BAB 1
Colorful Life
“Datanglah kerumahku jika kau ingin bertemu kembali denganku, jika Tuhan memilihmu untuk menjadi imamku, saya yakin, kau akan datang.”
Itulah kata perpisahan terakhir yang terucap dari mulut Sari saat Adam mengantarnya di dermaga pelabuhan Makassar. Sari harus kembali ke Bima setelah kelulusan pendidikan S1 Sastra Indonesia berakhir. Hari itu pertama dan terakhir kalinya mereka jalan beriringan. Hubungan yang terjalin setelah mereka bertemu di KKN itu nampaknya hanya sekedar cinta dalam diam. Mereka jarang bertutur kata. Mereka hampir tak pernah bertatap wajah berdua. Mereka tak pernah jalan bersama layaknya insan yang sedang di mabuk asmara pada umumnya. Hingga mereka lulus. Sari memang bukan gadis primadona kampus. Ia juga bukan gadis yang berpostur bak biola Spanyol. Namun, ia gadis yang imut dan sangat bersahaja. Ajaran keluarga Tuan Guru Besar sebagai ayahnya tetap melekat pada pribadi seorang Sari. Ia berkharisma sebagai seorang gadis Bima. Tidak heran kalau tak hanya Adam yang mendekatinya, namun adik tingkat banyak juga yang terpesona olehnya. Mungkin karena posturnya yang mungil, ia lebih cocok menjadi anak semester 1 ditiap tahunnya. Kertas bertuliskan kata-kata pujangga sering sekali mampir di meja kuliah Sari tanpa nama pengirim. Bunga matahari yang selalu diselipkan di sudut kursi Saripun selalu bertengger ramai. Dulu, bunga matahari ini selalu jadi bunga terfavorit sebagai ungkapan rasa cinta. Selain bisa dipetik di pekarangan kampus, ia pun tak perlu mengorek isi dompet. Yang terpenting saat penjaga kampus tak melihatnya, maka bunga itu aman untuk dipetik sesuka hati. Tapi, disaat ketahuan oleh sang penjaganya, maka bersiap-siaplah sapu lidi melayang seakan Harry Potter sedang mengejar Lord Voldemort, penyihir yang paling menakutkan dan kejam.
Secarik kertas putih yang bertuliskan “Kampung Dara Jln.Pahlawan Tolodara Kec.Rasanae Barat, Kota Bima. Rumah Tuan Guru” kini sudah berubah warna menjadi warna kecoklatan kusam. Tulisan yang kini sudah mulai memudar yang berbulan-bulan lamanya disimpan di dalam tas kuliah Adam yang tak pernah tersentuh sabun dan air sedikitpun. Kertas kusam itu mengantarkannya bertemu wanita yang sangat ingin dijadikan makmumnya. Wanita pelipur lara. Wanita yang di impikan bisa menjadi ibu teladan untuk anak-anaknya kelak. Wanita yang bisa membawa kenyamanan di dalam keluarganya kelak. Wanita yang bisa ia bahagiakan kelak dengan penuh cinta. Wanita yang bisa menjadi jodoh dunia akhirat untuknya.
Dengan menggunakan perahu bermotor dari pelabuhan Murhum Baubau, maka tibalah Adam di kota yang terkenal dengan filsafah “Maja Labo Dahu” yang diartikan dengan “Malu dan Takut” bagi orang Bima. Makna dari filsafah ini sangat mendalam, dimana terkandung pesan untuk malu kepada sesama manusia jika melakukan tindakan yang tidak pantas dan takut terhadap balasan Allah atas perbuatan yang telah dilakukan. Habluminannas dan Habluminallah yang selalu ditekankan. Kota Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang terkenal dengan nuansa kota keislamannya, karena memang penduduk disana kebanyakan pemeluk agama Islam, namun walaupun mayoritas muslim, kota ini sangat terbuka, menghargai, dan sangat menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama. Jika datang ke Bima, mata kalian akan dimanjakan dengan banyak tradisi yang menarik. Salah satunya adalah Rimpu Mbojo yang merupakan busana adat tradisional yang menjadi pakaian untuk menutup aurat bagi wanita muslim Bima pada zaman dulu. Rimpu ini sendiri menggunakan sarung tenun (tembe nggoli) yang dipakai sebagai hijab penutup aurat.
“Assalamualaikum,” suara itu terdengar dari depan pintu luar ruang tamu keluarga Sari. Kebetulan Abah dari Sari sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku-buku agama yang sudah lecek karena mungkin terlalu sering dijamah oleh tangan. Terlihat buku dengan tulisan sampul hijau tua “Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda” Penulis H.Rosihan Anwar dengan tebal 278 halaman. Buku agama, filsafat, maupun sejarah Islam memang menjadi koleksi dari tokoh ulama Bima ini. Sari yang sedang berada di dalam kamar, seketika bergetar hatinya mendengar suara salam dari seorang laki-laki yang sepertinya pernah dikenalnya. Suara yang tak asing baginya, namun sudah hampir setahun tak pernah didengarnya. Sari keluar kamar dan bersandar pada bilik tembok dekat ruang tamu sembari mengintip dibalik gorden. Ia ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar benar adanya dan apa yang ia harapkan adalah nyata.
“Waalaikumsalam Wr Wb, Silahkan masuk, anak muda” jawab laki-laki tua yang ditiap harinya mengenakan baju koko berwarna putih serta sorban putih yang melilit rapi di kepalanya. Adam pun melepas sepatu lusuh yang sudah lama menemaninya dari awal kuliah. Ternyata tak begitu susah mencari alamat Tuan Guru KH.Abd.Rahman Idris. Hanya cukup menyebutkan namanya saja, hampir seluruh warga Bima seketika sumringah. Dengan benhur (alat transportasi menggunakan kuda) Adam pun diantar sampai di depan rumah.
“Ada keperluan apa, hingga membawa Ananda datang kemari? Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya laki-laki tua bersahaja itu yang tidak lain adalah abah Sari. Tanpa basa basi, Adam pun langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Orang Baubau memang tak suka bertele-tele.
“Maaf, mengganggu sebelumnya, Pak. Maksud kedatangan saya kesini untuk meminang anak perempuan Bapak , yang bernama Sari”. dengan suara yang sopan namun lantang ia meminta anak perempuan yang masih milik orangtuanya untuk dipinang menjadi istrinya. Abah terdiam sejenak tanpa kata. Ia menghelakan nafas panjang. Melihat anak muda yang tiba-tiba datang dengan baju berwarna kuning pudar. Kucel sekali. Di lengkapi dengan celana panjang model kaki kuda dengan panjang menyeret lantai. Mukanya kusam. Bajunya sudah 2 hari melekat tanpa ganti. Aroma tubuhnya sudah campur aduk hingga mengganggu aroma penciuman. Dia seperti bau tomat busuk. Menyengat sekali. Badannya belum tersentuh air. “Entah dari mana asal usul anak muda ini”, suara alam bawah sadar Abah pun bercuap.
“Sari, tolong buatkan 2 teh manis untuk Abah dan tamu Abah,” teriakan kecil dari kakek yang sudah memiliki 9 cucu itu. Sari adalah anak ke-5 dari 9 bersaudara. Sari anak perempuan pertama karena semua kakaknya adalah laki-laki dan sudah menikah. Sari memiliki 4 adik yang belum menikah. Mendengar panggilan dari Abah, Sari pun sontak kaget. Ia bingung, panik, campur bahagia karena akan bertemu kembali dengan ia, si penjajah hati. Atmosfer hati Sari sudah tak karuan. Adrenalinnya mulai naik. Detakan jantungnya berdetak lebih kencang tanpa ritme yang jelas. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari biasanya. Sari sangat khawatir jika niat lamaran laki-laki lecek ini ditolak oleh abahnya karena ia faham betul, orangtuanya sangat selektif dalam memilih pasangan untuk anak-anaknya. Namun, ia selalu percaya pada keputusan abahnya. Ridho orangtua adalah ridho Allah. Itu yang selalu ditanamkan dalam kehidupannya. Abah Sari Seperti kubus rubik, permainan teka teki mekanik yang menggunakan 6 warna yang berantakan dan harus disusun rapi sesuai warnanya. Tidak mudah bermain rubik. Kita harus tahu pola dan rumus yang dipakai. Begitu pula hati abah. Tidak mudah untuk ditebak dan diluluhkan.
Sari pun mengiyakan panggilan abahnya. Ia buru-buru kedapur untuk menyiapkan 2 teh manis. Warna gula dan garam memang kadang susah untuk dibedakan disaat fokus kita terpecah. Pikiran Sari masih tetap melayang-layang. Ini bagai mimpi disiang bolong, pikirnya demikian. Tepat di depan gorden menuju ruang tamu, Sari pun berhenti sejenak dan menarik napas panjang. Ia bermaksud mengatur pernapasannya agar tidak terlihat gugup saat bertemu dengan laki-laki yang sudah membuktikan keseriusannya itu.
“Ini buat Abah,” kata Sari sambil meletakkan teh manis buatannya ke meja kayu yang bertengger di ruang tamu rumahnya. Sari menyajikan teh pertama untuk abah, disusul teh untuk laki-laki dari kota seberang itu, yang memang bau badannya sudah menyengat karena tidur berdampingan bak suami istri bersama tomat, cabai, maupun bawang merah.
“Silahkan diminum,” Sari tetap menundukkan pandangannya saat memberikan minuman ke lelaki berkumis tipis di tengah namun sedikit lebat pada ujungnya.
“Terimakasih, Nak. Kembalilah kekamarmu,” perintah Abah. Adam pun memandangi wajah Sari. “Dia masih seperti bunga Saffron Crocus. Indah tak ternilai. Masih sama seperti setahun yang lalu,” suara hati Adam mulai tak bisa terkontrol. Sari pun kembali kekamarnya dengan membawa nampan plastik bermotif bunga-bunga. Harap-harap cemas dan hanya menunggu kabar dari kamarnya. Ia tidak ingin melanjutkan mendengar pembicaraan antara Abah dan Adam, karena semakin ia menguping pembicaraan tentang dirinya, semakin jantungnya tak bisa diajak kompromi dengan baik.
“Minumlah, Nak, untuk menghilangkan dahagamu,”
Tanpa pikir panjang Adam pun mengambil cangkir berisi teh itu dan meminumnya. Ekspresi wajah Adam seketika berubah. Seperti ada yang ia tahan di setiap tegukannya. Mukanya meringis kencang.
“Sepertinya kamu dari kota seberang. Siapa namamu, Nak?” tanya Abah sambil melihat tas ransel yang tergeletak di bawah lantai yang berada persis di samping kursi yang diduduki oleh laki-laki yang memiliki nyali cukup besar itu. Abah juga tahu kalau dialek bahasa yang masih kental melekat di setiap ucapan dan tutur kata yang terucap adalah bukan dari warga Bima pada umumnya. Ada dialek yang memang tak bisa dibohongi tentang asal usul dari laki-laki berpostur besar ini.
“Nama saya Adam, Adam Arsyad, Pak. Saya dari Baubau Buton. Dulu saya satu kampus dengan Sari. Saat pertama kali melihatnya, saya merasa Insya Allah saya mampu untuk membahagiakannya. Saya akan berusaha untuk menjadi imam yang baik untuk anak Bapak, Sari”. Dengan sepenuh hati, Adam menyampaikan niat baiknya.
“Saya juga minta maaf jikalau kedatangan saya ini di anggap begitu dadakan. Namun sudah satu tahun lamanya, saya memperbaiki serta mempersiapkan diri untuk berani menghadap Bapak secara langsung”. Adam kembali menghela nafas untuk mengatur tiap kata yang terucap. Ia pun melanjutkan ucapannya.
“Maaf jika saya datang tanpa wali satu pun. Baju kusam saya, bau badan saya, sepatu lecek saya mohon dimaafkan, Pak. Saya belum sempat berbenah sebelumnya. ini kali pertama saya dating ke Bima,” Adam sembari menolehkan kepalanya ke sebelah kiri dan menaikkan bahu serta tangan kirinya. Ia bermaksud untuk mencium aroma tubuhnya yang baunya amis sekali. Ia pun seakan ingin muntah mencium bau badannya sendiri.
“Kamu sungguh percaya diri, anak muda.” Kata Abah sambil memperbaiki sorbannya. “Tidak masalah jikalau kamu datang sendiri mengkhitbah anak saya, karena kamu adalah seorang lelaki. Yang tidak diperbolehkan adalah kalau meng-khithbah Akhwat yang masih di-khithbah Seorang Ikhwan. Dan, anak saya sudah di-khitbah oleh seorang laki-laki dari kota seberang,” kata Abah tegas. Seketika Adam langsung tertunduk lemah tak berdaya saat mendengar penyampaian Abah. Ucapan itu seakan menyayat hatinya, mencambuk seluruh tubuhnya dengan cambukan kuda yang baru saya ditumpanginya. Namun, dia berusaha untuk tetap tegar. Niat awal yang ditanamkan dalam hatinya adalah baik. Perkara diterima atau ditolak adalah ketetapan yang harus diterima dengan ikhlas. Setiap tindakan pasti ada resikonya. Apapun hasilnya pasti itu sudah menjadi takdir Allah. Manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan segala kejadian yang terjadi. Jodoh sudah diatur oleh Allah. “Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di langit dan di bumi, melainkan (tercatat) dalam kitab yang jelas (Lauhul Mahfuz)- QS an-Naml (27):75). Dalam kitab tersebut sudah diatur 4 perkara untuk umat manusia, yaitu kematian, rezeki, hidup, dan jodoh.
“Baiklah, Pak. tidak masalah. Mungkin saya belum berjodoh dengan anak Bapak.” Adam pun bermaksud untuk pamit. Ia kemudian bergegas bangun dari duduknya dan memegang erat tas ransel yang sudah berjasa untuk dijadikan bantal saat di dalam perahu bermotor.
“Apa Ananda menyerah?” tanya Abah dengan tatapan penuh makna.
“Tidak, Pak. Namun saya tidak ingin melanggar larangan Allah. Saya berharap laki-laki beruntung itu bisa membahagiakan Sari dunia akhirat.” Dunia Adam seakan terhenti sejenak. Ia berusaha menegakkan kepalanya dan berusaha untuk tetap menerima alur takdir yang Allah buat untuknya. Keyakinannya masih sama sampai saat ini. “Jalan takdir yang dipilihkan Allah untuk hambanya pasti yang terbaik, yakinlah bahwa dibalik semua kekecewaan ada makna yang tersirat begitu indah untuk hidup yang lebih bermakna”. Adam masih berusaha tersenyum di sela-sela percakapannya, walau tak bisa dibohongi kalau senyuman itu bak senyuman pasrah yang ditindih gajah ratusan ton beratnya.
“Baiklah kalau begitu, Pak, saya mohon pamit. Tolong titipkan salam hormat saya kepada Ibunda dan salam pamit saya untuk Sari... anak Bapak.” Ia pun langsung beranjak berdiri dari kursinya, berpamitan mencium tangan laki-laki tua rentan berusia 60 tahun itu.
“Subhanallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar!” Abah memeluk anak muda itu dengan ucapan syukur. Adam pun kebingungan tak berdaya.
“Duduklah kembali, Nak,” mereka berdua pun menempati kursinya masing-masing.
“Alangkah bahagianya jika bisa mendapatkan menantu sepertimu, Nak. Hatimu bagai kapas putih tak berserat. Saya yakin kamu bisa membahagiakan anak saya,” kata Abah dengan mata yang berkaca-kaca. Adam pun masih kebingungan. Dia memasang muka penuh tanda tanya.
“Tapiii… kata Bapak, Sari sudah dikhitbah oleh laki-laki dari kota seberang,” lanjut Adam.
“Iya, benar. Anak saya telah dikhitbah. Dan, ia dikhitbah olehmu. Laki-laki dari kota seberang. Bukankah begitu, Nak?“ Abah tersenyum dengan penuh bangga. Tanpa basa basi laki-laki pemilik rambut ikal dan lepek itu langsung sujud syukur. Ia pun meraih tangan calon bapak mertuanya setelah bangun dari sujud syukurnya. Ia masih posisi seperti duduk diantara dua sujud dan mencium tangan sang lelaki tua renta yang penuh wibawa itu. Abah menepuk-nepuk pundak Adam, seakan ada harapan besar yang di inginkan dari anak muda berparas keras namun santun itu.
“Alhamdulillah, Ananda adalah orang pertama yang berani datang langsung untuk melamar anak saya. Kalau boleh tahu, Nak, sekarang pekerjaanmu apa?” Adam pun sudah kembali duduk di kursinya.
“Alhamdulillah, Pak. Saya kerja sebagai guru SMK di Baubau. Setelah lulus kuliah, saya langsung diterima bekerja sebagai PNS Guru,” jawab Adam yang belum sama sekali istirahat sejak menginjakan kakinya di Bima.
“Baiklah, Nak. Tunggulah sebentar. Saya akan kembali secepatnya. Saya harus bertanya terlebih dahulu kepada Sari,” Abah pun bangun dari tempat duduknya dan menghampiri anaknya di dalam kamar. Kebetulan Ibu dari Sari yang tidak lain adalah istri Abah ada di dalam kamar anak perempuan pertamanya itu, sehingga saat Abah bertanya pada Sari, istrinya pun menyaksikannya.
“Nak, mungkin kamu pun sudah mengenal siapa lelaki yang datang dari jauh itu. Dia berniat baik ingin mengkhithbahmu. Abah liat, dia adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab, tapi semua terserah padamu, Nak,” kata Abah terhadap anak kelimanya itu.
“Jika Abah meyakini kalau ia adalah laki-laki baik untukku, kalau Abah meyakini bahwa dia bisa menjadi imam terbaik buatku, saya akan menerimanya. Saya memang menaruh hati padanya sejak pertama kali bertemu dengannya, namun saya menerimanya bukan karena rasaku padanya. Tapi karena restu Abah dan Umi bersamaku.” tangisan kebahagiaan Sari mengalir. Mungkin itu pertama kalinya Sari merasakan rasa air mata asinnya menjadi begitu manis. Sari berterima kasih kepada orangtuanya sambil mencium satu persatu tangan yang kulitnya sudah tipis hingga uratnya kini telah nampak dengan jelas.
“Tidak ada orangtua yang tak bahagia jika melihat anak-anaknya bahagia. Percayalah, Nak, doa kami selalu mengalir deras untuk kalian,” Abah tersenyum dan merangkul istrinya. Abah pun kembali menghampiri laki-laki pemilik kaos kaki kotor dan bolong pada kedua jempol kakinya. Adam masih setia menunggu keputusan yang akan dibuat untuknya.
“Nak, apakah kamu siap menikah dalam seminggu kedepan? Acaranya kita buat sederhana saja. Yang penting sakral. Apakah orangtuamu akan datang ke Bima saat pernikahanmu nanti?” Alangkah bahagianya Adam mendengar penuturan itu dari Abah. Yang pada intinya Sari telah menerimanya untuk menjadi calon istrinya.
“Saya siap, Pak,” dengan suara lantang Adam berkata, “SIAP”. Suara anak pinggir laut yang cukup menggelegar tak bisa dibohongi. Ia sangat bersemangat laksana menerima perintah dari sang Letnan Jendral.
“Niat saya kesini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meminang anak Bapak. Namun kebetulan tak ada satupun wali saya yang bisa datang karena kendala transportasi yang memang cukup jauh ke sini. Mereka sudah sepuh. Kasihan jikalau harus bergelut dengan ombak lautan.” Usia orang tua Adam tak jauh berbeda dengan abah dan ibunda Sari.
Abah berusaha memberi solusi terbaik. Kalau keluarga di Bima akan dibagi menjadi dua. Satu diperuntukkan menjadi pendamping pengantin lelaki, satunya lagi untuk pendamping pengantin wanita. Dan untuk sementara, Adam bisa tinggal di rumah anak kedua Abah yang bernama Abdul. Jarak rumahnya tak jauh dari rumah Abah. Selama seminggu sebelum ijab kabul diikrarkan, mereka dilarang bertemu. Bagi Abah, yang terpenting restu dari orangtua Adam sudah dikantonginya. Adam pun tak henti-hentinya mengucapkan syukur pada Allah dan terimakasih pada Abah. Ia sungguh terharu, pengorbanan nya tak sia-sia.
“Sudah tugas saya untuk menyediakan pernikahan anak perempuan saya. Silahkan dihabiskan tehnya, Nak,” Abah Sari menunjuk teh yang berada tepat di meja depannya. Dengan senyum yang tak kunjung padam, Adam mengambil cangkir blirik yang terbuat dari bahan kaleng dengan motif abstrak itu. Adam meminumnya habis tanpa ampas. Namun tetap saja, di setiap tegukannya selalu ada mata yang merek-melek, nampak seperti ada sesuatu. Diwaktu yang bersamaan Abah ikut meminum teh yang sudah mulai dingin itu. Dan betapa kagetnya Abah saat meminum teh buatan Sari.
“Astaghfirullah… asin sekali” kata Abah sambil menaruh kembali cangkir berisikan teh asin itu. Ia mengkerutkan wajahnya hingga tampak terlihat lebih banyak kerutan menghiasi wajah diusianya yang memang sudah sepuh. Ia menengok ke gelas Adam dan isi gelasnya ludes. Tertampung di perut lapar penuh dahaga.
“Apakah kamu tidak merasakan rasa yang aneh dari teh itu, Nak? Abah keheranan melihat gelas yang tak berisi lagi.
“Sudah jelas ini aneh, Pak. Namun, ternyata ini bisa menghilangkan dahaga saya yang sudah di unjung tanduk,” Ia tersenyum penuh ketenangan. Ia pun melanjutkan ucapannya “Dan ini pertama kalinya saya dibuatkan teh oleh wanita yang akan saya nikahi, bagaimana mungkin saya kecewakan hatinya dengan tidak meminum teh buatannya ini. Mau rasanya seaneh apapun, bagi saya ini teh terenak yang pernah saya rasakan,” kata Adam penuh bahagia.
Perjuangan Adam tak sia-sia. Walau harus pontang panting karena menunggu jadwal keberangkatan perahu bermotor yang tak menentu. Jadwal yang disesuaikan dengan musim mudik, musim pengangkutan barang-barang hasil tanam seperti cabai, tomat yang akan diperjualbelikan di setiap pemberhentian kapal. Itu semua tidak mengendorkan semangat Adam untuk tetap meminang sang pujaan hati. Normal jarak perjalanan Baubau ke Bima dengan menggunakan jalur laut seharusnya hanya memakan waktu 3 hari 2 malam. Rute perjalanan dari Baubau ke Bima harus melewati Makassar terlebih dahulu sebagai tempat persinggahan dan itu ditempuh selama 1 hari 1 malam menggunakan perahu bermotor. Namun, harus benar-benar ekstra sabar menunggu karena persinggahan di Makassar, waktunya tak bisa ditentukan.
Perjalanan panjang untuk penantian yang panjang. Adam harus menunggu sebulan lamanya hingga ia bisa melanjutkan perjalannya ke Kota Bima, namun itu tak menghentikan tekad dan niat Adam yang sudah tak bisa di tawar lagi. Mau sejauh apapun keberadaan sang permasuri hati, ia akan tetap berlabuh untuk menghampirinya. Perjuangan tak menghianati hasil.
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life