Goresan pensil dengan serius diguratkannya di kertas. Tidak boleh ditekan, kata sang guru, nanti kalau diberi warna bisa memunculkan pola yang tidak diinginkan.
“Ya, begitu, Kak Hamka. Pelan-pelan aja, dilihat bentuk dasarnya.”
Dilar mengangguk puas kearah pacarnya, yang sedang mengajari, atau lebih tepatnya membantu menyelesaikan pekerjaan rumah yang tertunda selama berminggu-minggu. PR Seni Rupa Hamka, yang mana belum selesai, atau bisa dikatakan belum dikerjakan.
Ralat lagi, sebenarnya sudah dikerjakan. Namun ketika Rey diminta untuk menilai hasilnya, dia berjengit dan meringis. Dengan berat hati mengatakan itu bukan gaya surealis. Itu abstrak. Hamka tertohok, jengkel, tapi tahu penilaian itu benar. Jadilah situasi mereka sekarang seperti ini. di sanggar Pak Ageng, dimana yang punya sedang mengawasi murid lain, Rey mengajari Hamka, dan Dilar mengajari Yuki.
“Salah tuh kalimatnya.”
Yuki langsung memajukan mulutnya sejauh mungkin, lalu mencoret kalimat dalam Rancangan Anggaran OSIS.
“Coret sampai titik. Kamu kan merencanakan anggaran, bukan minta sumbangan.”
Yuki tampak akan melontarkan kata-kata kotor ke arah Dilar, yang dengan angkuh melipat tangan di hadapannya. Mana sambil berdiri lagi. Tapi begitu sadar kesalahannya dalam kalimat yang dikatakan Dilar itu benar, dia hanya melempar pandangan penuh hina ke arah pacar sahabatnya itu.
Rey meringis melihat ‘keakraban’ keduanya. Hamka dengan wajah lelah menunjukkan sketsanya. “Ini gimana?”
Dengan terkejut Rey memperhatikan hasil sketsa yang dibuat Hamka untuk kesekian kalinya itu. Untuk ukuran orang yang hanya menggambar abstrak asal-salan sejak satu jam yang lalu, ini kemajuan besar. ciri-ciri surealis sudah terlihat.
“Bagus, lho kak! Udah kelihatan gaya surealisnya, jadi…”
Hamka menatap penyelamat di hadapannya dengan penuh syukur, karena lelah dan tidak sepenuhnya sadar, dia menggenggam tangan Rey.
“Makasih! Makasih banget!!!”
“HEH!!!!” Dilar dan Yuki langsung meninggalkan pos mereka. Dilar memisahkan tangan Hamka, sementara Yuki dengan protektif menarik mundur sahabatnya.
“Ngapain pegang-pegang pacar orang??!!!”
“Tau nih, mencari kesempatan dalam kesempitan!” Yuki menambahkan.
Hamka hanya melongo menerima kata-kata keduanya. Karena pikirannya benar-benar capek parah akibat melakukan kegiatan yang tidak biasa dilakukannya selama sepagian ini.
Rey kaget, tapi lalu tersenyum. Dan senyumnya berubah menjadi tawa, dia memeluk balik Yuki, yang menatapnya bingung. Dilar awalnya bingung, tapi lalu ikut tersenyum, lalu tertawa juga.
Untunglah. Untunglah ending kami nggak kayak Romeo dan Juliet.
Dengan bersuka cita, Dilar dan Rey sungguh-sungguh bersyukur memikirkan hal yang sama.