BAGUS KESIANGAN. Seharusnya pukul tujuh pagi tadi dia sudah sampai di bandara Raden Intan. Tapi karena pesawat delay selama dua jam, dia baru sampai di bandara pukul sembilan. Tak sempat pulang kerumah, Bagus langsung menuju ke sekolah sesuai alamat yang diberikan Fandi, dengan menaiki taksi.
"Permisi Pak .."sapa Bagus pada satpam bagian depan sekolah.
Seseorang dari balik pos yang berbentuk kotak dengan kaca jendela hitam, keluar. "Ada yang bisa dibantu, Mas?"
"Saya Bagus. Kemarin saya sudah kirim CV ke email sekolah ini, dan katanya pagi ini saya bisa langsung wawancara."
Satpam itu memperhatikan Bagus dari ujung kepala sampai ujung kaki. Melihat penampilan Bagus, rambut lumayan panjang potongan ala-ala tokoh komik, pakai kalung rantai yang panjang menjuntai kebawah. Muka kucel belum mandi, bedanya tercium wangi parfum saja. Dan, apa itu yang dibelakangnya?
Sebuah tas besar yang nampak penuh sesak, kamera menggantung di leher. Berantakan sekali Bagus pagi itu. Apa sekolah mau cari satpam baru ya? pikir si satpam.
"Tunggu disini sebentar ya Mas, nanti saya lapor ke kepala sekolah dulu."
Bagus mengangguk. "Baik, Pak. Makasih," katanya.
Bagus melepaskan tas yang menyangkut dipunggungnya. Ia letakkan dibawah, kemudian ia duduk di sebuah bangku yang ada di samping pos satpam. Sambil menunggu, dia sandarkan tubuhnya yang penat ke tembok..
***
"Permisi Pak," si satpam, mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Sunarto, selaku kepala sekolah memperisilahkan Beno-satpamnya, itu masuk.
"Pak, ada tamu di depan, katanya sudah kirim CV dan hari ini mau wawancara," ucapnya saat berhadapan langsung dengan Kepala Sekolah.
Sunarto, mengernyitkan dahinya berpikir sejenak dan mencoba mengingat. "Ooh," katanya setelah berhasil mengingat sesuatu. "Itu calon guru baru. Suruh masuk aja Pak."
"Guru?" Beno nampak bingung, "bukan calon satpam ya, Pak?"
"Satpam gimana?"tanya Sunarto heran. "Pak Malik kan resign, jadi kita butuh guru untuk gantiin beliau."
"Ohh gak, Pak, " Beno tak memberi penjelasan. "Saya panggilin dulu orangnya, Pak, nanti biar bapak ngobrol langsung."
Beno tergopoh-gopoh berlari, menyusul Bagus yang menunggu di depan. "Mas,” katanya, saat sudah menjumpai Bagus, “"diminta langsung ke ruangan kepala sekolah."
Bagus berdiri dan merapihkan sedikit kemejanya yang tak dikancing sama sekali itu dan menampilkan kaos distro mahalnya.
"Makasih, Pak!" katanya seraya melangkah masuk.
"Sama-sama."
Ya ampun, mau jadi guru kok gayanya begitu? Beno jadi bertanya-tanya sendiri.
***
Bagus merasa seperti alien. Semua orang memperhatikannya di sekolah. Hampir semua orang yang ditemui Bagus, terperangah tiap melihatnya. Ada dua kemungkinan yang dipikirkan Bagus.
Pertama, mereka mungkin belum pernah melihat guru setampan Bagus. Kedua, penampilan Bagus yang berantakan dan kucel. Bahkan sebetulnya Bagus merasa lapar daritadi.
"Pak Bagus," Sunarto menyadarkan Bagus dari lamunannya. Bagus yang sedang duduk di ruang kepala sekolah sgera menoleh saat di panggil. Sunarto menunjuk seseorang yang baru saja datang. Seorang guru perempuan yang usianya kira-kira sekitar lima puluh tahunan. "Bu Fatma, Ini namanya pak Bagus, rencananya dia yang akan menggantikan Pak Malik."
Disaat Fatma masuk tadi, Bagus sudah mencium bau minyak angin dari tubuhnya. Entah berapa kali itu di gosok, baunya bercampur dengan pengharum ruangan yang beraroma citrus. Ketika itu dihirup dengan perut kosong, membuat Bagus merasa pusing. Fatma menjulurkan tangan ke arah Bagus, dan Bagus menyambutnya. "Saya Fatma, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, sekaligus guru PKN."
"Bagus," kata Bagus singkat.
Fatma mencari tempat duduk, kebetulan tempat yang kosong ada di depan Bagus. Itu jaraknya dekat sekali dengan Bagus.
"Jadi, Pak Bagus," Sunarto melanjutkan perbincangan sebelumnya. "Dari hasil tes wawancara dan juga CV yang sudah Bapak kirim. Saya setuju, Bapak untuk bekerja disini menggantikan Pak Malik sementara."
Mendengar penjelasan dari Sunarto, Bagus tersenyum puas. "Makasih, Pak."
"Kalau begitu, Bapak harap bisa datang ke sekolah besok. Supaya nanti bu Fatma bisa bantu jelaskan."
Bagus menggarisbawahi kata BESOK. Syukurlah itu berarti dia bisa menghindar dulu dari Fatma. Perutnya yang kosong tak dapat menahan serangan minyak angin dari Fatma.
"Atau, kalau pak Bagus mau sekarang. saya juga bisa, mumpung siang ini saya kosong."
"Jangan, Bu!" Bagus menolak. "Mmmh, makasud saya besok aja. Supaya saya lebih ada persiapan."
"Ohh. Memangnya pak Bagus ini darimana? Sampai bawa tas besar begini?"
Darimana? Bagus jadi bertanya pada dirinya sendiri. Jika dia mau menceritakan kejadian yang sebenarnya, bisa sampai sore dan mungkin dia tidak akan diterima bekerja disini.
"Habis liburan di Osaka."
Fatma mengangguk perlahan.
"Gimana Bu? Sesuaikan untuk gantiin Pak Malik? Liburannya aja dari Osaka."
"Iya, Pak,” Bu Fatma menyetujui. “Yang penting besok kalau mengajar, bajunya yang rapih ya, Pak. Kemejanya dikancing Pak sampai ke atas. Kalau bisa aksesoris yang dipakai jam tangan aja, gelang sama kalungnya dicopot dulu."
Bagus memperhatikan sendiri dirinya. Akhirnya dia paham kenapa semua memperhatikannya daritadi. Penampilan begini, memang mirip tukang palak ketimbang guru.
***
Bagus memesan taksi online untuk pulang ke rumah. Butuh lima belas menit perjalanan untuknya bisa sampai di rumah. Dia tinggal di perumahan elit daerah Teluk Betung-jantung kotanya Bandar Lampung sesuai pesanan, taksi online tersebut berhenti di sebuah rumah yang berpagar putih.
Tak terlalau besar, namun cukup asri dengan banyaknya tanaman yang tumbuh disekitarnya. Bagus turun dari mobil usai membayar ongkosnya.
Setelah turun dan berada tepat di depan pagar rumahnya, dia guncang gagang pintu pagar rumahnya berulang-ulang supaya menimbulkan bunyi. Kebetulan, Faiz-adik Bagus yang berumur sembilan belas tahun, sedang berkebun di area halaman samping rumahnya. Dia tengah memindahkan tanaman anggrek bulan milik ibunya ke pot yang lebih besar. Supaya tanaman tumbuh subur, mereka juga menambahkan pupuk kompos kedalam pot.
Faiz merasa terusik mendengar suara bising dari depan, tapi malas untuk mencari tahu karena sedang tangung. "Siapa, Gun?" tanya Faiz pada Anggun adiknya.
Anggun mengangkat kedua pundaknya, "gak tau," jawabnya.
"Liatin dulu sana kedepan."
Anggun yang tengah menikmati waktunya bermain boneka di samping rumah, terpaksa menuruti perintah Faiz. Dia melangkah kedepan, boneka barbie-nya turut serta.
"Mas Bagus?" katanya diiringi senyum, setelah melihat kakaknya ada di luar pagar.
"Iya. Buka cepetan!"
Anggun membuka kunci gerbangnya. "Makasih ya," kata Bagus seraya mengusap lembut kepala adiknya. Anggun mencium tangan Bagus, dan memeluknya di bagian kaki.
"Kata Papi, Mas Bagus lama pulangnya."
"Mas Bagus ada kerja'an," jawab Bagus seraya menuntun adiknya masuk. "Papi mana?"
"Ada. Lagi di ruang kerjanya."
"Oh!" hanya itu yang Bagus katakan.
Sayup-sayup Faiz mendengar suara mirip suara Bagus, kakaknya. Namun, ia tak yakin sebelum mengeceknya. Ia tinggalkan kegiatannya mengaduk-aduk pupuk kompos untuk memastikan siapa yang datang.
"Loh, Mas Bagus pulang?" tanyanya setengah tak percaya.
Ada untungnya juga Bagus menerima tawaran Fandi. Dengan menerima pekerjaa'an sebagai guru, setidaknya Bagus punya alasan ketika keluarganya terus bertanya kenapa dia pulang.
"Iya. Ada kerja'an soalnya," jawab Bagus. Sama seperti Anggun, Faiz- pun mencium tangan Bagus, tanda menghormati.
"Ih, kok bau?" tanya Bagus seraya mengendus tanganya setelah di sentuh tangan Faiz. Bagus mengendus ulang tangannya, "mmh.." katanya semakin marasakan bau. "Abis ngapain sih, kok bau gini?"
Faiz mengendus juga tanganya, lalu dia menyeringai. "Hee, abis berkebun di samping tadi."
"Terus?!"
"Abis ngaduk kompos pake' tangan."
"Iyak! Jorok gak cuci tangan dulu. itu kan poop sapi!" kata Bagus seraya mencari selang air untuk membasuh tangannya.
Faiz merasa bersalah, dan demi menebusnya dia mau membantu Bagus membawakan tasnya.
"Eit... Shhh.." Bagus justru menghalau Faiz. "Biar Mas sendiri aja yang bawa."
"Ya udah, kalau gak mau dibantu," Faiz meninggalkan Bagus dan melanjutkan berekebunya kembali.
Bagus masuk ke dalam rumah. berjalan mengendap supaya papi-nya tak sadar kalau dia sudah pulang. Setidaknya sampai nanti dia sudah ganti baju dan mengisi perut. Supaya dia bisa kuat kalau nanti mau ditertawakan.
Kamar Bagus berada di lantai dua. Ia naiki anak tangga secara perlahan. Kebetulan, ruang kerja papi tepat berada di bawah anak tangga.
Langkah Bagus terhenti di separuh jalan, ketika mendengar suara laki-laki berdehem. Bagus menoleh perlahan, Ahhh sial! Bagus mengumpat. Ia dapati papi-nya sudah berada di bawah memandangnya. Sebelah alisnya naik ke atas, seolah isyarat "benar-kan dugaanku". Siap atau tidak, Bagus harus menerima jadi bahan tertawaan hari itu.
@yurriansan sama sama ... ππ
Comment on chapter TIGA SEKAWAN