“ Bagaikan menunggu bintang jatuh begitupun saat aku menantikan seseorang yang menganggapku ada”
Akhir-akhir ini aku selalu dipertemukan olehnya. Aku senang bisa selalu bertemu dengannya karena organisasi itu, tapi aku juga sedih karena aku tak pernah mengenalnya. Menurutku dia hanyalah seseorang yang sampai saat ini aku kagumi. Saat kami sedang mengadakan rapat, dia ada didekatku bahkan dia tak pernah menatapku sedikitpun.
“Lu kenal dia ge?” Ucap dayana sambil menunjuk ke arah cowok yang dia kagumi itu.
“Iya gue tau, kenapa emangnya day?” Sahut geya sambil penasaran.
“Siapa namanya ge?” Tanya dayana dengan nada perlahan.
“Namanya arga, kenapa day? Lu kepo ya sama dia?” Jawab geya sambil mencolek dayana. Tiba-tiba geya langsung memanggil arga “Arga, dipanggil dayana nih.”
“Isss apaan sih lu ge.” Sahut dayana dengan wajah malu dan memukul geya.
Saat itu aku melihatnya seakan aku ingin menyapanya, tapi dia hanya menatapku dengan wajah cuek seakan kami tak pernah menyapa. Aku hanya bisa memilih untuk diam dan aku berpikir apa mungkin sifatnya emang begitu, atau mungkin saat itu saat dia menyapaku, itu bukan untukku tapi untuk orang lain.
Dan bahkan namanya arga? Apakah dia itu mantannya lena? Aku pun berpikir, tapi nggak mungkin arga ini mantannya lena. Lena aja nggak pernah cerita kalo dia kuliah satu fakultas denganku. Terlepas dari semua itu aku mencoba untuk bertanya kepada geya.
“Ge, lu jangan kayak gitu lagi deh. Lu lihat nggak tadi dia cuman diam aja ngeliatin aku.” Sahut dayana dengan wajah bete sesekali melirik ke arah arga.
“Iyaiya maaf ya day, abisnya lu kayak kepo gitu sama dia. Yaudah deh gue panggil aja, kan enak gitu bercandain dia.” Kata geya sambil senyum-senyum.
“Jahat lu ge, emangnya dia sifatnya gitu ya.” Tanya dayana penasaran.
“Gitu gimana day?” Kata geya dengan wajah bingung.
“Yaa kalo dibercandain gitu langsung marah ya?” Tanya dayana sangat penasaran.
“Ooh nggak sih sebenarnya dia itu orangnya baik, cuman dia itu orangnya agak pendiam dan jutek gitu sih tapi ganteng kan? Ya nggak day?” Tanya geya sambil bercandain dayana.
Hmm (aku pun berpikir untuk menjawab pertanyaan dari geya). Tiba-tiba geya langsung bertanya kepadaku.
“Ohya bukannya arga itu orang yang kamu lihatin segitunya waktu di dekat kantin itu ya, wahh sudah ketahuan banget ni lu day?” Tanya geya sambil melirik ke arah arga dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Iya emang kenapa?” Sahut dayana dengan nada tegas. “Ketahuan apanya si ge? Kamu tu ya suudzon aja sama aku. Perasaan aku nggak ngapa-ngapain dialah.” Jawab dayana dengan wajah bete.
“Hehe iyaiya deh bercanda aja day. Waktu itu kenapa lu nggak nanya aja sama gue kalo lu pengen kenal sama dia.” Kata geya yang selalu bercandain dayana.
“Waktu itu aku nggak pengen kenal sama dia ge, sekarang aku nanya sama lu nama dia itu karena aku itu pengen kenal aja sama orang-orang di organisasi ini ge.” Jawab dayana sambil teriak dan dengan wajah bete.
“Ngomongnya jangan kencang-kencang day, nanti kedengaran lu sama orangnya. Kan gawat nantinya kalo kedengaran sama arga.” Sahut geya sambil menepuk pundaknya dayana.
“Duhh iya gawat deh kalo sampe kedengaran.” Jawab dayana sambil menutup mulutnya.
Berjam-jam sudah berlalu, akhirnya kami selesai mengadakan rapatnya. Semua orang bergantian pulang, aku pun juga sedang menunggu jemputanku. Geya juga sedang menunggu jemputannya, tiba-tiba geya pun sudah dijemput dan akhirnya aku ditinggal sendirian. Dan saat ini aku hanya menunggu sendirian tanpa ada seseorang pun disampingku.
Saat aku duduk menunggu jemputan, tiba-tiba arga berjalan ke arahku dan juga duduk di tempat yang saat ini sedang aku duduki tapi jauh disebelah sana. Disini hanya ada kami berdua, disaat langit mulai gelap dan senja sore sedang menanti. Kami hanya sama-sama diam tanpa ada terucap satu patah kata pun. Aku berusaha untuk berbicara tapi aku takut dia tak menanggapiku. Beberapa menit sudah berlalu, aku tak tahu dia sedang menunggu siapa. Dan apakah dia juga menunggu jemputan sepertiku, aku tak tahu. Saat tiba jemputanku datang aku pun pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sama sepertiku dia pun tak berbicara satu patah katapun dan hanya terdiam. Aku hanya terus berjalan dan sesekali melihat ke arahnya dengan sangat lama, dan saat itu dia melihatku dari kejauhan sambil menatap diam ke arahku.
Malam tiba, langit pun mulai gelap dan suara sunyi terdengar dengan jelas. Aku berada di luar ruangan sambil menatap ke arah langit yang terang disinari oleh bulan dan bintang. Terlintas di benakku kepikiran dengan si arga, aku selalu berpikir apakah arga mantannya lena? Tapi kenapa lena ga pernah cerita kalo emang arga itu adalah arga mantannya lena. Mungkin bukan, karena lena selalu cerita sama aku tentang apa aja itu. Apa aku tanya aja sama lena? Ahh nggak usahlah mungkin cuma namanya aja yang sama. Ucapku dalam hati..
Berhari-hari sudah berlalu, saat tugas mulai menumpuk lagi. Aku sangat rajin pergi ke perpustakaan bahkan sampai-sampai aku tak sempat untuk bermain dengan sahabat-sahabatku lagi. Saat aku asyik mengerjakan tugasku, tanpa disadari arga duduk di depanku dan dia bertanya kepadaku.
“Hei dayana, ngapain?” Tanya arga sambil duduk di depan dayana.
“Eh hai arga, nggg.. nggak ada lagi ngerjain tugas aja.” Jawab dayana tergagu-gagu dengan wajah terkejut.
“Ooh sendirian aja?” Tanya lagi arga kepada dayana sambil menatap ke mata dayana.
“I..iiya ga aku cuman sendirian aja.” Jawab dayana sambil menatap balik ke mata arga dan malu-malu. “Ohya kamu mau ngerjain tugas juga ya?” Tanya dayana pura-pura nulis sesuatu di bukunya.
“Nggak day aku emang suka baca buku aja, jadinya suka ke perpus. Tugas kamu susah ga? Sini biar aku bantu, mungkin aja aku tau.” Kata arga sambil berdiri dan melihat tugasnya dayana.
Saat itu untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan yang dulu pernah hilang. Senang rasanya melihatnya seperti ini, berada di dekatnya seakan hatiku berguncang dengan kuatnya. Entah kenapa aku merasakan perasaan yang aneh, sesuatu yang membuatku bingung dengannya. Terkadang dia mengenalku dan mendekatiku, seolah-olah kami sangat kenal akrab. Namun terkadang dia tidak mengenalku bahkan tidak menyapaku. Hatiku mulai dilema, apa perasaan ini benar?
Berhari-hari telah terlewatkan, aku dan arga semakin dekat. Dia sering bermain denganku, jalan bersamaku, ngerjain tugas bersama, bahkan hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Tertawa bersama, sedih bersama, bersama dengannya membuatku bahagia. Aku selalu menatapnya dengan penuh perasaan seakan aku mengharapkannya. Aku selalu berharap selamanya seperti ini, sesuatu yang tak pernah aku lupakan hingga tertidur pun masih bisa merasakan kebahagiaan ini. Aku berharap dia tak pernah hilang. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, bahkan aku tak tau itu. Apa mungkin dia tau apa yang aku rasakan saat ini? Dan apa mungkin dia juga merasakan hal yang sama?
Aku tak mengerti apa maunya hati ini, haruskah aku berkata sejujurnya kepada dia? Ataukah ku pendam rasa ini saja? Pikirku dalam hati. Biarlah semuanya begini aku tlah nyaman dengan keadaan seperti ini. Aku nyaman berada di dekatnya, bahkan bagaimana ini akan berakhir akupun tak tau. Lebih baik tetap begini hingga semuanya berakhir dengan indah.
Seandainya aku bisa berkata sejujurnya, aku akan mengatakannya. Tapi aku takut semua kebahagiaan ini akan hilang dan tak berarti. Aku berjalan ke kelas geya untuk menghampirinya dan menunggu di depan kelasnya.
Ge buruan keluar, aku dari tadi tau nungguin lu. Mencoba sms geya dengan mengirimkan berulang-ulang kali.
Geya berjalan keluar kelas sambil berbicara dengan sewot kepada dayana. “Sabar ngapa day, hp gue silent jadi kagak kedengaran deh.”
“Yuk ke kantin temenin aku makan, lapar nih.” Ajak dayana ke geya.
“Tumben biasanya sama arga, dapat yang baru gue ditinggalin. Eh giliran ga sama dia, larinya ke gue.” Ucap geya dengan sewot.
“Bukan gitu ge, lagian aku cuman sesekali aja sama si arga. Nggak setiap hari tu! Kamu kan sahabat aku paling baik ge, temenin ya soalnya aku mau cerita nih.” Sahut dayana sambil membujuk geya.
“Iyadeh buruan ntar masuk lagi.” Kata geya masih dengan wajah kesal.
“Senyum dulu ge, kamu marah ya?” Kata dayana sambil bete.
“Gue ga marah kok day.” Jawab geya dengan nada perlahan dan sambil tersenyum.
“Nah gitu dong hehe.” Ucap dayana sambil merangkul geya dan berjalan ke arah tempat duduk di kantin yang masih kosong.
Setelah kami duduk kemudian kami pun memesan makanan dan sambil menunggu makanan datang, geya pun bertanya kepadaku soal masalah yang ingin aku ceritakan.
“Katanya tadi mau cerita, emang mau cerita apa?” Tanya geya kepada dayana.
“Gini ge soal arga. Dia itu gimana ya dulunya ge, lu tau nggak?” Tanya dayana dengan penasaran.
“Kok lu malah nanya ke gue sih day, bukannya lu udah kenal dekat banget tu sama si arga? Bahkan kemana-mana aja sering berdua.” Jawab geya dan bertanya kembali dengan dayana sambil meminum pesanan yang barusan datang.
“Ihh kan aku nanya masa lalunya gimana, bukan soal dia yang sekarang ge.” Jawab dayana dengan wajah bete.
“Emang aku mantannya kamu tanya-tanya gitu.” Jawab geya dengan kesal.
“Bukan gitu geyaaa, aku cuman mau tanya aja siapa mantannya dia dulu, hufftt.” Sahut dayana dengan wajah lesu.
“Ooh gitu, aku juga gatau tuh day, siapa mantannya dulu. Soalnya arga itu orangnya tertutup, jd kayak ga pernah cerita-cerita gitu ke orang lain. Tapi coba aja lu tanya ke teman-teman cowoknya mungkin aja tau day ehehe.” Tawa geya sambil menahannya.
“Gila aja lu ge, aku ga segitunya juga kali.” Jawab dayana dengan kesal sambil meminum minumannya.
“Aku duluan ya ge, bete aku cerita sama lu ge ga ada serius-seriusnya.” Kata dayana sambil berjalan dengan cepat tanpa melihat jalan yang ada di sekelilingnya.
Tiba-tiba tanpa melihat jalan yang ada di sekelilingku, tanpa disadari aku ketabrak dengan seseorang. “Eh sorry-sorry” kata dayana sambil berjalan lurus terus tanpa melihat orang itu.
“Day” sahut teriakan seseorang dari belakangku.
Aku pun menoleh ke belakang dan tanpa disadari ternyata orang itu adalah dito. Aku langsung berhenti dan menunggu dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Hai, day. Apa kabar kamu? Akhir-akhir ini kok aku jarang banget ngeliat kamu sama geya yaa?”
“Oh ituu kabar aku baik-baik aja sih,” jawab dayana dengan cueknya.
“Terus kok kamu jarang main gitu sama geya?” Tanya dito dengan penasaran.
Aku pun berhenti berpikir sejenak, karena akhir-akhir ini aku sering main sama arga bukan geya, tiba-tiba aku jadi keinget arga dia ngapain yaa sekarang.
“Day kok bengong? Duduk disitu dulu yuk, ada yang mau aku tanyain.” Ucap dito sambil memukul pundak dayana.
“Oh iya dit,” berjalan ke arah tempat duduk yang ditunjuk oleh dito.
Kami pun mengobrol dan bercerita panjang lebar sampai tersadar kalo aku ada jadwal kuliah. “Maaf ya dit, aku harus pergi dulu soalnya ada jadwal kuliah lagi ni,” tersentak dayana sambil menarik tasnya dengan buru-buru.
“Iya day, hati-hati yaa semangat belajarnya. Nanti malam aku telpon yaa,” teriak dito sambil tersenyum.
Aku pun hanya menoleh ke belakang sambil tersenyum ke arah dito.
Saat duduk di kelas aku pun termenung memikirkan dito, ternyata dito orangnya asyik juga yaa, ucap dalam hatiku sambil tersenyum.
Malam pun tiba, “hari ini kok arga ga ada kabarnya sama sekali yaa.” Ucapku sambil melihat ponsel.
“Tanya duluan aja kak,” sahut naya.
“Ga ah, males banget nanya duluan, biarin aja deh. Toh arga bukan siapa-siapa aku juga.” Jawab dayana dengan murung.
“Nanti nyesel lu kak, baru tau rasanya gimana.” Sahut naya sambil tertawa singkat.
“Sok tau lu nay, kayak pernah ngerasain aja haha.” Ucap dayana sambil mengejek naya.
“Ih gue taulah yaa, gue ga pernah aja cerita sama lu kak.” Sahut naya sambil cemberut.
Tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi, aku buru-buru mengambil ponselku. Dan nyatanya tidak sesuai dengan harapan, “yahh aku kira arga yang nelpon, eh taunya si dito.” Ucap dayana dengan nada tidak bersemangat.
“Ditooo? Siapa lagi itu kak? Kok ga pernah cerita?” Ucap naya dengan sangat penasaran.
“Nanti ajalah yaa aku ceritain, aku mau angkat telponnya dulu.” Sahut dayana masih dengan wajah bete.
“Halo dit,” jawab dayana dalam telpon.
“Hai day, apa kabar? Ga apa kan aku telpon ni, ganggu ga?” Tanya dito dalam telpon.
“Aku baik dit, iya ga apa dit ga ganggu kok.” Jawab dayana dalam telpon.
Kami pun bercerita tentang urusan kuliah dan tentunya masalah organisasi yang kami ikuti berdua. Tanpa disadari waktu pun sudah larut malam dan aku pun sudah mulai mengantuk. “Dit udah dulu ya, aku mau tidur sudah malam soalnya.” Ucap dayana dalam telpon.
“ Oh iya maaf ya day sampe kelupaan waktu ni, makasi ya day udah mau dengerin cerita aku dan udah mau nemenin aku malam ini. Hem kalo boleh tau kamu besok sibuk nggak?” Tanya dito dalam telpon.
“Kayaknya ga sibuk dit, soalnya besok gaada jadwal kuliah. Kenapa emangnya dit?” Tanya dayana dalam telpon.
“Beneran nih nggak sibuk? Temenin aku ke suatu tempat yuk day besok, mau nggak?” Tanya dito dalam telpon.
“Kemana emangnya dit?” Tanya dayana dalam telpon.
“Ikut aja deh besok pasti kamu suka deh tempatnya.” Jawab dito dalam telpon.
“Okedeh dit, udah dulu ya bye.” Jawab dayana sambil mematikan telpon dari dito.
Keesokan harinya dito sudah sampai di rumahku. “ Masuk dulu dit, aku mau siap-siap dulu.” Ucap dayana sambil tersenyum.
“Iya day,” jawab dito sambil memasuki ruang tamu rumah dayana.
Beberapa saat kemudian, “ nah aku sudah siap ni dit, yuk kita mau kemana emangnya?” Tanya dayana sambil penasaran.
“Suatu tempat yang paling indah, pasti kamu belum pernah kesana. Ga aku bawa kemana-mana kok day, percaya aja sama aku yaa.” Ucap dito sambil meyakinkan kepada dayana dan tersenyum.
“Iya-iya aku percaya tapi tu inikan sudah hampir sore dit.” Sahut dayana dengan nada suara yang lembut.
“Udah ikut aja day, aku yakin deh kamu pasti nggak akan pernah bisa lupa sama tempat itu dan juga nggak akan pernah menyesal datang kesitu.” Ucap dito sambil meyakinkan kembali kepada dayana.
“Yaudah yuk jalan.” Kata dayana dengan wajah penasaran.
Beberapa menit telah berlalu, dan akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. “ Udah sampe yaa dit?” Tanya dayana dengan penasaran.
“Iya day, yuk turun.” Sahut dito mengajak dayana.
“Kamu yakinn? Kok sepi banget dit?” Tanya dayana dengan nada was-was.
“Ga usah takut, di bawah situ banyak orang kok. Percaya deh day.” Sahut dito meyakinkan dayana.
Kami pun berjalan ke bawah dan ternyata benar kata dito kalau tempat ini sangat-sangat indah. Aku pun tercengang melihat keindahan alam itu, tanpa disadari dito menarik tanganku dan berkata “Cepetan day, nanti keburu hilang sunset nya.” Sahut dito sambil menarik tanganku.
Tiba-tiba aku pun berhenti dengan melepaskan genggamaan tangan dito dan merasakan seolah-olah ada yang memperhatikanku, aku melihat ke segala arah. Ternyata dia yang melihatku, dia yang aku kenal, dia yang aku kagumi bahkan dia yang benar-benar aku rindukan saat ini. Dia adalah “arga”.
“Arrrrga, panggilku dengan keras tiba-tiba mengecil.” Saat itu dia melihatku dan menoleh ke arah lain. Dia seperti melihat seseorang yang tidak mengenalnya, padahal aku ini sangat-sangat mengenalnya dengan baik. Apakah hanya aku saja yang menganggapnya seperti itu? Kenapa rasanya ini kembali lagi? Rasa saat dimana aku dan arga sama-sama belum mengenal satu sama lain. Aku berpikir kenapa arga seperti ini padaku, apa salahku dengannya, kenapa dia memperlakukanku seperti ini, padahal aku sangat merindukannya, orang yang saat ini benar-benar kurindukan.
Aku pun langsung berjalan cepat berbalik arah dan melepaskan tangan dito. Saat itu aku sangat sedih, kecewa, kesal, campur aduk, rasanya pengen nangis, rasanya air mata ini sudah hampir mau netes. Apakah saat ini dia melihatku? Aku pun tak tahu itu.
“Dayyy,” sahut dito sambil mengejarku.
Aku hanya terdiam dan terus jalan ke arah depan dan mencoba untuk tidak memperdulikan dito.
“Dayy kenapa kamu lari?” Sentak dito sambil menarik tanganku.
Aku hanya terdiam dan menunduk.
“Day, lihat aku pleasee. Kamu kenapa?” Tanya dito sambil menaikkan dahuku.
Aku nggak bisa menahan air mata ini, dan akhirnya menetes juga. Aku pun berkata “Nggak apa dit, aku cuman mau pulang.” Sahutku tetap nggak mau melihat ke arah dito.
“Iya kita pulang, tapi kenapa kamu nangis gitu? Salah aku yaa? Maafin aku day kalo aku salah ngajakin kamu kesini.” Tanya dito dengan wajah sedih.
“Nggak ditt, bukan salah kamu kok. Aku cuman kecapekkan aja dan cuman mau pulang.” Jelas dayana dengan wajah menunduk ke bawah.
“Yaudah kalo kamu nggak mau cerita sama aku dayy, aku coba ngertiin kamu kok. Yaudah aku antarin pulang ya day?” Tanya dito.
“Iyaa dit,” sahutku sambil mengangguk.
Saat perjalanan pulang kami hanya terdiam sampai ke rumahku, tidak ada obrolan di antara aku dan dito. Aku tahu mungkin saat itu dito bingung dengan sikapku kenapa tiba-tiba seperti itu, rasanya mulutku bungkam dan aku nggak bisa mengutarakannya.
Sesampaiku di rumah, aku tidak bisa berhenti menangis. Aku bingung kenapa aku terus-terusan menangis. Apa mungkin ini beneran terjadi? Aku jatuh cinta kepadanya, arga jujur aku tidak mengerti dengan perasaanku saat ini.
“Aku Ini Apa?”
Pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan. Tapi tak pernah bisa kuutarakan. Sikapmu yang selalu memperlakukanku seperti itu, membuatku merasa seperti orang yang spesial. Dan hatiku berkata seperti itu.
Kau selalu ada saat aku susah. Kau selalu menemaniku. Kau hanya melihatku. Perhatian itu... bagiku memiliki arti. Tapi kau tak pernah mengatakannya. Aku tak perlu kode, karena aku tak mudah peka. Atau hanya aku sendiri yang berharap lebih padamu? Ataukah kau juga merasakan hal yang sama?
Sebagai seorang wanita, tentunya aku ingin kepastian. Kepastian yang akan menenangkan hatiku. Kepastian yang layak aku harapkan. Bukan hanya saling menjaga komitmen, mungkin itu bisa membuatmu nyaman. Tapi untukku tidak. Komitmen tidak menjadikanku seutuhnya milikmu.
Aku sangat takut sekali dengan hubungan yang hanya memegang komitmen. Ya benar.. aku memang tak mudah percaya dengan komitmen..
Jadi, bisakah kau jelaskan aku ini apa bagimu?