Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Geo duduk di tengah ruangan. Di kursi kayu dan dikelilingi orang-orang yang mengerumuninya. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Rasanya seperti tengah diinterogasi karena telah melakukan pembunuhan. Tangannya gemetaran. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Memikirkan apakah dia sungguh akan dipenjara. Beni duduk di hadapannya sambil melipat tangannya di depan dada dengan mata yang melotot tajam ke arahnya. Geo menurunkan tatapannya, dia merasa seperti benar-benar telah melakukan kesalahan besar.

Rumah yang luasnya tak seberapa itu terasa sesak. Ada kira-kira delapan orang -termasuk Geo, berjejal di dalamnya memelototinya. Udara di dalam ruangan menipis karena menjadi rebutan delapan orang yang masih perlu bernafas. Suhu menjadi panas.

Geo mengangkat wajahnya, menatap Beni dengan sudut matanya. Pikirannya masih kalut. Dia baru saja membunuh orang asing dengan senjata api. Membunuh dengan tangannya sendiri. Membunuh adalah perbuatan salah yang melanggar HAM tetapi kepemilikan senjata api juga sesuatu yang salah. Geo mendesah. Komnas HAM tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia melakukan tindakan kriminal kategori berat dan pasti akan dijerat dengan pasal berlapis -membunuh orang dan kepemilikan senjata ilegal. Memikirkan itu semua membuat kepalanya pusing.

Suasana terasa tegang. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka hanya berbicara menggunakan tatapan mata yang terus melotot pada Geo. Di tengah itu, Geo merasa seperti sebentar lagi sirine mobil polisi akan meraung-raung. Menyeretnya pergi dengan tangan diborgol dibelakang tubuh. Sementara orang-orang ini akan memandanginya sambil berkata, "Padahal ini cuma pementasan drama."

Berbicara mengenai pementasan drama, ini sudah berlangsung selama tiga hari dan tidak ada yang membuka penyamarannya. Mereka ini sungguh seorang maniak, melihat mereka berani melakukannya sampai sejauh ini. Apa mereka tidak berniat mengakhiri ini? Karena ini sudah masuk ke dalam tahap berlebihan.

Membuyarkan khayalan menakutkannya, Beni berdeham. Mata Geo kembali fokus dan kepalanya terangkat untuk melihat seorang pemuda di depannya. Jari tangan pemuda itu mengetuk-ngetuk pahanya, tetapi matanya menatap lurus ke arah Geo.

"Tindakanmu itu, terlalu jelas untuk tidak dicurigai sebagai mata-mata, tetapi ini terasa janggal. Kamu mengkhianati mereka atau sedang merencanakan rencana lain?" Beni memajukan tubuhnya sementara matanya terus menatap Geo. Geo adalah gadis yang tidak bisa diprediksi. "Kamu sengaja membunuh Londo itu agar kedokmu tidak terbongkar?"

Kedua tangan Beni saling bertaut dan menyangga dagunya. Matanya masih melotot pada Geo yang bingung harus menanggapi bagaimana. Pikirannya kalut dan stress. Dia tidak berniat membunuh bule itu. Dia sangka senjata yang dipegang bule itu hanya senjata mainan khas pementasan drama. Siapa sangka kalau itu adalah senjata asli. Bukankah, harusnya bule itu yang ditangkap karena kepemilikan senjata ilegal? Benar juga, Geo terkesiap setelah menyadari itu. Dia bisa berdalih terpaksa menarik pelatuk senjata itu untuk melindungi diri dari si bule yang mungkin akan membunuhnya lebih dulu. Dengan munculnya pemikiran itu, senyum simpulnya terbit.

"Kamu memang merencanakan sesuatu. Kalian lihat dia tersenyum, kan?"

Geo terperangah mendengar suara Beni. Dia mendongak dan menggeleng. "Tidak ... Tidak ... Aku tidak merencanakan sesuatu. Aku hanya memikirkan alasan apa yang kubuat kalau Komnas HAM dan polisi mengintrogasiku."

Beni mengerutkan keningnya. "Komnas HAM itu apa?"

Geo melongo. "Seriously? Nggak tahu? Wah, kalian hebat banget. Akting kalian harusnya udah sampai hollywood!"

Beni hanya menatapnya seperti menatap orang aneh yang tiba-tiba bicara. Dan juga semua orang terlihat sama. Tidak mengerti dengan apa yang di bicarakannya. Di bawah lampu temaram itu, semua sepakat Geo adalah orang yang aneh.

"Kenapa kamu malah membunuh si Londo bukannya Mbak Tutik?"

"Seriously, kamu tanya itu? Bukannya udah jelas, ya. Mbak Tutik adalah satu-satunya orang yang masih mau merawatku. Yah, mungkin karena dia terpaksa, sih. Walau begitu, dia yang nganterin makan padaku yang secara nggak langsung dia membuatku masih tetap hidup diatas ketidakpedulian seseorang yang mengurungku di dalam kamar! Menjadikanku seorang tawanan dan melihatku sebagai seorang musuh. Bukankah sebagai manusia, aku harus menolongnya? Sebagai balasan atas kebaikannya walau dia juga melihatku sebagai seorang musuh!"

Perkataan panjang lebar dari Geo membuat semua orang di sana saling berpandangan. Tatapan yang sedari awal tidak terlihat bersahabat mulai melunak. Menurut mereka gadis itu ternyata tidak seburuk yang mereka kira. Mungkin malah berada di pihak mereka. Namun, yang pasti mereka tetap diam dan melirik ke arah Beni. Keputusan ada di tangan Beni. Dia tahu apa yang harus dia lakukan demi keselamatan mereka semua.

Mata Beni masih memicing. Dia terlihat masih tidak mempercayai Geo. Bagaimana pun gadis di depannya itu terlihat mencurigakan. Muncul tiba-tiba di depan benteng musuh, mengenakan pakaian aneh dan bicara dengan bahasa yang seperti berasal dari dunia lain.

"Hentikan omong kosongmu dan buka saja penyamaranmu. Dengan begitu kami jadi lebih mudah untuk mencari cara menghukummu!" Nada suara Beni meninggi. Tangannya terkepal kuat-kuat. Hasan menyentuh pundaknya seolah mengingatkan Beni untuk tetap bersikap tenang. Beni menoleh lalu mendesah kesal.

Geo menoleh. Dia jadi terpancing mendengar Beni yang terus menyuruhnya mengakui sesuatu yang bahkan tidak dia lakukan.

"Yang harusnya buka penyamaran itu kalian! Memangnya gara-gara siapa aku jadi membunuh bule itu? Itu karena kalian yang nggak memberitahuku kalau senjatanya asli! Aku udah bersabar selama tiga hari, dikurung secara nggak adil, diinterogasi kayak penjahat, dituduh mata-mata sampai aku membunuh seseorang! Sekarang siapa yang akan tanggung jawab kalau aku beneran di penjara? Memangnya ada, ya, pementasan drama selama ini? Ini penculikan namanya!" Geo menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan kesal dan menatap tajam ke arah Beni.

Semua itu terasa tidak masuk akal baginya. Tiba-tiba diseret ke tempat asing bersama sekumpulan orang yang dia pikir berasal dari tim pementasan drama. Tidak ada briefing dan mendadak masuk ke dalam cerita. Dibiarkan jadi tahanan selama tiga hari tanpa ada yang mengklarifikasi apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa mereka membiarkannya dalam ketidaktahuan selama itu? Sepertinya Geo memang benar-benar diculik. Entah apa alasannya, tetapi sangat tidak masuk akal kalau pementasan drama berlangsung selama itu.

"Tidak ada yang menyamar di antara kami. Satu-satunya yang dicurigai menyamar adalah kamu!"

Geo terperangah tak percaya. Apa pun yang dikatakannya tetap tidak merubah tuduhan Beni terhadapnya. Beni tetap memandangnya sebagai seorang mata-mata dan yang lebih menjengkelkannya lagi, para aktor itu tidak mau membuka penyamarannya.

Kemudian, dari arah luar terdengar suara ribut langkah kaki yang berderap. Seperti ada ribuan orang yang buru-buru datang mengepung rumah ini. Geo mengerut di kursinya. Polisi sudah datang dan akan membawanya pergi. Secara mengejutkan, dua orang pemuda menghambur masuk dengan wajah kacau dan berlari ke arah Beni. 

"Pak, serangan kita gagal. Sebagian besar pasukan ditangkap. Sepertinya benar ada mata-mata di antara kita," lapor seseorang dengan wajah penuh keringat dan kotor. Kulitnya menghitam dengan rambut berantakan.

"Apa?" Beni mengamuk. Dia berdiri dan menendang kursi yang baru saja dia duduki. Hasan beringsut ke belakang takut terkena amukan. Kesabaran Beni menghilang dengan cepat. "Keparat! Rencana yang sudah kita susun sejak bulan lalu hancur begitu saja cuma karena tikus kecil yang menyelinap!"

Beni langsung menoleh ke arah Geo. "Kamu, kan? Katakan kamu yang melakukannya!!"

"Bukan aku!! Aku nggak ngelakuin apa pun!" Geo berdiri. Merasa kesal dan frustasi.

"Masih saja begitu! Kamu membuat semua teman-temanku ditangkap Londo!" Beni bergerak maju dan meraih sesuatu dari kantung celananya. Sebuah pistol berwarna hitam terarah tepat di dahi Geo.

"Pak! Londo yang kamu maksud itu Belanda? Sekarang ini sudah tahun 2018 dan Belanda sudah nggak ada hubungannya dengan Indonesia lagi! Berhenti main-main dan lepas saja penyamaran kalian! Aku sudah muak mengikuti segala drama ini!"

Beni belum menarik pistolnya menjauh dari Geo. "Kamu aneh! Apanya yang tahun 2018. Dalam keadaan seperti ini masih saja ada orang bodoh yang memikirkan masa depan. Akan saya katakan sekali lagi, sekarang ini tahun 1949. Londo masih mau merebut negara ini padahal kita sudah mengumandangkan kemerdekaan. Saya tidak tahu kamu berpura-pura bodoh atau bagaimana tapi karena mata-mata ini, perjuangan kami jadi berantakan. Banyak rakyat dibunuh dan dipenjara termasuk para pejuang. Kemerdekaan negara ini sedang dipertaruhkan lagi dan kami berusaha untuk mempertahankannya. Jadi, sebelum aku membunuhmu, katakan siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini? Di mana kalian menahan teman-teman kami?"

Geo terperangah. Masih tidak percaya. Beberapa hari yang lalu, Beni juga pernah bilang sekarang tahun 1949. Awalnya Geo tidak terlalu memikirkannya karena menyangka itu hanya bagian dari dialog yang harus diucapkan, tetapi setelah sekali lagi mendengar tahun itu disebut, pikirannya menjadi berputar. Matanya kehilangan fokus, menerawang jauh ke awang-awang. Apakah yang seperti ini mungkin? Melakukan perjalanan waktu di mana dirinya kembali ke masa lalu.

"To ... Tolong katakan kalian hanya bersandiwara."

"Keparat! Kamu mengira selama ini kami bersandiwara? Kami tengah berjuang mempertaruhkan nyawa kami dan kamu bilang sandiwara? Kamu benar-benar tidak waras! Ucapkan selamat tinggal!" Beni memperkuat todongan pistolnya di dahi Geo dan bersiap menarik pelatuknya. Geo masih kehilangan fokus dan tampak sangat terguncang. Pikiran tentang perjalanan kembali ke masa lalu membuat semua fokusnya menghilang.

Ketika Beni benar-benar hampir menarik pelatuknya, Mbak Tutik segera menghambur dan menahan Beni. "Hentikan! Jangan sembarangan membunuhnya, bisa jadi dia berada di pihak kita!"

"Diam, mbak! Dia menyelamatkan mbak tapi bukannya tidak mungkin besok dia akan membunuh mbak! Saya juga yakin kalau orang ini yang membuat teman-teman kita ditahan Londo!"

"Saya tidak setuju sama kamu, Ben. Gadis ini sudah menolongku dan kenyataan itu tidak akan pernah berubah. Kalau kamu mau bunuh dia, bunuh aku juga!"

Beni melotot. Mbaknya itu sudah tidak waras. Melindungi seseorang yang jelas sebagai mata-mata. Sementara kedua kakak beradik itu saling melotot, Geo masih sibuk dengan pikirannya. Menyangkal bahwa dia telah berjalan menembus waktu kembali ke masa lalu, dia kembali menatap Beni dan orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Cara berpakaian mereka berbeda dengan orang-orang di zamannya, gaya bicara, raut wajah yang menampakkan ketegangan, penat dan kemarahan. Geo kemudian teringat ayahnya. Kalau benar dia mebembus waktu, artinya dia sendirian di tempat ini. Perasaan takut dan sendirian di tempat antah berantah mempengaruhinya. Mendadak perasaannya yang tak terbendung keluar menjadi tetasan air mata yang mengalir dari sudut dalam matanya.

Dia ingin pulang. Air mata mengalir deras. Semua orang terdiam dan menatapnya. Bahunya bergetar dan terus sesenggukan. Mbak Tutik menyingkirkan tangan Beni yang masih menodongkan pistol ke dahi Geo. Kemudian Mbak Tutik merangkul Geo dan membawanya pergi dari ruangan itu.

***

Mbak Tutik menyodorkan segelas air padanya. Geo mendongak dan menerimanya, lalu mengucapkan terimakasih dengan suara kecil. Pikirannya masih kacau walau tangisannya telah berhenti. Masih sulit rasanya menerima kalau dirinya berada di masa jauh sebelum dirinya lahir. Masa di mana Belanda masih ingin menduduki Indonesia. Yang membuatnya bingung adalah kenapa dia? Kenapa dia yang harus melakukan perjalanan ini? Tapi memangnya yang seperti itu mungkin? Semakin dipikirkan, kepala Geo malah semakin pusing.

"Maaf, ya, kelakuan adik saya pasti mengejutkanmu. Harap maklum, karena saat ini isu mata-mata sedang jadi topik yang sensitif."

Geo belum meminum minumannya. Dia hanya menggenggam gelas itu dengan kedua tangannya.

"Terimakasih sudah menyelamatkan saya. Saya tidak tahu apakah saya berhak mengatakan ini tapi menurut saya, kamu berada di pihak kami."

Geo menoleh. Diam. Pikirannya masih sibuk bergelut sendiri antara harus menerima kenyataan itu atau terus menyangkal bahwa ini hanya bagian dari pementasan drama.

"Kamu benar-benar berada di pihak kami, kan?"

"Mbak ... Boleh saya tanya sesuatu?"

Mbak Tutik mengangguk sebagai jawabannya. Mata Mbak Tutik yang bulat menatap Geo dengan lembut. Sekarang tidak ada rasa takut di matanya.

"Sekarang, benar-benar tahun 1949?" Mata Geo mengabur, rasanya air mata hampir keluar lagi.

"Saya tidak tahu kenapa kamu terus menanyakan itu, tapi sekarang memang benar-benar tahun 1949. Apakah ada masalah dengan tahun?"

"Bukan tahunnya yang menjadi masalah tapi aku. Masalahnya kenapa aku bisa ada di sini, di tahun ini! Harusnya aku tidak ada hubungan apa-apa dengan tahun ini. Kakekku bukan pejuang, buyutku juga, mereka semua petani, terus kenapa aku bisa ada di sini?" Air mata kembali meluncur deras. Mbak Tutik tidak bisa menanggapinya. Dia tidak paham dengan apa yang diocehkan Geo.

"Tenang, nduk. Saya merasa aneh sama kamu. Saat kamu datang ke sini, kami semua terkejut dengan pakaianmu. Kamu terlihat seperti kami tapi juga berbeda. Kami jadi tidak yakin apakah kamu itu mata-mata atau bukan. Ditambah, Beni menemukanmu di depan benteng musuh. Kecurigaan bertambah besar dari awal. Tolong, jangan salahkan kami."

"Aku tidak menyalahkan kalian, Mbak. Aku hanya tidak percaya bisa berada di sini. Aku mau pulang. Ketemu ayah, Vea, dan ... Fian." Nama terakhir membuatnya tersedak. Fian, cowok gebetannya yang sudah lama dia perhatikan. Walau hanya berani memperhatikan dari jauh, rasa sukanya tidak pernah berkurang.

"Saya tidak tahu harus membantu bagaimana, tapi kenyataannya kamu di sini. Saya tidak akan tanya dari mana kamu berasal sekarang. Mungkin lebih baik kamu yang ceritakan sendiri nanti setelah lebih tenang." Mbak Tutik menepuk-nepuk punggung Geo yang menganggukkan kepalanya. Semua ini terasa sulit dipahami. Rasanya ingin mengubah apa yang terjadi tapi kenyataannya dia berada di tempat di tahun yang bahkan tidak bisa dia bayangkan. 

"Lalu, sekarang, bisa jawab saya? Kamu berada di pihak mana?"

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
13130      2577     6     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14123      2566     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
Beach love story telling
3012      1478     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Perahu Waktu
423      287     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Antara Jarak Dan Waktu
14903      2437     3     
Romance
Meski antara jarak dan waktu yang telah memisahkan kita namun hati ini selalu menyatu.Kekuatan cinta mampu mengalahkan segalanya.Miyomi bersyukur selamat dari maut atas pembunuhan sang mantan yang gila.Meskipun Zea dan Miyomi 8 tahun menghilang terpisah namun kekuatan cinta sejati yang akan mempertemukan dan mempersatukan mereka kembali.Antara Jarak Dan Waktu biarkan bicara dalam bisu.
Closed Heart
1150      649     1     
Romance
Salah satu cerita dari The Broken Series. Ini tentang Salsa yang jatuh cinta pada Bara. Ini tentang Dilla yang tidak menyukai Bara. Bara yang selalu mengejar Salsa. Bara yang selalu ingin memiliki Salsa. Namun, Salsa takut, ia takut memilih jalan yang salah. Cintanya atau kakaknya?
Daniel : A Ruineed Soul
559      327     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
Venus & Mars
5958      1550     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
For Cello
3054      1037     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...