17 Desember 2001
“San, gue sakit di sebelah sini. Di bagian perut gue sebelah kanan,” keluh Nana sambil memegangi perut bagian kanannya. Saat ini dia berada di kantin rumah sakit untuk bertemu dengan Sandi dan mengkonsultasikan masalahnya.
“Sejak kapan perut lo sakit?” tanya Sandi.
“Seharusnya lo gak minta nemui gue disini. Seharusnya lo datang langsung ke dokter supaya diperiksa,” ujar Sandi.
“Kan lo juga dokter,” ujar Nana.
“Iya, sih. Tapi gak disini juga kali ketemuannya. Dari pada disini, mendingan ke tempat pemeriksaan aja yuk?” ajak Sandi.
“Oh, oke”.
Sandi dan Nana pergi ke ruang pemeriksaan. Nana berbaring di tempat tidur dan Sandi mulai memeriksa Nana. Nana berkali-kali merintih kesakitan ketika Sandi menekan pelan bagian perut kanannya.
“Sejak kapan lo ngerasain sakit?” Sandi menanyakan pertanyaan serupa saat tadi di kantin.
“Sejak tadi malam. Sekitar jam satu atau jam dua, gue ngerasain sakit di bagian sini sampe-sampe gue gak bisa tidur nyenyak. Sakitnya kayak di tusuk-tusuk pake pisau,” ujar Nana lirih menahan sakit.
“Lo punya penyakit magh apa enggak?” tanya Sandi lagi.
“Gue gak punya riwayat penyakit magh. Kalau darah tinggi sih iya. Gue sakit apa sebenernya San?” Nana cemas, karena ia takut sakitnya ini merupakan penyakit yang parah. Selama ini Nana selalu makan teratur dan selalu menjaga kesehatannya.
“Lo udah kasih tahu orang tua lo belum?” Sandi kembali bertanya.
“Ah, itu mah urusan belakangan. Yang penting sekarang apa penyakit gue?”
“Gue belom bisa mastiin apa penyakit akibat rasa sakit lo ini. Gini aja, lo konsultasi saja sama dokter yang sudah berpengalaman,” ujar Sandi memberi saran.
Nana memegang tangan Sandi, nampaknya ia sangat ketakutan.
“San, cuma lo temen gue dari dulu. Lo harus tahu tentang ini. Tapi jaga rahasia, ya? Selama ini gue gak pernah sekalipun nemui dokter. Jujur, gue dari kecil sangat takut sama dokter. Cuma lo yang bisa gue andelin, San. Gue mohon banget,” pinta Nana.
Sandi tertawa kecil, “Berarti lo juga takut sama gue dong?”
“E..enggak, gue gak takut sama lo. Maksud gue bukan seperti itu. Lo kan baru calon dokter, belum mengerti semua tentang dunia dokter, yang gue maksud adalah dokter beneran,” ralat Nana, karena ia baru sadar sudah menyinggung perasaan Sandi.
“Gue balikin. Kan gue baru dokter baru yang masih belum mengerti dunia kedoteran sepenuhnya, dan gue pasti belum bisa mendiagnosa jenis-jenis penyakit. Sedangkan lo seharusnya datang ke dokter beneran biar tahu apa penyakit lo dan apa pengobatannya. Kenapa lo mau nemuin gue kalau lo pengen tahu apa penyakit lo?” Sandi membalikkan perkataan Nana tadi. Meski dengan nada bercanda, tapi ia bisa melihat ekspresi Nana yang seolah-olah menunjukkan ‘bener juga, ya?’.
“Gini aja, lo beraniin diri lo nemui dokter. Kalo lo masih takut, lo bisa ajak Donna atau temen lo yang lain. Kalau tidak ingin semakin sakit, lo harus secepet mungkin memeriksakan diri lo,” saran Sandi.
Nana masih terlihat ragu dan belum memantapkan hatinya. Sepertinya saat kecil Nana selalu mendengar tahayul-tahayul dan cerita-cerita yang aneh tentang dunia kedokteran sehingga membuatnya ketakutan seperti ini. Sandi berpikir demikian.
“Gue mau nanya sama lo. Kenapa lo sangat takut sama dokter?” tanya Sandi.
“Oh, itu. Katanya dokter itu kalau ada pasiennya yang meninggal berarti dokter itu gagal alias dokter yang tidak becus,” jawab Nana.
Sudah aku duga, batin Sandi.
“Dulu kakek gue meninggal setelah mengalami operasi akibat gagal ginjal. Padahal gue sayang banget sama kakek. Makanya, gue berpikir kalo profesi dokter itu paling jahat di dunia karena enggak bisa nyembuhin orang yang sakit,” ujar Nana.
“Itu pasti menurut lo, ‘kan? Dokter itu bukan Tuhan, bukan juga malaikat pencabut nyawa perintah Tuhan, dokter juga seorang manusia yang punya hati, akal, dan emosi. Saat ia merasakan sakit, maka ia akan menjerit kesakitan, saat melihat seorang anak jalanan yang mengiba meminta simpati, ia akan merasakan tersentuh, saat emosi ia akan marah, dan saat melihat orang lain meninggal di tangannya, maka ia juga akan merasa sedih, ketakutan, bersalah dan penyesalan. Semua itu beraduk bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Garis kematian sudah ada yang mengatur dan itu sudah menjadi jatah setiap manusia. Tidak akan ada yang bisa menawar kapan seseorang akan mati. Begitu pula dengan kakek lo. Kakek lo mungkin sudah ditakdirkan untuk tiada pada saat itu juga. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegah kematian, termasuk dokter juga. Dia sudah berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Sori, Na, bukan maksud gue untuk menyinggung perasaan lo karena cerita wafatnya kakek lo. Gue cuma memberikan pendapat gue,” ujar Sandi pelan.
Nana terlihat tertegun mendengar perkataan Sandi. Apa ia berpikir apa maksud di balik perkataan gue? Apa ia merasa sudah keliru karena menganggap pekerjaan dokter itu menyeramkan?, pikir Sandi.
“Oh, ternyata kamu disini, San?” tiba-tiba Mieke muncul dan langsung menghampiri Sandi.
“Oh, kak Mieke. Kakak mau periksa kesehatan kakak lagi, ya?” tanya Sandi ramah.
“Iya, aku telat sehari dari jadwal biasanya. Eh, ada Nana juga rupanya. Kalian saling kenal?” tunjuk Mieke pada Nana dengan ramah.
“Halo, kak. Senang bertemu lagi dengan kakak. Iya, kita temenan dari dulu, sejak SMP,” ujar Nana.
“Kalian juga rupanya sudah saling kenal. Kapan kalian kenal?” tanya Sandi saat sedang memeriksa tensi Mieke dengan alat yang melingkar di tangan Mieke.
“Kami pernah bekerja sama di dalam sebuah acara kampus. Kebetulan dulu kami partner. Makanya saling kenal,” ujar Mieke.
“Oh, begitu”.
“San, kak Mieke, aku permisi untuk pulang. Oh, Sandi, mengenai pendapat lo tentang dunia dokter, gue udah paham. Gue udah keliru tentang pekerjaan dokter. Maafin gue, ya? Maklumin aja, dulu gue masih kecil, sih. Gue bakalan cek ke dokter beneran. Hehe. Udah, ya, gue balik. Bye!” pamit Nana.
“Oh, oke,” balas Sandi seraya tersenyum.
“Emang Nana kenapa sampai nemuin kamu?” tanya Mieke setelah Nana pergi.
“Perutnya sakit sejak tadi malam katanya. Dia nemuin aku buat konsultasi,” jawab Sandi.
“Tadi apa katanya? Keliru tentang dunia dokter? Maksudnya apa?”
“Oh....itu... Tidak, bukan apa-apa. Oh, iya, tekanan darah kakak minggu ini 122. Agak turun dari minggu lalu. Kakak sudah tidak mengalami banyak pikiran dan semacamnya?” tanya Sandi mengalihkan pembicaraan.
“Minggu ini aku udah agak santai. Gak kayak minggu lalu banyak tugas dan sebagainya. Oh, iya, aku mau ngomong sama kamu. Ini penting, San,” pinta Mieke.
“Iya, katakan aja. Aku akan denger, kok,” ujar Sandi meski ia sedang membereskan peralatan dirinya.
“Tahun baru ini aku tidak akan berada di Indonesia lagi. Aku akan kembali ke Turki,” ujar Mieke dengan ekspresi yang sulit di deteksi. Sandi yang mendengarnya langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Mieke tidak percaya.
000
Donna menemui Erik di kost-an barunya. Kost-an Erik berada tak jauh dari kampus. Donna ingin menyelesaikan masalah antara Erik dan Joe tentang kejadian saat itu. Sudah hampir seminggu Erik menjauhi Joe, dan itu membuat Donna tidak tahan. Donna berpikir, Erik tidak akan marah selama ini. Dan sekalinya marah besar sama orang lain, paling hanya sebentar marahnya. Setelah itu Erik kembali bersikap seperti biasa. Donna sudah tahu sifat Erik sejak lama, maka dari itu, setelah tahu kalau hampir seminggu ini Erik dingin kepada Joe, ia tidak akan tinggal diam.
“Don, gue udah tahu apa yang pengen lo katakan sama gue,” Erik membuka pembicaraannya.
“Rik, gak bisakah lo baikan lagi sama Joe?” tanya Donna sepelan mungkin. Donna mencoba bicara setenang mungkin.
“Kalian udah temenan sangat lama. Apa karena kejadian gue waktu itu membuat lo dingin sama Joe? Itu bukan salah Joe, Rik. Semua itu hanya kecelakaan. Oke, gue akui itu karena kesalahan gue. Gue yang bikin kalian jadi seperti ini. Nah, sekarang gue minta kalian buat baikan lagi. Kasihan si Joe sendirian di sana,” ujar Donna.
“...” Erik masih membungkam. Nampaknya ia malas jika harus berbicara tentang hal ini.
“Lo inget gak, saat kita ngerayain ulang tahun Joe? Kita sama-sama bikin rencana buat ngerjain dia, berpura-pura bersikap dingin sama dia. Dan tepat jam dua belas malam, kita sama-sama ngejutin dia. Tapi dia kagak terkejut sama sekali karena ia udah tahu duluan dan mengatakan, ‘Itu tradisi ultah paling kuno yang pernah gue dapetin’. Ternyata dia berpura-pura enggak tahu tradisi ultah rencana kita. Siapa yang ngusulin itu? Elo, Rik. Elo yang ngerencanain itu. Lo bahkan nulis catetan di hadiah dia bahwa lo beruntung punya sahabat kayak Joe. Masa lo lupa? Ayolah, Rik. Maafin ya? Joe selama ini selalu ngalah sama lo dalam hal apapun,” bujuk Donna.
Perkataan terakhir Donna membuat Erik terlempar ke kejadian beberapa hari silam saat bertengkar dengan Joe.
[“Gue juga tanya sama lo. Lo juga suka sama Donna, ‘kan? Ah, tidak, lo suka sama Zaskia, ‘kan? Kenapa lo pengen tahu perasaan orang lain? “
“Karena dari sikap lo ke gue karena masalah ini, itu menunjukan bahwa lo menaruh perasaan sama salah satu dari sosok itu! Benar, ‘kan? Gue udah tahu sejak dulu! Kalo lo pengen tahu jawaban dari gue, gue akan jawab. Memang benar, gue juga suka sama Donna! Tapi gue lebih suka sama Zaskia! Gue bukan orang seperti lo, pengecut, tidak berani mengungkapkan perasaan!”
Erik mengepal tangan semakin kuat. Emosinya kini sudah berada di ubun-ubun. Joe berdiri dan mendekati Erik.
“Kita sama-sama suka pada orang yang sama, tapi pada sosok yang berbeda. Itu artinya kita bersaing? Kalau lo gak pengen maafin gue gara-gara masalah ini, oke gue gak apa-apa. Gue selama ini selalu mengalah sama lo, tapi, untuk hal perasaan kita masing-masing, gue rasa gue gak mau kalah dari lo. Lo yang mulai persaingan ini, bukan gue. Gue gak akan kalah selangkah dari lo,” ujar Joe bernada mengancam.]
Erik menggebrak meja dengan keras. Donna benar-benar terkejut dengan sikap Erik ini. Ia seperti kehilangan sosok Erik yang dulu terkenal humoris dan kekanak-kanakkan. Kali ini Erik terlihat begitu serius.
“Cukup, Don! Gue gak mau denger soal itu lagi!! Gue masih marah sama Joe, tapi bukan itu alasannya. Gue punya alasan yang lain! Tapi lo gak berhak tahu tentang masalah gue sama Joe!” bentak Erik.
Donna menjambak rambutnya sebagai pelampiasan rasa frustasi dan kesal. Erik benar-benar sudah keterlaluan. Harus dengan cara apa lagi supaya membuat hati Erik luluh?
“Oke, gue emang gak peduli alasan lo. Tapi, inget Rik. Inget setiap kali dia berkorban waktu demi lo. Inget kebaikan dia saat nolongin lo kalau ada kesusahan. Meskipun dia menjengkelkan orangnya dan lelet, tapi dia baik sama setiap orang, termasuk lo!” ujar Donna.
Donna menyelendangi tasnya dan berdiri hendak pamit untuk pergi.
“Gue pulang sekarang. Lo tenangin hati lo, dan kalau hati lo udah dingin, hubungi gue kapanpun. Kalo lo mau konsultasi atau ngomong sesuatu sama gue, jangan segan buat nelpon gue. Oke? Gue balik sekarang,” pamit Donna.
Erik menatap kepergian Donna yang semakin jauh ditelan jarak. Saat Donna sudah tak terlihat, Erik merasakan kepalanya benar-benar ingin pecah, frustasi.
“Lo emang gak akan pernah peduli sama masalah yang sedang gue hadapi, Don! Lo gak akan pernah ngerti! Saat gue udah siap, gue akan ngungkapin perasaan gue yang sebenernya sama lo. Gue akan nyelesain masalah ini dengan cara gue. Gue janji, Don!”
000
“San, aku mohon. Jangan kasih tahu siapa-siapa kepergian aku ini. Termasuk juga Andre. Dia orang yang paling gak boleh tahu tentang hal ini. Mengerti?” pinta Mieke.
Sejujurnya Sandi tidak mengerti di balik alasan yang Mieke berikan tentang kepergiannya. Tapi dia mana boleh mencampuri urusan orang lain? Sandi berjanji akan menutup mulutnya.
“Aku mengerti,” ujar Sandi.
000
Listen : Yura Yunita ft Glenn Fredly - Cinta dan Rahasia
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..