Rapat selesai, paling tidak untuk jajaran pengurus OSIS. Selebihnya….
“Bapak kecewa sama kalian-kalian ini.”
Hening. Marahnya Wakepsek Bidang Kesiswaan ini tidak se-killer Wakepsek KEsiswaan di sekolah lain. Beliau ramah malahan. Dekat dengan siswa sampai-sampai nggak keberatan dipanggil ‘Pak Dam-dam’ oleh beberapa siswa. Tapi justru itu, ketika marah atau kecewa, yang sakit itu yang mengecewakan. Rasanya merasa bersalaaah….banget. Aku yang nonton saja sampai menunduk begini, tidak berani menatap duda beranak satu itu.
Kulihat jajaran pengurus utama juga sama. Mungkin malah lebih merasa bersalah, karena merasa gagal sebagai wakil-wakil siswa.
“Teman yang baik itu yang mengingatkan. Yang membuat berkembang. Bukan yang mengizinkan korupsi, kolusi, apalagi nepotisme. Ini itu sudah termasuk nepotisme. Kalian sadar nggak?“
Ketua ekskul yang memang bersalah jelas berjengit mendengarnya. Bahu mereka menunjukkan sikap yang pasrah sudah.
“Temen-temen OSIS ini sudah capek-capek bekerja, merencanakan berbagai biaya dan kegiatan yang sesuai. Kalian memang masih anak-anak. Okelah, kalau kalian tidak punya dana…sebenarnya kalian anggap ekskul itu apa?”
Gumaman muncul dari mulut beberapa ketua ekskul yang ‘bersih’ tapi tidak berani bersuara keras. Tapi toh, Pak Adamas bisa mendengarnya.
“Benar, ekskul itu sebagai wadah. Kalian di sini tidak hanya belajar matematika, fisika, ekonomi. Ilmu-ilmu mentah begitu bisa didapat dari mana saja, tapi ini? Kalau diluar sekolah, kalian masuk klub basket, setiap bulan harus membayar retribusi yang mungkin lebih dari SPP kalian sebulan. Di sini, sekolah, pemerintah, para pengajar, OSIS, berupaya supaya kalian tidak perlu membayar mahal-mahal. Supaya bisa tetap mengeksplor apa yang ingin kalian lakukan. Bapak tidak masalah dengan siswa-siswa yang masuk keluar dari satu klub ke klub lain, itu juga termasuk eksplorasi. Yang tidak bisa bapak pahami adalah kenapa kalian sampai menggunakan cara-cara seperti ini. Kalau sudah dewasa, terjun ke masyarakat, apakah cara seperti ini juga masih ingin kalian pakai?”
Koor lesu, ‘tidap, pak’ berdengung di dalam ruangan.
“Sudah, sekarang, klub mana-mana yang kecil, anggotanya sedikit, belum punya prestasi-lah, atau alat-alatnya rusak-lah, akan diselidiki OSIS. Saya akan mendampingi. Asalkan kalian menerima jerih payah OSIS yang mengorbankan waktunya untuk memikirkan kalian-kalian ini. tidak ada protes soal rancangan anggaran, tidak ada minta-minta tambahan anggaran. Permintaan seperti itu langsung ke saya atau Wakepsek Sarana Prasarana. Jelas?”
“Jelas, Paaak….”
Rasanya terharu melihat Pak Adamas melihat kami satu persatu dengan mata yang kebapakan, “Hamka, saya serahkan lagi ke kamu.”
“Baik Pak.”
Aku tersenyum ke arah Kak Junna, lalu ke arah Kak Dilar, yang tersenyum balik ke arahku. Kami sama-sama melihat Yuki, meski kelihatan agak dongkol karena argumentasinya selama seminggu ini terpatahkan sudah, menerima logika Kak Hamka yang menang hari ini.
*
“Rey, ntar ke taman belakang ya abis ini, aku mau minta tolong sama kamu.”
Aku yang sedang membereskan tas, menatap Kak Yosi yang tersenyum biasa saja. biasa saja, tapi entah kenapa seakan ada alarm di kepalaku yang menyuruhku membuat alasan. Bohong pun nggak apa-apa. Apa saja agar…
“Oh, iya kak.” Tanganku hampir memukul mulutku yang malah otomatis mengiyakan permintaan itu.
“Oke, kutunggu ya.”