Akhirnya, waktu yang ditunggu tiba. Kami berempat sudah berdiskusi, karena waktu istirahat sempit dan masih ada ulangan harian dan quiz-quiz lain, Yuki dan Kak Hamka berusaha untuk tidak saling cakar selama diskusi pendek itu. Mereka bahkan sepakat untuk memanggil masing-masing ketua ekskul untuk ikut rapat sore ini. Aku kebagian tugas untuk memberitahu anggota Divisiku agar bisa bersiap-siap. Jadwal kami untuk mempresentasikan rancangan kerja dimajukan karena masalah ekskul dianggap lebih mendesak.
“Tapi tetap aja, di awal rapat kita harus tanya soal persetujuan anggota lain. Rela nggak, gilirannya diserobot? Jadi kasih tahu ketua-ketua ekskul itu, datang aja dulu. Masalah Divisi Seni dan Budaya dimajukan atau nggak, nanti bisa musyawarah lagi. Kalau ternyata pada keberatan, seenggaknya kita bisa diskusi sebentar soal anggaran sebelum mulai untuk menentukan kapan waktu yang pas buat ngebahas masalah ini bareng ketua ekskul.”
Yuki dengan sedikit jengkel mengangguk. Aku tersenyum karena jengkelnya itu jengkel yang diakibatkan dirinya setuju dengan Kak Hamka. Kak Hamka sepertinya juga mulai agak nggak jutek melihat Yuki jadi agak jinak. Aku bertemu mata dengan Kak Dilar, kami tersenyum melihat mereka bisa sedikit akur begini. Coba kalau sampai seterusnya….