Luka di tubuh Beni sudah membaik, semua itu dapat dilihat dari sikapnya yang kasar sedari pagi. Geo hanya dapat mengawasi pria itu dari atas lincak sementara Beni menendang-nendang tumpukan sampah daun kering yang berada di depan rumah. Kepribadiannya itu sangat buruk. Tidak ada apa pun tiba-tiba merasa marah dengan sendirinya. Melampiaskan pada barang-barang di sekitarnya.
"Pak, lebih baik kalau kamu bakar saja sampahnya daripada dihambur-hamburkan lagi. Atau Bapak mau kubakar sekalian?" Geo menopang wajahnya dengan sebelah tangannya dan memandang laki-laki itu dengan kesal. Sampah itu sudah bertumpuk rapi di tempatnya tapi dia malah menghancurkannya. Beni sontak menoleh dan melotot pada Geo.
"Kamu! Semua ini salah siapa? Kamu, kan si mata-mata yang mengacaukan rencana kita!" Beni beranjak dari tempatnya dan mendatangi Geo. Sekarang dia berdiri tepat di depannya. Manik hitamnya menatap tajam ke arah Geo.
Geo mendesah. Harus berapa kali dia mengulangi kalau dirinya bukan mata-mata. Kenyataan dirinya berada di tempat ini saja sudah membuatnya frustasi, apalagi ditambah tuduhan tak berdasar dari laki-laki kasar di hadapannya itu. Mereka saling melotot sampai Hasan datang dan menghentikan perseteruan mereka.
Pakaian Hasan tampak sangat sederhana, bedanya dengan Beni adalah karena Hasan terlihat lebih rapi. Setidaknya Hasan masih sempat menyisir rambutnya dan menyeterika pakaiannya. Dibandingkan Beni yang bergaya serampangan. Geo memalingkan wajahnya kesal. Masih pagi tapi Beni sudah merusak moodnya.
"Pak, ada laporan dari Agus, persenjataan baru dari Londo akan datang dua hari lagi. Kalau bapak masih belum sembuh, percayakan saja rencana selanjutnya pada saya." Hasan tampak sangat menghormati Beni. Geo memutar bola matanya. Sepenting apa keberadaan Beni itu sampai Hasan bersikap begitu? Memangnya ada orang yang mempercayai pria kasar seperti Beni?
"Tidak. Saya sudah sehat. Kita akan mulai rapat malam nanti. Kumpulkan semua orang." Kemudian, Beni melotot pada Geo. "Kalau yang ini gagal lagi, saya pasti akan membunuhmu."
"Hei, bung, daripada kamu terus menuduhku begitu, bagaimana kalau kamu izinkan aku bergabung dengan pasukanmu? Aku bisa berlatih menggunakan senjata. Mataku ini juga sangat bagus. Aku pasti bisa melihat mata-mata yang kalian sebut-sebut itu."
"Jangan bercanda! Kalau kamu ikut, yang ada semua pasukanku bisa mati!"
Geo berdiri, mendekatkan wajahnya pada Beni sambil melotot. "Kamu bisa langsung menembakku kalau aku benar-benar bertingkah seperti mata-mata. Bagaimana?"
Mereka saling melotot lagi. Hasan hanya berdiri kebingungan. Tidak tahu harus melakukan apa. Menurutnya ini pertama kalinya ada seorang gadis yang secara terang-terangan berani melawan Beni. Biasanya para gadis hanya akan diam dan menghindar apalagi karena sifat Beni yang sangat temperamental. Di dalam hati, Hasan memuji Geo yang dapat membuat Beni terus menerus mengumpat. Mungkin satu-satunya gadis yang bisa menenangkan Beni hanyalah Sulistyowati.
"Kalian mau berciuman atau apa? Bisa gawat kalau Sulis lihat begitu." Suara Mbak Tutik yang tiba-tiba membuat Geo buru-buru menyingkir.
"Hah? Berciuman dengan dia? Haha, lebih baik kalau aku mencium kambing!" Geo menutupi wajahnya yang memerah dengan perkataan menusuk.
"Heh, memangnya kambing mau sama kamu? Dasar keparat! Heh Hasan, di mana Sulis?" Beni beralih pada Hasan. Wajahnya tampak murka. Memang hanya Sulis yang bisa menenangkannya.
"Anu, Pak, saya tidak tahu." Hasan bergerak-gerak gelisah. Kekasih Beni itu selalu begitu. Sehari hilang, sehari muncul, keberadaannya tidak diketahui. Geo mencibir. Andai saja dia bisa berkeliaran bebas seperti itu, pasti sekarang dia setidaknya sudah menemukan sebuah petunjuk kenapa dirinya masih bertahan di tempat ini.
"Begini lagi. Selalu begini. Kemana sih dia itu?" Sekali lagi Beni menendang pot tanah liat. Pot jatuh berguling menumpahkan isinya.
"Pantas saja dia pergi. Kamu itu terlalu pemarah tahu!"
"Diam kamu! Jangan pikir saya akan memaafkanmu, ya!" Setelah itu Beni masuk ke dalam rumah sambil membanting pintunya. Geo menggelengkan kepalanya. Sikapnya saja begitu, bagaimana Sulis akan betah dengannya.
"Kamu, berani sekali. Cuma kamu yang bisa bikin Beni begitu. Untung saja dia tidak langsung menembakmu. Jangan begitu lagi, berbahaya." Hasan duduk di sebelah Mbak Tutik yang tengah mengeluarkan barang belanjaannya.
"Benar. Kalian itu, berhenti berkelahi begitu. Semua akan mengira kalian pasutri yang sedang bertengkar."
"Apa? Siapa yang bilang? Siapa juga yang mau jadi istri pria pemarah itu?"
"Kamu akan kena karma kalau terus membenci seseorang. Kamu bisa saja jadi sangat suka padanya setelah ini."
"Hah! Yang benar saja? Aku nggak pernah dengar yang begitu. Mbak Tutik berhenti menggangguku!"
Mbak Tutik tertawa sementara Geo memutar matanya kesal. Dia tidak akan kena karma. Beni itu sudah punya Sulis. Dan walaupun Beni itu tampan tetap saja Geo tidak punya pikiran untuk menyukai pria itu. Tidak akan pernah terlintas dipikirannya untuk menyukai orang itu. Mbak Tutik membawa barang belanjaannya ke dalam sementara Geo masih terus mengomel sendiri. Hasan menggeser duduknya mendekati Geo.
"Yang kamu katakan tadi sungguhan?"
Geo menoleh, "Hah? Yang mana?"
"Kamu bilang ingin ikut dalam pasukan kami. Itu sungguhan?"
"Oh itu. Iya. Aku serius. Mungkin, ya, entah Beni yang akan menembakku atau Belanda yang menembakku, intinya kalau aku mati, mungkin saja aku bisa kembali ke masa di mana aku berasal."
"Jangan bicara sembarangan! Kalau kamu mati ya mati, tidak ada hal lain lagi. Lebih baik kamu di rumah saja bersama Mbak Tutik dan lupakan pikiran untuk bergabung dengan pasukan."
"Hehe, Mas Hasan perhatian banget, tetapi cuma cara itu yang terpikir di otakku. Aku juga nggak punya petunjuk lain. Kupu-kupu ajaib atau cahaya biru yang melayang. Nggak ada yang seperti itu."
Hasan mengerutkan keningnya. Jelas dia tidak paham dengan apa yang dibicarakan Geo. Mereka terasa seperti berada di dunia yang berbeda. Tapi Hasan tidak berkata apa-apa selain hanya memandanginya. Gadis itu, walau terlihat aneh tetapi sangat menarik. Wajahnya memang berbeda dari wajah orang-orang di sana dan itulah sebabnya dia terlihat sangat menarik.
***
Malamnya Geo benar-benar ikut dalam rapat pasukan Beni. Mbak Tutik juga hadir menemaninya. Katanya karena dia khawatir Geo akan langsung ditembak di tempat. Semua orang memandangi Geo yang duduk di kursi paling ujung bersama Mbak Tutik. Dan secara mengejutkan, kekasih Beni juga hadir di sana, duduk di sebelah Beni. Kebaya emasnya berkelip-kelip di bawah cahaya lampu.
"Pak, anda yakin melibatkan gadis itu? Apa ini tidak akan berbahaya?"
"Ini berbahaya, makanya biar saya saja yang mengurusnya. Semua pengawasan terhadap gadis itu serahkan saja pada saya. Untuk komando, Hasan yang akan lakukan."
Geo mendengus mendengar Beni yang sangat antusias untuk dapat mengawasinya. Karena dia akan bisa langsung menembaknya kapan saja. Mbak Tutik sebenarnya sangat tidak setuju dengan keputusan gadis itu yang memilih bergabung di dalam pasukan. Mbak Tutik sudah menganggapnya sebagai keluarga dan sesuatu yang akan melukai keluarga bahkan membunuhnya membuat Mbak Tutik sangat sedih. Apalagi mengetahui niat sesungguhnya Geo dengan mencoba pertaruhan berbahaya. Pertaruhan apakah dia bisa kembali ke tempat asalnya dengan jalan kematian.
"Sudah hentikan, kamu tidak perlu bergabung segala. Saya sudah tidak menganggapmu mata-mata lagi. Kamu ya kamu. Tinggal saja di rumah bersama saya." Mbak Tutik masih berusaha terus membuat Geo berubah pikiran.
"Mbak, kamu memang tidak menganggapku mata-mata tapi mereka masih menganggapku mata-mata. Aku harus buktikan kalau aku bukan mata-mata, dengan begitu baru aku bisa pergi ke mana pun dengan nyaman."
Mbak Tutik memandangi Geo dengan tatapan teduhnya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Geo. Mbak Tutik mengangguk, "Asal kamu janji, harus kembali dengan keadaan selamat."
Geo tersenyum sumringah lalu mengangguk. Tidak ada kata janji yang terucap dari mulutnya. Namun, Mbak Tutik sepertinya lega melihat respon Geo. Beni berdeham di ujung depan. Memelototi gadis itu untuk segera fokus pada permasalahan yang akan mereka diskusikan.
Malam semakin larut. Mata Geo masih belum mau menutup. Ditatapnya langit-langit kamarnya. Kamar yang sama saat dia menjadi tawanan Beni, walaupun sampai sekarang dia masih menjadi tawanan. Setiap hari yang bisa dia lakukan hanya berkeliling rumah tanpa bisa menginjakkan kaki keluar rumah. Batas dirinya boleh keluar rumah hanyalah sampai di teras. Pernah secara tidak sengaja mengikuti Hasan ke rumahnya tapi Beni langsung menarik gadia itu kembali dengan kasar.
Setiap hari tidak ada kata berdamai. Geo dan Beni terus beradu mulut. Setiap bertemu mereka tidak pernah akur. Beni dengan segala persepsi tentang mata-matanya dan Geo si gadis yang suka memberontak, tidak suka diatur dan keras kepala. Segala sifat yang bertentangan ada pada Beni dan Geo. Mereka seolah tidak bisa disatukan dalam satu ruang yang sama. Lagipula, di antara mereka tidak ada yang ingin mengalah. Semua ingin terlihat tidak bersalah.
Mata Geo menerawang. Dia tidak tahu berada di mana. Katanya, desa ini bernama Desa Minggiran, sebuah desa di luar Keraton Yogyakarta. Geo tidak pernah mendengar nama desa Minggiran sebelumnya. Geo mendesah, andai saja di sini ada ponsel. Dirinya jadi bisa lebih mudah memeriksa lokasi desa ini di aplikasi map.
Kata mereka inilah Yogyakarta tapi bukan Yogyakarta yang Geo kenal. Yogyakarta yang Geo kenal berisi ribuan mall dan hotel juga sangat berisik dengan banyak kendaraan bermotor. Selama ini Geo sering memperhatikan orang-orang disekitar rumah ini dari lincak di depan rumah. Orang-orang di desa ini semuanya berpakaian sederhana dengan pekerjaan yang sangat jarang ditemui di Yogyakarta yang Geo kenal.
Geo bangkit dari ranjangnya, lalu menghela nafas panjang. Berapa kali dipikirkan pun semua ini sangat tidak masuk akal. Memangnya ada orang yang bisa kembali ke masa lalu tanpa ada sebuah pemicu? Tiba-tiba terlempar ke belakang dan hidup di zaman yang tidak diinginkan. Dari semua itu, yang paling penting adalah bagaimana caranya untuk kembali?
Air mata merembes di sudut matanya. Rasa rindu pada kotanya di zaman modern menyeruak. Dia rindu Vea, teman pengkhianatnya yang berisik. Geo rindu saat harus berdebat dengan Vea hanya karena mereka sangat berbeda dalam hal selera memilih jenis minuman Thai Tea. Geo suka rasa green tea dan Vea suka black coffee. Semua berawal dari Geo yang mengejek kalau black coffee itu pahit kemudian semua merembet menjadi perdebatan konyol. Setelah itu mereka akan berbaikan kembali karena film di bioskop hampir dimulai. Akan sangat lucu kalau mereka masih bertengkar mengingat film yang mereka tonton adalah film komedi.
Air mata jatuh berderai tanpa bisa dibendung lagi. Dia ingin pulang, menemui ayahnya. Hanya ayahnya satu-satunya keluarga yang dia punya. Semenjak ibunya meninggal, Geo hanya hidup berdua dengan ayahnya. Menghadapi semua kekecewaan dan kesedihan hanya berdua. Bahkan mereka bukan termasuk keluarga yang akur. Geo banyak mendebat ayahnya karena dia kelewat keras kepala. Terutama ketika ayahnya sibuk dengan segala hal tentang sejarah. Ah, Geo merindukan momen itu.
Geo kembali membaringkan tubuhnya ke atas dipan. Memejamkan matanya yang basah. Masih sambil terisak, Geo memikirkan bagaimana caranya untuk kembali. Tidak seperti film-film yang dia tonton. Orang akan kembali ke masa lalu ketika menemui sesuatu yang ajaib. Namun, tidak ada yang ajaib dengannya selain hampir mati ditembak Beni. Mata Geo kembali terbuka. Mungkin jika dia tertembak di masa ini, dia akan bisa kembali ke masa depan. Satu keputusan sudah dibuat. Dia akan mempertaruhkan segalanya agar bisa tertembak. Dengan begitu dia bisa segera pulang.
Walaupun semua itu hanya pemikiran konyolnya akibat putus asa, Geo menutup matanya dan tertidur dengan perasaan tenang. Menanti hari esok di mana semua kemungkinan itu akan dipertaruhkan.
***
Esoknya, Beni marah-marah seperti biasanya. Tingkat emosinya dari hari ke hari terus meningkat. Pasalnya, Sulistyowati kembali pergi tanpa pemberitahuan. Beni yang masih perlu seseorang untuk menenangkan hatinya yang khawatir dengan rencana nanti malam akhirnya melampiaskan rasa kesalnya pada Geo. Seseorang yang sedari awal sudah membuatnya kesal.
Geo bertugas menyediakan makan pagi untuk Beni dan segelas teh hangat. Sementara Mbak Tutik sedang keluar belanja. Namun, bukan ucapan terimakasih yang dia dapat, melainkan ucapan makian yang menyakiti hati.
"Kamu itu kalau tidak bisa masak, ya sudah tidak perlu masak. Saya tidak suka nasi yang gosong!" Beni membanting piring blek ke atas meja. Nasi beserta lauknya berhamburan dari piring. Geo tersentak.
"Kenapa menyalahkanku? Bukan aku yang masak! Itu Mbak Tutik! Kenapa kamu selalu menyalahkanku? Seakan semua hal buruk adalah salahku!"
"Memang, kan? Kamu itu mata-mata! Keberadaanmu di sini saja sudah salah. Dari awal saya tidak bisa melihatmu selain sebagai mata-mata. Sejak kamu berada di sini, satu per satu kemalangan menghampiri pasukan kami. Rencana kami selalu gagal dan itu semua bermula sejak kamu datang ke mari!"
"Bukan aku! Kamu yakin itu karena aku? Mungkin saja ada mata-mata sebenarnya yang sedang bersembunyi sekarang. Memanfaatkanku dan bersembunyi dibalik bayanganku agar mereka sendiri selamat. Kamu tidak memikirkan skenario yang seperti itu?"
"Saya tidak peduli. Saya hanya akan menganggap itu kamu."
Geo mendesah dengan berat. Rasa kesal mulai menumpuk di kepalanya. Semua omong kosong itu membuatnya muak. Geo merasa hidupnya sangat tidak adil. Tiba-tiba terlempar ke masa lalu dan harus mendapat tuduhan menjengkelkan begitu. Melihat Geo yang hanya diam sambil mencoba meredam rasa kesalnya, Beni berdiri dari kursi. "Kenapa? Tidak suka? Kembali saja ke tempat asalmu! Aku juga tidak butuh kamu!"
Rasa kesal yang sedari tadi Geo coba untuk pendam mulai melonjak lagi. Ditatapnya Beni yang dengan santainya berdiri menjulang di depan Geo sambil menatapnya tajam. Entah kenapa, hari ini, Geo sangat muak melihat wajah itu. Dia sampai merasa harus memukul Beni saat ini juga. Alih-alih memukulinya, Geo malah meneteskan air mata.
"Kalau bisa kembali aku pasti akan kembali! Memangnya siapa yang mau datang ke sini? Kamu pikir berpakaian seperti ini, melakukan tugas dapur seperti perempuan rumahan itu enak? Aku ingin pulang. Kuliah, bertemu Vea, bertemu ayah, bertemu Fian ... " Geo mulai terisak. "Kamu tahu apa? Aku tidak suka di sini. Diperlakukan tidak adil. Dituduh mata-mata. Hampir dibunuh Belanda. Aku tidak suka semua itu! Aku benci! Aku juga mau pulang!"
Mbak Tutik yang baru muncul dari pintu depan terkejut mendengar teriakan Geo. Buru-buru dia berlari menghampiri Geo yang histeris. Beni berdiri di depan Geo dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Geo terlihat berantakan. Wajahnya merah dan penuh dengan air mata.
"Ya ampun. Kalian ini! Padahal baru ditinggal sebentar sudah ribut. Tidak bisa, ya, kalian tenang dalam satu hari saja?"
Geo tidak mendengarkan ucapan Mbak Tutik. Dia menatap Beni dengan matanya yang basah disertai isakan-isakan kecil. Mbak Tutik datang menghampiri dan memeluk Geo. Mencoba menenangkannya supaya nyaman dan berhenti menangis. Beni mengumpat dan meninggalkan rumah. Keluar sambil membanting pintu. Air mata Geo tidak bisa berhenti seolah meluapkan semua rasa frustasi yang dia pendam.
Semua beban terasa meluap keluar seiring dengan bertambah derasnya tetesan air matanya. Sebuah keyakinan yang kuat telah tumbuh di dalam hatinya. Sekarang dia yakin dengan keputusannya. Mempertaruhkan nyawanya agar dapat kembali ke masa di mana dia berasal.