Aku tersenyum maklum, Yuki marah-marah di telepon. Rencananya dia mau menginap setelah kami menonton dengan Kak Junna. Tapi ketika kami sudah berada di rumah masing-masing, hujan datang tiba-tiba. Pakai mobil? Sayang. Jarak rumahku hanya kurang lebih 7 menit jalan kaki dari rumahnya. (Rumah Kak Dilar semenit jalan kaki dari rumahku, atau 45 detik?). Jalan kaki? Bahaya. Sudah lebih dari jam 6 sore sekarang. Makanya dia harus puas dengan curhatan lewat telepon.
“Kak Risa bilang rancanganku memang agak berlebihan. Ya habis gimana? Si Fajar, yang ekskul band, bilang drumnya udah rusak. Terus Tari yang ekskul nari (no pun intended), bilang mereka nggak akan bisa ikut lomba kalau budgetnya nggak ditambah meski sedikit. Aku kan cuman mendengarkan aspirasi rakyat? Masak si Hamster itu nggak mau ngerti sih???”
Hamster itu nama panggilan, dengan maksud mengejek, untuk Kak Hamka. Aku meringis. Kenapa dia bisa-bisanya menamai senior kami dengan nama hewan? Apalagi badan Kak Hamka tinggi besar, beda banget sama hamster yang kecil dan lucu. Mungkin marmut lebih cocok. Eh? Kenapa aku jadi ikutan ngejek? Ketularan Yuki nih kayaknya.
“Nggg….memangnya bener drum klub band rusak?”
Ada jeda sedikit di telepon. “Ya…..”
Aku menghela napas, menggeleng meski Yuki di seberang sana nggak bisa liat. Sahabatku memang keras kepala, ambisius, tapi baik hati. Dia merasa terpanggil untuk menolong orang-orang di sekitarnya. Yang sayangnya, banyak orang yang memanfaatkan sifatnya yang empatik dan tidak pandang bulu, tidak berpikir, selama dia bisa menolong orang yang meminta bantuannya. Aku mengingatkannya sekali lagi.
“Yuki….mending kamu selidiki dulu. Bener nggak yang dibilang mereka-mereka itu?” aku mengatakannya selembut mungkin. “Karena klub band itu, kata anak-anak, anggotanya banyak, tapi katanya sebagian besar nggak serius. Apalagi alat musik yang cuma sebiji-sebiji itu dipakai ramai-ramai. Kalau memang rusak, bukan karena sudah tua atau apa, tapi karena kesalahan anggota ya….harusnya mereka yang mengganti, kan?”
Yuki diam. Tahu aku ada benarnya.
“Kalau soal Tari bener kok.” dia membela diri. Kalau soal ini aku pun tahu. Ekskul tari sendiri memang nggak populer sekarang. Tari di sini maksudnya tari tradisional. Anggotanya kurang dari 10 orang, dan pembimbingnya pun harus memanggil dari luar sekolah dan itupun hanya 2 minggu sekali. Kadang sebulan sekali. Sulit untuk berprestasi kalau bukan karena usaha keras dan sarana yang cukup.
“Berarti yang soal Fajar belum tahu bener nggaknya kan?”
Dia, bisa kubayangkan, manyun di seberang telepon. Kadang, atau bisa dibilang sering, salah satu sifat jeleknya keluar. Tidak suka kalah. Bahkan kalau lawan bicaranya benar.
“Besok kita periksa gimana? Kan bisa dibilang inspeksi, aku minta ijin Kak Yosi, sebagai Ketua Divisi Seni dan Budaya…”
“Hmmmm….” Suara berpikir Yuki terdengar sampai ke telingaku. Dia akhirnya mengalah, “iya deh…”
“Kak Junna mungkin bisa bantu? Cuma untuk jaga-jaga aja.”
“Heh? Aku nggak papa sih…bukannya mending Kak Yosi? Dia kan cowok. Kalau memang ternyata Fajar boong atau disuruh boong, bisa dibuat keder…”
Aku tertawa agak gugup. Aku risih sejak rapat itu. Membayangkan harus chat Kak Yosi malam ini pun membuatku takut. Jangan-jangan aku bakal bikin senior itu kegeeran.
Atau bikin Kak Dilar nmarah.
Aku dengan cepat membalas, “Kak Junna kan cerita baru-baru ini dia belajar ilmu deduksi kayak detektif gitu kan? Siapa tahu dia bisa nemuin bukti-bukti gitu…”
“Iya juga ya. Ku chat sekarang ah! See you beb!”
Aku sedikit tersinggung, dia menyudahi sesi teleponan kami begitu saja untuk mengobrol dengan ‘idola-nya’. Tapi aku sendiri mengerti kenapa Kak Junna diidolakan. Dia jauh lebih dewasa, meski cuman beda dua tahun dengan kami. Dewasa di sini berarti tahu mana yang benar dan yang salah. Percaya diri, dan memiliki mindset yang membuat orang kagum. Untuk pertama kalinya hari ini, aku dan Yuki yang tidak suka film action, bisa menikmati film action dengan twist tentang politik dan romansa yang tidak berlebihan ataupun norak. Kak Karina juga baik. Agak aneh ketika sahabat laki-laki mereka ikut. Tapi kami tahu setelah berkenalan. Dia agak kecewek-cewekan, bahkan tahu tips-tips dandan dan fashion terkini. Namanya, agak membingungkan, Kak Yoshi, dengan ‘h’ (untungnya Yuki pernah mengajariku kalau ada vocal ‘shi’ dalam Bahasa Jepang, makanya dia tidak kesulitan membedakan Yosi dan Yoshi).
*