekolahnya saja. Masih banyak sudut di negara ini yang bisa ia jadikan sandaran menumpu kehidupan yang ia kehendaki. Dan perbedaanlah yang justru dibutuhkan negara ini.

"Ayah juga mau bilang sama kamu," kata David memulai obrolan baru. "Singkatnya, rekan-rekan kerja Ayah, minta Ayah buat mencalonkan diri jadi presiden tahun depan."

"Oh, presiden ya." Diana tampak santai melontarkan kata presiden. Seolah jabatan Presiden adalah jabatan yang bisa dimiliki semua orang dan tak perlu dibanggakan. "Aku nggak bisa bayangin deh, Ayah nanti jadi orang yang dikelilingi ajudan. Padahal muka sama badan Ayah lebih pantes jadi ajudan."

Tawa David pecah mendengar celetukan sang anak. Perawakannya tinggi dan cukup berisi, memang cocok menjadi seorang ajudan. "Sebenernya, Ayah juga nggak berharap banyak sih."

"Terus? Coba-coba? Kayak pedagang baso boraks gitu?" tanya Diana. "Awalnya sih coba-coba, tapi ke sini malah keenakan." Ia menirukan suara cempreng khas yang biasanya digunakan untuk menyamarkan identitas seseorang.

"Rekan kerja Ayah mengajukan Ayah nggak setengah-setengah! Harusnya Ayah juga nggak boleh memulai sesuatu coba-coba. Banyak hal yang bisa didasari dengan coba-coba, tapi buat jadi pemimpin, istilah coba-coba itu nggak pantas. Memangnya hobi."

Tangan David mengacak-acak rambut panjang Diana yang terurai. "Kamu banyak ngomong ya sekarang. Belajar dari mana?"

"Dari Mama," balas Diana.

"Diana! Mama denger," teriak Julia dari dalam rumah.

Ayah dan anak itu saling pandang sebelum menyusul Julia yang sudah berlari malu karena ketahuan mengintip pembicaraan keluarganya diam-diam.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (7)
  • leonidas

    🤩🤩🤩🤩

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • yurriansan

    @brainwasher_ hah? Mahluk? Dan aku termasuk mahluku yg d follow. Wkwkwk.

    Mampir juga ya k storyku. Ksih krisanmu disana....

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • brainwasher_

    @yurriansan waw makasih yak, akhirnya sekarang aku bisa follow makhluk di tinlit:') btw, terima kasih sudah mau mampir

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • yurriansan

    tiap chapternya menarik untuk dibaca. di awal udah takut aja, ni bkln pke b. inggris. ehh trnyta bhsa indonesia :D.

    oke bntu jawab nih, cara follow tmn di tinlit. bisa buka dari profil yg kmu kenal misal profil likers kmu. klik aja foto mereka nnti mncul profil dan work. dstu ada plihan kok, untuk follow atau kirim permintaan berteman. semoga membantu...

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • brainwasher_

    @SusanSwansh thank u<3

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • SusanSwansh

    Kereeennn ... Ditunggu next chapternya, ya.

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
Similar Tags
Just Another Hunch
411      272     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
Pulpen Cinta Adik Kelas
438      251     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Lagu Ruth
378      267     0     
Short Story
wujud cintaku lebih dari sekedar berdansa bersamamu
Be Yourself
472      311     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
G E V A N C I A
780      424     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Bintang Biru
2358      830     1     
Romance
Bolehkah aku bertanya? Begini, akan ku ceritakan sedikit kisahku pada kalian. Namaku, Akira Bintang Aulia, ada satu orang spesial yang memanggilku dengan panggilan berbeda dengan orang kebanyakan. Dia Biru, ia memanggilku dengan panggilan Bintang disaat semua orang memanggilku dengan sebutan Akira. Biru teman masa kecilku. Saat itu kami bahagia dan selalu bersama sampai ia pergi ke Negara Gingsen...
Say Your Love
447      330     2     
Short Story
Dien tak pernah suka lelaki kutu buku sebelumnya. Mereka aneh, introvert, dan menyebalkan. Akan tetapi ada satu pengecualian untuk Arial, si kutu buku ketua klub membaca yang tampan.
Terulang dan Mengubah
420      300     3     
Short Story
Seorang pekerja terbangun dan mengalami kejadian yang terulang-ulang. Bagaimanakah nasibnya?
Tak Segalanya Indah
632      416     0     
Short Story
Cinta tak pernah meminta syarat apapun
Accidentally in Love!
357      230     1     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...