*14 Desember 2001*
Sandi membawa sebuah map di tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang ponsel yang cukup besar dan berat untuk ukuran ponsel keluaran tahun milenium itu. Ia hendak menghubungi Andre tentang hasil pemeriksaan Donna.
“Halo, Dre? Ini gue, Sandi. Gue udah nerima hasil pemeriksaan Donna. Lo mau ambil ini atau gue yang anterin ini ke rumah lo?” tanya Sandi.
“Gue ke rumah sakit sekarang, San. Kebetulan ada yang mau gue ceritain sama lo,” balas Andre serius.
“Oh, baiklah kalau begitu. Gue tunggu di sini. Gue udah tahu apa yang mau lo omongin kok. Oke, gue tunggu. Bye,” tutup Sandi.
000
“Kak, itu tentang hasil pemeriksaan Donna, ya?” tanya Nana ketika ia sedang mengganti perban di tangan Andre yang terluka.
“Iya, sekalian mau curhat sama Sandi. Cuma dia satu-satunya yang bisa gue percaya,” jawab Andre seraya tersenyum.
Nana membalas senyum Andre dan menatap Andre penuh kehangatan.
“Emangnya aku gak bisa dipercaya, ya? Aku tersinggung,” ujar Nana bercanda.
Andre tertawa, “Enggak, enggak gitu juga. Tapi, masa cowok curhat sama cewek, sih? Sebaliknya, cewek yang seharusnya curhat sama cowok, biar dapat saran atau semacamnya,” ujar Andre.
“Boleh ‘kan, kalau aku sekali-kali curhat sama Kak Andre?” tanya Nana.
“Oh, tentu. Kamu bisa curahin perasaan kamu, bahkan setiap haripun, aku akan dengar,” ujar Andre tulus. Nana tersenyum mendengar jawaban tulus itu.
“Kak, Donna kemana, ya? Dari tadi pagi aku belum lihat dia,” tanya Nana setelah selesai mengganti perban di tangan Andre.
“Dia pergi sama Ibu ke mall. Biasa lah, perempuan hobinya apa kalo pergi ke mall,” Andre tertawa.
“Dih! Si Donna kagak kasih tahu gue! Tadinya gue mau nitip beliin pembalut!” gumam Nana kesal. Tanpa Nana ketahui, Andre diam-diam menguping ucapannya sehingga Andre menahan tawanya. Andre berpura-pura sedang membereskan barang ke dalam tasnya.
Saat ini mereka hanya berdua di rumah. Hubungan mereka sudah semakin akrab satu sama lain. Bahkan baik Andre atau Nana, mereka sering bertukar hadiah kecil. Diam-diam pula Nana menaruh perasaan kepada Andre.
Bagaimana perlakuan hangat Andre kepadanya, selalu teringat di benaknya. Setiap kali teringat itu, jantung Nana selalu berdetak cepat. Bahkan untuk saat ini. Ia bisa sedekat ini dengan Andre. Jantungnya serasa ingin copot, dan nafasnya serasa tercekat.
000
“Kira-kira Donna enggak akan ganti-ganti kepribadian gak, ya? Aku khawatir banget kalau setiap kali dia berubah-ubah. Itu bener-bener bahaya,” tanya Andre kepada Sandi siang itu di kantin rumah sakit.
“Menurut hasil pemeriksaannya, meski penyakit amnesia yang di derita Donna tergolong langka, tetapi keadaan otaknya sekarang semakin baik. Maka besar kemungkinan, Donna tidak akan sering berubah-ubah. Itupun jika Donna tidak mengalami bersin-bersin,” ujar Sandi.
“Ada metode lain buat nyembuhin dia gak? Entah itu dengan jalan operasi atau pengobatan lainnya, biar dia sembuh total,”
“Karena masalah ini berkaitan dengan trauma akibat benturan di kepala, tidak ada jalan lain lagi selain mengalami kejadian yang serupa. Donna akan kembali seperti dulu setelah mengalami kecelakaan,” ujar Sandi seraya tertawa.
“Maksud lo Donna harus celaka dulu biar sembuh? Dasar! Dari pada celaka, mending kayak sekarang aja!” Andre ngambek dan hampir menjitak kepala Sandi.
“Eh, ngomong-ngomong, apa yang pengen kamu ceritain tentang masalah lo?” Sandi teringat tujuan Andre yang lain menemuinya.
Andre mengatur nafasnya. Dilihat dari ekspresinya, Sandi bisa melihat kalau masalah ini bukan masalah sepele.
“Gue ditolak sama Mieke,” ujar Andre.
“Ditolak? Setelah sekian lama lo mempersiapkan diri, lo ditolak?” Sandi tidak percaya semua ini. Sandi yang selalu memperhatikan Andre setiap kali ia ingin melakukan sesuatu dengan cintanya. Bahkan Sandi selalu memberi pengarahan dan saran.
“Dia enggak ngasih alasan lain kenapa dia nolak gue. Tapi, alasan yang paling utamanya adalah karena dia nyaman sama gue sebatas teman saja,” ujar Andre.
“Gimana perasaan lo saat ini? Apa yang akan lo lakuin selanjutnya?” tanya Sandi.
“Perasaan gue kemarin lusa jelas patah hati. Tapi sekarang perasaan gue udah biasa-biasa aja. Untuk selanjutnya, karena percuma saja mengejar seseorang yang tidak mencintai gue, maka gue putuskan gak akan ngasih perhatian lebih lagi ke dia, tapi cuma sebetas teman saja. Dia yang mau, ‘kan? Gue sih gak apa-apa nurutin keinginannya,” ujar Andre.
“Hahahaha!! Siapa nih yang ditolak? Elo ya? Hahahaha!!” tiba-tiba Donna muncul tanpa ada jejak kemunculannya. Sontak membuat Andre dan Sandi terkejut setengah mati.
“Enggak semua cowok keren bakalan diterima sama cewek. Itu bener banget! Hahaha!!!” Donna semakin keras tertawanya. Ia terus meledek Andre sehingga Andre menahan kemarahannya.
“Kapan lo muncul, Don?” tanya Sandi setelah Donna menghentikan tawa enaknya dan duduk di kursi yang kosong disana.
“Bukannya lo pergi bareng Ibu ke mall?” tanya Andre dengan nada marah.
“Ibu cuma beli bahan-bahan masakan doang. Ngapain musti lama-lama disana?!”
“Bener-bener lo, ya, bener-bener mirip setan. Datang gak di panggil,” ledek Sandi seraya tertawa.
“Emangnya gue jelangkung!” Donna tidak terima dan memukul tangan Sandi.
“Eh, gimana keadaan tangan lo, Dre?” tanya Donna.
“Ini? Ini ‘kan gara-gara lo! Kalo lo kagak berubah-ubah kayak bunglon, gak bakalan gini jadinya!” bentak Andre.
“Jangan salahin gue, dong! Gue ‘kan Donna, bukan salah satu dari mereka! Emang iya, sih, kepribadian ganda gue ini ngeganggu banget. San, lo kan dokter, gimana nih cara nyembuhin masalah gue ini?” tanya Donna.
“Asalkan lo kagak bersin, lo gak akan berubah-ubah,” ujar Sandi.
“Gitu, ya? Hmmm... selain itu, gue kasihan juga sama Joe dan Erik yang gak akur setelah kejadian lusa itu. Mereka jadi canggung dan saling menyendiri. Erik, dia kayaknya masih marah sama Joe,” ujar Donna.
000
“Rik, gue mau ngomong sama lo. Lo harus dengerin gue kali ini,” pinta Joe kepada Erik yang beberapa hari ini terlihat dingin kepadanya. Bahkan untuk di ajak bicarapun tidak mau, dan Erik lebih sering menyendiri di kamar atau keluar dari rumah hingga larut malam. Joe ingin meluruskan masalah itu dengan berbaikan lagi dengan Erik. Erik masih terlihat dingin kepadanya, bahkan tidak menatapnya sama sekali.
“Gue rasa gak ada yang perlu diomongin,” ujar Erik dingin.
“Gue tahu lo masih marah sama gue atas kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi, please Rik, gue minta maaf sama lo. Gue tertekan selama ini gara-gara masalah ini, dan ditambah elo yang gini sama gue. Gue gak mau diperlakukan dingin sama sahabat gue. Rik, gue mohon, maafin gue,” Joe memohon dengan bersungguh-sungguh.
Erik masih berpura-pura tidak mendengarkan dirinya. Ia sibuk memasang sepatunya. Erik nampaknya tidak peduli kepada Joe yang sudah berkali-kali meminta maaf. Kemarahannya masih belum padam. Bahkan untuk padam, perlu dilakukan berbagai upaya yang besar.
“Gue pergi dulu. Gue mau nyari kost baru,” ujar Erik.
“Rik, lo mau pindah? Rik, lo jangan pindah hanya karena masalah ini! Gue udah minta maaf sama lo berkali-kali. Apa lo bakalan terus seperti ini sama gue? Lo gak akan maafin gue?”
Erik kini menatapnya, masih dingin memang. Tapi Joe bersyukur, setidaknya ia ingin mendengarkan ucapannya. Nampak Erik tersenyum kecut dan kemudian memukul wajah Joe hingga Joe terjatuh ke atas meja. Joe memegang wajahnya. Ada bekas pukulan Erik disana, rasa sakit akibat luka lebam dan darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Lo bikin gue muak! Mau dapetin minta maaf dari gue? Hah! Jangan harap! Gara-gara lo, Donna dalam bahaya! Gue gak akan pernah maafin lo!” ujar Erik. Erik mengambil tasnya dan berjalan ke luar rumah.
“Apa lo suka sama Donna?” tanya Joe tiba-tiba, dan Erik berhenti melangkahkan kakinya tepat di bibir pintu.
“Lo suka ‘kan sama Donna?” tanya Joe sekali lagi, kali ini bernada interogasi.
Erik membuka dan mengatup bibirnya berkali-kali. Ia ragu untuk menjawab. Tidak, ia rasa ia terjebak oleh pertanyaan Joe barusan.
“Siapa yang lo suka? Donna? Atau Juleha? Gue yakin, lo suka salah seorang dari kedua sosok itu. Jawab gue,” ujar Joe semakin menantang Erik.
Erik mengepal kedua tangannya. Erik memutar tubuhnya, menghadap Joe dengan tatapan tajam.
“Gue juga tanya sama lo. Lo juga suka sama Donna, ‘kan? Ah, tidak, lo suka sama Zaskia, ‘kan? Kenapa lo pengen tahu perasaan orang lain? “
“Karena dari sikap lo ke gue karena masalah ini, itu menunjukan bahwa lo menaruh perasaan sama salah satu dari sosok itu! Benar, ‘kan? Gue udah tahu sejak dulu! Kalo lo pengen tahu jawaban dari gue, gue akan jawab. Memang benar, gue juga suka sama Donna! Tapi gue lebih suka sama Zaskia! Gue bukan orang seperti lo, pengecut, tidak berani mengungkapkan perasaan!”
Erik mengepal tangan semakin kuat. Emosinya kini sudah berada di ubun-ubun. Joe berdiri dan mendekati Erik.
“Kita sama-sama suka pada orang yang sama, tapi pada sosok yang berbeda. Itu artinya kita bersaing? Kalau lo gak pengen maafin gue gara-gara masalah ini, oke gue gak apa-apa. Gue selama ini selalu mengalah sama lo, tapi, untuk hal perasaan kita masing-masing, gue rasa gue gak mau kalah dari lo. Lo yang mulai persaingan ini, bukan gue. Gue gak akan kalah selangkah dari lo,” ujar Joe bernada mengancam.
Erik mendengus. Erik benar-benar pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ucapan Joe sudah merasuk di kepala Erik dan membuat emosinya semakin bertambah.
“Apakah persahabatan ini berakhir begitu saja?” gumam Joe, selepas kepergian Erik. Ia masih disana, duduk dengan pandangan yang sulit diartikan. Jarinya menyeka darah di sudut bibirnya.
000
1 Januari 2018
Dokter yang menangani Donna keluar dari ruangan dan menghampiri Ibu Donna dan yang lainnya.
“Dokter, bagaimana keadaan anakku, Dok?” tanya Ibu.
“Pasien tidak mengalami luka yang fatal. Hanya saja, karena benturan itu, aku rasa ada kemungkinan Donna kembali seperti 7 tahun yang lalu,” ujar Dokter.
“Apa?!!” semua orang terkejut mendengarnya.
“Dokter, maksud Dokter, adik iparku akan kembali seperti dulu? Mempunyai empat karakter yang berbeda?” tanya Mieke.
“Lebih dari itu. Bisa saja lima hingga enam karakter,” jawab Dokter dengan yakin.
“Apa??!! Aku tidak bisa menerima ini! Dia akan bertambah karakter maksudnya? Berarti akan ada dua pria lagi yang akan muncul dan mengacaukan semua ini!” celetuk Joe, sehingga mendapatkan getokan keras di kepalanya dari Nana. Semua orang memelototinya. Joe hanya menunduk seperti anak anjing yang habis di marahi majikannya.
“Sayang!!” teriak Donna dari dalam. Sepertinya ia sudah sadar.
“Ah, pasien sudah sadar. Sepertinya ia ingin bertemu dengan suaminya. Siapa diantara ke empat pria ini yang merupakan suaminya?” tanya Dokter seraya menatap ke empat pria secara bergantian.
“Akulah suaminya,” ujarnya seraya mengacungkan tangan. Di punggung tangannya ada sebuah bekas luka yang menggaris panjang.
“Masa cuma suaminya doang? Kami semua juga orang terdekat Donna! Kami juga mau ikut ke dalam!” protes Joe. Nana mencubit pinggang Joe karena sudah melakukan hal yang memalukan. Joe memandang Nana kesal karena sudah mencubitnya, ia tidak tahu dimana letak kesalahannya.
“Maaf, tapi pasien saat ini hanya bisa dijenguk oleh satu orang saja. Kalau kalian ingin menjenguk Donna, kalian bisa lakukan itu esok hari. Maaf, saya permisi dulu,” ujar Dokter.
Suami Donna masuk ke ruangan dan menutup pintu. Ibu beserta yang lainnya hanya bisa pasrah dan menunggu di depan ruangan. Kalaupun keadaan Donna sudah dikatakan baik-baik saja, Ibu akhirnya bisa bernafas lega.
“Syukurlah jika Donna sudah baik-baik saja,” ujar Ibu.
“Tetapi kami harus tetap memantau keadaannya. Karena jika tidak, maka keadaan ini akan kembali seperti dulu lagi,” terang Sandi.
“Lo udah bekerja dengan baik, San. Makasih, ya?” ujar Joe tulus.
“Enggak apa-apa kali. Ini ‘kan tugas gue,” ujar Sandi.
“Sayang, kamu ‘kan sudah bekerja keras, gimana kalau kita pergi ke luar untuk menghirup udara segar?” ajak salah seorang wanita kepada Sandi. Tangannya melingkar di tangan Sandi dengan manja. Membuat semua orang disana hanya memasang wajah berpura-pura tidak melihat.
“Dengan senang hati,” jawab Sandi mengiyakan ajakannya.
Ada satu orang yang melihat mereka dengan sebal. Teganya si wanita, melingkarkan tangannya di tangan pria lain. Padahal dia sudah bersuami. Hanya karena masalah sepele, niat si wanita hanya ingin memanas-manasinya saja. Tapi pria itu tak berhenti tersenyum. Menggunakan trik kekanak-kanakan tidak akan pernah mempengaruhinya.
Setelah saling mengenal sekian lama dan telah mencicipi berbagai masalah yang dilalui, akhirnya aku menemukan dia sebagai kekasihku, sebagai pengisi ruang dihatiku. Aku menemukannya, dan dia adalah takdirku. Masa depanku. Salah seorang diantara kedua wanita ini adalah.....istriku.
000
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..