8. Sebuah Lagu Penenang
Claire memasuki lingkungan sekolah dengan hati riang gembira. Kenta mengantarnya pagi ini, bukan Genta. Kakaknya yang pemalas ini meluangkan waktu tidurnya untuk mengantar adik kecilnya. Genta yang sering mengganggunya pun sedang sakit karena makan es krim di tengah malam.
"Apa yang lebih baik daripada Kak Genta yang sakit akibat perbuatannya sendiri?" gumamnya. Senyumnya mengundang banyak tatapan dari murid-murid di sekelilingnya.
"Heh, ikut kami." Beberapa suara yang menyeramkan menusuk telinga Claire.
"Ada apa, ya?" tanya Claire sambil berjalan mundur. Ada firasat buruk saat berada di tengah orang-orang ini. Sebuah tubuh yang besar menghadang Claire, tak mengizinkannya pergi.
"Gue dengar kemarin lo pergi bareng Varo. Apa benar?" Seorang gadis dengan rambut yang diwarnai cokelat berbicara sambil memutar-mutar sebilah pisau lipat.
Detak jantung Claire tak karuan lagi. Pertama kalinya dia dihadang, pertama kalinya pula dia mengalami kejadian menyeramkan seperti ini. "Lala!" jeritnya dalam hati. Dia tahu Lala adalah seseorang yang bergerak dalam kegiatan membully para pembully.
"Tidak berniat untuk menjawab?" tanya gadis itu. Sosok yang besar itu mengangkat tubuh Claire ke sebuah gudang kosong yang sangat sempit. Ukurannya mungkin hanyalah 1 kali 2 meter.
"Kalian siapa? Kenapa melakukan ini padaku?!" jerit Claire ketakutan. Tangannya menggedor-gedor pintu gudang yang sudah terkunci.
"Kami adalah geng pecinta Varo. Tugas kami adalah menghabisi orang-orang yang mendekati Varo untuk tujuan yang tidak penting. Hanya kamilah kandidat calon pacar Varo," kata salah seorang dari kelima orang yang tadi menyeretnya kemari.
"Aku tidak mendekati Varo!" Claire masih menjerit kencang.
"Maaf, gue tidak peduli. Jika kami melihat lo pulang bersama Varo ataupun berbicara beberapa kalimat dengannya, lo sudah masuk ke dalam daftar hitam kami. Sampai jumpa, loser." Kawanan pecinta Varo itu pergi meninggalkan Claire yang masih terkunci di dalam gudang yang gelap.
"Hah, hah." Napas Claire sudah tak lagi beraturan. Dia terduduk sambil memegangi lututnya. Peluhnya keluar dengan deras, apalagi pada bagian kepala. Badannya bergetar hebat. "Tidak, jangan. Jangan datang!"
Claire menangis hebat.
πππ
Lala memainkan pensil dengan memutarkannya di jari tangan. Beberapa temannya yang duduk di belakangnya membisikkan sesuatu sambil tertawa kecil. Lala mengacungkan jempol. Guru geografi sedang mengajar, guru paling membosankan di sekolah.
Lala mengambil karet yang diterimanya dari ibu kantin. Sebuah kertas yang diremas menjadi bola seukuran bola golf dililitkan dengan selotip hitam hingga benar-benar erat. Teman Lala yang duduk di belakang ikut membantu.
"Satu, dua, tiga," hitung Lala. Beberapa murid IPS 3 melempari guru geografi itu dengan bola itu. Lantas, sang korban marah.
"Kalian kenapa melempari saya dengan barang-barang tidak berguna ini?!" bentaknya, "perhatikan, dong, penjelasan saya tentang meteoroid, meteor, dan meteorit. Walau seharusnya tidak penting lagi kalian mempelajari pelajaran bertahun-tahun silam, tetap saja kalian harus menghargai orang yang sedang menjelaskan!"
Lala berdiri. "Loh, pak. Kami sedang mendemonstrasikan ketiga hal itu, loh. Bola yang masih berada di tangan kami adalah contoh dari meteoroid yang bergerak bebas di luar angkasa. Saat bola itu dilemparkan, mereka dianggap sebagai meteor yang masuk ke dalam bumi. Ketika mengenai bapak, namanya meteorit karena sudah mencapai tubuh bapak. Kami kreatif, kan?"
"Keluar!" Wajah bapak itu memerah menahan marah. Lala keluar bersama dengan segenap angota XII IPS 3. Tinggal sisa guru geografi itu di dalam kelas. "Saya mengajar siapa kalau kalian keluar semua?! Masuk!"
Seisi IPS 3 masuk kembali. Lala berdiri menyender di bingkai pintu. "Wah, pak. Bapak ternyata orangnya plin-plan sekali, ya. Sekali-kali berikan perintah yang tegas, dong. Jangan diubah di tengah-tengah. Padahal saya kan baru saja senang diberi jam istirahat oleh bapak."
"Kamu! Kamu!" Bapak itu berteriak-teriak sambil menunjuk Lala dengan jari telunjuknya.
"Ada apa, pak?" jawab Lala santai.
"!@)(*&^%$#@(*&^%$#," kata bapak itu berbahasa kasar. Tak tahan lagi dengan kelas itu, dia keluar. Kakinya dihentak-hentakkan dengan kesal. Di dalam pikirannya, hanya ada niat untuk mengajukan surat pengeluaran Lala dari sekolah pada kepala sekolah.
"Terima kasih, Lala!" jerit senang seisi IPS 3.
Lala tersenyum senang karena sudah berjasa bagi kelas itu. "Tapi kenapa ada perasaan aneh? Firasat ini tidak hilang semenjak tadi. Satu-satunya pembuatku berfirasat buruk adalah ... Claire!"
Lala berlari menjauhi kelasnya dan masuk ke dalam kelas Claire yang sedang belajar.
"Ada apa, La?" tanya sang guru yang sudah kenal baik dengan Lala.
"Claire di mana?" tanyanya panik.
"Dia belum masuk ke sekolah. Tapi saat saya tanyakan pada kakaknya, dia sudah diantar ke sekolah," jelas guru itu. Perkataan itu membuat hati Lala tidak enak.
"Firasat ini benar!" Kaki Lala membawanya ke sebuah gudang kosong. Tangisan Claire terdengar saat tinggal beberapa kaki mencapai gudang itu.
πππ
Hitam
Kelam
Menyeramkan
Menakutkan
Claire kecil bergetar di tempatnya saat ini. "Jangan! Jangan pergi." Air matanya mengalir deras dengan tangis tertahan. Keadaan di luar tidak mengenakkan. Dia benar-benar ketakutan.
"Kenapa ini terjadi padaku? Jangan. Tolong!" jerit Claire tertahan. Getaran di badannya menggetarkan pula ruangan kecil tempatnya dikurung. Ruangan 1 kali 1 meter. Lumayan besar untuk anak sekecil Claire, tapi pengap. Napasnya tersengal sekaligus menahan degup di jantung.
"Hah, hah. Mama," tangisnya.
πππ
Claire sudah duduk di ruang kepala sekolah. Lala memanggil Varo yang sedang mengikuti pelajaran olahraga agar membantunya mengangkat Claire ke tempat lain. Namun, sampai sekarang pun tangis Claire belum kunjung berhenti. Tubuhnya masih bergetar dengan hebat sambil bergumam kecil.
"La, apakah Claire sudah lebih baik?" tanya kepala sekolah yang merupakan seorang perempuan. Di tangannya ada sebuah gelas berisi teh hangat. Saat diberikannya pada Claire, tangan sang penerima melempar gelas itu jauh.
"Jangan mendekat!"
Ibu kepala sekolah merasa bingung. "Apa yang harus kita lakukan?"
Varo yang berada di dalam ruang kepala sekolah merasa tidak berguna. Dirinya hanya duduk di pinggir sambil menatap Claire yang bergetar ketakutan. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Claire. Apakah dia punya sebuah trauma akan sesuatu? Mengapa dia tidak berhenti menangis?" gelutnya dengan pikirannya sendiri.
"Halo, Kak Kenta. Tolong datang ke sekolah. Claire menangis dan tidak mau berhenti sejak tadi. Cepat datang," telepon Lala.
Beberapa menit berlalu dan Kenta sampai. "Claire!" serunya. Dia mengeluarkan sebuah flute. Dengan profesionalnya dia memainkan lagu Air on G String dengan merdu. Ruangan kepala sekolah dipenuhi dengan lagu indahnya itu.
Tangis Claire mereda.
"Claire," panggil Kenta. Claire mendongak melihat kakaknya yang sedang mengelus kepalanya. Tangannya bergerak memeluk tubuh Kenta. "Tidak apa. Aku sudah di sini. Jangan takut."
πππ