Kalau masalah pacar, aku punya ketika aku kelas 3 SMA dan pacarku anak kuliahan. Namanya Handi, kakak senior, dia sebenanya jahat, tapi ketolong sama mukanya yang sedikit cakep. Makanya itu, kadang aku sayang banget kalau putus sama Handi. Dia itu, first love aku, tapi sayang bukan last. Em… nggak papa sih, kan tadi aku udah bilang kalau dia itu sebenarnya jahat. Hanya menang ganteng aja, jadi aku sedikit enggan untuk aku putusin. Hahhaa, alhasil aku lah yang diputusin. Tahu nggak, mutusinnya waktu ujian nasional lagi. Sialan bener itu si Handi. Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Rana, jangan melihat orang dari luarnya aja. Habis, aku sudah tertarik sama dia sih. Hihihi
Cerita cinta mengenai Handi ini, sebenarnya malas aku untuk mengingatnya. Tapi ini juga salah satu proses Meta untuk menjadi kupu-kupu. Kadang kesal kalau mama selalu membandingkan Handi dengan pria pria lain yang aku ajak ke rumah. Kalau simbok si netral, ia hanya memberitahu kalau Handi itu sedikit play. Ish, kan gimana gitu ya, ganteng sih tapi play. Sukurin, sekarang udah nggak ganteng lagi. Saat ini pun Handi sudah menikah dan memiliki anak. Tahu nggak nikahnya sama siapa? Sama selingkuannya, gara-gara itu perempuan aku diputusin, waktu UN. Ish, pengen aku mutilasi banget nget nget. Tapi ya sudahlah, seperti apa kata orang. Kalau menikah itu kan saling menyempurnakan ya. Nah Handi ini nggak punya muka, cocok banget dia nikah sama perempuan yang bermuka dua itu. Tentu saja aku berani mengatakan demikian, alasannya banyak dan yang paling penting adalah dia tidak bisa memegang janji dan ucapannya. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan mereka mau nikah, cerai, atau akur. Aku pun sudah tidak memikirkan Handi lagi. Jika mengingat hal itu, sangat kesal karena perilaku perempuan juragan bibir itu. Sukanya manis di depan aku, tapi nusuk di belakang. Pokoknya jahat banget.
Aku benci bukan karena dia menikah dengan Handi. Tapi kata-katanya tidak ada yang bisa aku percaya. Misalnya, ketika dia minta maaf dan sok menyadari kesalahannya. Setelah itu aku mau berteman denganya lagi, eh tapi akunya dikasarin dan dikata-katain. Kata-katanya kotor banget, bahkan sampai bilang Handi agar aku tidak menganggunya. Please deh! Yang salah siapa yang sebel siapa? Kemudian ada lagi, dia memutar balikan fakta. Rana juga nggak percaya dengan kata-kataku ketika bercerita dengannya. Tapi dia pernah mendengar percakapan si perempuan itu sama temennya. Dia nggak sengaja dengar, ketika sedang makan di kantin rumah sakit. Pembicaraan mereka tentu saja membicarakan aku. Menggunakan bahasa kasar dan sok paling tersiksa. Betul kan? Aku mengatakan kalau dia bermuka dua. Nah, sementara Handi tidak punya muka. Selingkuh, tidak mengaku (jelas lah, mana ada maling ngaku), minta balikan dan dibaikin. Ya ibarat pengemis yang minta uang buat makan dengan alasan belum makan beberapa hari. Kasihan bener ya pengemis itu. Udah gitu, minta balikan sama aku. Saat balikan bilang ke aku kalau ada yang nggak diterima dari diri Handi sama si perempuan. Tahu lah, eh malah menikah. Kan kaya nggak punya muka. Ohm, atau tepatnya dia tidak memiliki banyak teman, sehingga dia tidak punya banyak pilihan lagi? Mentok ya si menjijikan itu. Ish, kasihan bener hidupnya. Tapi aku ingat sesuatu, si bibir itu pernah mengirimiku surat kaleng. Dia mengirim beberapa foto yang membuatku sadar akan kebodohan ini. Foto si bibir lagi dibobokin sama Handi. Agak samar dan gelap memang. Lalu aku kirimkan foto itu ke Rana, dia pun sependapat denganku mengenai foto tersebut.
Berdasakan pada kasus diatas, maka rumusan masalahnya adalah satu, apa alasan maksud dan tujuan si bibir mengirimkan aku foto jijik seperti itu? Kedua, siapa yang memotret? Usai melihat foto itu, Rana benar-benar murka. Hampir saja dia melabrak Handi, tapi dicegah oleh simbok. Rana kalau sudah marah dan kecewa begini, ampun! Tiada kata selain :’( entah, aku pun bingung menggambarkannya seperti apa. Seorang yang ramah dan sabar seperti Rana, dikecewakan. Sama saja membangunkan singa yang sedang tidur.
Baiklah, cukup sudah aku berurusan dengan keluarga muka bibir itu. Akhir-akhir ini memang aku sudah terbebas dari kebibiran mereka. Tenang banget rasanya, memang sudah ikhlas dan sudah aku lupakan. Kan mau bermetamorfosis, harus bay bay goob bye dong. Sesuatu yang tidak kusangka juga terjadi pada teman-temanku, khususnya Rana. Entah niatnya kepo atau mau apa ya. Dia selalu menyakan aku, apapun. Mulai dari kabar baik sampai kabar buruk. Ketika Rana diwawancara akibat dia tidak tahu kalau itu adalah si bibir. Ketika ia bertemu kembali dengan manusia itu, ia tidak menjawab apapun. Ia hanya memberikan kertas yang katanya dariku. Tulisan kertas itu adalah ‘tolong tidak usah mencari tahu apapun tentang saya, lewat manapun. Karena saya merasa sangat terganggu. Terima kasih!’ padahal, sesungguhnya kertas itu Rana yang menulisnya. Setelah kejadian itu, dia pergi dengan sendirinya. Entah kemana, mungkin ke segitiga bermuda. Btw, makasih ya Rana, sudah membantu dengan cara yang rada-rada. Semoga kita sama-sama mendapatkan lelaki yang terbaik di dunia ini. Tidak hanya mukanya saja yang ganteng, tapi tutur lembut dan perilakunya yang santun.
Hikmahnya aku bertemu dengan keluarga muka bibir itu, membuat Meta ingin merubah diri, menjadi lebih baik. Kalau kata orang, Meta memang sudah baik kepada semua orang. Tapi emosi Meta masih labil dan gampang kesenggol, apalagi Rana. Kami berdua, memutuskan diri untuk bermetamorfosis. Kalau permasalaan cinta Rana, sebenarnya hampir sama dengan aku. Ceritanya mirip, hanya saja dia sampai sekarang masih sedikit emosi jika mengingat hal tersebut. Sehingga, untuk mengantisipasi laharnya muncul dari kepala, jika ditanya tentang Handi versi Rana, ia selalu bilang ‘nggak tahu, nggak mau tahu, dan aku udah nggak peduli.’
Masalah Handi versi Meta dan versi Rana membuat kami menjadi berubah pikiran mencari yang namanya ‘pacar’ untuk beberapa saat kedepan. Tepat setelah ujian sekolah berakhir, berat badanku naik dan Rana turun. Alhasil, mendapatkan berat badan yang hampir mendekati ideal. Tentu saja, kami kaget serta tersentak karena seorang lelaki pertama yang berani aku kencani itu buruk, kecuali mukanya. Teringat kembali ketika berdiskusi dengan Rana, mengenai kegiatan setelah lulus, hal apa yang akan kami pilih? Ujian pun pikiranku sempat bercabang, sebelum simbok memberikan wejangannya.
Sore hari, ketika Rana datang ke rumah, kami buru-buru menuju kamar simbok untuk menceritakan permasalahan kami. Hari tepat dimana selesai ujian, hari dimana tepat Handi berkata kasar padaku. Hari dimana, esok kami masih ada ujian kembali. Hari dimana air mata tak dapat terbendung lagi.
“Simbok… simbok…” ucap Rana yang sudah terlebih dahulu mendekati kamar simbok.
“Na, tunggu. Jangan lari-lari” kataku. Tapi Rana tetap berlari, entah apa yang ingin dia katakan pada simbok. Setelah Rana sedikit berbincang dengan simbok, aku baru tiba di kamar simbok dan duduk di kasur simbok.
“Meta, ada yang mau diceritakan pada simbok?” kata simbok membuka percakapan. Aku hanya menunduk dan memandangi seprei simbok yang berwarna coklat. Kemudian aku mengambil salah satu bantal simbok untukku peluk.
“Meta sedang sedih mbok, dia dikasarin sama Handi. Siang tadi, tepat Rana keluar kelas. Tapi Rana tidak tahu, apa yang mereka bicarakan. Rana hanya tahu setelah itu Meta menangis. Memeluk Rana dan meminta lekas pulang. Ini aneh lo mbok, biasanya kan kita makan mie ayam kelapa dulu, sebelum pulang atau mampir ke Camilan Capuluh. Rana hanya tahu sebatas itu, Mbok.” Jelas Rana pada simbok.
“Benar begitu Neng?” tanya simbok.
“Iya.” Jawabku singkat.
Aku dan simbok bercakap. Sementara Rana keluar kamar, ia tahu jika aku sedang bercerita pada simbok, aku sulit berbicara jika ada Rana. Ia keluar untuk mengambilkan teh hangat serta beberapa kue AB. Keluarnya Rana, membuat aku leluasa untuk bercerita pada simbok. Toh nanti ketika Rana masuk lagi, ia akan tahu pada simpulan yang simbok sampaikan pada kami. Aku juga tahu, mengapa Rana berlari pada simbok. Ia pasti juga bercerita tentang lelaki. Aku tidak tahu pasti bagaimana hubungan Rana dan pacarnya saat ini.
“Lalu Handi bilang apa?” simbok membuka pembicaraan.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog