Mata gadis itu perlahan terbuka. Tubuhnya terasa sangat kaku dan sakit. Bergerak sedikit saja sudah terasa amat sakit. Aroma obat langsung tercium di indera penciumannya. Matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Dia menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tengah tertidur di sampingnya. Gadis yang tertidur itu meletakkan kepalanya di atas ranjang dengan posisi duduk. Perlahan gadis yang tertidur itu bergerak dan membuka matanya. Gadis itu mendongak untuk mengintip gadis yang terbaring di ranjang. Tatapan mereka bertemu. Matanya melotot tidak percaya.
"Geo? Kamu sudah sadar?" pekikan senang terdengar dari gadis seusianya itu.
Gadis itu menatap langit-langit. Sekarang dia ingat namanya Geo. Lalu apa yang terjadi padanya? Dia seperti merasa telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Gadis seusianya itu tampak hiperbola. Berteriak ke sana ke mari lalu berlarian keluar kamar. Geo berusaha bangkit tapi tubuhnya seakan telah menjadi agar-agar.
Gadis yang hiperbola tadi kembali bersama dengan seseorang berpakaian serba putih dan memakai sebuah alat yang terbuat dari alumunium. Geo mengerjap. Orang berpakaian putih yang menurutnya adalah dokter itu memintanya melakukan beberapa hal. Misalnya mengangguk ketika dokter itu memanggil namanya lalu ketika pertanyaan mengarah pada siapa orang ini sambil menunjuk gadis hyper tadi, Geo menggeleng. Dia lupa. Dahinya mengerut berusaha mengingat nama gadis hyper itu. Namun, tidak ada sebuah nama yang terlintas di kepalanya.
Wajah gadis hyper itu terlihat sedih. Dokter mengajaknya keluar untuk bicara mengenai sesuatu. Sementara Geo hanya bisa berkedip sambil berbaring. Tubuhnya sakit dan ingatannya hilang. Dia merasa seperti sebuah tong yang kosong. Dan yang paling penting, ada sesuatu yang terasa seperti hilang. Sudut hatinya merasakan itu. Seperti sesuatu yang benar-benar penting telah hilang. Rasa sakit mulai menjalari hatinya.
Tiba-tiba saja dia merasa sangat sedih. Tidak mengingat apa pun dan air matanya tumpah tak terbendung. Gadis yang bersama dokter itu kembali dan menadapati Geo menangis. Gadis itu panik dan langsung mengambil selembar tisu dari atas meja.
"Jangan menangis, tenang saja. Tidak apa-apa kamu tidak bisa mengingatku. Namaku Vea. Kamu pasti akan ingat lagi nanti. Lalu, aku juga sudah menghubungi ayahmu. Beliau sedang dalam perjalanan. Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Gadis bernama Vea itu menghapus air mata Geo yang tidak henti-hentinya mengalir.
Dia menangis bukan karena tidak bisa mengingat apa pun. Namun, dia menangis karena ada sesuatu yang sepertinya sangat penting terlupakan olehnya. Dan lagi, Geo tidak bisa mengingat apa sesuatu yang penting itu.
Selama tiga hari Geo terbaring di ranjang, padahal kata Vea, dia sudah berada di rumah sakit selama seminggu. Selama itu juga Geo menjadi berubah. Wajahnya datar dan sering melamun. Terkadang dia akan menjerit histeris dengan air mata yang mengalir deras. Vea sampai ketakutan tetapi juga kasihan. Sahabat satu-satunya itu menjadi aneh semenjak terjatuh dari lantai dua Benteng Vredeburg. Menurut Vea, luka di kepala Geo mungkin sangat parah. Dia jadi tidak tega membiarkan Geo seperti itu.
***
Hari Senin bulan April, Geo mulai masuk kuliah seperti biasanya. Vea selalu tidak jauh-jauh darinya takut kalau Geo tiba-tiba akan menangis histeris. Untungnya selama kuliah Geo tidak pernah menunjukkan kalau dia sedang sakit. Yang berubah hanyalah kepribadian dan ekspresi wajahnya.
Geo yang biasa Vea kenal adalah seorang gadis ceria yang bandel. Sangat tidak suka sejarah dan selalu kabur kalau ayahnya sudah mulai mengadakan sebuah acara yang menyangkut sejarah. Dan akibat sejarah pula lah Geo menjadi seperti itu. Terkadang, Vea juga menyalahkan dirinya sendiri karena merasa berkontribusi membuat Geo jadi seperti itu. Karena salahnya lah Geo jadi berada di Benteng Vredeburg. Kalau saja Vea tidak tertarik dengan tawaran ayahnya Geo, dia tidak mungkin akan mengkhianati Geo dan mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Vea berjanji di dalam hatinya untuk menebus segala dosanya dengan selalu mendampingi Geo.
Sepulang kuliah, Geo pergi ke rumah sakit bersama Vea sesuai jadwal terapinya. Ekspresinya datar, tatapan mata kosong, pikiran melayang seakan tanpa jiwa. Kesadarannya sekan menghilang melalang buana. Dokter mendiagnosis dirinya menderita 'Depresi Kronis' atau Distimia, depresi akibat rasa sedih yang berlarut-larut.
Geo tidak menyetujui vonis dokter itu karena dia saja tidak mengingat apa yang membuatnya sedih. Akhirnya Geo menjalani terapi itu dengan rasa tidak tertarik. Menurutnya terapi tidak membantunya mengingat sesuatu yang penting yang telah hilang. Matanya menerawang kosong.
Geo mendengarkan nasihat dokter yang duduk di hadapannya dengan tatapan kosong. Tubuhnya berada di sana tapi pikirannya melayang. Dokter itu mengetukkan jarinya di depan mejanya.
"Iya dok?"
"Kamu tidak mendengarkan saya?"
"Mendengarkan." Dokter itu hanya menatapnya sekilas lalu menulis sesuatu di kertas kecil.
"Bawa ini ke konter obat. Ini resepmu. Tolong diminum dan saya harap kamu lebih memperhatikan sekitar. Ini serius." Geo hanya mengangguk malas menanggapi pernyataan dokter itu. Dia mengambil resepnya dan berjalan keluar dengan lunglai.
Di luar, Vea yang tengah menunggunya langsung berlari ketika melihatnya keluar. Wajahnya tampak sangat antusias. Senyuman merekah di bibirnya. Geo bertanya-tanya, bagaimana caranya tersenyum? Sepertinya dia juga melupakan hal itu.
"Oh, kamu harus mengambil obatnya. Tunggu kita di rumah sakit mana ya ini?" Vea berkeliling mencari tulisan nama rumah sakitnya.
"Rumah sakit Sejahtera," ucao Geo malas. Seketika wajah Vea jadi berbinar.
"Hei! Fian koas di sini! Dia baru mulai beberapa hari yang lalu. Kamu pasti tidak ingin melewatkan bertemu dengannya di sini, kan? Dia akan memakai seragam dokter! Ayo, cepat tebus obatmu dan temui Fian."
Geo melongo. "Siapa Fian?"
Vea menghentikan langkahnya. "Yang benar saja? Masa dengan gebetanmu saja kamu lupa! Fian itu cowok yang kamu sukai sejak semester pertama. Sudahlah, ayo cepat!!" Vea menarik tangan Geo untuk segera mengikutinya ke counter obat.
Geo menunggu pemanggilan namanya untuk mengambil obat dan Vea menemaninya. Nama Geo dipanggil lewat pengeras suara. Vea yang bergerak karena Geo terlihat bengong dan tidak fokus. Setelah mengambil obatnya, Vea langsung menarik tangan Geo untuk mengikutinya.
Vea membawa Geo ke tempat di mana Fian sedang melakukan prakteknya sebagai Koas. Pakaian serba putih yang dipakai Fian membuatnya tampak mempesona. Ditambah dengan kacamata yang membingkai wajahnya itu benar-benar berkilauan. Namun, di mata Geo semua itu tampak biasa. Entah kenapa dia merasa telah membandingkan Fian dengan seseorang yang tidak dia ketahui. Beberapa perawat perempuan mengelilingi Fian.
"Wah, wah, populer juga dia. Sekarang waktunya kamu beraksi. Ingat yang sudah kubilang tadi." Vea menepuk punggung Geo dan mendorong Geo mendekati Fian. Vea langsung sembunyi ketika melihat Fian menyadari kedatangan Geo.
Fian meninggalkan beberapa teman perawatnya dan berjalan menghampiri Geo yang linglung. Dia tidak tahu harus melakukan apa.
"Hai, katanya kamu Fian." Geo mulai menyapa dengan canggung. Dia mencoba tersenyum tetapi yang muncul malah seringaian aneh.
"Eh, iya. Geo apa kamu baik-baik saja? Kita tidak pernah bertemu jadi rasanya aneh melihatmu di sini. Apa yang kamu lakukan?"
"Ah, anu ... Hanya mengantar teman ambil obat." Geo mengangkat plastik yang berisi obatnya. Entah kenapa rasanya dia harus berbohong. Mulut Fian menggumamkan bunyi o sambil mengangguk. "Hmm ... Kalau boleh tahu, katanya aku suka padamu, ya? Memangnya itu benar? Eh, maaf aku tidak ingat itu karena sesuatu terjadi padaku. Jadi, apa yang kusuka darimu?"
"Hah? Apa? Hmm ... Kamu suka padaku? Wah, aku tidak tahu. Mungkin saja aku menarik untukmu tapi kenapa kamu tanyakan padaku? Bukankah kamu sendiri yang harusnya tahu kenapa menyukaiku?"
Vea menepuk dahinya. Harusnya dia merasa bangga temannya itu berhasil mengutarakan perasaannya, tetapi yang terjadi sekarang adalah temannya itu sedang tidak ingat kalau dia sangat menyukai Fian. Vea sampai ingin menyumpah-nyumpah karena ingatan Geo yang hilang. Vea bersembunyi di belakang pot besar. Tanpa sadar mulutnya ikut mengunyah daun dari tumbuhan di pot itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
"Aduh, Mbak. Cantik-cantik kok makan daun!" Pekikan seseorang membuat Vea menoleh. Mulutnya sedikit menganga menatap orang yang baru saja menegurnya. Orang itu tersenyum. "Lapar, ya? Ini makan." Orang itu menyodorkan sebungkus cokelat bar lalu pergi begitu saja setelah Vea menerimanya. Mata Vea bahkan sampai tidak berkedip menatap kepergian orang itu.
Geo kembali ke tempat di mana Vea berada. Vea masih belum sadar sampai Geo mengguncang tubuhnya. Vea mendadak menjadi seperti orang gila. Tersenyum sendiri sambil memeluk sebungkus cokelat. Geo mengernyit heran. Sepertinya sekarang sahabatnya itu yang sakit.
"Gila! Tadi ada koas yang lebih ganteng dari Fian. Dia kasih aku cokelat bar karena dia mengira aku lapar."
"Kenapa bisa gitu?"
"Dia lihat aku ngunyah daun."
Geo menyeringai. Ternyata yang lebih sakit adalah sahabatnya. "Ve, kayaknya kamu perlu berobat juga, deh. Mulai besok kamu juga harus ikut masuk ruang terapi."
Vea menoleh. "Sembarangan! Eh, ngomong-ngomong kamu itu bodoh atau apa? Tadi itu sebuah kesempatan! Kamu tinggal ajak dia nonton bioskop. Aku kan sudah kasih tiketnya sama kamu!"
"Oh benar, aku lupa."
Vea menjerit histeris. Beberapa orang sampai memperhatikannya termasuk Geo. Geo merasa Vea harus benar-benar ikut terapi.
Mereka memutuskan untuk pulang sebelum hari terlalu sore. Sebelumnya, Vea meminta izin ke toilet sebentar sementara Geo menunggunya di koridor. Sambil menunggu, Geo melongok ke dalam plastik membuka bungkusan obatnya dan bertanya-tanya kapan dia harus meminum obat itu.
Entah karena dia terlalu serius memeriksa obatnya atau karena orang itu yang tidak melihat, Geo tertabrak seseorang yang tengah terburu-buru. Geo terjatuh. Obatnya berserakan keluar dari kantungnya dan tiket bioskop yang digenggamnya ikut terjatuh.
"Maaf, maaf, saya terburu-buru. Inspeksi mendadak. Maaf banget." Suara seorang cowok terdengar. Dia juga membantu Geo merapikan kembali obatnya dan memasukannya ke kantungnya lagi. Tangan cowok itu terhenti ketika melihat lembaran tiket bioskop yang juga ikut terjatuh. "Mau menonton bersamaku?"
"Eh, ah? Apa?" Geo mendongak. Mata mereka bertemu. Geo mengernyit. Entah kenapa seperti ada rasa familiar dengan sorot mata itu.
"Hei, Ben, kok kamu masih di sini? Godain cewek lagi. Dokter Rico sudah ngamuk tuh." Temannya menegurnya sambil berlari. Wajah cowok itu menjadi panik.
"Ini Mbak, obatnya. Diminum ya supaya cepat sembuh." Cowok itu menyodorkan kantung obat yang sedari tadi dipegangnya lalu berlari. Geo melongo, tiketnya dibawa kabur orang itu. Namun baru beberapa langkah, dia kembali lagi. Sepertinya dia mendengar suara hati Geo.
"Anu, Mbak. Tiketnya saya yang bawa. Akhir minggu ini kita nonton. Jangan lupa, ya. Sampai jumpa." Cowok itu tersenyum sementara Geo melongo dan tampak terguncang.
"Eh? Apa itu tadi? Tiketnya ...."
Vea kembali sambil menggerutu. Katanya tisu di dalam habis. Dia sampai mendobrak semua bilik untuk mengambil selembar tisu. Kemudian dia melihat Geo yang tampak bengong di tepi koridor.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" Vea menjadi panik takut sesuatu terjadi saat dia pergi tadi tetapi seharusnya dia tidak perlu takut karena mereka masih berada dalam lingkup rumah sakit.
"Anu, tadi, ada orang tidak tahu siapa, dia mengambil tiket bioskopmu."
"Apa? Kenapa kamu berikan? Dia mencuri? Itukan tiket yang harus kamu dan Fian gunakan! Bisa rugi aku!"
"Bukan begitu. Orang itu aneh. Masa dia mengajakku menonton."
"APA?" teriakan Vea yang begitu membahana membuat beberapa orang yang lewat menjadi terganggu.
Geo menutup wajahnya dengan kantung plastik obatnya. Sebenarnya yang sakit itu Vea. Membuat keributan di tengah rumah sakit dengan suaranya yang membahana. Geo hampir menyeret Vea pergi dari sana ketika seorang bapak-bapak menghampiri mereka.
"Anu ... Maaf, kamu yang bernama Geo bukan?" Bapak-bapak itu menatap Geo dengan ragu-ragu.
"Ya, saya? Ada apa? Bapak kenal saya?"
Bapak-bapak itu merasa lega. Dia menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
"Sebenarnya saya sudah lama mencari kamu, nak Geo. Kamu ingat kakek tua yang kamu temui di Benteng Vredeburg? Itu ayah saya."
"Oh! Kakek veteran itu?" Vea memekik. Rupanya dia masih ingat tentang kakek itu. Geo yang tidak ingat sama sekali malah menjadi bingung. Sebenarnya mereka sedang membicarakan siapa?
"Benar, ayah saya Veteran. Sehari setelah Geo dirawat, ayah saya juga ikut dirawat. Beliau menyuruh saya mencari gadis bernama Geo tetapi saya tidak bisa meninggalkan dia sendiri. Jadi baru sekarang saya mencari kamu. Untungnya kita bertemu di sini. Saya sudah berkali-kali datang ke rumah sakit ini dan tidak bertemu denganmu."
"Maaf, kenapa ayah anda ingin bertemu saya?"
Bapak-bapak itu tersenyum. "Sepertinya ayah saya mengenal kamu dengan cara yang tidak masuk akal. Beliau ingin memberikan sesuatu kepada kamu. Sekarang saya tidak membawanya karena saya likir tidak akan bertemu kamu. Bagaimana kalau kamu mampir ke rumah saya saja?"
"Ah, anu, lalu di mana ayah bapak?" Vea ikut menimpali setelah mendengarkan dari tadi.
"Ayah saya sudah meninggal lima hari yang lalu."
"Ah, maaf. Kami turut menyesal."
"Tidak apa-apa. Permintaan terakhirnya adalah memberikan sesuatu pada Geo, jadi saya di sini berusaha mencari Geo. Bagaimana Geo? Kamu mau?"
Vea melirik ke arah Geo yang bingung. Ini pertama kalinya ada seorang kakek tua yang punya sesuatu untuk diberikan padanya selain kakeknya sendiri.
"Maaf, nama ayah anda siapa?" Vea bertanya menggantikan Geo yang terdiam.
"Namanya Hasan."
Geo menoleh. Nama itu terasa tidak asing. Seakan dia sering mendengar nama itu di suatu tempat. Geo terus menggumankan nama itu selagi berjalan menuju parkiran. Mereka telah setuju untuk mengunjungi rumah Pak Wastu, bapak-bapak yang tadi dua minggu lagi. Vea memberikan kontaknya karena sepertinya Geo sedang merapal mantra.
"Kenapa? Dari tadi kamu bergumam-gumam menyebut nama Pak Hasan terus." Tatapan Vea seakan menyelidiknya.
"Entah kenapa, namanya terasa familiar. Seperti aku sering mendengar nama itu di suatu tempat."
Mereka berdua saling berpandangan. Vea tidak mengerti. Bagaimana bisa sahabatnya itu merasa familiar dengan nama seorang kakek tua veteran. Mereka hanya bertemu satu kali dan itu sudah sebulan yang lalu. Namun, Vea hanya dapat mengangkat bahunya dan mulai menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran rumah sakit.
***
Akhir minggu tiba. Vea mengajak Geo atau lebih tepatnya menyeret paksa Geo untuk pergi ke bioskop. Dia ingin tahu siapa orang yang telah merampas tiket yang telah dia beli dengan susah payah. Geo bergumam-gumam mengatakan kalau orang itu tidak akan datang karena dia hanya bercanda.
Namun, tentu saja Vea tidak mempedulikan itu. Dia harus menangkap si pencuri dengan tangannya sendiri. Lagipula menurut Vea, tingkah cowok itu juga aneh. Tiba-tiba mengambil tiket Geo dan mengajaknya menonton. Padahal Geo tidak mengatakan apa pun.
Sekarang malah Vea yang bertingkah aneh. Dia duduk di sebelah Geo berpura-pura menjadi pengunjung biasa. Padahal penampilannya bisa dikatakan jauh dari kata biasa. Memakai kacamata hitam dan memakai masker debu yang dijual satu pack seharga sepuluh ribu. Geo menyeringai tidak percaya. Sahabatnya itu sampai berbuat begitu.
"Sudah deh, Ve. Orang itu cuma bercanda. Dia pasti sudah menggunakan tiket itu bersama orang lain."
"Diam kamu! Pokoknya aku harus menangkap seseorang yang sudah merusak rencana besarku!!"
Geo memutar matanya kesal. Vea terlalu keras kepala untuk merelakan tiketnya diambil orang lain. Geo menyangga kepalanya dengan sebelah tangannya. Seseorang muncul tepat di depannya sambil menyunggingkan seulas senyum.
"Wah, beneran kamu. Sebenarnya aku ragu kamu benar-benar akan datang. Ternyata beneran."
Geo melirik Vea yang tengah mengatupkan tangannya ke bibirnya. Geo memutar matanya. Lagi-lagi Vea berulah.
"Oh, aku nggak sengaja datang kok. Seseorang yang memaksaku datang. Katanya aku harus menangkap seseorang yang sudah mencuri tiketnya. Lagipula aku juga penasaran. Kenapa kamu seenaknya mengambil tiket orang lain dan mengajakku?"
Orang itu tersenyum. "Aku hanya punya alasan yang klise. Mungkin kamu tidak akan tertarik."
"Oh, mungkin temanku akan tertarik karena tiket itu dia yang beli."
"Jadi tiket ini bukan milikmu?"
"Eh, itu milikku tapi dia yang beli. Semacam hadiah untukku."
"Kalau begitu tidak ada masalah bukan?"
"Memang tidak ada masalah buatku tetapi temanku sepertinya marah. Karena dia mengira aku akan memberikannya pada orang lain."
Wajah orang itu berubah. Entah marah entah apa tetapi tampak menyeramkan. Geo menegakkan tubuhnya dan mengamati perubahan ekspresi orang itu dengan bingung.
"Orang ini kenapa?" batinnya.
"Kamu mau berikan tiket ini pada orang lain? Kalau begitu bagus dong kalau aku yang mencurinya. Jadinya, kan, kamu mau tidak mau harus menonton denganku."
"Eh, apa maksudnya?"
"Aku tertarik padamu. Jangan berikan tiket ini pada orang lain. Kamu hanya boleh memberikan tiket ini dan tiket-tiket selanjutnya hanya padaku. Kamu paham?"
"Eh? Kamu itu siapa? Kenapa mengatur-atur?"
"Aku rasa kita pernah bertemu sebelumnya. Aku merasakan hal itu. Rasanya seperti aku sudah mengenalmu sejak lama. Dan aku benar-benar tertarik padamu. Jadi, bisakah kita menonton sekarang? Waktuku tidak banyak karena aku harus kembali ke rumah sakit." Orang itu bangkit dari duduknya. Kantung matanya terlihat begitu gelap tetapi matanya menatap Geo seakan menyuruhnya untuk ikut berdiri.
"Hei, aku bahkan nggak tahu siapa namamu!"
"Namaku Beni. Ayo, cepat, filmnya hampir dimulai." Orang bernama Beni yang entah kenapa begitu familiar itu membuat letupan-letupan kecil bermunculan di hati Geo. Alis matanya terangkat. Ada apa dengannya?
Vea mendekati Geo dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Gila! Itu orang yang memberiku cokelat bar!"
"Hah? Apa? Kok bisa?"
"Kalau dia koas berarti dia sekelas sama Fian? Artinya dia berada di kampus yang sama dengan kita, dong! Sial! Selama ini kamu terlalu fokus sama Fian sih! Cowok ganteng macam dia jadi terlewat!"
"Apa sih! Kok jadi menyalahkanku? Ngomong-ngomong, mau nggak kamu yang gantiin aku nonton bareng dia."
"Ogah!"
"Eh? Kenapa? Katanya tadi ganteng!"
"Kamu nggak dengar tadi? Dia bilang tertarik sama kamu. Jadi, aku sangat menyetujui kalau sahabatku ini melangkah lebih maju."
"Apa?"
Tiba-tiba Beni muncul dan langsung menarik Geo. "Aku tidak suka menunggu! Kenapa sih kamu nggak langsung mengikutiku saja! Filmnya mau dimulai dan aku nggak mau melewatkan kesempatan nonton bersamamu! Kamu tahu nggak jadwalku itu padat!" Beni mengomel sementara Geo hanya memandanginya dengan aneh. Orang ini benar-benar sakit jiwa.
Vea menyeringai sambil melambaikan tangannya. Dia memberi isyarat -akan kutunggu di sini- sambil mengedip. Geo memandanginya dengan pasrah sementara Beni terus menariknya menjauh.
Film selama tiga jam yang ditonton Geo seakan menguap. Dia sudah tidak ingat, film apa yang baru ditontonnya itu. Perhatiannya selalu teralihkan ke arah cowok yang sekarang duduk di depannya itu. Geo tidak mengerti tetapi dia sangat yakin kalau di sudut hatinya dia merasa lega. Entah lega karena apa. Vea sekarang sudah ikut bergabung bersama mereka setelah drama aneh tidak bermutu yang Vea perankan.
"Eh, kamu tadi bilang namamu Beni, kan? Kamu temannya Fian?" Vea menyeruput esnya sambil bertanya pada Beni.
"Iya, aku satu fakultas dan seangkatan dengannya. Entah kenapa banyak yang tertarik sama Fian padahal aku nggak kalah, kan?"
"Benar. Semua orang lebih suka melihat Fian sampai tergila-gila padahal ada yang lebih ganteng. Seperti seseorang yang kukenal ini. Dia bahkan nggak bisa menutup mata dari Fian. Baru sekarang saja dia jadi lupa."
"Benarkah? Berarti sekarang dia bisa melihatku dengan jelas, dong."
Vea terdiam. Dia menatap Beni yang sekarang memandangi Geo. "Kamu, kok seakan tahu siapa yang kumaksud."
"Tahu. Orang ini kan?" Beni menunjuk Geo dengan dagunya. Geo tersedak. Vea berdecak kagum.
"Wah, hebat, kamu bisa tahu. Padahal Fiannya sendiri tidak sadar."
"Tentu saja. Aku kan sudah lama memperhatikan dia." Perkataan Beni sukses membuat Geo dan Vea bengong.
"Sejak kapan?" Vea masih terus bertanya.
"Sejak masa orientasi. Ingat nggak waktu itu kita jadi pasangan."
"Oh! Yang bikin keributan di kampus itu! Yang menang couple of the year? Wah, Geo. Dia pasanganmu yang itu. Yang kamu bilang ganteng."
"Wah, ingatanmu hebat. Eh,tunggu, dia bilang aku ganteng? Kapan?"
"Waktu couple-an sama kamu. Terus sesudahnya dia berusaha cari kamu tapi nggak ketemu. Terus malah kepincut Fian."
"Wah, harusnya aku lebih sering keliling kampus. Kita, kan jadi bisa jadian sejak lama."
"Apa?" Sekarang Geo yang memekik.
"Kenapa terkejut? Aku ini sudah suka sama kamu dari lama. Kamunya aja yang nggak peka. Sekarang mau nggak jadian sama aku?"
"Eh? Bercanda, ya?"
"Memangnya dari tadi kita kelihatan bercanda?"
"Oke, aku nggak ikut-ikutan. Aku mau ke toilet dulu." Vea bangkit dan langsung berlari menuju ke toilet. Dia ingin membiarkan sahabatnya itu melangkah lebih maju.
"Geo ... Bagaimana? Aku nggak main-main."
"Kita, kan baru saja ketemu lagipula kamu nggak tahu aku lagi sakit. Jadi .... "
"Aku tahu. Aku tahu keadaan kamu sekarang. Aku nggak masalah. Entah kenapa rasanya harus aku yang menyembuhkan kamu. Juga rasanya, aku sudah sangat mengenal kamu."
Geo menimbang-nimbang. Bingung. Pernyataannya begitu tiba-tiba. Tak lama kemudian Vea datang. Dia terdiam mengamati suasana.
"Aku butuh jawaban kamu saat kamu kembali ke rumah sakit untuk terapi. Sekarang, maaf, ya, sepertinya aku harus kembali ke rumah sakit. Si kampret Fian tukar jam jaga. Hahaha ...."
Suasana hening setelah kepergian Beni. Geo masih terdiam memutar-mutar sedotannya. Vea sekarang menatapnya intens.
"Jadi, kamu nggak bilang apa-apa?"
"Aku bingung, Ve. Dia terlalu tiba-tiba nggak, sih?"
"Menurutku sih enggak, ya. Dia sudah suka sama kamu sejak lama dan baru sekarang dia nyatakan setelah yakin kamu lupa sama perasaanmu pada Fian. Pintar juga dia. Menunggu saat yang tepat. Lalu kamu gimana?"
"Aku ... Tidak tahu."
"Yasudah. Pikirkan saja hati-hati. Dengarkan kata hatimu. Jangan sampai kamu menyesal. Udah yuk pulang. Aku masih harus bikin kue pesanan buat besok pagi."
Geo mengangguk dan mengikuti Vea yang mulai berjalan lebih dulu. Vea menyuruhnya mengikuti kata hatinya dan hatinya bilang, Geo harus menerima Beni. Tidak tahu kenapa hatinya benar-benar memilih Beni.