Sepulangnya dari sanggar, Rey dan Yuki pergi duluan karena ada janji dengan Junna. Jadilah dua sohib Dilar dan Hamka duduk dengan damai di bis kota dalam perjalanan pulang.
“Ka,” Dilar memanggil.
“Hm?”
“Kamu belum bilang alasanmu benci banget sama Yuki. You tell me, or I will sick on you until you tell me. Pilih mana?”
Hamka, yang capek dan sedang ogah bertengkar, berkata sambil lalu.
“Anjing.”
Dilar langsung kelihatan tersinggung.
“Eh, nggak usah ngata-ngatain gitu kenapa?”
“Sori, sori, bukan….maksudku…” Hamka menghela napas berat. Seakan yang akan dikatakannya itu rahasia negara.
“Waktu kecil….anjing yang nyerang aku itu…anjingnya Yuki….”
Dilar melongo. “Terus….dia, lho? Tunggu, kok kamu tahu itu punya Yuki? Dan kok masih ingat mukanya pas kecil sama sekarang kan pasti udah beda??”
“Masalahnya aku inget! Dia nggak minta maaf! Aku udah jerit-jerit, nangis, dan dia cuman melenggang pergi gitu aja sama anjingnya! Aku inget muka blasterannya! Puas??”
Masih melongo, tapi lalu Dilar tertawa.
“Sialan, makanya aku nggak mau cerita! Dari dulu phobia anjingku nggak pernah kamu anggep serius!”
“Iya, iya, sori-sori….” Dilar mengusap ujung matanya. Lega.
“Apa?!” Hamka bertanya galak.
Dilar nyengir, “mau dikenalin psikiater kenalan Kak Yudi? Khusus menangani masalah-masalah kayak kamu itu. Ada animal therapy juga…” sebenarnya dia agak kasihan juga, nggak semua anjing harus dianggap jahat sama sahabatnya itu kan? Mereka kan makhluk hidup juga, pikir Dilar, yang tahu kalau Hamka sebenarnya suka hewan, kecuali anjing.
Yang ditawari malah menggerundel tidak jelas. Dilar menganggapnya sebagai ‘iya’.
TAMAT