(Listen : Fatin - Salahkah Aku Terlalu Mencintaimu)
Andre, Ibu dan Donna sudah berkumpul di ruang keluarga. Mereka terdiam, tak ada sepatah katapun yang akan keluar. Terutama Ibu, Ibu terlihat masih sedih dengan kejadian tadi. Andre jelas masih shock. Sedangkan Donna secara diam-diam tersenyum sendiri dan melirik sekilas ke arah Andre.
“Kita sedang menunggu siapa, Bu?” tanya Donna memecah kehenigan yang menyelimuti.
“Tidak, tidak ada yang kita tunggu. Ibu akan menceritakan kepada kamu, Don. Andre sebenarnya....bukan kakak kandung kamu,” ujar Ibu dengan suara yang bergetar, menahan tangis.
Donna bingung, apa ia harus berpura-pura terkejut atau ikut menangis seperti tadi? Donna memilih untuk diam, pertanda ia berpura-pura belum mendengar kabar itu.
“Be...benarkah?” Donna berpura-pura sedih dan terkejut.
“Kenapa Andre sekarang bukan kakakku, Bu?” Donna mengeluarkan pertanyaan bodoh yang membuat Andre mendelik tajam kepadanya. Seharusnya ia tak menanyakan hal itu. Donna mengumpat dirinya sendiri dengan kesal.
“Donna, Andre, dengarkan Ibu baik-baik, ya? Meski kalian bukan kakak-beradik kandung, bisakah kalian seperti biasanya? Saling menjaga, saling menyayangi seperti kakak-adik pada umumnya. Ibu tidak ingin kalian menjadi terpisah hanya karena alasan kalian bukan kakak-adik kandung. Andre, mohon lindungi terus Donna seperti adik kamu sendiri, mengerti?” pinta Ibu kepada Andre.
Andre mengangguk pelan. Andre masih sedih saat ini, terlihat jelas dari sorot matanya yang nampak sayup dan redup. Bahkan Donna bisa merasakan perasaan Andre saat ini.
“Andre, maafkan Ibu jika selama ini Ibu merahasiakan masalah ini dari kamu. Ibu dan Ayah berjanji akan merahasiakan masalah ini selamanya dari kamu, agar kamu tidak sakit hati jika kamu bukan anak kandung kami. Tetapi, Ibu dan Ayah sangat bangga dan bahagia memiliki putra yang baik seperti kamu. Kini, saatnya kamu tahu siapa sebenarnya kamu dan orang tua kamu. Akan Ibu ceritakan semuanya,” Ibu mengambil nafas panjang.
“Kamu datang ke rumah ini, saat Ibu sedang mengandung Donna yang ke-9 bulan. Saat itu, kamu masih berumur 14 bulan. Itu sebabnya, perbedaan usia kalian hanya terpaut 14 bulan. Orang tua kamu adalah teman Ibu dan Ayah sejak SMA. Nama mereka adalah Jaya Sudrajat dan Kamilasari. Kami berasal dari Bandung. Namun Ibu dan ayah kalian memutuskan tinggal di Jakarta setelah menikah. Ternyata Jaya dan Kamila membangun rumah di Jakarta karena Jaya saat itu akan pindah tugas ke Jakarta. Saat berada diperjalanan menuju Jakarta untuk melihat rumah baru mereka, naas, mereka berdua mengalami kecelakaan mobil. Ayah kamu tewas seketika ditempat kejadian, sedangkan Ibu kamu dalam keadaan koma di rumah sakit. Kamu selamat dari kecelakaan itu tanpa ada sekecilpun luka karena Ibumu melindungimu. Ibu dan Ayah pergi ke rumah sakit setelah mendengar kejadian tersebut.....”
22 Juni 1982
[ Yayan Taryana dan Sri Dewi tiba di rumah sakit dalam keadaan cemas yang besar. Mereka menanyakan dimana pasien bernama Kamila kepada perawat yang bertugas di bagian administrasi. Setelah mengetahui keberadaan Kamila, mereka berdua pergi ke ruangan tersebut.
Terlihat jelas, Kamila berada di atas ranjang dengan luka yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Kamila belum sadarkan diri.
“Kamila, kamu bisa dengar aku? Kamila, sadarlah... Aku mohon sadarlah...” Dewi menggenggam erat kedua tangan Kamila yang sangat dingin.
Perlahan, Kamila membuka kedua matanya dan tagannya meraih tangan Sri Dewi untuk menenangkannya.
“Dewi...” lirihnya.
“Kamila, syukurlah kamu sudah sadar! Sebentar. Sayang, cepat panggil dokter kesini!” suruh Dewi kepada suaminya.
“Baik, baiklah!” Yayan bergegas keluar dari sana dan berlari menuju ruang dokter.
“Dewi.... anakku.... anakku....” lirihnya lagi.
“Aku akan menjaga anakmu demi kamu sampai kamu sembuh, Kamila. Aku berjanji akan menjaga putra kamu sebaik mungkin,” ujar Dewi.
“Tolong jaga anakku selamanya, Dewi....”
“Apa yang selamanya? Dia putramu, bukan putraku! Jangan bercanda, Dewi!”
“Tapi....aku akan pergi meninggalkannya. Aku ingin menyusul suamiku...menyusulnya ke atas langit sana...” ujar Kamila dengan nafas yang terengah-engah, sekarat.
“Apa yang kamu katakan, Kamila!? Kamu akan baik-baik saja, Kamila! Jangan berkata seperti itu!”
Kamila tersenyum dan perlahan meneteskan air matanya. Kemudian ia menggenggam erat tangan Dewi.
“Dewi, kamu adalah sahabat terbaikku sejak dulu. Aku sangat percaya sama kamu. Aku juga percaya kamu akan menjaga putraku dengan baik. Jagalah ia demiku. Jaga dia seperti anak kandung kamu sendiri.... Dewi, aku...mohon sama kamu....” Nafas Kamila semakin tercekat dan tipis.
“Kamila, bertahanlah! Kamu tidak akan mati! Kamu pasti akan hidup!” teriak Dewi.
“Aku mohon.....jagalah....anakku....jaga anakku....Evan...”
Biiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip
Alat monitor jantung berbunyi nyaring dan panjang. Diagram di layar sana menunjukkan garis yang lurus.
“Ka...Kamila...? Kamila....sadarlah, Kamila!! Kamila!! Kamila, aku mohon sadarlah!!!! Kamilaaaaaaaaaaa!!!” ]
“Mereka meninggal di hari yang sama. Ibu kamu, Kamila, menitipkan kamu sampai saat ini. Kamu secara resmi diadopsi oleh keluarga ini. Nama kamu yang sesungguhnya adalah Evan, namun kami memutuskan mengganti nama kamu menjadi Andre. Keluarga kamu mewariskan harta mereka kepada kamu untuk biaya semuanya, termasuk pendidikan sampai sekarang. Andre, orang tua kamu adalah orang yang baik. Malang sekali kamu, mendengar cerita tentang kematian mereka. Seharusnya kamu mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandung kamu. Karena Ibu akui, Ibu sangat buruk dalam menjaga kamu. Karena Ibu memang bukan Ibu kamu. Andre, mohon maafkan Ibu. Ibu menyesal karena selama ini merahasiakan jati diri kamu yang sebenarnya. Pasti selama ini kamu tertekan dan bingung, ‘kan?” Ibu menutup wajahnya, ia menangis tersedu-sedu.
Andre mendekati Ibu dan memeluknya, “Ibu, meski Ibu bukan orang tua kandungku, tapi aku tetap berterima kasih kepada Ibu yang selama ini menjagaku, merawatku dan menyayangiku dengan baik. Ibu, tanpa ada Ibu, apa daya aku? Apakah aku akan hidup sampai sekarang? Tidak, Bu, aku tidak akan pernah hidup sampai sekarang. Ibu, terima kasih. Dan, maafkan aku karena terlalu emosi kepada Ibu,” ujar Andre.
Hari ini mereka lalui dengan air mata kesedihan dan lika-liku yang semula kusut, kini berubah menjadi akhir yang bahagia. Melihat momen itu, Donna sangat terharu dan ikut memeluk mereka berdua.
Hubungan Ibu dan anak yang bukan anak kandungnya. Kasih sayang seorang Ibu jelas tidak akan membedakan dia adalah anak kandungnya atau bukan. Kasih sayang sejati yang begitu kuat tertanam dalam hati seorang Ibu.
000
“San, gue udah percaya diri buat dapetin Andre jadi milik gue!” seru Donna dalam percakapan telepon bersama Sandi. Sandi belum tahu apa-apa mengenai kejadian hari ini, maka dari itu, ia akan memberitahu Sandi.
“Wah, percaya diri banget lo!” Sandi terdengar mengejek, bermaksud bermain-main. Donna sudah tahu hal itu. Sandi boleh saja mengejek saat ini, tetapi setelah mengetahui kejadian hari ini, dia pasti terkejut. Donna sangat yakin akan hal itu.
“Lo enggak percaya sama gue? Gue akan ceritain kejadian tentang hari ini. Beberapa jam yang lalu, bukankah Andre datang menemui lo buat tes golongan darah?” Donna memastikan.
“Iya, tadi Andre bilang mau cek golongan darahnya. Katanya buat menentukan kepribadian dirinya lewat golongan darah yang akhir-akhir ini terkenal,” ujar Sandi.
“Haha! Sayangnya Andre itu hanya berbohong. Sebenernya setelah Andre nemuin lo Andre diam-diam tes DNA. Lo pokoknya jangan terkejut mendengar kata-kata gue. Terserah lo mau percaya atau enggak. Gue cuma nyebutin ini satu kali,” ujar Donna.
“Tes DNA? Maksud lo apa sih?” tanya Sandi penasaran.
“Iya, makanya dengerin gue! Andre, Andre sebenarnya bukan kakak kandung gue. Andre itu anak adopsi orang tua gue,” ujar Donna.
Setelah mengatakan hal itu, keheningan terjadi pada lawan bicaranya. Donna yakin, Sandi pasti saat ini terkejut dengan apa yang dia dengar. Donna tersenyum puas di kamarnya.
“Se....serius lo? Yang lo katakan itu...benar?” Sandi terdengar terbata-bata. Sudah Donna duga, Sandi pasti terkejut.
“Golongan darah Ibu adalah A, golongan darah Ayah dan aku adalah O. Andre bergolongan darah AB. Sebenarnya gue cukup mengerti tentang hal begituan. Orang tua bergolongan darah A dan O tidak mugkin melahirkan anak bergolongan darah AB. Lo terkejut, ‘kan? Sekarang, gue sangat percaya diri bisa dapetin Andre!” ujar Donna yakin.
“Gimana dengan perasaan Erik?” tanya Sandi tiba-tiba.
“Hah?”
“Kalau lo terus berjuang akan mendapatkan cinta Andre, bagaimana dengan perasaan Erik yang selama ini nungguin lo buat nyatakan perasaannya? Apa lo gak keterlaluan sama Erik?” Sandi mengungkit nama Erik, orang yang sebenarnya menjadi buah pikiran Donna juga. Benar kata Sandi, bagaimana dengan Erik? Seharusnya Donna juga memikirkan kemungkinan buruk terjadi jika Erik ada diantara masalah perasaannya.
“Erik....gue juga bingung. Apa yang harus gue katakan sama dia? Gue gak tahu perasaan gue sama dia itu seperti apa,” uujar Donna lesu.
“Sebaiknya, lupakan Andre. Meski Andre bukan kakak kandung lo, tapi selamanya dia akan menjadi kakak lo. Apa lo yakin Andre sama kayak lo? Punya perasaan sama lo? Jika enggak ada, lo hanya akan jadi korban cinta sepihak. Begitu pula dengan Erik, dia akan jadi korban juga,” ujar Sandi memperingati Donna.
“Denger, San. Biarpun lo ngelarang gue buat lupain Andre, tapi ini perasaan gue! Meskipun status menghalangi gue, tapi gue gak peduli. Perasaan gue jauh lebih besar sama Andre, bukan kepada siapa-siapa. Urusan Erik nanti belakangan. Sorry, San, baru pertama kali gue enggak bakalan nurutin nasihat lo. Makasih udah nemenin gue ngobrol malam-malam begini. Gue ngantuk, mau tidur. Bye!” Donna mengakhiri panggilan. Donna terlanjur dongkol karena meskipun bukti sudah ada didepan mata bahwa Andre bukan kakak kandungnya, tetapi masih ada orang yang menentangnya.
Donna mendengus lemas, menidurkan kepalanya ke bantalan yang empuk dan menatap ke langit-langit kamarnya. Donna tidak tahu apa yang dipikirkannya saat ini. Semuanya kosong dan gelap. Bila mengingat masalah ini, Donna semakin bingung dan tidak tahu harus mendengar saran dari siapa. Dan juga Erik, bagaimana dengannya selanjutnya? Kalau boleh jujur, perasaannya kepada Erik tidak sebesar itu kepada Andre, atau mungkin tidak ada perasaan sama sekali. Baginya, Erik hanya sahabat biasa yang selalu menjaganya setiap saat. Donna juga takut jika Erik sampai membencinya karena memilih Andre daripada dirinya.
Donna cukup yakin bisa mendapatkan hati Andre. Ya...meski Andre tipe pria yang sangat sulit dilunakkan. Bagaimanapun Donna akan berusaha sampai titik penghabisan darahnya, kalau itu perlu.
Bermain dengan pikiran, membuat Donna haus. Donna keluar dari kamar untuk mengambil segelas air di dapur. Saat melintas ke depan kamar Andre, Donna berhenti sejenak. Donna mendengar percakapan Andre di dalam kamar lewat telepon. Percakapan itu terdengar sangat mesra, dan tak jarang Andre tertawa dengan lawan bicaranya. Donna mendekatkan telinganya ke pintu. Setelah diselidiki, Andre sedang bercakap-cakap dengan Mieke. Mieke, wanita itu. Wanita yang sempat meninggalkan Andre, kenapa justru kembali lagi? Kenapa hal itu bisa terjadi?! Donna sangat geram dan kesal. Dengan perasaan yang meluap-luap yang tak tertahan, Donna menuju dapur untuk mengambil minuman.
“Lihat saja, siapa yang akan mendapatkan hati Andre duluan. Aku atau lo, Mieke!”
000
26 Januari 2002
Sebelum pergi ke kampus, Donna iseng mencuri ponsel Andre dan membawanya ke kamar Donna. Donna mencari kontak ponsel milik Mieke. Semalaman suntuk, ia sudah memikirkan berbagai rencana, salah satunya adalah menantang Mieke.
Rencana awalnya berhasil, Donna sudah menyalin kontak Mieke ke ponselnya. Kemudian Donna menyimpan ponsel Andre ke tempat semula.
“Akulah yang akan mendapatkan Andre terlebih dahulu. Jangan harap, Mieke. Jangan harap!” Donna menyeringai penuh kemenangan. Kemudian ia pergi.
Diperjalanan, Donna terkejut karena Erik membuntutinya. Donna menggertak sebal, kenapa Erik tidak jalan duluan saja, atau jalan berbarengan? Bukan seperti ini. Erik lebih mirip seperti penguntit daripada Erik yang biasa.
Donna berbalik dan menatap Erik sebal.
“Kenapa lo enggak jalan duluan aja sih? Gak nyaman tahu dibuntuti seperti itu!” semprot Donna.
“Lo keganggu karena ada gue, ya? Sorry, gue cuma mau ngejagain lo,” secara terang-terangan Erik mengatakan alasannya. Alasan itu memang simpel dan terdengar perhatian, namun terdengar menggelikan di telinga Donna.
“Aaah!! Gue gak lagi butuh body guard tahu! Udah, kalo lo mau jalan duluan, silahkan. Kalau mau di belakang seperti itu, tunggu gue sampai kampus!” Donna kembali menyemprot Erik. Namun yang disemprot hanya tersenyum setengah tertawa.
“Lo lucu kalau lagi marah,” ujar Erik, entah itu lelucon atau pujian.
Ck! Donna berdecak sebal. Buru-buru ia memalingkan wajah dan kembali mempercepat langkahnya. Namun Erik masih mengikutinya.
“Ah, menyebalkan! Gue gak peduli deh!” Donna memilih tidak memperdulikan Erik dan berjalan dengan cepat.
000
Di dalam kelas, disaat Donna sedang mendengarkan penjelasan dosen, Donna merasakan dirinya diawasi. Dan tentu, Erik menatapnya dari kejauhan. Donna jelas tidak suka ditatap seperti itu. Akhirnya Donna memberikan pelototan ganas ke arah Erik dan itu sukses membuat Erik tertawa.
Plaaakk!!
Donna mengaduh kesakitan dan memegang kepalanya yang sakit. Dosen yang terkenal pemarah itu telah melempari kepalanya dengan penghapus white board dari jarak sejauh itu. dosen itu memberikan kode kepadanya untuk keluar dari ruangannya alias tidak memberikan kesempatan untuk tatap muka di kelasnya. Sukses, Donna bad mood dan mau mengancam Erik untuk bertanggung jawab.
"Sial! Gara-gara si Erik gue jadi dilempar penghapus sama dosen!" Donna menggerutu, memarahi Erik mengenai perkara tadi. Donna benar-benar sial hari ini. Padahal tidak seperti biasanya.
Dari kejauhan, terlihat Mieke berjalan santai entah menuju kemana. Donna menunggu kesempatan ini. Kesempatan yang akan menentukan kedepannya. Donna akan melancarkan rencananya. Akhirnya, iapun mengikuti Mieke tanpa sepengetahuan orangnya. Mieke ternyata pergi ke toilet. Ia sedang merias wajahnya dicermin besar di depan wastafel. Donna mengikutinya ke dalam dan berpura-pura membasuh tangannya.
"Oh, ternyata kamu, Don? Pantesan sejak tadi aku ngerasa ada yang kayak ngikuti aku. Kirain hantu. Tapi syukurlah, ternyata cuma kamu," ujar Mieke.
Ck! Apa katanya? Cuma 'aku' kata dia?! Benar-benar sombong cewek ini! Donna menggerutu kesal didalam hati. Donna melihat ponsel Mieke tergeletak disebelahnya. Donna memiliki siasat untuk mengerjai Mieke. Donna mengambil air di telapak tangannya, kemudian berpura-pura menciprat-cipratkan tangannya. Bukan hanya ke ponsel saja, cipratan air itu kena ke tangan dan pakaian Mieke.
"Aduh, hati-hati dong! Jangan sembarangan kayak gitu! Basah ponsel sama bajuku nih!" Mieke segera mengelap ponselnya yang basah, kemudian pakaiannya dengan tissue kering. Mieke mengecek ponselnya berkali-kali, nampaknya ponselnya mati total tanpa bisa dihidupkan lagi.
“Tuh, kan! Jadinya ponselku rusak! Kamu enggak hati-hati banget!” Mieke semakin kesal.
"Maaf, Kak Mieke. Aku benar-benar tidak sengaja. Sikapku sulit dibedain sama kebiasaan di rumah sih! Maafkan aku, ya?" ujar Donna santai, tanpa ada perasaan bersalah sama sekali.
"Iya, aku maafkan. Tapi lain kali tolong, hati-hati!" ujar Mieke.
"Ah, iya, ngomong-ngomong bukankah Kakak pergi lagi ke Turki saat itu? Bukankah Kakak meninggalkan Andre? Kenapa Kakak berubah pikiran dan kembali lagi kesini?" tanya Donna.
Mieke menghentikan aktifitasnya sejenak. Kemudian menatap Donna dari cermin. Mieke berpikir, apakah pertanyaan itu pantas di katakan? Itu bukan pertanyaan, tetapi menjurus ke menghinanya.
"Kamu bertanya hal itu dalam rangka apa?" Mieke balik bertanya.
"Maaf?" Donna tidak mengerti.
"Pertanyaanmu itu lebih tepatnya bukan pertanyaan, bukan? Tapi kata-katamu itu menyakitkan. Apakah perkataan itu pantas dikeluarkan oleh kamu kepada kakak tingkatnya?"
"Aku memang hanya bertanya. Aku bukan bermaksud untuk menyinggung perasaan Kakak loh. Tetapi ini kenyataannya, karena saat itu akulah yang menghibur Andre saat dia sedih karena Kakak meninggalkan dia tanpa kata-kata. Dia yang menceritakan hal itu semua kepadaku," ujar Donna.
"Jadi kamu tidak suka karena sikapku seperti itu kepada Andre?" tanya Mieke.
"Jujur aku akui, memang iya. Tetapi sebenarnya bukan itu alasannya. Aku masih bingung, kenapa Kakak dulu pergi meninggalkan Andre, bahkan menolak cintanya yang tulus. Tetapi kemudian disaat Andre sudah melupakan semuanya, Kakak malah kembali. Apa alasan dibalik semua itu?" tanya Donna.
Mieke berkacak pinggang dan menatap Donna dengan tatapan tidak suka.
"Masalah? Apa itu masalah buat kamu?"
"Mieke, kamu suka atau tidak sih sama Andre? Jangan membuat bingung seperti itu."
" Aku suka atau tidak sama Andre, yang jelas itu bukan urusan kamu. Kenapa kamu ikut campur urusan orang lain dan urusan kakak kamu sendiri? Katakan saja kalau kamu enggak suka aku. Beres, 'kan!?" Mieke meninggikan suaranya. Tidak tahan, Mieke hendak pergi dari sana, namun tangan Donna menahannya untuk pergi.
"Masalahnya adalah....kenyataan yang sesungguhnya mendapatkan bahwa aku dan Andre enggak ditakdirkan menjadi kakak-adik lagi," ujar Donna.
"Apa maksud kamu?" tanya Mieke tidak percaya.
"Mau percaya atau tidak, tetapi itulah kenyataannya. Aku dan Andre tidak ada hubungan darah sama sekali. Apa itu menjawab pertanyaan kamu?"
"Ka...kamu enggak bohong? Kalian...."
"Perlu bukti?"
Donna mengeluarkan sebuah map berisi surat adopsi yang sudah direkat kembali menjadi satu lembaran utuh.
Begitu Mieke membaca judul yang tertera di atas, SURAT ADOPSI atas nama Andre, Mieke membelalakkan matanya tidak percaya. Benar, tidak salah lagi. Ia seharusnya percaya setelah bukti itu terlihat jelas.
"Kamu juga...menyukai Andre?" tanya Mieke cemas.
Donna tersenyum kecut, "Terlihat jelas, ya? Baiklah, karena sudah sangat jelas, aku akan memperingatkan kamu. Jauhi Andre. Karena bagaimanapun, akulah yang sangat dekat dengan dia. Karena kami masih satu keluarga dan tinggal di satu atap. Tidak akan aku biarkan kamu terus mendekati Andre. Dan jika kamu terus mendekati Andre, aku tidak menjamin dirimu akan selamat, atau hidup dalam jangka waktu yang lama," Donna memperingatkan Mieke dengan sebuah ancaman keras, dan setelah itu Donnapun pergi meninggalkan Mieke yang masih terdiam disana.
"Donna...dan Andre... Bukan kakak beradik?"
000
Disiang yang sama, Sandi menemui Donna di kantin kampus. Sandi memikirkan besar kemungkinan Donna akan bertindak jauh dan dibatas kendali demi mendapatkan tujuan yang diinginkannya. Sandi tidak ingin ada salah seorang yang akan menjadi korban. Besar kemungkinan korban itu adalah Donna sendiri.
"Don, sebaiknya lo hentikan semua ini. Enggak akan ada yang berubah, gue yakin itu!" ujar Sandi.
"Apa yang enggak akan berubah? Apa yang bikin keyakinan lo itu begitu besar?" tanya Donna.
"Donna, tidak akan ada yang berubah. Andre, meski bukan kakak lo, tapi secara keluarga dia masih kakak lo. Enggak akan merubah segalanya. Dia enggak akan nganggep lo lebih dari pada adiknya sendiri," ujar Sandi.
"San, lo cuma khawatir sama gue. Tapi, tenanglah, gue bisa kok dapetin hati Andre. Gue masih punya banyak rencana," ujar Donna.
"Gue peringatin lo, setiap masalah akan ada satu orang yang akan menjadi korban," ujar Sandi.
"Korban itu adalah gue? Ya ampun!" Donna tidak menghiraukan nada cemas disetiap perkataan Sandi yang bersungguh-sungguh.
"Gue yakin gak bakalan kalah. Kalau lo khawatir gue bakalan jadi korban, lo bisa bantuin gue menghindari kemungkinan semua itu," ujar Donna.
"Donna, lo udah gak waras! Otak lo udah gak waras gara-gara termakan api cemburu dan cinta!" gertak Sandi.
"Kalaupun cinta yang bikin gue gila seperti ini, disaat kegagalan ditakdirkan, gue udah siap menerimanya. Tapi saat ini, lo bisa bantuin gue. Lo mau, 'kan, bantuin gue?" tanya Donna.
Sandi diam tanpa mengatakan apa-apa. Sandi seperti ditarik ke dalam masalah ini.
"Gue tahu lo suka sama Mieke," ujar Donna.
Sandi menatap Donna tidak percaya, "Lo....."
"Jangan tanya gue tahu dari mana dan sejak kapan. Setiap kali lo bertemu Mieke, tatapan dan sikap lo sangat jauh berbeda. Hangat dan menyimpan cinta yang besar. Tapi, karena Andre juga suka sama Mieke, lo bisa berbuat apa? Lo cuma bisa mengalah dan nyimpen baik-baik perasaan lo," ujar Donna.
Sandi terdiam lagi. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Makanya, lo bantuin gue. Lo enggak rugi dalam hal ini. Bahkan kalau beruntung, lo bisa mendapatkan Mieke menjadi milik lo," ujar Donna.
Sandi nampak berpikir serius. Ia berada di ambang kebimbangan yang luar biasa karena ini menyangkut perasaan dan persahabatannya.
"Enggak usah banyak berpikir. Kalau lo khawatir soal Andre, biar gue yang urus. Mieke, dia akan jadi milik lo. Jauhi dia dari Andre semampu lo dan gunakan cara untuk memisahkan mereka. Gue yang akan urus Andre," ujar Donna.
"Tapi....tapi...."
Donna menggeleng keras, tidak menerima bantahan atau alasan apapun. Sudah cukup baginya mendengarkan penjelasan dan omong kosong. Itu hanya akan menghambat rencananya.
"Semoga lo berhasil," ujar Donna menutup pembicaraan. Donna pergi meninggalkan Sandi yang memikirkan pembicaraan mereka barusan.
"Mendapatkan Mieke....bagaimanapun caranya?" gumam Sandi.
000
Andre berada di ruang klub seni rupa siang itu, ketika tiba-tiba Mieke menemuinya dengan raut wajah yang sedih dan penuh kecemasan. Andre menatapnya lama dan penuh tanda tanya. Apa gerangan yang terjadi dengan Mieke?
“Mieke, kamu kenapa? Ada apa dengan kamu? Kamu habis menangis?” tanya Andre. Semua pertanyaan itu sama sekali tak dijawab oleh Mieke. Mieke masih terus menatapnya penuh kesedihan dan itu membuat Andre tidak tahan.
Andre mengajak Mieke untuk duduk di sebuah kursi sofa kusam yang berhadapan langsung dengan tirai jendela yang tertutup. Andre menatap Mieke hati-hati, karena ia tahu Mieke pasti sedang sedih hari ini, tak tahu alasannya kenapa.
“Jelaskan kepadaku, apa yang bikin kamu sedih seperti ini,” ujar Andre pelan.
Air mata Mieke semakin berlinang dan akhirnya tumpah, membentuk aliran kecil di kedua belah pipinya.
“Aku sedih. Aku sedih karena kamu,” ujar Mieke.
“Karena aku? Apa aku telah membuat satu kesalahan yang membuat kamu sedih?” tanya Andre.
“Tidak. Tapi aku sangat sedih karena kamu. Karena kamu sangat mencintaiku dengan tulus, sedangkan aku hanya menganggapmu sebagai teman biasa saja. Itu membuatku sakit hati dan malu kepadamu. Aku menyesal telah menyakiti perasaan kamu,” ujar Mieke.
Andre tertegun sebentar, kemudian tersenyup tipis dan menyeka sisa air mata Mieke penuh kelembutan.
“Meskipun perasaan kita berbeda, tetapi perasaan suka atau cinta tidak bisa dipaksakan. Aku akan melupakan perasaanku kepada kamu jika kamu menginginkannya dan kita akan tetap bersama sebagai seorang sahabat, kakak beradik atau adik dan kakak tingkatnya. Aku rasa itu sudah cukup untukku.”
Mieke memeluk Andre dan menangis dipelukannya. Andre sejenak ragu untuk mendekap wanita ini, karena sekarang ia dan Mieke berada di ruang umum yang sewaktu-waktu akan ada orang yang masuk ke ruangan ini. Namun sekarang keadaan sangat lengang, hanya mereka berdua saja. Andre hendak melingkarkan tangannya di pinggang Mieke, namun ia mencegah dirinya. Ia hanya mengelus pelan punggungnya.
“Kamu enggak salah apapun sama aku. Jangan menangis,” ujar Andre.
“Sebenarnya aku menangis bukan hanya menyesali perbuatanku dulu yang meninggalkanmu tanpa sebab, aku juga sedih karena kamu menderita ketika dirimu tahu kamu tidak memiliki keluarga yang akan menjadi tempat naungan terindah sepanjang hidupmu. Kamu begitu mirip denganku, aku juga tidak memiliki orang tua kandung. Aku tinggal bersama orang yang aku benci dan selalu mengatur hidupku. Tetapi aku tidak bisa mengatakan semuanya kepadamu.”
000
Seperti jadwal rutin setiap minggunya, Mieke menemui Sandi untuk mengecek tekanan darahnya. Mieke menunggu di ruang piket khusus dokter magang, karena Sandi saat ini sedang melakukan uji praktek bedah bersama profesornya. Mieke sangat memaklumi kesibukan Sandi sebagai calon seorang dokter.
Ponselnya berdering bersamaan dengan datangnya Sandi ke ruangan itu. Mieke mengangguk sebentar dan buru-buru mengangkat panggilan itu. Panggilan dari Andre.
“Nanti malam jadi, ‘kan makan malam bersama denganku?” tanya Andre dari ujung sana.
“Tentu saja! Pokoknya nanti malam aku enggak bakalan telat semenitpun. Nanti malam aku yang bayar, deh!” seru Mieke, nada suaranya terdengar riang, dan Sandi berpendapat bahwa itu panggilan dari Andre. Sandi tidak bisa berbuat apa-apa selain merasakan hatinya yang sesak.
“Hahaha! Ada-ada saja. Masak cewek bayar cowok? Aku baru saja dapat bonus dari klub jurnalistik. Nanti malam aku yang bayar,” ujar Andre.
“Iya, terserah kamu saja. Aku tunggu direstoran yang biasa kita kunjungi. Sampai ketemu nanti malam. Bye!” Mieke mengakhiri panggilannya. Sadar, Sandi masih berada disana dan Mieke merasa tidak enak hati karena mengabaikan keberadaannya.
“Maaf, sudah menunggu lama, ya?” Mieke mencairkan suasana canggung dan hening.
“Tidak sama sekali. Itu panggilan dari Andre?” Sandi berbasa-basi.
“Iya, Andre mengajakku makan malam berdua nanti malam di restoran yang biasa kami kunjungi. Sekarang malam minggu, loh! Jangan magang melulu, nyari pacar atau ajak teman-teman buat bersenang-senang!” ujar Mieke.
“Iya, nanti aku usahakan deh!” Sandi dan Mieke terkekeh. Sandi sudah mengecek tekanan darah Mieke dan hasilnya cukup mengejutkan bagi Sandi.
“Tekanan darah kakak 132. Itu lumayan tinggi dari tekanan darah normal. Kakak merasa pusing atau demam akhir-akhir ini?” tanya Sandi.
“Kalau pusing atau demam kayaknya enggak. Tapi akhir-akhir ini aku cukup emosional. Kadang berubah-ubah. Apa itu berbahaya?” tanya Mieke.
“Mungkin karena tekanan yang berat dan banyak pikiran sehingga mempengaruhi tekanan darah kakak menjadi naik. Usahakan kakak harus banyak minum air putih, istirahat yang cukup dan bersenang-senang agar pikiran menjadi segar,” ujar Sandi.
“Itu mudah. Lain kali aku akan atur kegiatanku dan mengatur jadwal liburan. Terima kasih untuk hari ini, ya?” Mieke hendak pergi dan sudah membawa tasnya, tetapi Sandi menahannya sebentar. Ada yang ingin dikatakan oleh Sandi.
“Ada yang ingin aku katakan,” ujar Sandi.
“Apa itu? Katakan saja, jangan tegang seperti itu,” peringat Mieke.
“Sebenarnya ada satu yang ingin aku katakan kepada kakak, tetapi, bisa gak kakak mengatur jadwal makan malam bersamaku malam ini? Ya, seperti yang kakak tahu, kakak akan makan malam bersama Andre. Tapi, bisakah kakak meluangkan waktu bersamaku sebentar sebelum pergi bersama Andre?” tanya Sandi.
“Memangnya ada apa, sih? Penting banget, ya? Kenapa enggak sekarang saja?”
“Karena sekarang aku akan kembali bertugas. Jadi akan sibuk. Apa kakak bisa meluangkan waktu sebentar jam setengah 7 petang nanti?” tanya Sandi.
“Hmmmm...baiklah. Aku rasa itu waktu yang tepat. Karena aku akan makan malam bersama Andre tepat jam setengah 8 malam. Oke, selamat bertemu nanti malam,” ujar Mieke menyetujui, kemudian pergi.
Sandi menghela nafas lega, namun belum selega itu. Sandi segera menghubungi Donna karena telah berhasil dengan rencana mereka.
“Andre malam ini akan makan malam bersama Mieke jam setengah 8. Gue dan Mieke sudah dijadwalkan akan bertemu jam setengah 7. Gue akan coba hentikan Mieke dan lo juga harus melakukan hal yang sama,” ujar Sandi.
“Beres! Serahkan saja sama gue!” ujar Donna penuh keyakinan.
Panggilan berakhir. Sandi mendadak ragu. Apakah Donna akan berhasil dengan rencananya kali ini untuk memisahkan Andre dan Mieke? Sandi tidak berharap banyak sama sekali. Dan Sandi sudah mempersiapkan mental untuk menerima kenyataan apapun yang akan terjadi.
“Semoga lo enggak gagal. Semoga...”
000
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..