Malam mulai larut. Suara jangkrik bermunculan. Di temani pencahayaan yang temaram, Geo duduk diam di samping Mbak Tutik. Memilah-milah daun singkong yang masih muda untuk dijadikan sayur. Berkali-kali salah meletakkan daun singkong tua ke dalam baskom. Kata Mbak Tutik, daun singkong yang sudah tua warnanya akan terlihat lebih gelap. Dia hanya bisa cemberut. Di matanya, semua daun singkong berwarna sama. Jadinya, sedikit-sedikit dia akan mengganggu Mbak Tutik sambil bertanya apakah daun yang dipegangnya adalah daun yang benar. Mbak Tutik tidak marah dan hanya menahan tawa melihat wajah kebingungannya.
Selesai memilah-milah daun singkong, Mbak Tutik membawa sekantung rempah dan menyuruhnya memilah rempah yang akan mereka gunakan sebagai bumbu untuk daun singkong tadi. Geo menatap bungkusan rempah itu dalam diam. Baginya, semua yang ada di dalam sana adalah benda asing yang baru kali ini dia lihat.
"Geo, pisahkan kencurnya. Kita butuh lima buah." Mbak Tutik memberi perintah selagi dia memotong-motong daun singkong.
Geo gelagapan. Dia tidak tahu wujud kencur itu seperti apa. "Eh, Mbak, yang ini?" Tangannya mengambil dan mengangkat sebuah rempah paling besar. Dia hanya asal mengambil.
Mbak Tutik menoleh, "Itu lengkuas." Kemudian dia kembali fokus pada daun singkong yang tengah dipotongnya.
"Oh, mungkin yang ini?" Geo kembali mengangkat sebuah rempah. Kali ini dia mengambil yang kecil.
Mbak Tutik kembali menoleh, "Itu Kunyit. Kamu tidak tahu kencur yang mana?"
Geo tersentak. "Tahu, kok, cuma mengetes saja, hehe." Dia terkekeh pura-pura kalau sedang main-main. Mbak Tutik mengangguk kecil lalu kembali fokus ke daunnya.
"Cepat kumpulkan kencurnya lalu di kupas."
Geo semakin gelagapan. Dia sama sekali tidak tahu. Bahkan rempah yang baru saja dipegangnya saja dia sudah lupa namanya.
"Mm, berarti yang ini." Kali ini Geo mengambil sebuah rempah yabg lebih besar dari kunyit tadi. Mbak Tutik menoleh lalu terdiam. Dia sudah merasa ada sesuatu yang aneh.
"Geo, coba ambil lengkuas."
"Hmm ... Ini." Dengan percaya diri Geo meraih sebuah rempah yang terlihat gendut.
"Itu namanya jahe. Jujur saja, kamu tidak tahu kencur yang mana, kan? Terus semua ini, kamu juga tidak bisa membedakan, kan?"
Geo terdiam. Kemudian dia meringis menampakkan barisan giginya yang putih. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu mengangguk pelan. Mbak Tutik tergelak. Merasa aneh ada seorang gadis perawan yang tidak bisa membedakan berbagai rempah. Mungkin kalau gadis ini seorang bangsawan tentu bisa dimaklumi, tetali gadis ini cuma gadis biasa.
"Ah, mbak, sudah tertawanya. Aku memang nggak pernah masuk dapur. Rempah kayak gini juga baru pertama kali lihat. Di tempatku, sudah biasa anak sepertiku nggak bisa bedain bumbu kayak gini."
"Kayaknya kamu harus belajar sama mbak. Hal tabu kalau kamu tidak tahu rempah-rempah di sini."
Mbak Tutik masih tertawa sampai air matanya keluar. Geo hanya bisa cemberut sambil melipat tangannya di depan dada. Walau begitu dia merasa senang. Ketidaktahuannya membuat orang lain bahagia.
"Mbak, Mas Beni di mana?" Suara lembut seseorang membuat Mbak Tutik menoleh walau masih sedikit tertawa. Geo juga ikut menoleh.
Seorang wanita ayu berdiri di ambang pintu dapur. Matanya hitam dan tampak teduh. Memakai kebaya cokelat polos dengan jarit batik menutupi sebatas mata kaki. Penampilannya sangat anggun berbanding terbalik dengan Geo. Kebaya lengan panjang yang ditekuk sebatas lengan, lalu jaritnya dibuat seperti rok mini lima senti di atas lutut. Geo langsung merasa rendah diri ketika wanita itu duduk dengan pelan di sebelah Mbak Tutik. Gerakannya pelan dan gemulai sehingga terkesan lembut. Duduknya miring dan menutup rapat kakinya. Sedangkan Geo? Dia melirik cara duduknya sendiri. Dengan rok loma senti di atas lutut, duduknya malah bersila. Geo berdeham lalu pelan-pelan merubah cara duduknya agar terlihat sedikit feminim.
"Oh, Sulis. Piye kabarmu, Nduk? Kok suwi ora mrene?" (Oh, Sulis. Gimana kabarmu? Kok lama tidak kemari?) Mbak Tutik menyingkirkan potongan daun singkongnya lalu menepuk pundak wanita itu. Geo hanya bisa melongo, tidak tahu bahasa aneh apa yang baru saja di dengarnya. Geo memang tinggal di Yogyakarta, tetapi aslinya dia berasal dari Surabaya.
"Nggih, Mbak. Kulo apik-apik mawon. Iku sinten." (Iya, Mbak. Saya baik-baik saja. Itu siapa?) Wanita itu memandangi Geo yang sedang memainkan rempah-rempah.
"Oh, kui sedulure Hasan le seko Jember. Lumayan biso nggo ngewangi." (Oh, itu saudaranya Hasan yang dari Jember. Lumayan bisa buat bantu-bantu.)
Geo mengangkat sebelah alisnya mendengar nama Hasan di sebut-sebut. Mungkin mereka sedang membicarakan Hasan.
"Ayo podo kenalan dhisik." (Ayo pada kenalan dulu.) Mbak Tutik menyenggol lengan Geo yang masih sibuk memainkan rempah-rempah. Geo yang tidak mengerti hanya bisa bengong. "Ini namanya Sulistyowati. Dan ini saudaranya Hasan, namanya panjang tapi panggil saja Geo."
Sekarang Geo bengong sungguhan. Mbak Tutik memperkenalkannya sebagai saudara Hasan. Mungkinkah ini terjemahan yang tadi? Yang benar saja, batinnya. Wanita ayu itu tersenyum sambil mengangguk. Gadis itu terpana. Wanita itu sangat cantik dan bahkan bisa membuat jantungnya berdebar.
"Mas Beni ke mana, Mbak? Di luar tidak ada."
"Oh, paling di rumah Hasan. Ke sana saja, mereka juga lagi mbahas rencana serangan baru."
"Kalau begitu saya ke rumah Hasan saja. Mari Mbak Geo, saya duluan."
Geo mengangguk canggung karena namanya mendadak di sebut. Di panggil mbak lagi. Sepeninggal wanita ayu itu, Mbak Tutik kembali melanjutkan aktifitasnya yang tertunda.
"Kok, dudukmu jadi gitu, Nduk? Tadi kayaknya tidak gitu." Mbak Tutik menahan tawa sembari memotong daun singkong.
Geo berdeham lalu kembali merubah posisi duduknya seperti semula. Wajahnya merah menahan malu. Ternyata Mbak Tutik memperhatikan sampai segitu.
"Dia cantik, Mbak. Siapa sih dia?"
"Kekasihnya Beni."
"Ih, kok mau sama Beni! Beni, kan, kasar. Galak lagi!"
Mbak Tutik tertawa. "Namanya juga cinta to yo, Nduk. Lagian tidak sopan lo kamu manggil Beni cuma pakai nama saja begitu. Kayaknya kamu lebih muda dari Beni, jadi bisa panggil Mas."
Geo mendelik. "Nggak ... Aku nggak mau, Mbak. Kupanggil Pak aja biar kayak Hasan." Mbak Tutik tertawa lagi. Kayaknya kalau si mbak tertawa sekali lagi, sayurnya tidak akan pernah selesai. "Oh, aku panggil Hasan apa?"
"Hasan itu umurnya dua satu. Umurmu berapa? Kalau Beni, umurnya dua empat. Si Sulis tadi dua tiga, lebih muda dari Beni."
"Umurku dua puluh. Aku yang paling unyu."
Mbak Tutik tertawa lagi. "Unyu ki opo to, Nduk. Aneh-aneh wae." (Unyu itu apa sih, Nduk. Aneh-aneh saja.)
"Kalau gitu aku panggil Hasan pake Mas. Jadi Mas Hasan."
"Kamu panggil Hasan, Mas, tapi panggil Beni, Pak."
"Anggap saja dia sudah bapak-bapak." Geo terlihat sangat tegas. Mbak Tutik tertawa lagi. Sayurnya benar-benar tidak akan selesai.
"Siapa yang sudah bapak-bapak?" Suara berat seseorang membuat Geo terlonjak. Dia memegangi dadanya dan memastikan jantungnya masih berada di tempat. Beni berdiri di ambang pintu dengan membawa segelas air.
"Kepo, deh," ucap Geo sewot.
"Bahasa apa itu. Aneh!" Beni melotot lalu menghilang. Beni itu orang yang aneh. Dia masih menganggap Geo sebagai mata-mata, tetapi dia sudah biasa menerima kehadirannya. Sikap yang membuat gadis itu sakit kepala.
"Mbak tadi kok mengenalkan aku sebagai saudaranya Mas Hasan?"
"Soalnya kalau saya bilang kamu dari dunia lain, kan yo nggak mungkin. Takutnya dia nanti nganggep kamu setan. Mumpung katanya Hasan punya saudara di Jember, ya, saya bilang aja kamu saudaranya." Geo tertawa mendengar penjelasan Mbak Tutik. Ternyata Mbak Tutik bisa melucu juga.
"Nanti kalau saudaranya yang beneran datang, gimana?"
"Yo tidak gimana-gimana. Saudara Hasan, kan banyak. Diakui satu juga dia pasti tidak keberatan. Uwes, ah, ra rampung-rampung iki le njangan. (Sudah, ah, nggak selesai-selesai ini masaknya.)
Geo tertawa dan mengekori Mbak Tutik ke depan tungku.
***
Geo sudah bebas berkeliaran di dalam rumah Mbak Tutik tapi tetap tidak diperbolehkan keluar rumah. Berjalan-jalan keliling rumah adalah salah satu kegiatan untuk mebgusir bosan ketika Mbak Tutik sedang belanja ke kota. Geo sedang memutari tiang penyangga ketika Beni masuk.
"Buatkan saya teh! Diantar ke kamar!" Beni bahkan tidak menghentikan langkahnya. Pintu kamarnya terbuka lalu segera menutup dengan cepat. Geo mengintip dari balik tiang penyangga sambil memasang tatapan horor. Sekarang Beni malah memperlakukannya seperti pembantu.
"Andai saja di sini ada racun sianida. Pasti akan kucampur di sini terus kuaduk begini. Mampus!" Geo mengaduk teh buatannya dengan kesal. Beni terkadang sering semena-mena terhadapnya. Kadang kasar, kadang baik, kadang mengganggu, kadang memerintah, kadang marah. Menurutnya, Beni sepertinya mengidap Bipolar.
"Tok ... Tok ... Tokkk ... " Geo menetuk pintu kamar Beni.
"Masuk. Tidak dikunci." Mendengar seruan dari dalam Geo memutar kenop dan membuka pintunya. Di dalam Beni sedang berganti pakaian. Tubuh bagian atas Beni jadi terlihat. Telanjang tanpa mengenakan sehelai kain. Sedangkan Beni sedang mencari kaosnya di dalam lemari kayu. Geo berdeham lalu mengalihkan pandangannya. Penampakan bagian punggung Beni membuatnya malu.
"Saya taruh di ... sini, ya, Pak. Permisi!" Setelah meletakkan nampan berisi teh beserta tekonya, Geo buru-buru keluar dari kamar lalu mengatur detak jantungnya. Beni menoleh dan mengangkat alisnya heran melihat kelakuan aneh gadis itu sambil bergumam sejak kapan dia berbicara dengan sopan.
"Bahaya ... Bahaya ... Tidak baik buat jantung!" Wajah Geo memanas. Gawat, bayangan penampakan punggung Beni masih memenuhi pikirannya. Tubuh yang kekar dengan bahu yang bidang. Akkhh, Geo menutup wajahnya malu.
"Apanya yang bahaya dan tidak baik buat jantung?"
Geo melonjak mendengar sebuah suara tepat di depannya. Mbak Tutik kembali sambil membawa banyak barang belanjaan. Dia buru-buru berdiri menghampiri Mbak Tutik lalu meraih satu kantung dan ikut membawakannya.
"Tadi, saya hampir jatuh ke belakang dari kursi. Jantung saya hampir copot karena itu."
"Owalah, ati-ati to, Nduk. Tapi, kok aneh, kamu ngomong pake saya."
"Ini efek sampingnya, Mbak. Tunggu sebentar lagi, nanti juga balik lagi." Geo meringis dan cepat-cepat masuk ke dapur. Mbak Tutik hanya geleng-geleng melihat kelakuannya.
Malamnya terjadi keributan besar. Geo yang tengah tertidur nyenyak dibangunkan Mbak Tutik karena ada sesuatu. Beni datang dipapah Hasan dengan luka parah. Mbak Tutik tampak panik dan Geo hanya menguap. Dalam hatinya dia sedikit merutuki Beni yang akhirnya kena karmanya.
Katanya, serangan ke jembatan yang sering dilalui kendaraan tentara Belanda gagal. Bahkan sebelum sempat dilakukan. Si mata-mata sudah memberitahu pihak Belanda lebih dulu sehingga dapat mengantisipasi dengan cepat. Banyak yang tewas dan termasuk Beni yang luka-luka. Untungnya Hasan selamat karena dia bertugas di barisan belakang. Semua orang sempat memandangi Geo.
"Apa? Aku lagi? Dari kemarin aku nempel sama Mbak Tutik! Lagian aku juga nggak tahu rencana penyerangan kalian! Mata-mata itu bisa siapa saja. Dan bukan aku!" Geo sampai harus berteriak. Dia merasa kesal terus dituduh sebagai mata-mata.
"Sudah ... Sudah ... Kita tidak boleh saling tuduh di saat seperti ini. Lebih baik kita saling bantu dan lakukan rencana lain dengan lebih matang lagi."
Geo memandangi Mbak Tutik dengan takjub. Terkadang, Mbak Tutik bisa jadi sangat bijak. Kemudian wanita paruh baya itu menyuruh Hasan membaringkan Beni di kamarnya lalu membersihkan darah Beni. Sementara Geo ke dapur dan membuat minum untuk para pejuang yang selamat. Matanya sedikit mengantuk ketika menuang air ke dalam gelas.
"Awas salah tuang!" Seseorang mengingatkan dan membuat mata Geo jadi terbuka lebar. Dia menoleh dan mendapati Hasan berjalan ke arah sumur.
"Eh, Mas Hasan. Mau ngapain Mas?" Geo menggigit lidahnya. Merasa geli memanggil Hasan dengan sebutan Mas, padahal dia tahu Hasan di masanya adalah seorang kakek tua. Namun, setelah dipikir-pikir, Geo jadi ragu kalau kakek tua bernama Hasan di masanya adalah Hasan yang ini. Bisa jadi dia Hasan-Hasan yang lain.
"Yang ini sudah belum? Saya bawa ke depan, ya?" Hasan berdiri di sebelah Geo dan menunjuk beberapa gelas yang sudah terisi.
"Sudah, Mas, bawa aja."
"Maaf, ya, keadaan seperti ini pasti mengejutkanmu. Kamu pasti akan terbiasa karena kejadian begini akan sering terjadi."
"Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong ke mana Mbak Sulis?"
"Tidak tahu. Dia sudah tidak terlihat sejak sore tadi. Saya bawa ke depan, ya. "
"Iya, Mas."
Hasan membawa gelas-gelas itu dalam nampan dan menghilang. Geo menguap lagi. Dia memang sedikit terjejut tapi ada sedikit rasa puas melihat Beni terluka.
"Beginikah rasanya jadi psiko?" Geo menyeringai lalu menyelesaikan tugasnya dan membawa gelas sisanya ke depan.
Hampir pukul tiga pagi, Geo masih tidak bisa tidur. Bagaimana dia bisa tidur kalau dia disuruh berjaga di dekat Beni sementara Mbak Tutik pergi keluar. Katanya mencari sesuatu. Padahal itu sudah dua jam yang lalu. Geo menguap lagi. Memikirkan kalau kantung matanya akan jadi parah keesokan harinya. Sambil terantuk-antuk, Geo melihat Beni sedikit bergerak lalu mengerang.
"Sulis ... "
"Bukan. Ini Geo."
Beni menoleh dan bertatapan dengan Geo yang melihatnya dengan mata mengantuk. Mata Beni langsung terbuka selebar-lebarnya. Dia hampir bangkit tapi tidak jadi karena tubuhnya terasa sakit.
"Jangan bergerak. Kamu itu terluka." Geo berucap dengan nada malas. Matanya mengantuk dan dia menopang wajahnya dengan sebelah tangannya.
"Heh, kenapa kamu yang ada di sini? Kemana Sulis?" Nada suara Beni yang tidak enak didengar membuat Geo jadi terjaga.
"Mana aku tahu! Kalau Mbak Sulis ada di sini, aku nggak perlu repot-repot berjaga di sini. Mana Mbak Tutik lagi keluar! Ngapain, sih, malem-malem keluar!"
"Semua ini karena kamu, kan? Kamu yang beri tahu para Londo keparat itu rencana kita, kan? Kamu senang sekarang? Banyak teman kita yang mati! Setelah saya sembuh, saya yang bakal bunuh kamu duluan."
"Hei, bung. Bisa nggak kamu percaya padaku sekali saja. Coba dipikir dulu, bung, memangnya aku ikut mendengarkan rapat kalian? Rapat itu kemarin, kan, saat Mbak Sulis datang. Kamu lupa yang udah buat aku jadi tahanan rumah siapa? Lagipula kalian rapat di rumah Mas Hasan, kan? Mana aku tahu di mana rumah Mas Hasan. Aku aja nggak boleh keluar."
"Alasan! Kamu pasti bisa menghubungi Londo dengan sesuatu!"
"Sesuatu apa? Kalau di masaku, kita bisa gunakan telepon, lah kalau di sini? Ponsel aja nggak ada, apa lagi telepon!"
"Bisa saja dengan surat atau radio!"
"Bung, bisa tidak kamu percaya padaku? Tolong, percayalah, bukan aku yang melakukannya. Aku bukan mata-mata. Sebagai jaminan, aku akan ikut membantumu berjuang." Geo menatap Beni dengan tatapan memohon sambil tangannya menggenggam tangan Beni. Beni mengalihkan pandangannya dan mengibaskan genggaman tangan Geo. Dia bergidik sendiri karena tanpa sadar menggenggam tangan Beni.
"Iya, tapi sekarang pergi sana! Saya tidak mau lihat kamu lama-lama."
Geo tersenyum dan Beni lagi-lagi mengalihkan tatapannya. "Cepat pergi sana!"
"Makasih. Aku akan pergi! Permisi!"
Geo bangkit dan berjalan menuju pintu. Lalu, Beni yang merasa kerongkongannya kering mencoba bangkit untuk meraih segelas air di nakas samping dipannya. Dia mengerang karena tubuhnya terasa sangat sakit.
"Heh! Jangan keluar! Kembali ke sini!"
Geo menoleh. Padahal dia sudah membuka pintu. "Apa?"
"Saya tidak jadi nyuruh kamu pergi! Sini balik lagi!."
"Gimana sih!" Geo marah-marah lalu kembali menutup pintu dengan kesal. Sementara Beni di atas dipan menahan tawanya. Menurutnya Geo tidak buruk juga.