“Aku tahu kamu siapa.”
Bisikan itu terngiang ditelingaku, dan seketika wajahku memerah karena gugup dan panik.
“Apa maksudmu?” Kataku akhirnya.
“Aku tahu kamu anak baru kan?” Lanjutnya masih setengah berbisik
Aku diam. Enggan untuk berkomentar lebih banyak, karena takut kalau kalau aku salah bicara dan membongkar rahasiaku sendiri.
“Kamu itu orang suruhan kan?” Katanya.
Aku semakin panik dan tidak dapat berkata apa-apa lagi, dia sudah tahu siapa aku sebenarnya. Dan aku tidak bisa mengelak lagi.
“Jangan khawatir. Kita ini sama.” Katanya lagi. Dan kali ini membuatku semakin bingung.
“Apa sih maksud kamu? Aku gak ngerti!” Kataku sedikit emosi.
“Sudahlah, bicara denganmu membuatku lapar. Dah ya aku ke kantin dulu.” Katanya kemudian pergi meninggalkan aku sendiri, terpaku dengan apa yang dia ucapkan itu.
Semakin aku memikirkan kata-katanya, semakin aku merasa ada yang salah. Apakah aku benar-benar tertangkap basah? Ini belum genap satu bulan penyamaranku, masa aku sudah ketahuan sih. Tuhan! Aku telah gagal.
***
Jam pelajaran kembali dimulai, Aku masih saja memikirkan perkataan laki-laki itu. Dan semakin lama memikirkannya, kepalaku semakin pusing. Berlin yang menyadarinya kemudian bertanya padaku.
“Kamu kenapa Khai? Apa kau sakit?” Tanya Berlin sedikit berbisik.
“Ah aku hanya sedikit pusing, mungkin kelelahan karena kurang tidur semalam.” Kataku beralasan.
“Kalau begitu, nanti istirahat kedua, kita ke UKS saja ya. Kamu istirahat sebentar dan minum obatnya.” Katanya
“Tidak perlu, Aku baik-baik saja kok.” Kataku, kemudian menekuk lenganku diatas meja, dan menaruh kepalaku di atasnya.
“Yaudah tidur sebentar saja Khai, nanti kalau guru bertanya Aku yang jawab.” Kata Berlin lagi, dan aku hanya mengangguk.
Pelajaran pun berlalu, waktunya istirahat kedua, Berlin bergegas ke kantin untuk mengatri membeli makan (lagi) dan segelas teh hangat titipanku. Tetapi aku harus berhadapan lagi dengan Jemi. Dia dan gengnya datang menemuiku di kelas.
“Hei!” Sapanya. “Gimana udah mikirin untuk gabung kan?” Lanjutnya.
“Aku gak tertarik!” Jawabku singkat dan jelas.
“Hm… Tapi kalau kau tidak mau, bocah gempal itu akan menerima akibatnya!” Katanya dengan nada mengancam.
“Maksudmu Berlin?”
“Siapa lagi yang saat ini paling dekat denganmu?” Jemi melipat kedua tangannya di depan dada, sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Jangan macam-macam dengan Berlin!” Bentakku.
“Aku tidak akan macam-macam dengan dia, asal kau mau masuk kedalam gengku!” tegasnya.
“Betul! Lagian kau beruntung kami merekrut kau untuk jadi anggota kami! Kau tahu kan, kalau banyak anak yang ingin gabung dan jadi siswi popular di sekolah?!” Kata Olive menjelaskan.
“Kalau besok malam kau tak datang di pesta sekolah. Berlin akan habis di tanganku.” Kata Jemi kemudian berlalu keluar kelas dengan teman-temannya. Disusul Berlin yang datang membawa makanan dan teh dengan wajah bingung.
“Kenapa lagi Jemi datang?” Tanyanya menyerahkan teh hangat itu.
“Terima kasih. Tidak apa-apa kok, cuma liat keadaan kelas ini.” Jawabku berbohong.
Tidak. Aku tidak mungkin menceritakan permintaan Jemi padaku, aku tidak mau Berlin menjauhi ku. Walaupun kadang Berlin membuatku rishi, tapi dia adalah teman yang baik. Tapi jika aku menolak, maka Berlin yang akan jadi sasaran Jemi. Apa yang harus aku lakukan?? Ini sungguh diluar kendaliku, ini sudah bukan tugasku.
***
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang, mobil jemputanku belum datang karena memang sengaja aku bilang telat pulang. Aku harus berpikir dengan jernih, keputusan yang akan aku ambil akan menyulitkan ku atau tidak. Dan jawabannya selalu iya. Tapi jika dipikir lebih dalam, aku bisa dengan mudah mengawasi putri Pak Yoga jika aku masuk dalam geng Jemi. Dengan mudah pula aku melindunginya, dan dengan cepat menyelesaikan penyamaran ini.
Jemi keluar dari kelasnya dengan tatapan kaget melihatku. Dia pun menarikku untuk bicara di lorong sekolah.
“Sudah berpikirnya?” tanyanya
“Iya.” Jawabku singkat.
“Jadi?” tanyanya sambil mengangkat satu alis
“Ya aku akan bergabung dengan kalian. Tapi aku tidak mau kalau Berlin jadi korban kalian. Dan aku tidak mau mengikuti semua mau kalian, aku punya batasan.” Kataku dengan lugas.
“Hahaha kau pikir kau siapa? Aku merekrut mu karena ketenaramu selama hampir dua pekan ini. Semua murid membicarakan wajahmu yang menurut mereka cantik dan pas untuk masuk dalam gengku. Kau juga berasal dari keluarga terpadang. Kalau kau tidak punya itu semua, kau bukan apa-apa!” Jelas Jemi panjang lebar.
“Jadi?!” tanyaku.
“Hfttt!!!! Baiklah, malam pesta sekolah besok datang dengan gaun berwarna merah. Itu dresscode untuk geng kita!” katanya kemudian pergi berlalu.
Aku terdiam menatap kepergiannya, dengan pikiran yang melayang jauh kemana. Berharap ini semua hanya mimpi, dan dengan cepat aku harus terbangun. Tetapi sayangnya ini kenyataan yang harus aku jalani, aku sudah menandatangani kontrak. Dan inilah tanggung jawabku dengan segala resiko.
“Kau terjebak!”
***
“Kau terjebak!”
Bisikkan itu membuatku merinding ketakutan, isakan tangisku terdengar seperti tikus yang terjepit diantara celah tembok. Wajahku penuh dengan tinta hitam yang bercampur dengan air mataku, begitu menyedihkan.
“Kau terjebak Rina! Terjebak di antara kami! HAHAH” tawa itu menggema ke seleruh penjuru ruangan, menambah rasa penderitaan yang aku rasakan.
“Kenapa kalian melakukan ini padaku?” tanyaku tak berhenti menangis.
“Karena kau jelek! Kau itu gendut! Cupu!” jawab salah satu dari mereka.
Aku terus disiksa, dengan cacian dan kekerasan fisik. Tubuhku rasanya hanya bisa merasakan sakit. Aku mengingat ibuku, ayahku, yang meninggalakan aku. Lalu kehidupan masa remajaku yang mengerikan seperti ini.
Tiba-tiba semua gelap. Tubuhku serasa melayang. Kemudian hening. Dan tidak terasa apapun lagi.
@dede_pratiwi thank you :), gambarnya di gambarin hehe pasti aku mampir di ceritamu
Comment on chapter MENGINGATNYA LAGI