Diam, sunyi sejenak menghantui rapat. Lebih karena dua orang bego yang nggak mau ngalah. Salah satu dari orang bego itu sahabatku, tapi tetap saja dia bego karena buang-buang tenaga.
Sebenarnya debat seperti ini perlu, yang nggak perlu dari debat ini adalah, hari ini kelanjutan debat yang kemarin! Dan ini sudah mau jam sekolah ditutup, siswa tidak diperbolehkan berada di sekolah setelah jam 17.30. Satu menit telat pun tidak. Dan sialnya, sebagai Kepala Divisi Kedisiplinan dan Keamanan, tugasku mengumumkan hal tersebut untuk menyadarkan dua pejabat bego itu agar melanjutkan debatnya besok.
Kutengok jam tangan, masih jam 17.15. Waktu harus bergulir dengan cepat. Tidak ada yang mau berada di ruang OSIS lebih lama dari yang seharusnya, apalagi selama tiga hari berturut-turut, tapi semua yang ada di sini punya tanggung jawab. Dan syukurlah mereka semua pejabat yang sadar posisi.
Hampir semuanya.
Sudah 15 menit aku melemparkan pandangan membunuh ke seberang ruangan. Harusnya, sebagai Divisi Kedisiplinan dan Keamanan, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan setiap 10-15 menit untuk mengawasi siapa yang tidak mengikuti rapat dengan disiplin. Yang artinya bermain smartphone, mengobrol keras-keras, dan berdiskusi lagi karena sudah sepantasnya diskusi dilakukan terbuka ketika giliran masing-masing divisi menyampaikan rencana kerjanya. Tapi tidak bisa untuk yang ini, Yosi, teman sekelasku, Ketua Divisi Seni dan Budaya malah menggerutu keras-keras. Aku bisa mendengar apa yang dikatakannya di seberang ruangan meski suara Hamka dan Yuki menenggelamkan suara lain di ruangan (sekeras itulah mereka berdebat).
Ditambah pemandangan si Yosi mencoba menggoda anak kelas sepuluh anggotanya. Aku melotot, bukan ke arah Yosi, tapi ke arah Rey, anak kelas sepuluh yang mencoba menghindar dari Yosi sekaligus tatapan membunuhku.
Yosi malah semakin mencoba mendekat, sementara Rey mulai menjauh karena jengah. Anak itu tetap memasang senyum sopan meski senyum itu dipaksakan. Aku tidak tahan lagi. Aku mengetuk meja keras-keras dan membuat kedua orang yang berdebat di depan menoleh dengan tatapan membara. Ruangan sudah panas dan empat orang yang selama ini kusebut malah membuatnya tambah panas. Aku berkata dengan suara yang dibesar-besarkan.
“Lima belas menit lagi.”
Keduanya (Yuki dan Hamka), menatap satu sama lain tapi dengan pandangan sinis yang seakan mengatakan “Iiiih, jijik”, baru saja sadar sudah membuang waktu berharga dari waktu kegiatan OSIS yang terbatas.
“Yah,” Hamka akhirnya berbicara, “untuk urusan yang diperdebatkan dimasukkan ke dalam catatan. Mulai besok akan langsung masuk ke masing-masing divisi.”
Banyak yang terang-terangan menghela napas lega. Akhirnya hasil kerja mereka akan terbayar besok.
“Rapat diundur sekali lagi. Semuanya boleh pulang.” Hamka memutuskan. Dia lalu menoleh ke arah sekretaris untuk memastikan ada poin baru (dalam perdebatan) yang mesti dicatat. Sekretaris 2 yang malang, karena tugasnyalah mencatat segala jalan rapat tanpa menyela atau melewatkan satu poin pun.
Akhirnya, pulang.
*