Axel bertingkah seolah tidak ada yang terjadi apapun semalam. Gilanya! Entah bagaimana aku bisa terlelap di samping laki-laki yang bertelanjang dada setelah menciumku tanpa permisi. Dan kini, saat aku akan membuat sarapan, sejak bangun tidur Axel hanya menekan-nekan remot televisi dan menonton acara-acara manusia. Ia bertingkah dingin seperti biasanya.
Padahal bagiku itu adalah ciuman pertama.
Aku pun akan mengikuti permainannya. Jika Axel menganggap ciuman semalam hanya bagian dari permainannya, maka aku pun akan bersikap seolah ciuman itu tidaklah penting dan spesial.
Setelah menyiapkan sarapan dan Axel ikut menyantap sarapan yang kusediakan bersama. Kami sibuk masing-masing. Axel hanya menonton televisi, aku sibuk menghubungi pihak apartemen yang kusewa dulu dan menanyakan uang sewa yang bisa kutarik kembali. Walaupun aku sudah lebih baik dari hari kemarin, tetap saja masih ada sisa perih mengingat semua tentang ayahku. Aku tetap akan mengambil sisa uang sewa apartemen untuk kusimpan agar kelak ketika ayahku sudah bebas, ia masih bisa hidup dengan uang itu. Lagi pula, tanpa sepengetahuannya, aku memang tidak lagi tinggal di sini. Benar-benar jauh dari yang bisa diperkirakan ayahku.
“Ah, siang ini ya… Baik… Terima kasih sekali lagi, saya akan segera pergi ke sana sekarang… Iya sama-sama, selamat pagi.”
Setelah mengurusi uang sewa tersebut, aku berangkat mengambil jaket hangatku untuk pergi ke kantor penyewaan apartemen di dekat apartemenku dulu.
“Kau mau kemana?”
Axel menghalangiku di depan pintu keluar. Ia pun sudah memakai jas hitamnya.
“Aku harus ke kantor dekat apartemenku dulu.”
“Aku ikut denganmu.”
“Tak usah, cuma sebentar. Waktu makan siang aku akan kembali.”
“Tidak, aku harus ikut.”
Aku berdecak sebal.
“Kau kenapa lagi sih? Protektif sekali, aku tidak akan kabur darimu.”
Meski mengoceh, Axel tetap ikut denganku. Ia tidak berkata apapun dan terus saja mengikutiku tanpa banyak tanya seperti sebelumnya.
****
Setelah mengambil sisa uang sewa lalu menyimpan uang tersebut ke dalam bank, aku hendak kembali ke apartemen. London tidak berubah selama berbulan-bulan aku pergi. Ia tetap sama dengan orang-orang dan arsitektur khasnya. Namun berbeda dengan turis dari dunia vampir ini, bukannya mengikutiku menuju halte bis, Axel justru berdiri di depan etalase sebuah toko elektronik. Aku kembali menghampirinya.
“Kau tahu sekarang manusia sudah jarang menonton televisi.”
“Kenapa? Dari situ kita bisa mendapatkan banyak informasi bukan? Apalagi ketika menontonnya di bioskop.”
“Bioskop itu persoalan lain. Sekarang para manusia bisa mendapatkan berbagai informasi hanya dari sini,” kataku memperlihatkan ponsel yang diberikan Grine kemarin.
“Benda kecil yang selalu ada di saku Grine itu?”
“Iya. Tapi kusarankan kau tidak perlu memilikinya. Aku takut kau akan kecanduan. Ayo kita pulang, di luar dingin sekali.”
Aku berjalan terlebih dulu tapi sepertinya Axel tidak beranjak dari tempatnya.
“Kau mau kencan denganku sekarang?”
“Hah?”
****
Saat makan siang, aku mengajak Axel makan di salah satu restoran di dalam mal besar London. Wajahnya yang selalu tenang dan datar itu membuatku hampir tidak mengerti maksud sesungguhnya. Axel mungkin bisa mengatakan hal-hal romantis lainnya dengan wajah tenangnya itu, padahal jika itu melihat dari sudut pandangku, aku bisa dibuat berdebar olehnya. Terkadang Axel begitu manis dan romantis, kadang ia dingin dan minim emosi. Aku benar-benar penasaran dengan isi kepala dan hatinya.
“Kau sudah selesai memilih?” tanya Axel.
“Aku pesan roti isi tuna dan sup krim. Kau sendiri?”
“Aku ingin ini.”
Axel menunjukkan sebuah gambar di buku menunya.
“Oh itu lobster dan keju.”
“Ini.”
“Pizza ekstra keju.”
“Ini.”
“Cheese cake.”
“Dan ini.”
“Axel!!!”
“Apa?”
“Mau sebanyak apa kau memesan makanan? Memangnya kau akan menghabiskan semua ini?”
Dan kenapa semuanya harus diakhiri dengan keju.
“Selain darahmu yang manis, aku juga suka keju.”
Hah?
“Grine selalu memesankan makanan seperti itu jika kami berada di sini. Jadi pesankan.”
Tadinya aku tidak akan menggunakan kartu ATM Grine, tapi melihat nafsu makan vampir di hadapanku ini sepertinya uang tabunganku tidak mungkin cukup.
“Baiklah, baiklah.”
Aku mengalah. Setelah Axel benar-benar selesai dengan semua pesanannya, aku memanggil pelayan dan menyebutkan sederet pesanan yang sebagian besar di pesan oleh vampir ini. Tak lama setelah itu, pesanan kami datang satu per satu dan memenuhi meja kami. Harusnya tadi aku pergi ke restoran cepat saji saja.
Lalu Axel menyantap makanan yang sudah tersaji. Seperti seorang bangsawan, ia makan dengan rapi dan elegan. Dilihat dari wajahnya yang datar juga tatapan matanya yang tajam, tidak disangka laki-laki ini penyuka keju.
Aku pun menyantap roti isiku. Dan entah dengan alasan apa, Axel menaruh piring yang telah terisi daging lobster yang sudah dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil.
“Ada apa lagi?”
“Kau bilang kita harus membagi kebahagian pada orang lain. Kau mungkin tidak akan merasakan manisnya darahmu sepertiku, tapi sepertinya kau bisa menikmati lezatnya makanan ini.”
Dia selalu mengatakan hal yang berbelit-belit sehingga membuatku harus memutar otak untuk mengerti apa maksudnya. Dan setelah aku mengerti apa yang dikatakannya, wajahku memanas dan jantungku berdegup kencang.
“Terima kasih,” kataku malu-malu.
****
“Aku ingin menonton ini.”
Axel menunjuk sebuah poster film yang sedang tayang di bioskop. Film super hero yang pernah kami bicarakan tempo dulu.
“Ternyata lanjutan film tahun lalu sudah tayang ya.”
“Ayo.”
Axel menarik tanganku memasuki gedung bioskop dan mengantri di depan loket. Sepertinya ia sudah sering menonton film-film di dunia manusia, tidak seperti tingkahnya ketika berada di bis atau di kantor penyewaan apartemen, kali ini di balik wajah tenangnya aku tebak vampir satu ini sedang antusias.
“Para manusia itu selalu datang kemari dengan lawan jenisnya.” Axel membuka suara ketika kami masih menunggu antrian.
“Sudah kebiasaan orang-orang di sini. Lagi pula untuk apa kau mengatakannya. Kau penasaran dengan tingkah para manusia itu? Biasanya jika mereka menonton bersama pasangan artinya mereka sedang—”
“Kencan, kan? Seperti yang kau lakukan bersama Grine lusa kemarin?”
“Hah?”
“Aku juga ingin pergi kencan denganmu, dan mengobati lukamu yang semalam. Apa itu cukup menyembuhkanmu?”
Dari hiruk pikuk orang-orang di dalam bioskop ini, hanya suara Axel yang tenang itu bagai menghipnotisku. Lagi dan lagi.
Di saat seseorang yang kucintai mengusirku, orang asing justru merentangkan lengannya untuk kugapai dan menarikku ke dalam pelukannya. Harus kujawab apa perasaan ini. Tubuhku mulai menghangat, hatiku mulai menerima pria yang menyesap darahku dan mengajakku untuk hidup di dunianya. Sepertinya kini hatiku sudah mulai disesap olehnya juga. Bagaimana ini?
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan