Rumahku adalah klinik untuk hewan peliharaan di kompleks perumahan. Setiap pulang sekolah, aku ganti menjaga pet shop di bagian depan, sementara pegawai part time yang kami bayar tersenyum dan melambai dengan riang karena sudah bebas tugas.
Karena tidak ada pelanggan yang harus dilayani aku meraih smartphone ku dan mengetik untuk seseorang. Masih sedikit geram dan dadaku terasa panas.
‘Aku d rmh. Kutunggu.’
Bahasa chat-ku menunjukkan kemarahan. Sikapku kekanak-kanakan. Tapi mau bagaimana lagi?
Sebuah meongan langsung muncul tepat setelah kutekan tombol send. Sebuah kucing hitam tuksedo jantan di dalam kandang muncul pertama. Barulah pemiliknya yang takut-takut melongok muncul. Aku menatapnya dengan pandangan agak terlalu dingin, membuatnya tambah mengkerut.
“Em…Kak Dilar…”
“Masuk Rey.”
Tanpa berkata apa-apa, aku meraih kandang Mamo, si kucing hitam itu. Lalu menyerahkannya pada kakakku yang bertugas melakukan grooming. Sementara itu, dia masih berdiri kaku di depan counter. Aku mengangkat alis.
“Duduk aja.”
Dia pun duduk. Wajahnya masih menunduk. Aku menghela napas. Lalu meraih ujung dagunya, “Hei,”dia mendongak, matanya yang cokelat gelap jernih menatapku dengan rasa bersalah. Padahal aku tahu dia tidak bersalah. “Aku nggak marah.”
Dia mengerjap, “Beneran?”
“….” Aku dengan kikuk berpikir lagi, “yah…cemburu, sedikit. Jadi bukan salahku kalau ‘marah’-nya ngikut.”
Akhirnya dia tertawa, kecil. Tapi cukup untuk membuat wajahku tersenyum dan hatiku menghangat.
“Yuki nggak ke rumahmu?” dia menggeleng.
“Katanya mau balas dendam dan bikin rencana kerja yang lebih bagus, jadi dia ke tempat kak Risa Bendahara 1. Kak Hamka nggak ke sini?”
“Nggak, dia capek pasti. Lagian kubilang ada jadwal grooming anjing besarnya Pak Jaya hari ini.”
Dia melongo sedikit, “memang Pak Jaya punya anjing?”. Pak Jaya adalah tetangga kami yang kerjanya hanya duduk di teras, bercerita kepada anggota keluarganya yang menganggur tentang perjuangannya di perang kemerdekaan. Dan seingat Rey yang pernah jadi korban karena ditugaskan ibunya mengantar makanan, di rumah Pak Jaya tidak ada hewan peliharaan, apalagi anjing.
“Nggak.” Kujawab cepat. Dia sadar aku sengaja karena Hamka phobia anjing. Kami tersenyum, lalu tertawa.
Kalau saja tadi pulang sekolah lebih cepat, kami bisa lebih cepat berduaan. Tidak mudah pacaran ketika masing-masing sahabat kami bermusuhan. Tapi aku sudah bertekad sejak SMP dan kami pun mulai pacaran ketika dia masuk SMA.