Aku menatap Yuki. Ini seriusan Yuki, kan? Atau dia yang sebenarnya diculik alien?
Yuki menatapku dengan pandangan kesal, namun pasrah dan berkaca-kaca sekaligus. Kusingkirkan rasa heranku dan memutuskan mendengarkannya dengan serius.
“Rey…Rey anak paling baik di kelasku di SD dulu.” tahu-tahu dia memulai. “Aku suka temenan sama dia. Dia nggak suka gossip, dia pemalu tapi bisa berani kalau mau. Dia mau mendengarku meski seharian aku ngerampas waktunya, cuman buat curhat. Rey lama-lama nggak takut untuk nunjukin aku salah. Aku juga lega, karena berarti dia teman yang baik, bukan temen yang penjilat. Tapi akhir-akhir ini, aku ngerasa, kapan dia berubah? Kapan Rey yang pemalu itu berani maju? Berani bicara? Dia nggak pernah cerita. Kupikir dia kelihatan seneng aja udah cukup. Tapi terus…”
Dia mengatakannya sambil menunduk, air matanya masih mengalir. Hebat dia bisa bicara lancar begini, meski penuh emosi.
“Kami beda SMP. Akhirnya aku tahu kenapa dia berubah. Itu karena kamu kan?” dia lalu menatapku. Aku tidak lagi memasang ekspresi jutek. “karena ketemu kamu dia berubah. Dan aku nggak tahu. Aku nggak peduli. Aku…”
Dia menunduk lagi, tapi tidak lama. Setelahnya dia memandangku dengan pandangan tegar.
“Kamu tahu semua sifatnya kan?”
Aku mengangguk mantap, “luar dalam.”
Yuki tersenyum, lalu berdiri dan membungkuk, aku tahu ini. meski sering melihatnya di anime dan film Jepang, mengejutkan, sekaligus membuatku merasa terhormat menerimanya langsung. dia membungkuk sedalam mungkin. Tangannya ditangkupkan di depan. Dengan suara serak dia berkata.
“Tolong,….jaga Rey, sahabat aku.”
Aku mengatupkan gigi. Dia tidak akan mengangkat wajah sampai aku memberi jawaban.
“Aku akan jaga dia, dari awal aku memang mau jaga dia.”
Yuki mengangkat wajahnya. Kami hampir jadi tontonan. Untunglah jam segini masih sepi. Kak Yudi tersenyum melihat kami, tadinya dia was-was melihat Yuki nangis. Akhirnya dia duduk lagi, sedikit tenang.
“Memangnya kamu nggak mau jaga dia lagi?” aku bertanya. Dia menggeleng.
“Habis ini….dia mau ngeliat aku saja sudah untung.”
Kuhela napas untuk kesekian kalinya hari ini. Menyesali kejadian ini. Kutatap Hamka. Kami masih punya masalah yang jelas nggak mau kuselesaikan di depan seorang cewek. Kuserahkan makanan kucing di dalam botol. Di botol itu sudah diisi lonceng dan mainan kucing. Makanan di dalamnya cuma bisa keluar satu-satu, itupun pas botol menggelinding. Ini efektif untuk ngasih makan kucing yang keberatan badan. Tadi sebelum dipanggil Kak Yudi, aku harusnya memberi makan kucing tuksedo (bukan Mamo) obesitas di ruang karantina.
“Nih,” kuserahkan botol itu ke Yuki. Dia menatapku tidak mengerti. “Bilang Kak Yudi, aku minta tolong kamu kasih makan kucing yang di atas.”
Dengan bingung dia menatapku, lalu seakan baru sadar, dia menatap Hamka, yang masih bergeming. Yuki pergi setelah mengangguk. Tidak mengatakan apapun, dia mendekati Kak Yudi.
Nah, sekarang tinggal aku, si pacar bego, dan sahabat begoku.