Aku mengernyit menatap layar smartphone-ku. Kami memang biasa chatting sebelum tidur. Selama tidak mengganggu jam masing-masing dan selama tidak ada Yuki atau Hamka yang menginap di rumah kami.
‘Kak, mau ngomong >-<’
Yang lucu dari Rey adalah betapa ekspresifnya dia di dunia maya dengan emoticonnya padahal di dunia nyata dia pemalunya minta ampun.
‘Ya? Knp?’
Setelahnya, dia chatting panjang mengenai masalah anggaran kemarin. Alasan rancangan anggaran Yuki yang dianggap berlebihan, adalah karena permintaan dari ekskul tari tradisional, band, dan sepertinya ada ekskul lain yang tidak diceritakan yuki ke Rey, dari nada bicara Yuki di telepon. Yang membuatku jengkel adalah sepertinya REY, yang HARUS menghubungi Yosi duluan untuk sekadar minta ijin inspeksi.
Dengan buru-buru dia mengetik lagi kalau yang diajak inspeksi adalah kak Junna, mantan Wakil Ketua I. Bukan Yosi. Dia hanya mau meminta ijinku. Keputusan yang bijak dan tidak. Bijak karena dia memikirkan dirinya dan aku, yang membuatku terenyuh. Keputusan untuk tidak dekat-dekat Yosi. Tidak karena inspeksi atas nama OSIS selain dengan ijin Ketua a.k.a. sahabat begoku Hamka, bisa memperunyam masalah. Aku menahannya agar tidak melakukan itu. Menghubungi Yosi maksudku. Sebagai gantinya aku akan meminta ijin Hamka dan Wakil Ketua yang wewenangnya lebih tinggi. Sebisa mungkin tanpa menyinggung Yuki.
*
“Ka.” Aku memanggil. Senin pagi ketika masuk kelas. Aku langsung ke kelas Hamka untuk membicarakan masalah yang kubahas bersama Rey kemarin. “Sini bentar.”
Kami pun ke tempat yang lebih sedikit orang.
“Kenapa? Udah dapet ijin orang yang bisa bantuin tugas seni?” dia bertanya penuh harap. Aku nyengir.
“Bukan, bego. Aku belum sempet nanya. Ini masalah lain.”
“Oh,” ketauan banget dia kecewa. Panik betul dia soal tugas seni yang masih dikumpul di akhir semester. “Terus?”
“Ada informan,” aku sedikit dramatis dengan menyebutnya informan, bukan teman, “yang bilang kalau beberapa cabang ekskul minta tambah dana anggaran untuk prasarana, padahal kemungkinan untuk nutupin kerusakan alat akibat perbuatan mereka sendiri.”
Hamka berkerut lagi wajahnya. Aku khawatir temanku itu bakal mengalami kerontokan atau penuaan dini karena terlalu serius berpikir. Apa perlu kurekomendasikan jamu anti kerut atau anti botak?
“Sebenernya aku sendiri udah curiga.”
Oh? Aku mengangkat alis, makin terangkat karena kalimat berikutnya yang diucapkannya.
“Risa bilang, dia bantu mengajari Yuki membuat anggaran. Tapi kayaknya ada banyak yang diam-diam ngedeketin anak itu buat minta tolong dinaikin anggarannya.”
Lah, itu tahu?
“Terus? Nggak mau diapa-apain?”
“Sebenernya aku nunggu anak itu sadar sendiri lagi dimanfaatin, tapi kayaknya hopeless.” Dia mendesah kesal.
Aku mengamatinya, “Jangan-jangan….kamu sebenernya peduli ya?”
“Peduli apa?”
“Sama Yuki.”
“Sebagai sesama pejabat OSIS dan sebagai kakak kelas yang berniat memberi contoh yang baik dan benar. Nggak kurang dan pastinya nggak lebih.” dia mendengus.
“Jadi bukan karena suka?”
“Enak aja! Ogah banget sama cewek keras kepala gitu.”
‘Ngaca hoi’, aku berkata dalam hati. Karena sahabatku bermuka badak untuk urusan kekurangannya sendiri.
“Terserah deh, terus kenapa benci banget gitu sama dia?”
Mumpung kami masuk ke topik ini, sekalian saja kutanyakan. Siapa tahu asal muasal hubungan anjing (Yuki) – kucing (Hamka, dia bakal ngamuk kalau kujadikan doggy) ini bakal jelas.
“…..” dia bungkam.
“Ka?”
“…..”
“Ham?”
“……”
“Hoi!”
Dia tersentak. Kesambet ni anak. “Jadi kenapa?”
“Nggak. Nggak sekarang, Lar.” Dia mengalihkan topik. Yah, aku nggak mau memaksa. “Oke deh, jadi, diizinin nggak? Yuki kayaknya bakal bertindak sendiri kalo nggak diizinin.”
“Iya aja deh, kamu yang bilang?” dia menyarankan.
“Iyalah! Sekolah langsung tersulut api kalau kalian ketemu dua kali dalam sehari. Mana entar ketemu pas rapat kan.”
“Sialan. Udah cepet sana!”
Aku terkekeh. Setidaknya ada alasan mengunjungi kelas Rey.