“Permisi….”
Terdengar suara Kak Junna membuka pintu ruang band. Ada suara-suara yang terbebas dari ruangan itu dan terdengar sampai ke koridor tempat kami sembunyi.
Kak Junna sekarang sedang bertanya dan mengobrol dengan anggota ekskul band yang sepertinya masih serius. Karena ada suara alat musik yang terdengar dari dalam, meski tidak keras. Terang saja, karena sudah ketentuannya untuk memasang peredam suara di ruangan yang kemungkinan menimbulkan keributan di sekolah.
Rencana Kak Junna sederhana, ke sana dan tanyai soal anggota mereka. Rasanya aku bisa membayangkan bagaimana dia tanpa banyak usaha mendapatkan informasi.
“Permisi….”
“Eh…iya, ada apa ya?” tidak perlu perkenalan karena tidak ada satu orang pun di sekolah ini yang tidak mengenal sang Ratu.
“Maaf, si XXX ada?”
“Eh…nggak ada kak,”
“Wah, tapi biasanya ke sini kan? Dia masih anggota band kan?”
Anggota yang lain saling pandang. “Masih sih kak, tapi…yang udah nggak serius biasanya pada malas datang sekarang kak.”
“Wah, kok bisa gitu?”
“Jadi…”
“Hmm gitu…” Suara Kak Junna yang asli terdengar lagi. Suara pintu terbuka juga terdengar sekarang. Itu isyarat untukku dan Kak Dilar. Aku bergegas menuju ke pintu ruang itu.
“Ngg….Kak Junna!” aku memanggil. Kak Junna menoleh.
“Lho, Rey? Kok di sini?”
“Iya….aku nyari Kak Junna,” aku berusaha terdengar sesedih mungkin. Satu dua anggota ekskul melongok ke arah pintu, penasaran.
“Ada masalah apa?”
Aku terdiam.
“Rey!” kudengar Kak Dilar menyeru dari koridor. Dia pun muncul. Aku pura-pura terkejut dan menatap Kak Junna dengan tatapan memohon.
“Masuk dulu Rey.” Seakan langsung paham, dengan cepat aku menyusup masuk dan Kak Junna menutup pintu di belakangnya. Meninggalkanku di sarang ekskul ini.
Kira-kira ada 5 anggota yang masing-masing memegang alat musik tipikal yang digunakan dalam sebuah band. Gitar elektrik, gitar akustik, bass, drum, dan keyboard. Gitar elektrik dibiarkan tertutup debu di dinding, sedangkan tidak ada siapapun di bagian drum. Setelah mengamati dengan cepat, aku tersenyum malu. “Maaf, jadi ngrepotin, saya mampir sembunyi ya kak, ada ng….masalah sebentar.”
Salah satu anggota, sepertinya anak kelas sepuluh sepertiku mengangguk. “Cowok ya?”
Aku mengiyakan. Terdengar suara Kak Junna berusaha menenangkan Kak Dilar.
Terlihat mereka penasaran dengan siapa Kak Junna di balik pintu. Aku mengalihkannya dengan memainkan pepranku sebaik mungkin meski dengan resiko ketahuan akibat suara jantung yang bertalu-talu di telingaku.
“Masalah apa sih?” satu orang, cewek, bertanya padaku penasaran. Aku terkejut karena Kak Junna benar. Kalau nanti ada yang tanya, pasti anggota cewek.
Aku memasang wajah berat, menghela napas, “biasa, nggak peka. Masa barang yang kukasih malah rusak….”
Wajahnya langsung berubah bersemangat. “Wah, keterlaluan tuh. Masa udah susah payah kamu beliin malah dirusak? Cowok kasar ya begitu itu…” dia melotot ke arah personil yang cowok. Mereka meringis.
“Ya, Far, jangan disamain sama cowok-cowok begitu lah…”
“Iya nih, masa pukul rata begitu…”
Far (kutebak namanya Farah, mungkin), makin melotot. “Eh! Nih, banyak buktinya. Cowokku, kubeliin kaos malah dijadiin gombal! Anak-anak baru itu juga, seenaknya make, kasar-kasar lagi mainnya, alat-alat kita jadi rusak kan!!!”
Sekilas kulihat baju seragamnya, ternyata dia kelas dua belas. Pantas posisinya seakan lebih tinggi dari cowok-cowok itu.
“Ya….gimana lagi? Mereka hampir nggak pernah dateng lagi. Sekalinya dateng cuman absen biar nggak dimarahin Pak Johan.”
“Ya iya lah! Pengecut kayak gitu, sama guru nggak berani, sama kalian doang berani. Ditegasin dong!”
Oke, mungkin ceritaku terlalu membuatnya panas. Atau memang sumbu Kak Far ini yang pendek banget? Berkali-kali lipat cepet meledak dibanding Yuki. Aku hanya mendengarkan selama dia menyerocosi para cowok di ruangan itu bagai petasan. Mereka mungkin juga nggak sadar kalau Kak Junna dan kak Dilar udah nggak ribut lagi di luar. Ketika napas Kak Far rasanya sudah habis, dan aku sudah mendengar semua yang perlu kudengar, aku berdehem.
“Emm, maaf, kayaknya saya mau ke kelas aja kak. Eh, makasih udah ngijinin sembunyi di sini. Maaf kalau ngrepotin.” Aku sudah mau memutar ganggang pintu, tapi Kak Far malah meloncat ke arahku. Memegang bahuku. Kontan aku jadi agak takut melihat pandangannya yang berapi-api.
“Denger, ya, jangan mau dimainin sama cowok, kita perempuan harus kuat! Setia! Nggak kayak cowok, sekali liat ‘Ratu’ aja udah gemeteran kayak mereka!” dia menunjuk-nunjuk satu orang yang melongo. Aku meringis, tertawa gugup. “Ng, iya kak…makasih nasihatnya. Permisi…!” aku langsung ngeloyor keluar. Kak Far berteriak. “Kalau mau konsultasi datang aja ke 12-E, dek! Namaku Safar!“
Aku mengangguk dan tersenyum berterima kasih, lalu membelok ke koridor dimana empat orang lainnya menunggu. Selama itu yang ada di pikiranku justru kecewa karena salah menebak nama senior tadi.