Aku menunggu Yuki setelah bel terakhir hari itu bunyi. Ya, aku putuskan untuk memanggil namanya dengan benar. Semoga satu langkah awal ini, membuat Dilar dan Rey, mau menerima niat berdamai kami. Karena sejujurnya, teman dekatku cuma dia. Kami sama-sama susah didekati, tapi Dilar jelas manusia yang lebih baik dibanding temen brengsek kayak aku. Dia mau saja menolong tanpa melanggar aturan. Dia peduli, sekaligus mau menegakkan keadilan dan moral. Meski tidak banyak berbicara, dia impulsif, aku bisa bayangkan dia duluan yang tertarik dan mendekati Rey. Dan tentunya, tanpa sepengetahuanku karena kami memang baru saling kenal ketika kelas 3 SMP.
Rasanya aku masih ingat pertemuan pertama kami.
Waktu itu aku pulang les. Dengan cepat namun waspada aku menyusuri jalan itu. Dalam benakku, kuhitung berapa langkah lagi sampai aku harus lari ketika melewati klinik hewan yang ada di kiri jalan.
“GUK!”
Aku terlonjak. ‘Sial!! Bener kan, ada!’ dengan mata nyalang aku melihat, anjing bulldog dengan mata terbelalak dan liur menetes kemana-mana. Tubuhnya besar dan matanya menatapku seakan aku mengganggunya. Bahkan selama ketakutan di tempat anjing itu masih menggonggongiku. Dengan horror kulihat dia bersiap mengejarku, masih menggonggongiku, dan horror bertambah ketika kulihat lehernya dipasangi kalung tapi tidak dipasangi tali. Tidak menggonggong tapi seakan siam melompat menerjangku. Aku memekik.
“Suuush!!! Suuush!! Mundur, Goldy! Shuuu!!”
Sesosok anak laki-laki, tingginya sama denganku maju ke depan anjing itu. Tangannya diyunkan ke depan dan ke belakang, mengusirnya ke dalam. tiba-tiba muncul satu orang perempuan.
“Shuuu!!! Goldy! Aduh, maaf ya Dilar…aku lupa bawa talinya…”
Anjing itu akhirnya digendong oleh pemiliknya dan dimasukkan ke mobil. Dia mengangguk dan berkata maaf sekali lagi. Sementara anak itu, memakai celemek penjaga toko berwarna bitu tersenyum dan berterimakasih atas kedatangannya. Dia lalu menatapku. Menahan tawa.
“Apa??” aku melotot, suaraku masih bergetar.
“Takut anjing ya?”
Aku hanya bisa meneguk ludah. Anak itu berhenti tertawa dan menatapku dengan agak kasihan, lalu mengulurkan tangannya.
“Sori, yang itu memang agak sensitif sama orang asing. Nggak papa?”
Aku menggeleng, karena entah sejak kapan, aku sudah jatuh terduduk. Bagian celanaku penuh tanah.
“Masuk dulu, udah nggak ada anjing kok. Biar kamu tenang dulu.”
Dengan takut-takut aku masuk ke klinik hewan itu. Untungnya dia jujur. Hanya ada kucing di kandang-kandang yang berjejer. Aku duduk di kursi plastik, dia bahkan memberiku segelas air putih.
“Tenang, sebenernya kami spesialis kucing dan sesekali hewan ternak, kalau dipanggil. Yang tadi cuma grooming aja.”
Aku mengangguk. Masih kebingungan. Dia mengulurkan tangan lagi, “Dilar.”
Aku meraihnya otomatis, seperti robot. “Hamka.”
“SMP mana?”
Aku menyebutkan nama SMP-ku. Dia menganngguk, “Oh, beda….rumahmu deket sini? soalnya kamu jalan kaki…”
“Iya, masuk gang sana,” aku menunjuk gang yang tidak jauh dari situ. Karena klinik itu suasananya terbuka.
“Oh….”
Dan itulah, kami tidak berbicara lagi. Hanya kadang aku menyapanya kalau dia sedang menjaga counter klinik. Sisanya, kami baru benar-benar merasa berteman justru ketika dia datang untuk pamit. Mereka akan pindah.
Secara kebetulan dan sangat mengejutkan, SMA pilihan kami sama, sifat kami ada yang mirip da nada yang berbeda. Tapi perbedaan itulah yang membuat kami mulai merasa cocok.
“Heh.”
Aku tersadar dari lamunanku. Yuki ternyata sudah di sampingku, berkacak pinggang.
“Ayo.”
Aku berjalan di depan, dia berjalan agak jauh di belakang. Kami naik bus yang sama. Tapi tetap menjaga jarak tempat duduk. Begitu sampai, dia melongo. Aku menaikkan alis.
“Kenapa?”
“Ini kan kompleks perumahanku!!”
Alisku naik satu tingkat lagi, “Ini juga kompleksnya si Dilar. Kakaknya punya klinik hewan.”
“Klinik…hewan?” ekspresinya makin syok.
“Kenapa sih??” aku bertanya karena reaksinya.
“Klinik itu…aku tahu, cuman beberapa rumah dari rumahnya Rey…”
Nah, ini informasi yang menarik. Yuki berbicara lagi. “Dan dia punya kucing…..”
Ganti kami berdua diam. Karena itu berarti, titik bagaimana mereka bertemu bertambah, tidak hanya satu SMP, mereka satu blok kompleks perumahan. Dan Rey punya kucing, yang kutebak perawatan rutinnya dilakukan di suatu tempat yang sangat kukenal.
“Jadi dia pasti meriksain kucingnya di situ.”
Aku sambil lalu berjalan. Kami sama-sama sudah tahu arah, jadi tidak perlu lagi ada petunjuk arah. Kami melewati rumah putih abu-abu yang dilihat Yuki agak lama. Aku bertanya. “Rumahnya Rey?”
Dia mengangguk, aku tidak bertanya apa-apa lagi. Karena beberapa belas langkah kemudian kami sampai di klinik hewan milik kakak Dilar. Begitu melongok, aku mengerutkan dahi, yang ada di counter justru Kak Laras. Aku masuk, “Sore, Kak Laras…”
Kak Laras mendongak, tersenyum, “Eh, kamu ternyata, Ka….kenapa? Ada janji sama si Didil?”
Kudengar Yuki menahan tawa di belakang mendengar panggilan ejekan penuh sayang kak Laras yang adalah dokter hewan utama di sana. Aku meringis, “Dia pergi ya?”
“Iya, lagi di kafe.”
….
“Kafe?”
“Iya, eh…” dia terkejut sekaan baru sadar, “kamu belum tahu ya….waduh, gawat. Bocor aku.”
Aku tersenyum semanis mungkin. “Dia udah cerita kok kak, cuman dia belum bilang dimana tempatnya…”
“Oh…” Kak Laras mengelus dada lega, percaya kata-kataku sebagai teman adiknya. Lalu dia menyebutkan kawasan dan nama kafenya.
Aku menghampiri Yuki setelah berterima kasih pada Kak Laras. “Dia di kafe.”
“Iya aku denger.” Yuki menjawab kurang ajar seperti biasa. Demi gencatan senjata, aku menahan diri. “Emang dia kerja part-time?” dia bertanya. Aku menggeleng. “Setahuku nggak, tapi….” Terlalu banyak yang dia sembunyikan ke aku. Aku nggak tahu apa lagi yang dia lakukan tanpa memberitahuku. Entah kalau setelah ini, kalau dia tahu-tahu bilang dia gigolo, aku nggak tahu harus percaya atau nggak.
Kami pun menaiki bus sekali lagi. Setibanya di kawasan tersebut, kami ternganga melihat kafe dari luar. Cathapult, judul kafe itu. Dan dari luar, bisa dilihat berbagai jenis kucing di dalam kafe. Dan ada Kak Yudi yang tersenyum ke beberapa tamu yang datang, berinteraksi dengan mereka sambil membawakan makanan dan minuman.
“Kafe kucing?” Yuki mendesis.
Aku memutuskan masuk, Yuki terburu-buru menyusul.
“Selamat sore, selamat datang! Oh, Hamka!” Kak Yudi dengan ceria menyambutku. “Akhirnya tuh anak promosi juga ke temennya. Udah dibilangin nggak usah malu! Eh, masih ngotot aja. Masuk-masuk! Wah bawa kencan nih ye…”
“BUKAN.” dengan tegas Yuki membantah. “Saya temannya…pacarnya Dilar.”
Kupikir Kak Yudi bakal terkejut, tapi ternyata dia tersenyum makin lebar, “oh, temen calon adik ipar….sori, sori. Ayo duduk!”
Calon adik ipar? Sepertinya itu yang mau dikatakan Yuki tanpa suara. Dengan syok. Aku sendiri juga kaget. Kalau sampai Kak Yudi memanggil Freya begitu, hubungan mereka bisa dibilang sangat serius kan?
Yuki sendiri, masih melongo tidak percaya.
“Hoi, Lar! Dilar! Sahabatmu nih! Dilayani gih!” Kak Yudi memanggil ke arah tangga. Kami duduk di pojok kafe yang hampir-bebas kucing. Ada satu yang tidur di kursi sebelahku.
“Siapa? Oh.” Dilar terdiam. Dia turun pelan-pelan. Kami hanya bisa saling bertatapan. Ekspresinya mengeras dan jelas belum bisa menerima kehadiranku. Malah kayaknya dia sebenernya belum mau lihat mukaku. Yang hari itu masih bonyok karena ulahnya.
Kak Yudi melihat bolak-balik antara aku dan Dilar. Seakan membaca atmosfir kami, Kak Yudi mundur pelan-pelan.
“Okaaay, mau kutawarin makan minum, tapi ntar aja ya kayaknya? Hehehe…”
Dan dia pun ngacir ke zona bebas perang. Dilar menghela napas. Dia menunjuk tempat kosong di pojok.
Bahkan setelah duduk pun, nggak ada yang tahu harus bicara apa.
Aku tersentak karena Yuki memulai.
“Maaf.”
Kejutan kedua akibat kata-kata yang meluncur dari cewek itu. Aku dan Dilar sama-sama hampir terlonjak.