Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Mata Geo tertutup. Kepalanya sedari tadi sudah mengangguk-angguk. Sesekali matanya terbuka, mengintip apa yang sedang terjadi. Beni menyenggolnya sambil menampilkan wajah menyeramkan. Geo hanya dapat mengangkat sebelah alisnya. Dia tidak merasa takut dengan wajah Beni itu. Sekarang dia hanya mengantuk.

Beni entah mengapa memaksa Geo untuk menemaninya rapat di sebuah aula besar di dekat markas PMI. Selain para pejuang, tidak ada peserta lain. Kecuali perwakilan dari pihak PMI dan beberapa koordinator yang mengurusi dapur umum. Beni bahkan tidak mengizinkan Geo ikut berperang di garis depan tetapi memaksanya untuk tetap mengikuti rapat.

Rapat untuk membahas rencana penyerangan yang mereka sebut Serangan Umum itu. Besok pagi serangan akan dilancarkan. Malam ini mereka membahas hal-hal teknis yang harus mereka lakukan. Pasukan sudah berbencar di banyak tempat dalam jumlah besar secara sembunyi-sembunyi. Posko-posko PMI dan dapur umum sudah berdiri dalam bayangan. Semua sudah siap dan tinggal menunggu hari esok untuk pelaksanaannya.

Beni kembali menyenggolnya. Tangan Geo yang menopang kepalanya bergeser dan membuat kepalanya hampir membentur meja. Beni memelototinya dan memberi isyarat untuk memperhatikan ke depan. Geo berdecak kesal. Bisakah Beni memberinya sedikit ketenangan?

"Perhatian, semua! Kita akan mengepung kota Yogyakarta dari berbagai arah. Fokus utama kita adalah sarang musuh di Benteng Vredeburg. Akan ada beberapa kelompok yang terbagi ke beberapa markas NICA yang lain. Tujuannya adalah mengusir mereka dari kota kita. Prajurit yang ditempatkan di Jalan Magelang dan Jalan Solo akan menghalangi jalan bantuan pihak NICA untuk datang ke kota kita!" Suara menggebu-gebu terdengar dari seseorang berkumis tebal di depan sana. Sorakan terdengar riuh rendah di sekitar Geo.

Geo menatap Beni yang juga ikut berteriak. Dia terlihat sangat bersemangat. Namun, Geo merasa ada yang berbeda. Seakan dia harus menahan Beni untuk tidak ikut berperang. Tanpa sadar, Geo menyentuh tangan Beni. Beni berjenggit. Dia menoleh dan menatap tangan Geo yang berada di atas tangannya. Kemudian seulas senyum muncul di bibirnya. Beni memperbaiki sentuhan tangan Geo dan menautkan tangannya.

Rapat selesai tepat pukul dua belas malam. Mata Geo terasa sangat berat. Dia berjalan masuk ke kamarnya dengan diikuti oleh seseorang. Geo tidak memedulikan orang itu dan langsung terkapar saat bertemu dengan kasur. Matanya hampir terpejam ketika dirasakannya ada tangan seseorang yang menyentuh kepalanya. Mengelus rambut pendeknya yang dipotong dengan tidak rapi itu pelan.

Mata Geo langsung terbuka. Sosok Beni terlihat di depannya. Wajah Beni berpangku di pinggir dipan tepat berada di depan wajah Geo. Senyum tipisnya muncul.

"Apakah semua orang akan seperti ini? Merasa khawatir sebelum perang?"

"Tidak tahu. Aku tidak pernah perang. Lalu, kenapa kamu di sini?"

Beni tersenyum. "Entah kenapa rasanya seperti saya akan kehilangan kamu kalau saya tidak melihatmu dari dekat. Saya harus terus memastikan kamu berada di jangkauan penglihatan saya."

Geo mendesah. Matanya terpejam. "Jadi itu alasannya kamu terus memaksaku ikut rapat."

"Geo?"

"Hmmm?"

"Seandainya ... Ini hanya seandainya. Misalnya saya tidak selamat ...." Ucapan Beni terpotong saat melihat Geo langsung bangkit dan memelototinya.

"Jangan lanjutkan! Aku tidak suka mendengar itu. Katakan hal yang baik-baik saja!"

Beni bangkit, menatap Geo yang matanya mulai berkaca-kaca. "Geo...."

"Jangan bicara lagi atau aku benar-benar akan ikut berperang!"

"Apa? Sudah saya bilang berapa kali? Kamu tidak boleh ikut!" Beni marah, emosinya tersulut. Matanya merah melotot. Urat lehernya menonjol seakan hampir putus. Namun, sedetik kemudian dia menarik Geo ke dalam pelukannya dan menangis. "Tolong, jangan berpikir untuk ikut berperang lagi. Ini terlalu berbahaya. Saya akan lakukan apa pun supaya kamu tidak ikut perang. Jadi, jangan berpikir begitu lagi, ya?" Dia tidak ingin membayangkan Geo ikut berperang dan tertembak tepat di depan matanya.

Beni seorang pemuda gagah yang hobinya marah-marah dan membentak berubah menjadi pemuda yang cengeng dan memelas meminta Geo tidak ikut berperang. Beni seperti bayi besar yang cengeng. Geo mengelus punggung Beni. Menenangkannya agar berhenti menangis. Akan sangat memalukan kalau ada orang lain yang mendengarnya menangis.

"Iya, aku tidak akan berpikir begitu lagi. Sekarang berhentilah! Ini bukan kamu yang biasanya." Sekarang Geo menepuk-nepuk punggung Beni. Beni mengangguk sambil mengeratkan pelukannya dan mengucapkan terima kasih.

Ini adalah pertama kalinya Geo melihat Beni si pemuda temperamental menangis. Semarah-marahnya, sesedih-sedihnya, sekecewa-kecewanya, Beni tidak pernah menangis. Geo kira dia adalah pemuda yang bisa mengendalikan perasaannya. Namun, melihat Beni yang begitu rapuh seperti ini membuat semua pikirannya buyar.

Beni bukan mengendalikan perasaannya, dia hanya pintar menyembunyikannya. Mungkin di belakang semua orang, dia menangis diam-diam. Semua orang hanya melihat Beni sebagai pemuda yang pemarah dan tegas tetapi di balik itu dia juga menyimpan banyak beban dan kesedihan.

Lama akhirnya Beni melepas pelukannya. Dia menghapus air matanya dan Geo menatapnya sambil menahan diri untuk tidak tersenyum. Beni berdeham-deham sok keren. Mungkin untuk menutupi rasa malunya. Geo tidak tahan lagi untuk tersenyum.

"Apa itu? Kenapa tersenyum?" Beni tersinggung.

"Ah, tidak ada. Sudahlah aku mau tidur."

"Benar, kamu harus tidur." Beni menyetujuinya sambil berpura-pura bersikap biasa saja.

"Lalu, kamu keluar, dong!"

"Saya akan di sini sampai kamu tertidur."

Geo menatapnya dengan curiga. "Aku malah tidak bisa tidur kalau ada kamu!"

"Kenapa? Apa mau sekalian tidur bersama?"

"Apa? Dasar gila! Keluar sana!"

Beni tertawa. "Tidak ... Tidak .. Saya tidak akan melakukan apa pun. Jadi tidur saja."

Geo lagi-lagi memicingkan matanya. Tingkah Beni terlihat mencurigakan.

"Benar-benar tidak akan melakukan apa pun! Sudah cepat tidur!" Teriakan Beni membuat Geo berdecak kesal. Dia mencibir lalu menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.

***

Rasanya baru tidur selama beberapa menit. Namun, gertakan seseorang membuat mata Geo yang berat menjadi terbuka. Beni terlihat berbeda. Dia menyandang senapan laras panjang di bahunya. Wajahnya tampak bersih seperti habis mandi. Sarung menyampir di bahunya.

"Mau berapa lama lagi kamu tidur?" bentaknya.

"Aaahhh, aku baru tidur lima menit!" Geo marah-marah lalu membalik tubuhnya.

"Lima menit apanya? Cepat bangun! Kamu mau melewatkan hari ini tanpa berpamitan dengan saya?"

"Oh, iya!" Mata Geo terbuka dan dia langsung bangkit. "Sekarang jam berapa? "

"Jam tiga pagi."

"Apa? Aku baru tidur selama dua jam?"

"Diamlah! Di tengah perang masih bisa tenang memikirkan untuk tidur? Mau tidur untuk selamanya?"

Geo melotot. Perkataan Beni sangat keterlaluan. Geo mencibir dan segera keluar dari kamarnya. Dia harus bersiap-siap sebelum Serangan Umum dimulai. Di luar, para petugas PMI sudah bersiap berlalu-lalang menyiapkan segala hal. Obat-obatan tertata rapi di sudut, posko darurat telah berdiri di luar walaupun hari masih sangat gelap.

Mbak Sri sibuk menata dipan darurat beserta selimutnya. Geo terdiam. Suasana ini memang nyata. Sebentar lagi benar-benar akan terjadi perang. Geo yang tidak pernah mengalami apa yang namanya perang merasa suasana ini begitu tidak biasa. Ada banyak aura ketegangan dan wajah-wajah cemas yang terlihat.

Nafas Geo mendadak menjadi sesak. Orang-orang yang dilihatnya saat ini, kemungkinan tidak akan dilihatnya lagi nanti. Atau mungkin orang-orang yang dikenalnya juga tidak akan dilihat lagi. Geo berbalik. Mendadak teringat pada Beni. Bagaimana kalau Beni menjadi salah satunya?

Geo segera berlari menembus banyak orang hanya untuk mencari Beni. Di pikirannya hanya ada harus bertemu Beni. Beni berdiri di pojok ruangan. Menatap sekeliling. Wajahnya tenang tapi Geo tahu dia sedang cemas. Geo segera berlari ke sana, menghampirinya. Beni menyambut kedatangan Geo dengan senyumannya. Namun, tanpa diduga, Geo langsung menghambur ke pelukannya.

"Tolong berjanji satu hal padaku. Berjanjilah kamu harus tetap hidup dan kembali dengan selamat atau aku akan berlari dan mencarimu di luar sana." Mata Geo mulai sedikit berair. Rasanya seperti seseorang yang sedang melakukan salam perpisahan. Beni membalas pelukan Geo.

"Iya. Saya janji. Dengan begitu kamu tidak akan berlari menghampiriku, kan?"

Geo menganggukkan kepalanya di dada Beni. Merasakan detak jantung Beni dan kehangatan yang pria itu berikan. Air matanya meleleh, membasahi pakaian Beni tetapi dia tidak peduli.

***

Pukul lima pagi, semua tentara, laskar rakyat, dan pejuang gerilya sudah berada di kota. Geo mendengar kalau mereka semua saling berkomunikasi menggunakan saluran radio. Belanda benar-benar tidak mengetahui rencana ini. Rencana ini tersusun rapi dalam bayangan. Belanda tidak akan sadar kalau di sekitarnya ada banyak pejuang yang tengah mengepung mereka.

Suasana tegang sangat terasa walau hanya dari posko PMI. Para petugas yang bersiap telah berharap-harap cemas. Apakah serangan kali ini akan menimbulkan banyak korban jiwa? Seberapa banyak pejuang yang akan gugur? Atau apakah perjuangan ini akan berhasil?

Semua pertanyaan yang menimbulkan perasaan khawatir itu terlihat jelas dari raut wajah mereka. Ada seseorang yang memilin-milin pakaiannya dengan cemas. Geo benar-benar tidak tahan dengan suasana tegang ini. Rasa-rasanya dia seperti ingin terus menangis.

Tepat pukul enam pagi. Terdengar suara sirine yang meraung-raung. Itulah tanda bagi para pejuang untuk menyerang. Geo menggigit bibirnya. Jantungnya tidak mau berhenti berdebar dan air matanya serasa menumpuk di pelupuk matanya. Dia mulai membayangkan apa yang dilakukan Beni sekarang dan bagaimana keadaannya.

Semua orang serasa menahan nafasnya kala terdengar suara letusan tembakan yang terus bersahutan. Terasa sangat dekat dan intens. Geo sampai menggenggam seprei dengan sangat kuat. Di dalam hatinya, dia berdoa. Semoga Beni selamat.

Tidak lama kemudian, muncul dua orang dalam keadaan yang sangat parah. Seorang prajurit memapah temannya yang kepalanya penuh darah. Sedangkan si pria itu tangannya terluka. Geo terkesiap. Bagaimana dengan Beni?

Suara teriakan petugas medis membahana di pagi itu. Mereka berlarian mengambil obat-obatan. Selanjutnya ada banyak prajurit yang datang. Sebagian hanya datang mengantarkan temannya lalu kembali menghilang masuk ke dalam pertempuran. Geo ikut sibuk membantu walaupun hatinya terasa ngilu melihat luka-luka mereka. Wajah-wajah kesakitan mulai memenuhi posko. Geo memperhatikan semua orang yang dirawat dan dari semuanya tidak ada yang dikenalnya. Belum. Setidaknya cukup untuk membuatnya bernafas lega.

Namun, teriakan seseorang di ujung sana membuat Geo membeku. Dia menarik lagi kata-kata leganya. Dia belum merasa lega, malah bertambah khawatir.

"Banyak yang tidak selamat dan gugur di medan pertempuran, Mbak!"

Lalu bagaimana dengan Beni? Sembari mengobati yang terluka, Geo juga mati-matian menahan tangisnya. Dia tidak boleh menangis sementara para pejuang ini saja tidak menangis. Daripada menangis, lebih baik memusatkan energi untuk mengobati mereka.

Mbak Sri mendekati Geo dan menyuruhnya mengobati pasien yang lain. Mbak Sri menatapnya dengan tatapan sedih lalu menepuk bahu Geo untuk menenangkannya. Geo mengangguk sambil tersenyum hambar. 

Sosok seseorang yang tertatih-tatih mendatangi posko menarik perhatian Geo. Seseorang yang tidak asing. Geo terkesiap menyadari siapa orang itu. Itu Pak Sarjono, teman Beni yang pernah berkunjung ke rumah waktu itu. Geo langsung berlari menghampirinya dan membantunya berjalan.

"Bapak baik-baik saja?" tanya Geo sambil meletakkan tangannya di bahu Pak Sarjono.

Pak Sarjono menoleh, terkejut melihat Geo. "Kamu?"

Geo tersenyum. "Mari, Pak. Saya bantu Bapak ke ruang perawatan."

"Geo, kamu tidak mau bertanya?"

Geo menggigit bibirnya. Dia bukannya tidak ingin bertanya. Dia hanya takut. Takut kalau jawaban yang dia dapatkan sangat jauh dari apa yang dia harapkan.

"Saya, tidak berani bertanya, Pak."

Dalam kondisi kesakitan pun, Pak Sarjono masih bisa tertawa. Geo membantu Pak Sarjono berbaring di ranjang yang kosong.

"Saya tadi bertemu Beni."

Mata Geo melotot. Di dalam hatinya terus berteriak, "Tolong jangan katakan! Tolong jangan katakan!"

"Beni yang membantu saya sampai di sini, lalu dia kembali lagi ke pertempuran."

Geo bernafas lega. Setidaknya sekarang dia bisa merasa lega. Beni masih hidup. Air matanya hampir jatuh tetapi dia tersenyum. Menahan agar air mata itu tetap di tempatnya.

"Yah, syukurlah kalau dia baik-baik saja."

"Kamu memang hebat, Geo. Saya salut sama kamu."

Geo tersenyum dan mulai mengobati kaki Pak Sarjono. Sejujurnya, Pak Sarjono lah yang hebat. Dia masih bisa bertahan dengan luka kaki yang begitu serius tanpa mengeluh. Kalau Geo yang mendapat luka itu, dia pasti akan menangis meraung-raung. Menangisi nasibnya yang tidak adil.

Kemudian, seseorang berlari dengan terengah-engah. Penampilannya acak-acakan dengan rambut yang sedikit gosong. Wajahnya coreng-coreng dan pakaiannya sobek. Dia berteriak keras di tengah-tengah.

"Di ... Di sini, ada yang masih bisa berjuang? Kami kekurangan pasukan. Ada banyak yang terjebak di markas NICA yang terbakar. Pasukan Pak Beni terancam."

Jantung Geo berhenti. Dia bilang apa barusan? Pasukan Beni? Seingatnya Beni bertugas menggempur markas pusat di hotel togoe. Hotel tempat dia pernah ditangkap dulu. Lagi, oeang itu bilang hotel togoe terbakar?

"Tunggu, tidak boleh pergi!" Pak Sarjono memekik setelah melihat Geo berlari tanpa pikir panjang. Kakinya yang terluka membuatnya tidak bisa mengejar Geo. Geo juga seakan menutup telinga ketika melihat beberapa prajurit yang berlawanan arah dengannya meneriakinya untuk kembali.

"Hei, kamu! Tolong kejar perempuan tadi! Dia pasti akan melakukan tindakan bodoh!" Pak Sarjono meneriaki orang yang berteriak di tengah itu.

Kepanikan mulai terjadi di posko. Semuanya gara-gara Geo. Dia tidak berpikir panjang dan memilih berlari ke dalam bahaya. Tidak ada yang dipikirkannya selain keadaan Beni. Dia harus memastikan keadaan Beni dengan mata kepalanya sendiri. Kalau bisa dia akan membawa Beni kembali dalam keadaan selamat.

***

Geo berlari menembus rumah-rumah menuju ke medan pertempuran. Dia berpapasan dengan dua orang tentara yang saling berpegangan. Mereka meneriaki Geo untuk kembali tetapi telinga Geo sedang dalam mode tuli. Dia tidak akan mendengar suara teriakan siapa pun. Keyakinannya sudah kuat. Dia sendiri yang akan menyelamatkan Beni.

Geo tersandung sebuah batu kecil. Kakinya tidak bisa melangkah terlalu lebar karena jarit ketat yang dia kenakan. Harusnya dia memikirkan ini. Jarit dan kebaya sangat tidak cocok untuk masuk ke dalam pertempuran. Geo bangkit dan membersihkan jaritnya dari tanah yang menempel. Di depan sana dilihatnya seorang prajurit yang terluka tengah merangkak, berusaha sekuat tenaga untuk tetap bergerak.

Geo langsung berlari ke arahnya. Menurutnya itu adalah kesempatan yang bagus. Prajurit itu terluka di kedua kakinya. Darah mengalir di kedua kakinya. Geo segera berjongkok di depannya dan memegang kedua bahunya dengan wajah meyakinkan.

"Aku akan menolongmu tetapi sebelumnya lepas pakaian dan celanamu."

"Apa? Kenapa pakaiannya juga?" Prajurit itu menautkan keningnya.

"Cepat lakukan atau kamu tidak akan selamat!"

Dengan kebingungan, prajurit itu melepas pakaiannya. Kemudian saat hendak melepas celananya, dia melirik ke arah Geo ragu-ragu. 

"Aku tidak akan lihat. Setelah selesai berikan padaku!" Geo mengalihkan pandangannya sambil mengangkat tangannya. Sebuah kain bernoda darah mendarat di tangannya. Setelah itu Geo bergegas lari ke balik semak-semak untuk menukar pakaiannya.

Beberapa menit kemudian, Geo sudah selesai berganti pakaian. Dia melempar kebaya dan jaritnya ke arah si prajurit yang masih kebingungan.

"Gunakan itu untuk menutupi anumu." Geo berteriak sembari mengalihkan pandangannya. "Sudah belum?"

"Su ... Sudah," jawab si prajurit ragu-ragu. Dia hanya menuruti perintah Geo tanpa tahu tujuannya.

Geo menyeringai dan berjongkok di depan prajurit itu. Dia melucuti senjata si prajurit dengan tenang. Si prajurit menurut saja ketika Geo melepas senapan yang melingkar di lehernya. Dia pikir, Geo akan mengobatinya dengan terlebih dulu melepas senjatanya. Namun, kemudian dia tersadar ketika senjata itu sudah berpindah tangan dan melingkar di bahu gadis itu. Yang terluka, kan, kakinya, kenapa dia harus melucuti senjatanya?

"Ke ... Kenapa senjata saya juga diambil?"

Geo menepuk bahu prajurit itu. "Aku akan membantumu. Di atas sana ada posko PMI, merangkaklah sedikit lagi. Kamu akan segera sampai. Lalu semua ini, aku pinjam dulu, ya."

"Apa?" Si prajurit melongo. Geo tersenyum sambil terus menepuk-nepuk bahu prajurit itu.

"Oh, satu lagi. Aku pinjam topimu. Oke, selamat berjuang! Aku pinjam smeua ini, ya." Geo memberi hormat pada prajurit itu lalu kembali berlari menuju pusat pertempuran.

"Hei!! Kembali kamu! Pencuri!!" Si prajurit yang baru sadar telah tertipu berusaha berteriak memanggil Geo kembali tetapi keadaan kakinya sedang tidak bisa digunakan untuk mengejar gadis aneh itu.

***

Geo terus berlari. Merangsek di arena pertempuran. Seorang tentara Belanda menghadangnya sambil menodongkan senjata. Geo menendang moncong senjata itu menggunakan tentangan berputar lalu menghabisinya. Peluru dari senapan yang dilucutinya tadi sudah habis. Dia membuang senapan itu dan melucuti senjata milik si tentara Belanda yang sudah mati di dekatnya.

Asap membumbung dari sebuah markas. Geo langsung tahu Beni ada di sana. Geo menghindari beberapa tembakan dan melancarkan tembakan sembari berlindung di belakang pepohonan. Jaraknya dengan tempat kebakaran itu masih terlaku jauh. Geo menerjang salah satu tentara yang hampir menembak salah seorang prajurit. Mencekik lehernya dengan menekan senjatanya ke lehernya sendiri. Tentara Belanda itu mati tercekik.

"Kamu perempuan? Apa yang kamu lakukan di sini? Cepat kembali ke posko!"

"Begitukah caramu berterima kasih? Aku sudah, menyelamatkan nyawamu."

"Ah, terima kasih tetapi sekarang kamu harus pergi! Ini serius! Di sini berbahaya!"

"Maaf, aku harus menemukan seseorang lebih dulu!" Geo memberi hormat lalu berlari pergi.

Asap membumbung tinggi. Si jago merah benar-benar mengamuk. Beberapa orang keluar dari dalam markas yang terbakar dalam kondisi gosong. Ada beberapa bagian tubuhnya yang ikut terbakar juga. Geo datang tepat ketika nama penanda markas jatuh. Di depan sana terlihat seseorang yang berantakan dengan wajah penuh debu sedang berjuang menembaki para musuh.

Orang itu terlalu serius menembak musuh di sampingnya tanpa memperhatikan musuh yang berada di belakangnya. Orang itu adalah Hasan. Seorang musuh di belakang Hasan membidikkan senapannya ke arah Hasan. Tanpa pikir panjang, Geo langsung berlari menuju ke arah Hasan dan langsung menendang tubuh Hasan masuk ke dalam parit.

Hasan tergulung jatuh ke dalam parit bertepatan dengan suara desingan peluri yang pasti akan mengenainya. Peluru itu malah mengenai rekannya sendiri. Tentara yang dilawan Hasan tadi. Hasan merintih kesakitan. Mungkin kakinya terkilir atau apa. Geo menyeringai merasa bersalah tetapi setidaknya Hasan selamat.

Hasan mendongak untuk melihat siapa yang telah menendangnya. Dilihatnya seseorang dengan rambut yang dipotong berantakan dengan ukuran tubuh yang kecil.

"Geo? Apa yang kamu lakukan di sini? Cepat kembali!"

"Di mana Mas Beni?"

"Dia akan kembali sebentar lagi jadi pergilah!"

"Apa di dalam?" Hasan diam saja. Dia mencoba bangkit tetali tidak bisa. "Kalau kamu diam berarti iya. Aku akan menyelamatkannya."

"GEO!!" Hasan berteriak nyaring memperingatkan Geo untuk kembali. Sekali lagi Geo memasang mode tuli.

Dia merangsek masuk ke dalam markas yang terbakar hebar. Beni sudah berjanji padanya untuk kembali tetapi dia terlalu tidak sabar untuk menemui Beni. Suasana di dalam sesak, penuh dengan asap. Geo menutup hidungnya dan berusaha bernafas seirit mungkin. Menahan nafasnya sembari matanya menatap sekeliling. Mayat-mayat gosong memenuhi indera penglihatannya. Sangat tidak mungkin untuk melihat yang mana mayat Beni.

Kemudian Geo mendengar suara teriakan seseorang yang sangat familiar. Geo mendongak dan menemukan Beni di lantai atas. Lengannya terluka dan dia sedang berusaha mengangkat lengannya untuk menembak musuh di depannya. Geo mengabaikan dadanya yang sesak dan berusaha naik ke lantai atas walaupun api sudah benar-benar menghanguskan segalanya.

Geo merasa seperti seorang warrior. Dia berdiri di belakang musuh yang berniat menembak Beni. Mata Beni melotot sangat melihat penampakan familiar dari sosok yang sangat dia cintai. Geo menodongkan senapannya tepat ke bagian belakang kepala si musuh. Dengan sekali tarikan, musuh itu tumbang terkapar di lantai.

Beni berjalan mendekati Geo dengan tatapan marah. Matanya merah entah karena asap atau amarahnya. "Saya, kan, sudah bilang! Kamu di pos saja! Kenapa kemari? Saya juga sudah janji akan kembali dengan selamat!"

"Mereka bilang kamu terjebak di gedung yang terbakar! Aku ingin menyelamatkanmu! Dengan begitu kamu masih bisa menepati janjimu." Geo terisak. Keinginannya sangat tulus untuk menyelamatkan Beni tetapi Beni malah membentaknya seolah itu tindakan yang bodoh.

Beni langsung membawa Geo ke dalam pelukannya. Api membuat suasana benar-benar panas. Sebongkah kayu di belakang Beni roboh menimbulkan percikan api yang malah terlihat seperti kembang api. Tiba-tiba Beni memutar tubuhnya dan suara tembakan berdesing diiringi rintihan Beni. Di belakang sana, seorang musuh tertatih-tatih menembak punggung Beni.

Beni jatuh berlutut sementara Geo berteriak histeris. Geo berjongkok dan langsung memeluknya. Dia menyentuh sebuah lubang di punggung Beni yang mengeluarkan darah. Telapak tangannya menjadi penuh dengan darah. Musuh yang berhasil menembak Beni telah dimakan oleh api. Air mata Geo mengalir deras. Sekarang dia menyadari kalau mereka berada di tengah-tengah api. Beni terluka dan mereka sepertinya tidak akan selamat.

"Mas Beni ... Mas Beni ... Kamu masih bisa bertahan?"

"Geo ...." Suara Beni terdengar rapuh. Geo menggigit bibirnya. Dia melepas pelukannya untuk melihat wajah Beni.

Beni tersenyum. Geo menggeleng. "Kamu sangat cantik. Sejak awal kamu sudah membuat saya bingung jadi saya terus marah-marah padamu tetapi kamu malah balik memarahi saya dan membuat saya semakin bingung."

"Jangan bicara! Apa kamu bisa berdiri? Ayo kita keluar!"

Beni menggeleng. "Maaf, sepertinya saya tidak bisa menepati janji. Lain kali, di kehidupan selanjutnya jika kita dipertemukan lagi, saya janji, saya akan jadi orang yang lebih dulu mendekatimu."

"Berhenti bicara! Ayo kita pulang!"

"Saya ingin mengatakan ini dari lama. Terima kasih sudah datang menemui saya. Walaupun nanti kamu tidak bisa kembali, lanjutkan perjuangan saya tapi jangan bodoh ikut berperang. Setidaknya kamu membantu di posko PMI." Beni mengusap sisi wajah Geo dengan tangannya. Geo menggeleng, air matanya semakin mengalir dengan deras.

Tanpa disangka Beni mendekatkan kepalanya ke arah Geo. Yang terjadi kemudian adalah bibir hangat Geo menempel di bibir Beni. "Saya cinta kamu."

Beni menutup mata Geo dengan telapak tangan kanannya. Perlahan-lahan tubuh Beni melemah dan dia jatuh terkulai di bahu Geo. Geo memeluknya dengan erat dan menjerit histeris. Api mengelilinginya. Terasa sangat panas tetapi dia tidak ingin beranjak. Dia ingin bersama Beni.

Suara gemuruh terdengar. Mendadak lantai yang dipijak Geo hancur. Dia memeluk mayat Beni dengan sangat erat diiringi isakan tangisnya. Kalau ini adalah akhir dari hidupnya, dia merasa bahagia karena bisa pergi bersama dengan orang yang dicintainya. Suara berdebam teredam di telinganya. Penglihatannya mulai kabur dengan asap dan air mata. Namun, dia yakin di satu titik penglihatannya mulai menggelap.

 

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
kekasihku bukan milikku
1306      666     3     
Romance
Beach love story telling
3012      1478     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Truth Or Dare
9058      1717     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
Untuk Reina
25540      3902     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Love Warning
1486      679     1     
Romance
Dinda adalah remaja perempuan yang duduk di kelas 3 SMA dengan sifat yang pendiam. Ada remaja pria bernama Rico di satu kelasnya yang sudah mencintai dia sejak kelas 1 SMA. Namun pria tersebut begitu lama untuk mengungkapkan cinta kepada Dinda. Hingga akhirnya Dinda bertemu seorang pria bernama Joshua yang tidak lain adalah tetangganya sendiri dan dia sudah terlanjur suka. Namun ada satu rintanga...
always
1191      650     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
Gagal Menikah
4852      1625     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Flying Without Wings
1007      539     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
My Twins,My Hero
17025      3323     28     
Romance
Menceritakan kisah unik dari Alessa Samantha dan Andreas Sanjaya yang merupakan saudara kembar.
Hug Me Once
8690      1963     7     
Inspirational
Jika kalian mencari cerita berteman kisah cinta ala negeri dongeng, maaf, aku tidak bisa memberikannya. Tapi, jika kalian mencari cerita bertema keluarga, kalian bisa membaca cerita ini. Ini adalah kisah dimana kakak beradik yang tadinya saling menyayangi dapat berubah menjadi saling membenci hanya karena kesalahpahaman