Hamka pergi dengan menggerutu dan saling meninju lengan denganku, tapi Yuki melambai dengan ramah ke sahabatnya. Mereka pulang berdua, sedangkan Rey tetap tinggal, yang aku kasihan karena bela-belain datang ke sini, naik sepeda! Padahal aku tahu betul jarak dari sanggar ke sini hampir sama panjangnya dengan Jalan Kaliurang.
Kafe sedang sepi, atau leih tepatnya, pengunjung enggan datang karena ada pertunjukkan emosional anak SMA tadi. Kak Yudi hanya mengangkat bahu santai.
“Kan tinggal kupotong dari bagianmu?”
Aku merutuk. Tapi tidak lama, karena Rey tau-tau…meraih tanganku, wajahnya merah karena tindakannya sendiri, dan aku melongo dengan suksesnya.
“Emmm, maaf Kak…kemarin aku….”
Aku tersenyum, meraih tangannya yang lain, yang masih belum bersih dari cat. “Kemarin…memangnya ada apa?” aku jahil bertanya, sok nggak tahu tentang apa yang kami lakukan kemarin. Rey kelihatan kesal, malu, dan mati-matian membuka mulut untuk memberi penjelasan. Aku mengulum senyum karena kesenangan menjahili wajah manisnya itu.
“Aku ke-ketiduran…abis nangis dan…“
“Dan….aku dicuekin. Setelah kamu secara implisit dan eksplisit manggil aku buat jadi tempat sampah iya kan?”
Rey meringis dan membuang muka. Selama menangis dia menceritakan, meracau lebih tepatnya tentang dirinya, Yuki, dan aku, tentang Hamka sedikit, aku hanya mendengarkan. Lalu barulah aku jadi tempat sampah yang sesungguhnya: mengambilkan tisu dan jadi tempat pembuangan tisu bekas ingus dan air mata Rey.
“Iya…maaf….”
Dengan berani aku mengelus rambutnya, dan mengecup puncak kepalanya.
“Apology accepted.” Aku berkata lembut. “Tapi….kamu harus memenuhi satu permintaanku, gimana?”
Rey memandangku skeptis, tidak yakin apa bentuk ‘permintaan’ itu akan merugikan atau menguntungkannya. Tapi aku sudah memikirkannya, ini bentuk permintaan yang akan menguntungkan semua pihak dalam masalah ini.