Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ingatan
MENU
About Us  

Jakarta, 17 Maret 2015                       

Kala musim hujan

            Ryan melempar tas hitamnya asal. Tubuhnya juga sama ia lempar di atas kasur berbungkus kain putih-hitam polos. Ia menutup matanya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya masih berat. Berat sekali. Selama berada di sekolah ia sama sekali tidak masuk jam pelajaran. Ryan asik memainkan bola basketnya. Sampai terik berganti mendung. Pantas saja saat ini kepala Ryan makin berat. Papa dari kemarin belum juga pulang. Katanya masih sibuk. Apa tidak ada pekerjaan lain selain bekerja siang malam dalam ruang lingkup gedung-gedung pencakar langit?

            Tanpa sadar ia tertidur dengan pulasnya. Masih memakai baju seragam basah yang ia gunakan saat bermain basket. Hanya saja basahnya mulai kering tak seperti sebelum dia pulang ke apartemen. Di luar hujan berganti menjadi gerimis. Sepertinya warga Jakarta harus memilih diam di rumah. Ketimbang berpergian dengan cuaca tak bersahabat. Dalam apartemen kecil itu. Ryan seorang diri tertidur lelap. Sesekali bunyi bel terdengar nyaring. Ia tak peduli matanya masih rapat. Bel berbunyi lagi. Ia masih seperti tadi. Bel kembali berbunyi. Ia terbangun membalikan badannya, kemudian tertidur kembali.

            Di depan pintu masuk seorang wanita dengan rok ketat selutut dan baju kemeja oranye yang sakunya bergaris hitam. Dengan rambut terikat dalam jaring hitam. Memandang pintu kesal. Sudah beberapa kali ia menekan tombol bel. Pemilik kamar tidak mau membuka sama sekali. Padahal ia tau. Seorang remaja laki-laki sudah kembali ke kamar ini. Sangat berat sekali. Wanita itu melangkahkan kaki meninggalkan tempat tadi dan kembali ke lobi depan.

            Ryan masih tertidur. Ia masih belum sadar di luar sana ada yang membutuhkan pertemuan dengannya. Hari sudah semakin malam. Kamar apartemen gelap sekali.  Remang-remang cahaya gedung sebrang memasuki jendela kamar Ryan. Ia masih belum bangun. Mungkin ia masih lelah dengan aktivitasnya tadi siang. Pintu kamar sudah diketuk. Lumanyan nyaring. Papa baru pulang tadi sore. Dan ia mendapat pintu kamar Ryan yang terkuci sejak tadi sampai larut malam. Tidak biasanya Ryan mengurung diri di kamar. Papa kembali mengetuk pintu. Sebuah bel pengingat terlintas di pikiran. Papa bergegas mencari kunci pribadi dalam lemari kerjanya. Aha.. sebuah kunci berhasil ditemukan. Papa membuka kamar Ryan dengan mudahnya.

            “Ya ampun, Ryan!” Papa kaget melihat kamar Ryan yang gelap, dan Ryan yang tertidur pulas di atas kasurnya. Tas sekolah yang masih bergeletakan. Pakaian seragam yang belum juga diganti.

            “Ryan, bangunnn!” teriak Papa sambil menyalakan lampu.

Ryan membuka matanya perlahan. Lalu terduduk lemas. Kepalanya makin berat. Ia menyandarkan tubuh pada tembok dekat ranjangnya. Memandang Papa tanpa sadar. Ia belum juga tau kalau yang ada dihadapannya adalah Papa.

“Ryan, kamu pulang jam berapa?” tanya Papa sedikit berteriak.

“Hmm” jawabnya, tangannya memukul-mukul kepala yang terasa berat untuk ditegakkan.

“Ryan!” Papa menepuk kaki Ryan supaya ia sadar.

Ryan mulai membuka lebar matanya. Ia mulai sadar Papa ada di hadapannya “Hah? Papa kapan pulang?” tanyanya kaget. Ryan mengucek matanya.

“Dari tadi, kenapa kamu?” Papa berjalan ke arah jendela. Menutup gordeng jendela yang terlalu silau dengan cahaya dari apartemen sebrang.

“Agak pusing tadi jatoh pas main basket” Ryan menggelengkan kepala.

“Sejak kapan kamu jadi pecundang. Jatuh saja kok seperti yang ditimpa besi”

Ryan terdiam tak menjawab perkataan Papa. Ia bangun dan meninggalkan Papa. Papa memandang Ryan datar. Ada hal yang mengganggu pikiran Ryan. Sejak kedatangannya. Ryan banyak menghabiskan waktu di kamar atau kalau tidak ia pergi ke luar entah kemana. Biasanya Ryan pulang malam atau kalau tidak ia selalu mengabiskan waktu berdiam diri di lobi. Seperti sedang menunggu seseorang. Papa meninggalkan kamar Ryan dengan acuh. Papa masuk ke ruang kerjanya sambil menenteng tas hitam.

Ryan memandang wajahnya di depan cermin. Kemudian membasuh wajahnya beberapa kali di wastafel kamar mandi. Dilihatnya kembali. Wajahnya masih tidak ingin merasa baik. Pucat. Kusam. Dan lusuh. Ia menepuk wastafel dengan keras. Ada kebencian saat melihat wajahnya. Ryan berjalan ke dapur mengambil segelas teh hangat yang sudah ada di meja. Ia membawanya masuk kamar.  Diantara sorot lampu gedung sebrang ia memandang luar dengan tatapan nanar. Lampu kamar sama sekali tidak ia nyalakan. Gordeng dibiarkannya terbuka lebar. Gelap malam membanjiri kamar Ryan. Sesekali Ryan menyeruput tehnya. Lalu kembali memandang ke arah luar. Di bawah sana mobil, motor, bus berlalu-lalang begitu saja. Seperti mainan anak-anak. Lampu-lampu kota juga ikut bertaburan. Tapi sama sekali tidak ada yang membuat hati Ryan merasa baikan.

Bahkan teh yang diminumnya hambar sekali. Manisnya hambar. Warnanya hambar. Semuanya hambar. Jakarta juga menjadi hambar. Ryan membuka ponselnya. Mencari-cari nama yang sudah lama tenggelam oleh waktu. Masih tersimpan. Pesan tahun lalu juga masih tersimpan baik. Sangat baik. Niatnya untuk melakukan panggilan pada nomor tersebut selalu gagal. Jari-jemarinya seperti ditarik kembali untuk tidak melakukannya. Padahal sangat mudah mengklik simbol telepon berwarna hijau.

“Ayolah” decaknya pada jari tangan yang seakan-akan mengeras.

“Arrrrggghhh… Percuma saja” Ryan melempar ponselnya di atas meja. Ryan kembali merenung memandang kota besar di malam hari.

Kringgg…kringg… Telepon apartemennya mengganggu. Ryan membiarkannya. Bunyinya masih tidak mau berhenti. Terus membising di setiap penjuru kamar. “Biasanya Papa yang gesit mengangkat telpon?” Ryan bangun dari duduknya. Berjalan mengangkat telepon di ruang tengah.

            Ryan mengangkat telepon tersebut dengan perasaan yang sangat tidak suka.

Hallo, selamat malam. Apakah benar ini dengan kediaman Pak Gustaf?” suaranya lembut sekali.

“Iya Mba, tapi saya bukan Pak Gustaf. Saya anaknya”

Oh, bisa bicara dengan Pak Gustaf

“Sebentar saya panggil dulu” Ryan menaruh gagang telepon dekat pas bunga. Ia berjalan mencari Papa. Di dapur tidak ada. Di kamar mandi tidak ada. Di kamarnya tidak ada. Di ruang kerjanya pun tidak ada. Sudah menjadi kebiasaan Papa kalau pergi tanpa memberi pesan.

Ryan mengangkat gagang telepon dan kembali memulai percakapan “Maaf  Mba, Papa saya sedang tidak ada”

Boleh titip pesan?” tanyanya lembut.

“Boleh”

Kalau sudah ada Pak Gustaf, minta di telepon balik ya, nama saya Maria

“Baik” jawab Ryan dengan singakat.

Terima kasih, selamat malam

Ryan menutup teleponnya begitu saja. Ia tidak tahu kapan Papanya akan pulang. Dan anehnya lagi kenapa mba-mba itu tidak menelepon langsung ke ponsel Papa. “Mencurigakan” grutunya. Ryan menulis pesan tadi pada memo.

Pa, disuruh telepon balik ke Bu Maria

Ryan menempel memo tersebut di pintu ruang kerja Papa. Karena, tempat pertama yang akan Papa datangi adalah ruang kerja. Dekat pintu sebelah kiri terpajang foto keluarga. Dalam foto itu ada Ryan, Kak Intan, Mama, dan Papa. Ryan masih sekolah dasar, Kak Intan baru saja lulus SMP dan Mama terlihat cantik mengunakan kebaya putihnya. Foto yang diambil saat Papa lulus S2 di Bandung.

Jadi kangen Mama sama Kak Intan batin Ryan memandang Foto tersebut.

****

“Ryannn!” teriak Rega dekat lapang basket.

Ryan berjalan santai tidak peduli teriakan Rega.

Rega melempar bola basket ke arah Ryan. Ia dengan sigap menangkapnya. Melempar kembali ke arah Rega. Tatapan Ryan hari ini sama seperti tatapan kemarin-kemarin. Sudah tidak peduli dengan sekitarnya. Tidak seperti Ryan yang dulu. Rega berjalan sejajar dengan Ryan. Ia menepuk pundak Ryan.

“Yan, lo kenapa? Perasaan minggu kemarin loe ga apa-apa?”

“Enggak, gue cuman lagi males aja”

“Yakin loe ga apa-apa?”

“Yakin, gue tinggal dulu ya” Ryan pergi meninggalkan Rega yang masih penasaran dengannya.

Ryan memasuki kelas. Tatapannya datar. Mengambil buku lks dari tasnya dan menutup mukanya dengan lks tadi. Temannya yang lain memanggilnya. Tak ada jawaban dari Ryan yang kepalanya ditutupi oleh buku lks terbalik.

“Kenapa si Ryan?” temannya berbisik.

“Dari dua hari lalu, kaya gitu” sambung salah satu dari mereka.

“Entahlah mungkin dia lelah, haha” ada tawa di antara percakapan mereka.

“Hahaha..” yang lain ikut tertawa mendengar pernyataan barusan.

“Udah stop! kasian Ryan” Kanya mencoba membela Ryan.

“Oke oke siap” teriak salah satu.

Kanya mendekati Ryan. Membuka buku yang menghalangi kepala Ryan. Duduk di samping Ryan sambil memandangnya lekat. Tito ikut mendekat duduk sebelah kanan Ryan.

“Yan, lo kenapa? Jujur?” Kanya memandang mata Ryan dengan penuh harapan.

Ryan tidak membalas. Dia terus diam. Memejamkan mata.

“Yan, lo ga bisa bohong kaya gini, lo harus jujur”

“Iya Yan, lo kenapa?” Tito menyambung. “Dan kenapa lagi, hari rabu lo ga masuk pelajaran. Untung Pak Anto ga masuk katanya sakit. Lo masih selamet” katanya bangga.

Ryan membuka mata, “Gue ga peduli, mau ada atau engga juga” Ryan berdiri meninggalkan Tito dan Kanya.

Kanya menatap Ryan heran. Pasti ada sesuatu yang aneh batinnya.

“To, gue ngejar dulu Ryan ya, kalo udah ada guru bilangin gue izin” Kanya mengedipkan sebelah mata pada Tito.

“Oke bos, sukses” Tito mengangkat jempolnya.

Kanya berlari mengejar Ryan yang sudah berjalan jauh. Rambutnya tersapu angin pada koridor-koridor kelas yang dilewati. Ryan berjalan gontai. Berjalan seperti tidak merasa diikuti. Ia malah memasangkan headset pada kedua telinganya dan memutarkan lagu Bruno Mars feat B.O.B Nothing on you. Matanya memandang datar. Ryan duduk di bawah pohon pinus belakang sekolah. Kakinya diselonjorkan dan matanya terpejam.

Kanya berhenti di bawah anak tangga. Matanya sibuk mencari-cari. Dahinya keluar keringat meski tidak terlalu bercucuran. Berlari mengejar Ryan saja sampai membuatnya berkeringat. Tepat di bawah pohon mata Kanya menemukan punggung Ryan. Duduk santai tak peduli. Kanya mendekati Ryan. Duduk membelakangi punggung Ryan.

“Ryan, kamu tau kenapa pohon pinus ini ga pernah ditebang?” Kanya menundukan kepalanya mengawali pembicaraan. Memandang kedua sepatu converse hitamnya. Tanganya disandarkan di atas kursi beton.

Ryan membeku. Masih dalam posisi awal.

Hening. Kanya tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Ia tau pasti apa yang Ryan lakukan padanya. Membuatnya semakin kesal. Tapi, semakin penasaran. Sejak Kanya bertemu dengan Ryan saat Ospek tahun lalu. Ia sudah menyukainya. Entah apa yang telah Ryan lakukan padanya. Waktu itu. Mata Ryan seperti ada magnet. Membuatnya tertarik begitu saja. Padahal yang dilakukan Ryan hanya membantunya bangun. Setelah kena hukuman push up oleh kakak senior.

Kanya menoleh ke arah Ryan. Pemandangan paling ia suka. Saat Ryan memejamkan matanya. Kemudia menunduk begitu santai. Wajahnya semakin jelas bisa ia temukan. Raut muka paling dingin yang pernah Kanya temukan.

“Ryan” Kanya menepuk pundak Ryan.

Ryan membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Kanya dibelakang.

“Bisa dibuka headsetnya” Kanya mempraktekan membuka headset dari telinga.

Ryan membukanya “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya datar.

“Gue masih penasaran” Kanya memalingkan pandangannya, kembali membelakangi Ryan.

“Buat?”

“Berhenti jadi orang dingin” Ryan terdiam. “Yan, gue mohon lo jujur, kenapa?” Kanya berhenti sejenak kemudian “Kenapa sama diri lo. Ga bisa lo jujur sama gue, apa gue udah ga penting lagi buat lo, sampai lo ga bisa jujur sama gue?”

“Gue gak kenapa-kenapa. Lo puas?” nadanya sedikit ditingggikan.

“Apa karena lo ga bisa ketemu lagi sama cinta pertama lo?” ada perasaan berat saat mengatakannya “Karena lo ngerasa semua itu pergi gitu aja, tanpa pamitan sama lo?”

“Itu semua urusan gue. Lo ga usah ikut campur” tegas Ryan.

“Gue berhak ikut campur. Gue temen lo. Apalagi dengan keadaan lo yang kaya gini. Gue..” Kanya menghentikan perkataannya dan menunduk lemas.

“Ga ada yang bisa ngertiin gue” Ryan mengangkat rambut sekitar dahi dengan jarinya.

“Gue tau, itu masalah pribadi lo. Tapi Yan, lo harus tau apa yang lo lakuin salah. Kenangan masa lalu saat lo masih bocah saat lo masih baru ketemu sama cinta monyet lo” Kanya menoleh pelan pada Ryan dan melanjutkan kembali “Dulu yang lo butuhin cuman main-main, lo belum tau segalanya. Karena lo..”.

“Masih bocah” Ryan memotong pembicaraan Kanya. “Gue tau apa yang harus gue lakukan saat itu. Gue paham. Lebih paham dari lo” Ryan memasangkan kembali headsetnya

“Lo ga malu sama diri lo. Nyadar Yan lo itu Ketua OSIS. Lo baru dipilih bulan lalu”

“Berhenti untuk membuat gue seperti anak kecil”

“Hah? Apa? Heh” Kanya tertawa mengejek “Gue harap lo bangun dan berhenti mikirin cinta monyet lo” nadanya meninggi. Kanya berlari meninggalkan Ryan. Tangannya mengusap air mata yang tanpa disuruh menetes lebih dulu. Kanya berlari menuju toilet. Ia membasuh wajahnya yang sembab. Harus terlihat baik-baik saja saat memasuki kelas.

Kanya menutup pintu toilet dengan  hidung tersendat-sendat. Ia berjalan menunduk tak peduli siswa lain memanggilnya. Berjalan terus menunduk. Memasuki kelas dengan perasaan berat. Di depan kelas Bu Arni guru ekonomi sudah menjelaskan panjang lebar. Kanya melewati 45 menit untuk mendengarkan Bu Arni.

“Kanya, darimana kamu?” tanya Bu Arni sedikit agak kecut.

“Maaf bu tadi habis dari UKS, ada yang sakit”

“Kumpulkan buku tugasmu” Bu Arni duduk di meja guru dan memeriksa beberapa buku yang sudah bertumpukan. Bu Arni menegakkan tubuhnya. Seperti tengah mencari seseorang.

“Ryan kemana?”

Semua murid tidak ada yang menjawab. Hening.

“Kemana?” jelas Bu Arni kembali.

“Anu bu… ke..” Tito menjawab dengan terbata-bata. Kanya menyenggol tangan Tito. Ia berusaha mengisyaratkan untuk tidak bicara apa-apa.

“Kemana?” bentak bu Arni “Dari kemarin dia tidak masuk pelajaran saya”

“Tadi… Ryan… ada..” Kanya tidak melanjutkan.

Seorang laki-laki memotong pembicaraannya, “Saya di sini” katanya lantang. Semua murid memandang ke arahnya. Dia sudah berdiri diambang pintu. Dengan postur tubuhnya yang tegak dan tangan dimasukan dalam saku.

Bu Arni memandangnya sinis. Matanya membulat tajam. Hidungnya kembang kempis. Dan mulutnya siap berbusa.

“Dari mana kamu? Sudah berani melanggar aturan dengan pelajaran saya? Kemarin tidak masuk, sekarang terlambat. Kamu itu masih pelajar sudah berani macem-macem”

“Tadi saya ada di belakang sekolah” Ryan berjalan memasuki kelas. Duduk di bangkunya yang berada di belakang Kanya.

Bu Arni menghembuskan napas kesal. “Kumpulkan tugasmu” Bu Arni kembali memeriksa buku tugas lalu beliau teringat sesuatu “Pulang sekolah menghadap saya”.

“Baik” jawab Ryan membuka tas sekolahnya.

*****

Plak! Plak!

Tamparan luar biasa keras Papa untuk Ryan. Siang tadi Papa mendapat telepon dari Bu Arni. Untuk seminggu ini Ryan tidak masuk pelajaran dan mencoba melawan Bu Arni. Bukan cuman pelajaran Bu Arni pelajaran lain juga sama. Tidak masuk. Pekerjaannya hanya main basket atau berdiam diri di belakang sekolah. Lantas saja nilainya akan mendapat C.

“Apa yang kamu lakukan? bertingkah seperti anak jalanan!” suaranya memberat.

“Papa ga usah so perhatian” Ryan memandang tajam Papanya.

“Aku tidak pernah mengajarimu menjadi anak durhaka” Papa mengarahkan jari telunjuknya di depan muka Ryan. “Memalukan Ryan, sangat memalukan!” Papa mengepalkan tanggannya.

Hening. Hening.

Baik Papa maupun Ryan menutup mulutnya rapat. Berhenti membentak dan berhenti melawan. Papa meninggalkan Ryan sambil, “Ini untuk terakhir kalinya, aku tidak ingin melihat kamu seperti ini” Papa menutup pintu apartemen dengan keras.

“Terserah” teriak Ryan mengepal tangannya. Matanya memerah.

Ryan menjatuhkan tubuhnya di sofa dekat jendela. Ia membalikan tubuhnya. Dan tenggelam di atas sofa. Pikirannya semakin kacau. Entah apa yang terjadi pada saraf-saraf otaknya. Semua menjadi semraut. Tanpa bisa disadari. Tanpa bisa terkendali. Dan tanpa bisa diketahui.

Saat seperti ini adalah saat paling baik untuk mengingat Mama, Kak Intan dan bayangan masa lalu. Rasanya lebih baik berada di dekat Mama dengan segudang omelannya. Bersama Papa rasanya harus menjadi Ryan yang dewasa. Dewasa dari umurnya. Tapi, saat tidak bersama Papa rasanya kangen luar biasa. Inilah waktu yang akan mengajari kita untuk tetap bertahan dan menerima. Semenjak Ryan berada di Jakarta hidupnya berubah terbalik dari Ryan saat berada dekat Mama dan Kak Intan. Fasilitas yang Papa berikan siapapun tidak akan menolak. Papa mengajari Ryan dewasa dengan apa yang Ryan punya. Justru itu yang bikin Ryan makin terbebani. Dia harus berusaha berubah menyesuaikan keadaan.

Ryan bangun dari  tengkurapnya di sofa. Dia berlari keluar sambil menyambar kunci mobil dan ponselnya. Ryan memasuki lift turun ke lantai paling bawah tempat parkiran. Saat pintu lift terbuka di lantai pertama seorang perempuan yang tak asing bagi Ryan memandanginya tajam. Mereka berdua saling tatap. Saling diam. Dan saat lift akan tertutup tangannya menahan lift. Dan lift terbuka kembali. Perempuan itu segera masuk. Berdiri di depan Ryan dengan wajah datar. Ryan keheranan dengan apa yang dia liat wajah perempuan di hadapannya. Seperti kembali ke masa lalu. Dan bertemu orang di masa lalu. Tapi, perempuan itu sama sekali tidak mengenali Ryan.

“Ga mungkin, setiap manusia Tuhan berikan 7 kembaran yang menyerupai” batinnya. Lift terbuka. Ryan keluar melangkah melewati perempuan tadi. Perempuan itu juga masih datar. Dia sama sekali tidak mengenali Ryan. Dari wajahnya seperti perempuan cuek dan tak pedulian. Ryan membuka pintu mobil. Menyalakan mobilnya. Dan melaju dengan damai. Sambil mengemudi Ryan teringat kembali masa lalu. Dimana kehidupan terasa begitu singkat. Memutuskan berada di Jakarta seperti terpaksa meninggalkan apa yang tidak bisa dibawanya.

Ting…ting…ting…

Ponsel Ryan berdering. Panggilan masuk dari Rega. Ryan membuka panggilan.

“Iya”

“Ryan, lo dimana?”

“Di jalan, kenapa?”

“Basket yuk, gue bt nih!”

“Haha… tumben lo bt?” Ryan berbelok ke arah kanan.

“Ayolah, nanti gue kasih contekan sosiologi sama akuntasi, loh!” ada nada rayuan yang Rega katakan.

            “Iya” jawab Ryan singkat. Padahal tidak usah dipancing pun Ryan tetap akan menemani Rega main basket.

            Klik panggilan ditutup dari Rega. Ryan mengemudi mobilnya ke arah rumah Rega. Sudah lama Ryan tidak main basket bareng Rega. Terakhir kali main basket bareng Rega dua minggu lalu. Saat Ryan dalam keadaan mood yang baik. Sepuluh menit kemudian ia sudah memarkirkan mobil di halaman rumah Rega. Ryan membuka pintu mobil. Rega saat itu duduk di depan beranda rumah. Sambil memainkan bola basket.

“Ga, langsung” ajak Ryan di dekat gerbang rumah. Rega mendekati Ryan. Mereka pergi menuju lapang basket sekitar komplek. Ke duanya terlihat cuek dengan raut muka yang datar.

            Rega langusung menghambur memainkan bolanya di lapang seluas 28,5 meter dan lebar 15 meter Ryan mengejarnya. Merebut bola dari Rega. Ia tetap mempertahankan bolanya. Dan hap, 1 bola masuk dalam keranjang. Giliran Ryan yang memegang bola. Memantul-mantulkan bola mendekati ring. Ryan melakukan lemparan tepat sejajar dengan ring. Bola menglinding di bibir keranjang. Gagal. Ryan gagal memasukan bola. Rega merebut kembali bola. Terus seperti itu. Selama dua puluh menit mereka memainkan bola. Dengan skor tidak diketahui. Mereka duduk selonjoran di pinggir lapang. Kemudian saling tertawa. Ke duanya terlihat sangat lelah. Keringat yang sudah membanjiri tubuh. Baju yang setengah kering. Rega berdiri meninggalkan Ryan yang masih berselonjor.

            Ryan berganti tempat duduk. Ia berjalan menghampiri tempat duduk penonton di pinggir lapang. Memandang sekitarnya yang terlihat sepi. Dari arah kanan Ryan. Rega muncul sambil membawa dua botol air putih ditangannya. Rega menepuk bahu Ryan. Dan memberikan satu botol airnya. Mereka meneguk air bersamaan. Lalu menggguyurkan sisa air di atas muka masing-masing.

“Huh.. udah lama ga main bareng lo” Rega membuka pembicaraan. Pandangannya lurus ke arah lapang basket.

Ryan diam seribu bahasa. Ia tidak membalas perkataan Rega.

“Lo, masih kaya gini aja? ga pengen kaya dulu?” Rega memainkan rambutnya yang basah. Rega terlihat sangat baik. Dengan rambut basah akibat keringat dan air minum tadi.

“Gue ga pernah berubah!” jawab Ryan singkat. Ia membenarkan posisi duduknya dengan tangan yang disimpan di belakang. Menahan tubuhnya.

“Itu menurut lo, akhir-akhir ini lo sering ga masuk pelajaran, mulai berani bentak guru” rega mengambil napas, dihembuskan, “Apa karena seseorang dimasa lalu yang”

Ryan melanjutkan perkataan Rega “Yang bikin gue kaya gini” Ryan memandang Rega lalu memalingkan pandangannya kembali ke arah lapang. “Gue, ngerasa satu tahun lalu gue ngebiarin ada hal yang gue, tinggalin. Dan tiba-tiba ngerasa kehilangan dan sialnya baru kali ini gue rasain”

“Satu tahun yang lalu apa yang lo rasain?”

“Gue ga ngerasa apa-apa, gue ngerasa gue baik. Terakhir gue ketemu sama dia.  Di acara graduation” Ryan mengingat-ingat kejadian satu tahun lalu. “Dan saat terakhir gue di sana sebelum berangkat ke Jakarta. Gua bilang ‘Hari ini ada yang mau aku omongin, aku tunggu di depan perpus jam 10 pagi’ depan perpus adalah tempat pertama gue kenal dan ketemu sama dia. Sampai pada akhirnya dia ga datang juga, gue nunggu sampe sore. Tapi hasilnya nihil” hatinya merasa kalut yang luar biasa.

“Dianya udah tau lo bakal pindah ke Jakarta?” kata Rega.

“Itu dia. Dia ga tau gue pindah ke Jakarta. Gue mau bilang pada hari itu, tapi sayang dia ga datang-datang, sampe terakhir gue naik mobil. Gue, berharap dia akan lari dan mengejar mobil gue. Kaya di film-film gitu” Ryan tersenyum mengatakannya.

“Haha… korban film lo” Rega meledek dengan terus tertawa.

“Satu tahun gue di Jakarta, gua cukup untuk melupakan dia. Itulah sebabnya gue ngerasa baik-baik aja. Tapi kali ini baik-baik aja jadi sangat tidak baik. Gue pengen ketemu dia. Pokonya… arrgghh” Ryan mengepalkan tangannya. Dan membuat gerakan gemas di udara.

“Cuman dia aja yang ga tau lo pindah ke Jakarta?” Rega bertanya di luar topik pembicaraan Ryan barusan.

“Iya” Ryan melanjutkan “Karena, gue ga tega”

“Itu dia masalahnya, dia ngerasa lo bohongin dia. Dia ngerasa lo ga bisa jujur dengan apa yang ada dihadapan lo. Dia mungkin, jadi benci, apalagi nantinya lo dituntut buat bisa LDRan”

“Gak, gue yakin dia belum tau. Mungkin, sampai saat ini juga dia belum tahu”

“Yan, dengerin gue. Ga ada yang ga mungkin di zaman modern gini. Semua akses mudah didapatkan. Apalagi soal keberadaan”

Setelah itu mereka tidak saling berkata. Larut dalam hening. Hembusan angin memeluk mereka. Walaupun terasa dingin. Tapi, wajah mereka semakin baik. Matahari mulai membiaskan polet oranye. Warna kuning silaunya sudah setengah tenggelam. Rega dan Ryan berdiri meninggalakn lapang. Masih saling diam. Ada ribuan kata-kata dalam sel-sel otak Ryan. Dan ada segurat pernyataan yang ingin Rega katakan. Rega mencoba mengatakannya, meski tidak yakin responnya baik.

“Yan, mungkin gak kalo seseorang dimasa lalu lo mengalami…..” ada benang dibibirnya hingga sangat sulit mengatakan dan. “Kejadian… tragis yang bikin dia ga bisa ketemu lo” huh. Rega mengembuskan napas panjang. Lega. Semoga tidak membuat sahabatnya semakin marah. Karena, itu lah alasan terakhir yang paling mujarab dengan kejadian yang dialami Ryan.

“Haha.. ngaco! ga mungkin” kata-kata Rega terasa lebih pas untuk ini. Kesedihannya semakin menjadi-jadi jikalau apa yang Rega katakan benar.

“Mungkin, Yan. Tapi entahlah, manusia mana ada yang tau”

Ryan menggelengkan kepala. Berhenti mengeluarkan tolakan dari perkataan Rega.

Senja sudah mulai mengguyur. Warnanya membias pada tembok-tembok benton. Angin-angin menyapukan halaman yang cukup banyak dijatuhi daun-daun. Sepi. Hening. Dan penuh kenangan. Tempat yang awalnya paling ramai. Kini berganti sepi. Bisu. Saat senja mengguyurnya. Krek..krek.. suara jendela tidak rapat tertutup menambah suara. Syurr…syurrr.. angin semakin kuat. Tidak hanya dedaunan pasir-pasir ikut tersapu.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CALISTA
327      258     0     
Fantasy
Semua tentang kehidupan Calista, yang tidak hanya berisi pahit dan manis. Terdapat banyak rasa yang tercampur di dalamnya. Ini adalah kisah dimana seorang Calista yang mendapatkan pengkhianatan dari seorang sahabat, dan seorang kekasih. Disaat Calista berusaha menyelesaikan satu masalah, pasti masalah lain datang. Akankah Calista dapat menyelesaikan semua masalah yang datang padanya?
Frekuensi Cinta
275      230     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Konstelasi
842      432     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
I'm Possible
6261      1696     1     
Romance
Aku mencintaimu seiring berjalannya waktu, perasaanku berubah tanpa ku sadari hingga sudah sedalam ini. Aku merindukanmu seiring berjalannya waktu, mengingat setiap tatapan dan kehangatanmu yang selalu menjadi matahariku. Hingga aku lupa siapa diriku. -Kinan Katakan saja aku adalah separuh hidupmu. Dengan begitu kamu tidak akan pernah kehilangan harapan dan mempercayai cinta akan hadir tepat ...
Neighbours.
3221      1142     3     
Romance
Leslie dan Noah merupakan dua orang yang sangat berbeda. Dua orang yang saling membenci satu sama lain, tetapi mereka harus tinggal berdekatan. Namun nyatanya, takdir memutuskan hal yang lain dan lebih indah.
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
246      200     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Sepasang Dandelion
6548      1288     10     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
Aku Lupa
634      439     3     
Short Story
Suatu malam yang tak ingin aku ulangi lagi.
When Home Become You
415      308     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
15651      2645     8     
Inspirational
Petualangan delapan orang pemuda mengarungi Nusantara dalam 80 hari (sinopsis lengkap bisa dibaca di Prolog).