Aku terbangun dari lamunanku, dengan bola berada di bawah kakiku. Bola ini yang kemarin ku temukan? Apa ini orang itu lagi?
“Hoi!” teriaknya dari arah lapangan.
“Lempar bolanya!” perintahnya.
Aku diam tidak bergerak, hanya menatap orang itu dengan tatapan heran. Dia pun kemudian menghamipirku, dan duduk di sebelahku dengan napas terengah-engah.
“Punya minum?” tanyanya lagi.
“Punya.” Jawabku singkat.
“Berikan padaku, aku haus sekali.” Perintahnya (lagi)
“Memangnya kau siapa memerintahku seperti itu?!” Tanyaku marah.
“Aku tahu kau ini siapa sebenarnya!” katanya dengan nada sedikit meninggi.
“A..Apa? Memangnya aku siapa?” tanyaku, suaraku mulai sedikit bergemetar.
“Kau itu adalah Khairina Talysha Hadley, murid pindahan dari London. Panggilan mu adalah Khai, kau baru saja bergabung dengan geng para wajah kanvas, yaitu gengnya Jemima alias Jemi. Benarkan?” jelasnya.
Aku diam, tidak menjawabnya. Aku pikir dia tahu tentang penyamaranku itu, nyatanya tidak. Aku sungguh bersyukur.
“Namaku Brandon Bueaventura, Panggil saja Brandon.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“Khai.” Jawabku singkat, kemudian berdiri meninggalkan dia duduk sendirian dengan tatapan bingung.
“Hoi! Mau keman?” teriaknya.
“Pulang! Sudah di jemput!”
***
Aku duduk di balkon kamarku, memandang langit sore sambil berbicara lewat telpon dengan Puri. Dia terus saja memintaku bercerita, sampai mulutku rasanya kaku.
“Iya jadi Aku harus masuk ke dalam geng itu. Aku belum tahu sih rasanya seperti apa, tapi Aku takut mereka lama kelamaan tahu penyamaranku ini.” Kataku.
“Sudah, kau jalani saja, tidak usah memikirkan kedepannya bagaimana. Aku yakin kau pasti bisa melewatinya Khai, nikmati masa-masa SMA mu lagi." Jawab Puri di seberang sana.
“Oh iya, aku harus mencari gaun warna merah, apa kau punya? Jujur saja kau tahu kan aku tidak punya baju-baju seperti itu?” kataku.
“Iya aku tahu kau seperti apa, tapi aku tidak punya gaun warna merah. Gaunku kan rata-rata berwarna biru atau warna-warna soft, aku tidak suka warna merah Khai.” Katanya.
“Berarti aku harus beli gaun itu.” Kataku.
“Untuk apa sih memangnya?” tanyanya.
“Untuk pergi ke acara pesta tahunan sekolah. Entahlah, anak yang bernama Jemi itu bilang dresscode gengnya warna merah.” Kataku.
"Begini saja, bagaimana kalau kau minta uang dari Pak Yoga untuk membeli gaun itu. Bilang saja untuk menghadiri pesta sekolah, atau kau sewa saja lah di butik langgananku. Hanya sekali pakai, untuk apa kau beli." Sambungnya. Aku menuruti kata-kata Puri, setelah menutup telponnya Aku kemudian langsung menghubungi Pak Yoga dan mengatakan apa maksudku. Beliau dengan senang hati mentransfer sejumlah uang ke rekeningku, kemudian mengatakan bahwa setelah ikut pesta itu Aku harus mendapatkan satu bahan untuk artikel yang akan terbit minggu depan. Benar-benar tidak mau rugi deh beliau ini.
***
Aku menunggu Puri di sebuah cafe di dalam mall yang cukup ramai, sudah hampir satu jam berlalu tapi batang hidung perempuan manja itu belum juga muncul. Kopi ku sudah mau habis, Aku mulai pegal duduk di bangku cafe ini. Astaga, demi Tuhan, ponselnya pun sulit dihubungi.
"Hoi!!" kata seseorang yang begitu membuatku terkejut. Astaga, anak itu, si pemilik bola basket ada di sini. Mau apa dia.
"Apa-apaan sih kau ini, Aku kaget tahu!" Sahutku sambil memarahinya.
"Maaf-maaf, tadi dari jauh Aku melihatmu duduk melamun sendirian. Wajahmu yang ditekuk itu membuatku penasara, jadi Aku hampiri saja. Sedang apa sih? Menunggu pacar ya??" Tanyanya dengan wajah jahil.
"Tidak. Aku sedang menunggu kakak sepupuku."Jawabku berbohong.
"Ohh, Aku kira kau menunggu pacarmu. Kalau begitu, Aku boleh bergabung dong denganmu?" Katanya lagi dan tanpa persetujuanku dia duduk di kursi sebelahku.
"Apa sih, pergi sana! Aku tidak mau ditemani." Aku mendorong tubuhnya berharap dia cepat pergi dari sini, Aku takut jika dia melihat Puri, dia akan tahu penyamaranku.
"Aduh Khai, maaf Aku terlambat." Kata Puri yang tiba-tiba saja datang dengan keadaan nafas terengah-engah.
"Nahhhhh, ini kakak sepupuku sudah datang. Sana gih kau pergi saja." Usirku pada Brandon.
"Ha? Kakak? Sepupu?" Tanya Puri kaget.
"Iyalah! Kau ini pura-pura lupa deh... Kita memang baru ketemu setelah sepuluh tahun, tapi jangan melupakakkan ku gitu dong KAK!" Kataku dengan sedikit penekanan di bagian akhir kalimat dan tak lupa mataku yang memberikan isyarat pada Puri.
"Ahhhhh iyaaaaa.... Aku hanya bercanda saja Khai heheheh." kata Puri akhirnya mengetahui maksudku.
"Ohh, baiklah kalau begitu. Lain kali temani Aku minum kopi ya... Dah Khai... Dah Kak.." Kata Brandon yang berangsur pergi.
Aku diam dan memelototi Puri dengan tajam, hingga dia merasa tidak enak dan langsung memesankan donat kesukaanku. Setelah itu, Aku dan Puri kemudian menuju butik langganannya untuk menyewa sebuah gaun berwarna merah dan membeli sepatu hills berwarna silver yang sangat cantik, tak lupa tas tangan berwarna senada dengan sepatu ikut dibeli.
Gaun maxi model swing dan ruffle berlengan pendek berbahan satin duchesse berwarna merah inilah yang menarik perhatianku, dan begitu Aku mencobanya, Puri dengan senang hati menyuruhku mengambil gaun ini. Aku berkaca sambil berputar-putar, melihat bayanganku di cermin yang sangat berbeda. Mengingatkan Aku dengan kejadian waktu itu.
***
Kejadian waktu itu, saat Aku memilih gaun untuk prom night di sebuah salon dekat rumahku. Gaun berwarna merah juga menjadi pilihanku saat itu, bedanya gaun itu seperti gaun pesta ulang tahun anak kecil. Aku berdandan seadanya di salon itu, sebab Aku hanya mampu membayar setengah dari harga yang seharusnya. Sebagai gantinya Aku bekerja paruh waktu di salon ini, menyapu sisa rambut yang habis dipotong, mengepel lantai, membersihkan peralatan salon dan masih banyak lagi. Aku berharap malam itu akan menjadi malam yang indah dan mengesankan, tapi kalian pasti tahu, Aku bernasib sial. Hal paling berharga dalam hidupku hampir saja direnggut oleh orang yang bahkan tidakku kenal. Kejam, mereka sangat kejam.
***
"Hey! Kenapa kau malah melamun sih Khai? Ada apa?" Tanya Puri yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku.
"Ah tidak apa-apa kok." Kataku mengeles
"Sudahlah, Aku tahu. Jangan Kau pikirkan lagi masa lalumu itu, ini tidak akan menjadi mimpi burukmu untuk kedua kalinya. Percayalah." Katanya lagi. Aku tersenyum kecil padanya.
"Maaf Mbak, tapi gaun ini tidak untuk disewa." Kata seorang pramuniaga butik ini. Aku kaget mendengarnya, kemudian menatap kearah Puri.
"Loh kenapa Mbak? Bukannya di butik ini bisa untuk disewa? Saya sering loh menyewa di sini." Kata Puri meyakinkan si pramuniaga.
"Iya mbak, untuk beberapa gaun memang sengaja dibuat untuk dijual, tidak untuk disewakan. Salah satunya gaun itu, karena pemilik butik menyukai desain gaun itu, dan beliau tidak ingin banyak orang memakainya. Jadi beliau mendesain gaun itu spesial untuk dijual, di bagian dalam gaun juga ada tanda khusus yang dibuat beliau. Mbak bisa lihat di bagian kerah belakang, ada motif mawar di sana. hanya ada beberapa gaun yang ditandai seperti itu." jelas sang pramuniaga. Aku sedikit bingung, akanku ambil atau aku memilih gaun lain saja.
"Sudah, ambil saja. Mungkin gaun ini membawa keberuntungan untukmu Khai." Kata Puri.
"Tapi... Harganya pasti mahal." Sahutku dengan sedikit berbisik.
"Tidak mahal sayang." Kata seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah ruangan di dalam butik. Sang pramuniaga pun menundukkan setengah badannya kemudian pergi melayani tamu lain.
"Ah iya, perkenalkan. Aku pemilik butik ini, namaku Damiaa Damaris ( artinya wanita yang sopan santun dan baik)." Beliau mengulurkan tangannya, Aku dan Puri bergantian menyambut uluran tangannya.
"Gaun itu sangat cocok denganmu anak cantik. Ambilah, kau bisa bayar dengan berapapun yang kau mau." Katanya lagi.
"Tidak. Jangan seperti itu Nyonya, Aku merasa tidak enak. Lebih baik Aku pilih gaun lain saja yang bisa Aku sewa." Kataku mengelak.
"Jangan panggil Aku Nyonya, anak cantik. Panggil saja Aku Madam Damiaa, lagi pula gaun itu hanya satu. Aku menunggu seseorang memilih gaun itu sejak lama, kebanyakan wanita muda memilih gaun yang terbuka dan seksi. Jadi ku harap, kau mau mengambil itu sebagai hadiah dariku yang telah membuat dan menunggu gaun itu memilih pemliknya." Katanya lagi dengan senyum lembut, dia mengelus pundakku lembut, seperti seorang Ibu yang menyayangi anaknya. Aku hampir saja menangis melihat tatapan matanya yang sejuk ketika melihat kearahku.
@dede_pratiwi thank you :), gambarnya di gambarin hehe pasti aku mampir di ceritamu
Comment on chapter MENGINGATNYA LAGI