“Gimana, Rey?” tanyaku tidak sabar. Dia, dengan wajah merah karena lega perannya berakhir, mengangguk. Dia menceritakan semua yang didengarnya.
“Good job,” Kak Junna meremas bahuku, “Kamu juga, Lar,” seringai Kak Junna untukku membuatku nggak nyaman. Tapi Hamka malah tersenyum melihatku dan Kak Junna bergantian.
Rey membuka mulut, “Kak Junna kenal Kak Safar, ya?”
“Nggak, tapi satu angkatan tahu dia itu jagonya koar-koar soal emansipasi wanita. Cerocosannya kayak petasan kan?”
Rey menyeringai dan mengangguk, tapi lalu Yuki berseru.
“Kenapa tadi harus Rey yang ke sana?”
Kak Junna mengangkat alis. “Kamu sama Hamka mau pura-pura pacaran?”
Keduanya menggeleng kaut-kuat seakan leher mereka justru akan putus kalau tidak menggeleng.
“Kamu mau digosipin sama Dilar?”
Yuki menggeleng kuat-kuat. Kak Junna menatap Hamka, yang tahu pertanyaan selanjutnya tapi sudah geleng-geleng tanpa disuruh. Kak Junna menatapku dan Rey, tersenyum.
“Kalian keberatan barusan?”
Kami menggeleng.
“Nggak.”
“Itu perlu kan?” aku berkata mengangkat bahu.
“Nah, selesai.” Kak Junna menatap Yuki dan Hamka yang sepertinya masih tidak puas. Tapi tidak memprotes apapun lagi.
Berikutnya kami harus ke klub lain. Tapi tidak ada tanda-tanda kecurangan seperti klub band. Mereka setidaknya sudah menambah prestasi sekaligus mempertahankan prestasi yang lama. Anggota bertambah, peralatan juga perlu ditambah dan materi mereka perlu diperluas. Kalau sudah begitu, menambahkan dana juga perlu. Kami hanya harus menegur mereka karena menggunakan cara informal. Mereka harusnya melampirkan proposal.