“Langsung pulang?” Dilar bertanya padaku.
“Bentar lagi nih,” tapi aku sudah membereskan tas. Hanya ada satu keperluan lagi, dan kayaknya Dilar nggak perlu tahu apa itu.
“Ya udah, aku duluan nih?”
“Duluan aja gih, eh,” aku lalu mengingatkannya, “laporan resmi ke Kak Junna sana.” Aku menyeringai, Dilar menatapku jijik.
“Apaan sih senyum serem gitu?”
“Sialan. Udah sana, sekalian makasih ke Pak Adamas.”
“Heh, Ketua OSIS malah mangkir. Mau kemana?”
“Ketemu Yosi!”
Seelum melihat ekspresinya, aku sudah melesat. Aku cuma lari karena merasa tidak enak sudah meminta tolong dicarikan orang untuk membantu tugas seni, tapi malah minta tolong sendiri ke Yosi. Eh, tapi Yosi yang menawarkan sih.
Yah, nanti tuh anak kubelikan es krim deh, sebagai tanda maaf.
Aku menuju ke taman belakang, katanya kalau mau hari ini bikin sketsa. Aku heran sih, tapi kuikuti saja maunya.
“Gini…aku mau nanya, kamu pacaran ya?”
Langkahku terhenti begitu sampai ke taman belakang. Yosi dan….suara yang satu lagi pelan, lembut, tapi bukannya tidak kukenal. Temannya si Bendahara nggak becus.
“Eh? Maksudnya apa kak?”
“Itu lho…aku liat kamu sama…si Dilar.”
Deg. Kenapa nama Dilar dibawa-bawa??
“Yang di ruang OSIS.”
Kesunyian yang pekat dan napas Rey (oh, ya, itu nama temannya) terdengar agak cepat. Panik, simpulku cepat.
“Ng-nggak tahu…maksud Kak Yosi?”
“Haaaaah, masih pura-pura ya? Kamu pacaran sama Dilar karena apa sih? Biar dapet grooming kucingmu gratis? Atau kamu cuman suka mukanya doang? Kamu tau kan kalau dia sama cewek-cewek itu suka main-main….”
“Kak Dilar nggak begitu!”
Ganti aku yang terlonjak.
Terdengar rengsekan daun-daun, kulihat dari pojok dinding Yosi mendekati Rey dengan langkah diseret.
“Bu-bukan…aku sama Kak Dilar nggak…”
“Jadi sama aku mau dong?”
Rey menggeleng kuat-kuat, dengan napas tertahan kulihat dia mundur takut-takut. Masalahnya, taman belakang dilindungi dinding tinggi dan jalan buntu. Cewek itu nggak bisa kemana-mana.
Tapi kenapa aku diam saja?
Belum aku bereaksi atas pikiran itu, Yosi membekap cewek itu dan menangkap kedua tangannya dengan satu tangan. Rey tentu saja meronta. Tapi dia juga tidak bisa menjerit atau meminta tolong.
Tolong dia.
Ayo gerak Hamka!!!
Mana rasa keadilanmu yang biasanya tinggi??!
Karena dia teman Yuki….
Seketika dingin yang familiar meliputi sekujur tubuhnya, sebelum menoleh, dia ingat. Ingat bagaimana anjing besar menyerangnya. Ingat bagaimana dia menjerit-jerit kesetanan karena takut. Ingat bagaimana pemilik anjing itu tidak meminta maaf, tidak juga kelihatan menyesal.
Ingat wajah blasteran si gadis kecil yang memegang tali kekang anjing besar itu.
Dan sekarang yang ada di hadapannya adalah wajah Dilar, yang menatapnya aneh. Ada Kak Junna di belakangnya.
“Kamu ngapain di si--” belum habis Kak Junna bicara, dia langsung terdiam dan melesat ke taman belakang.
“REY!!!”
Dilar langsung tegang dan dalam sekejap sudah menyusul Kak Junna.
Aku, tetap di tempatku. Dengan segala pikiran berkecamuk.