Loading...
Logo TinLit
Read Story - Who Is My Husband?
MENU
About Us  

“Erik masih marah sama Joe tentang saat itu?” tanya Andre dengan nada tinggi. Sepertinya ia juga sama terkejutnya, dan Donna hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Saat ini mereka sedang makan malam bersama. Ibu dan Nana juga langsung terdiam mendengarnya. Mereka benar-benar tidak menyangka, Erik yang mereka kenal humoris dan kekanak-kanakan, ternyata berubah hanya karena kejadian itu.

“Gue bingung gimana cara melunakkan hati Erik. Dia mengatakan bahwa bukan karena masalah sebelumnya ia begitu marah kepada Joe. Tapi gue gak percaya sama dia, karena gue yakin karena masalah sebelumnya yang nyebabin dia seperti itu,” ujar Donna.

“Dre, kamu harus segera mengakurkan mereka kembali. Ibu tidak menyangka Erik berubah seperti itu,” ujar Ibu.

“Kak, apa yang akan kakak lakukan?” tanya Nana.

“Enggak tahu. Aku juga bingung harus berbuat apa. Semarah apapun Erik, tapi marahnya enggak akan selama itu. Tapi aku akan selidiki penyebab mereka bisa marahan. Erik gak mungkin semarah itu kalau masalahnya sudah selesai seperti itu,” ujar Andre bertekad.

“Dre, coba suruh Joe datang buat makan malam disini. Kasihan dia, sendirian di kostnya,” perintah Ibu.

“Iya, baiklah,”

Andre pergi ke kamarnya setelah meletakkan piring di wastafel.

“Kamu udah bicara sama Erik, Don?” tanya Ibu.

“Iya, tadi siang. Aku enggak ngerti sama Erik. Aku saja sampai gak kenal Erik yang sekarang,” jawab Donna.

Tak lama kemudian, datanglah Joe dan langsung masuk ke ruang makan. Donna, Nana dan Ibu menyambutnya dengan terbuka. Joe tersenyum tipis dan getir. Nampaknya ia masih sedih.

“Makanlah. Kamu belum makan, ‘kan?” tanya Ibu menghibur.

“Iya, belum. Terima kasih sudah mengajakku makan,” jawab Joe pelan.

“Sudahlah Joe, lo harus tenang. Gue yakin, Erik pasti akan kembali seperti dulu. Dia hanya sedang tertekan,” ujar Nana menghibur Joe. Namun sepertinya Joe sedang tidak ingin di hibur. Dia tidak melihat ketulusan Nana untuk menghiburnya.

“Ada masalah lain yang nyebabin kalian bertengkar hebat seperti ini?” tanya Andre begitu keluar dari kamarnya. Dia langsung bertanya to the point, padahal Donna sebelumnya sudah melarangnya untuk membahas itu di depan Joe.

“Dre!!” Donna membentak Andre. Andre tidak peduli dengan bentakan itu. Ia hanya ingin mengetahui secara langsung dari orangnya.

“Tidak. Bukan masalah lain. Dia tetap menyalahkanku atas kejadian yang menimpa Donna minggu kemarin,” jawab Joe seraya tersenyum.

 

000

 

18 Desember 2001

Hari Senin yang cerah. Tidak ada kata untuk bermalas-malasan hari ini. Donna salah satu contohnya. Ia bangun pagi-pagi sekali, karena hari ini ia dan Joe akan pergi menonton ke bioskop. Malam tadi Joe menyerahkan selembar tiket nonton untuk Donna. Sebenarnya hari ini tidak ada jadwal kuliah sampai sore, dan sore sampai malam baru ada kelas.

“Don, gue bingung mau pergi kemana. Gue males di rumah hari ini,” keluh Nana yang juga tidak mendapat jadwal kuliah. Nana ada jadwal kuliah nanti siang jam satu.

“Lo ke rumah sakit aja, pergi konsultasi sakit perut lo itu. Jangan di diemin, nanti nambah parah,” saran Donna seraya menatap Nana dari cermin dan terlihat Nana sedang memegangi perutnya di atas tempat tidur.

“Gue gak mau sendirian, Don. Elo sih, udah di booking duluan sama Joe. Tadinya gue mau booking lo dulu,” ujar Nana membuat Donna tertawa.

Booking? Haha. Emangnya gue hotel! Kan ada Sandi. Lo bisa dianterin sama dia, ‘kan?”

“Iya, ‘sih. Tapi kan dia juga sibuk,”

Donna mendapatkan ide. Ia ingat Andre selalu bermalas-malasan di hari Senin ini karena sama sepertinya, tidak ada jadwal.

“Ah! Sama si Andre saja! Hari ini kan jadwalnya dia males-malesan!” usul Donna.

“Kak Andre? Ah, gimana ya? Gue takut ganggu dia,” Nana terlihat ragu.

“Ya elah! Lo gak percaya sama dia? Gue yakin dia bakalan nganterin lo kok. Gue coba bicara sama dia. Dre!! Andre!! Kesini bentar!!” teriak Donna memanggil Andre.

Tak lama kemudian, Andre datang dengan wajah yang cemberut. Dia membawa cemilan di tangannya dan menatap Donna kesal.

“Apaan lo teriak-teriak? Mau minta bantuan gue? Gue gak mau, gue lagi sibuk! Hari ini jadwal gue buat santai tahu!”  ujar Andre kecut.

“Biasa aja kali tuh muka! Lagian gue gak mau minta tolong sama lo, kok! Gue cuma mau nanya, lo bisa gak anterin Nana ke rumah sakit buat konsultasi? Katanya Nana sakit perut beberapa hari ini. Biar dia di cek apa yang salah dengan perutnya,” ujar Donna.

Andre menatap Nana penuh penyesalan. Andre melihat Nana memegangi perutnya dan kadang terdengar dia merintih. Hati Andre tersentuh untuk menolong Nana.

 

000

 

“Na, kamu enggak apa-apa, ‘kan? Masih kuat buat jalan? Bentar lagi kita sampai di ruang pemeriksaan,” ujar Andre menuntun Nana yang berjalan tidak seimbang. Lutut Nana seolah mati rasa karena rasa sakit di perutnya. Nana terlihat mengangguk lemah dan terdengar rintihan dari bibir kecilnya.

Andre berpapasan dengan salah seorang dokter yang bertugas disana. Andre mencegat dokter itu, padahal sang dokter terlihat sedang terburu-buru.

“Maaf, Dokter. Ada pasien yang membutuhkan pertolongan. Cepat, Dokter,”

“Maaf, tapi saya sedang sibuk. Ada puluhan korban kecelakaan lalu lintas saat ini. Kami terburu-buru. Jadi, maaf sekali. Silahkan Anda menemui dokter di UGD lantai dua,” ujar dokter itu.

“Kecelakaan?” ujar Nana dan Andre bersamaan.

“Maaf, boleh tahu apa kecelakaan yang terjadi?” tanya Andre.

“Kecelakaan bis. Maaf, saya harus pergi sekarang.”

Tiba-tiba perasaan mereka menjadi tidak bersahabat. Begitu mendengar kabar adanya kecelakaan, entah kenapa otak mereka menerima sinyal bahwa salah seorang teman mereka adalah yang mendapatkan kecelakaan itu.

“Perasaanku jadi enggak enak,” ujar Nana. Andre berpikiran yang sama seperti yang Nana ucapkan.

 

000

 

Nana memejamkan matanya begitu dokter yang memeriksanya menyentuh kulit perutnya sambil memegang sebuah alat suntik. Nana memohon dalam hati agar ia dikuatkan dalam menjalani pemeriksaan ini. Karena ia masih sangat takut dengan profesi dokter walaupun sudah Sandi katakan bahwa dokter itu tidak semengerikan yang ia kira. Namun tetap saja, bayangan menyeramkan tentang dokter terputar di dalam otaknya, membuat Nana memberontak dan berteriak meminta jangan memeriksanya.

“Hentikan!! Aku gak mau diperiksa!! Aku gak mau diperiksa!!” jerit Nana. Nana memberontak hebat dan bahkan dua orang suster tidak kuat menahannya.

Sang dokter kewalahan. Ia berusaha menenangkan pasiennya, bahkan peralatan-peralatannya berhamburan ke lantai akibat tendangan kaki pasiennya. Sang dokter terus menahan goncangan dari pasien dengan tangan sebelah, dan sebelah tangannya lagi masih memegang jarum suntik.

“Nona! Tenanglah! Ini tidak akan sakit!” ucap dokter.

“Enggak mau!! Dokter itu kejam!! Aku gak mau diperiksa!! Gak mau!! Aku gak mau mati!!” teriak Nana.

Andre masuk ke ruangan setelah mendengar suara gaduh dan teriakan dari Nana. Andre tidak tahu mengapa Nana bisa menjadi seperti ini.

“Nana, tenang. Katanya kamu mau diperiksa! Tenanglah!” ucap Andre menenangkan Nana yang masih memberontak ingin melepaskan diri dari pegangan dokter.

“Dokter, kenapa bisa menjadi seperti ini?” tanya Andre.

“Saya tidak tahu. Nona ini tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini.”

Karena Nana masih saja memberontak, Andre segera mengambil langkah cepat untuk menenangkan Nana. Memeluknya erat. Nana berada dalam dekapannya sekarang.

Nana membelalakkan matanya, terkejut dengan perlakuan Andre. Andre memeluk dirinya? Nana tidak percaya. Wajah mereka bahkan saling berdekatan, hanya berjarak beberapa sentimeter. Nana dapat merasakan debaran jantungnya yang meletup-letup. Nana terpaku ditempatnya.

Andre tersenyum tipis kepadanya dan menggumamkan sesuatu di telinganya, “Tenanglah. Aku ada didekatmu.”

Nana masih belum bisa mencerna perkataan Andre yang manis itu kepadanya. Apakah ia sedang berfantasi liar? Nana tidak mengerti situasi ini. Kenapa...kenapa perasaannya tiba-tiba seperti ini?

“Sudah selesai,” ucap dokter.

“Apa? Selesai apa?” Nana langsung tersadar dari lamunannya dan mendorong Erik menjauh darinya. Ia benar-benar salah tingkah sekarang.

“Nona sudah selesai saya periksa. Saya sudah membuang darah kotor dari tangan nona. Syukurlah, ini bukanlah penyakit yang parah. Nona hanya menderita sembelit,” ujar dokter.

“Sem..sembelit?”

Nana merasakan wajahnya merah karena malu. Ia segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Andre yang melihat ekspresi itu hanya bisa menahan tawanya. S\Jadi selama ini sakit perutnya gara-gara sembelit? Nana sempat mengira dirinya menderita penyakit yang parah yang membutuhkan bantuan operasi untuk menyembuhkannya.

“Sudah berapa lama kamu enggak membuang kotoran?” tanya Andre, semakin membuat Nana malu.

Nana bukan hanya malu kepada dokter dan kepada dirinya, ia juga malu kepada Andre yang telah mengantarkannya jauh-jauh ke rumah sakit.

Keluar dari ruang pemeriksaan, Nana mengekor di belakang Andre. Andre nampak masih menahan tawanya tanpa Nana ketahui. Melihat Nana mengekor di belakangnya dan masih menuduk menahan malu, Andre berhenti melangkah dan berbalik menghadap Nana. Andre tiba-tiba teringat kejadian tadi saat ia begitu saja memeluk Nana. Ia ingin meluruskan masalah ini agar tidak terjadi kesalah pahaman.

“Soal yang tadi...”

“Ah tidak! Aku enggak mau mendengar soal itu lagi! Aku malu kepada kakak yang sudah jauh-jauh mengantarku ke rumah sakit. Eh, ternyata hanya penyakit sembelit saja! Aku merepotkan kakak, ‘kan? Apa aku sudah membuat kakak malu di depan dokter itu?” Nana memotong ucapan Andre.

“Bukan masalah itu. Ini soal tadi. Pelukan itu,” ucap Andre pelan.

Nana mendongak dan menatap mata Andre yang nampak menyesal. Ia tahu apa arti dari tatapan itu. Nana perlahan menunduk, menahan rasa kecewa.

“Tidak apa-apa. Seharusnya akulah yang harus meminta maaf karena menyusahkan kakak,” ujar Nana.    

Andre tersenyum, kemudian tangannya mendarat di pucuk kepalanya dan mengelus pelan disana. Nana merasakan getaran yang tak wajar di hatinya. Rasanya nyaman, hangat dan tulus. Andre sangat tulus melakukan segala hal, bahkan untuk saat ini. Entah kenapa, hatinya juga terasa sakit, karena perlakuan ini bukan di dasarkan atas perasaan yang lain. Eeem... perasaan cinta misalnya.

“Kamu lucu saat tadi memberontak. Tadi aku sangat ingin tertawa. Tapi, sudahlah itu tidak penting. Aku sudah tidak ingin tertawa lagi.”

Andre berjalan lagi dan kali ini Nana sudah berjalan beriringan dengan dirinya. Nana tersenyum begitu ia berjalan sedekat ini dengan Andre. Andre, dia seperti figur seorang ayah yang hangat dan selalu menjaganya. Nana merasa nyaman berada di dekat Andre.

Ponsel Andre berbunyi, otomatis Andre pun berhenti melangkah dan membuka ponselnya. Ini sepertinya bukan panggilan yang biasa. Andre cukup lama memandang layar ponselnya yang menunjukkan siapa yang menghubunginya. Disana tertulis nama ‘Joe’. Sebelumnya Andre belum pernah sekalipun mendapatkan panggilan dari Joe, karena Joe selalu mengiriminya pesan, bukan telepon.

“Kak, kenapa tidak diangkat? Itu panggilan dari Joe,” ujar Nana menegur Andre setelah melihat nama pemanggil yang tertera di layar ponsel.

Andre menjawab panggilan itu. Andre mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Joe. Andre tertegun, tak berekspresi apa-apa. Sebuah panggilan yang bukan panggilan biasa saja.

 

000

 

“Dre,” Joe berbicara dengan nada yang bergetar. Dan...disertai isakan.

“Erik..Erik... Erik kecelakaan. Dia berada didalam bis yang mengalami kecelakaan itu. Dre, cepet datang, gue ada di rumah sakit.”

Andre berlari sekuat tenaga ke rumah sakit di sebelah gedung ini. Nana menyusul dari belakang, karena ia tidak tahu apa yang terjadi. Andre meninggalkannya jauh. Nana berhenti dan memegangi perutnya yang lagi-lagi terasa sakit.

Andre tiba di depan gedung rumah sakit gedung sebelah, tempat menampung korban kecelakaan. Banyak sekali ambulance yang membawa korban kecelakaan. Ada yang terluka parah dan korban yang tewas. Rumah sakit ini menjadi penuh lagi setelah rombongan wartawan dari berbagai media mulai memburu kejadian ini. Andre menjadi bingung harus mencari jalan kemana. Pada akhirnya Andre menerobos wartawan yang ditahan oleh satpam rumah sakit tersebut.

Andre berlari menuju ruang gawat darurat dimana disana banyak korban yang sedang di obati, dan disana juga terbaring Joe dengan luka yang cukup parah di bagian kepalanya dan kakinya yang terkena luka bakar.

“Joe!” Andre menghampiri Joe dan memeluknya.

“Lo gak apa-apa, ‘kan? Ya Tuhan, kenapa ini bisa terjadi? Joe, dimana Erik? Dia enggak apa-apa, ‘kan?”

“Erik ada di ruang rawat inap. Dia enggak apa-apa, Dre. Dia sudah berhasil gue selamatin dari ledakan bis itu,” ujar Joe pelan seraya tersenyum.

“Yang penting lo selamat. Joe, syukurlah lo selamat,” Andre menangis meluapkan emosinya. Joe baru pertama  kali melihat seorang Andre menangis seperti ini. Karena Andre yang ia kenal adalah sosok orang yang tidak berekspresi, dan tidak pernah menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Tapi Joe senang, Andre bisa mengeluarkan emosi yang mengaduk-aduk di hatinya.

Tak lama kemudian, Donna dan Ibunya tiba disana. Donna benar-benar terkejut melihat keadaan Joe, namun yang benar-benar terkejut adalah Andre yang menangis di dekat Joe. Donna tidak pernah melihat Andre seemosional seperti itu. Andre termasuk orang yang jarang menunjukkan perasaannya dan hanya menyimpannya di dalam hati.

“Joe, kamu tidak apa-apa, ‘kan? Ya Tuhan, kenapa bisa terjadi seperti ini sama kamu?” Ibu Donna mengusap rambut Joe.

“Aku tidak apa-apa, Bu. Ibu jangan teralu khawatir,” jawab Joe.

“Gimana keadaan Erik sekarang, Joe? Lo ada di lokasi kecelakaan sama dia? Kenapa bisa seperti itu?” tanya Donna.

“Ceritanya panjang,” jawab Joe.

 

000

 

2  jam yang lalu

Joe kebetulan hendak pergi ke pusat kota dan berjalan dengan santai menuju tempat pemberhentian bus. Apalagi di hari Senin yang tidak diselimuti oleh awan yang redup, Joe nampak semangat untuk beraktivitas. Hari ini rencananya Joe akan ke bioskop bareng Donna.

Sampai di halte bus, Joe melihat Erik berdiri bersama orang-orang yang juga ingin menggunakan bus sedang bersenandung dengan earphone menempel di telinganya. Joe nampak ragu untuk menempati tempat paling depan disamping Erik mengingat hubungan mereka yang sedang tidak baik. Namun Joe tidak akan semudah itu membiarkan Erik terus membencinya selamanya. Setelah dipikirkan dalam beberapa hari ini, Joe menemukan jawaban yang tepat untuk masalahnya dengan Erik.

Joe mendekati Erik yang nampak cuek dengan keadaan disekelilingnya. Dia juga tidak merasa terganggu dengan kedatangan dirinya dan berdiri tepat disampingnya.

“Lo mau pergi kemana?” tanya Joe pelan.

Erik menatap dirinya lewat ekor matanya, “Bukan urusan lo,” jawabnya ketus.

“Oh, oke, ini emang bukan urusan gue. Gue cuma mau nanya doang. Sebagai sesama pria, bisa gak lo enggak ngasih suasana secanggung ini? Meskipun lo masih marah sama gue, tapi gue juga punya hati. Rasanya enggak enak kalau suasana kita seperti ini terus.”

“Lo gak suka? Ya sudah, lo jangan deket sama gue. Gue juga punya hak mau ngelakuin apa,” ujar Erik sinis.

Joe memilih untuk diam sementara waktu, tak menjawab lagi perdebatan dingin diantara dirinya dan Erik. Padahal Joe hanya ingin mengajak Erik bicara baik-baik, namun jika suasana masih seperti ini, rasanya dirinya ingin mengurungkan dulu niatnya.

Bus sudah berhenti tepat didepan halte bus dan mengeluarkan beberapa penumpang dari dalam bus. Satu persatu mereka masuk ke dalam bus, termasuk Joe dan Erik. Joe memilih duduk di kursi paling belakang, sementara Erik berada di samping kanan dikursi yang terhalang lima kursi dari tempat duduk Joe. Joe nampak memperhatikan tingkah Erik yang nampak tenang saja meskipun ada seorang anak kecil yang menangis di pelukan ibunya.

Erik menatap anak kecil yang menangis di pangkuan ibunya yang sedang hamil besar. Merasa iba, Erik memilih berdiri dan menyuruh anak kecil itu untuk duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki. Karena supir terlalu mengebut mengendarai kendaraan itu, Erik beberapa kali hampir terjatuh sebelum sempat memegang pegangan di atap bus.

Joe memanggil Erik untuk duduk disampingnya, yang kebetulan ada kursi yang masih kosong.

“Rik, duduk disini!” ajak Joe, namun mendapatkan penolakan dari Erik yang mengabaikan seruannya. Joe mulai merasa kesal, ia berdiri dan memaksa Erik untuk duduk disampingnya.

“Apa-apaan lo!! Lepasin gue!” Erik melepaskan tangan Joe dengan kasar.

“Lo jangan bersikap seperti ini bisa gak sih?!” Joe tetap memaksa Erik untuk mengikuti keinginannya. Erik tetap tak bergeming.

“Jangan harap lo bisa kenal sama gue! Lo orang yang udah membuat Donna hampir terkena bahaya!! Jangan harap lo bisa dapetin maaf dari gue!!” ujar Erik dengan suara yang keras dihadapan semua penumpang. Penumpang-penumpang seketika menatap perdebatan mereka.

Tiba-tiba bus mengerem mendadak dan terdengar bunyi berdebam keras dari arah depan. Semua penumpang berteriak ketakutan. Hal ini dikarenakan supir itu melanggar lampu merah dan menabrak sebuah mobil sedan yang juga berhenti. Tak berselang lama, dari arah kanan sebuah truk pertamina yang melaju dengan kencang menabrak bus dan terseret sejauh beberapa meter. Bukan hanya bus saja yang menjadi korban, bahkan puluhan kendaraan lain yang melaju dijalanan yang ramai juga terkena imbasnya. Akibatnya truk pertamina oleng dan terguling sehingga menumpahkan cairan didalam tangki.

Joe beserta penumpang lain mendapatkan luka cukup besar. Bahkan dari arah depan sudah muncul kepulan asap tebal disertai ledakan keras berasal dari mesin. Para penumpang mulai panik, tatkala pintu bus satu-satunya itu terhalangi oleh badan truk yang oleng juga. Erik bangun setelah terjatuh dan melihat anak tadi menangis memanggil ibunya berkali-kali yang terluka parah. Bahkan keluar darah dari balik rok yang ia kenakan. Ibu anak itu terjepit oleh badan bus.

“Ya Tuhan! Nak, tenanglah, aku akan menolong ibumu!” Erik menarik tangan ibu tersebut, namun tidak berhasil karena badannya terjepit oleh badan bus. Terjadi ledakan yang besar untuk kedua kalinya. Joe dengan sigap mendobrak pintu sekuat tenaga agar penumpang bisa menyelamatkan diri mereka. Tidak bisa, pintu sangat sulit dibuka.

Erik masih berusaha menyelamatkan ibu dari anak kecil tadi, hingga ia tidak menyadari api sudah menyala dari depan sana. Berkali-kali Erik terkena dorongan dari penumpang yang panik berlarian mencari jalan keluar.

“Nak, sudahlah...lupakan saja. Aku...tidak bisa keluar dari sini...” lirih ibu dari anak kecil itu dengan nafas yang tipis.

“Tidak bisa, Bu! Anda harus selamat jika tidak ingin melihat anak Anda menangis karena meninggalkan ibunya!! Aku akan berusaha mencari bantuan!!” ujar Erik. Erik segera mencari seseorang yang bisa menolongnya. Mustahil, disaat seperti ini tidak ada yang bisa diajak untuk membantu orang lain mengingat api yang sudah bertambah besar.

Ada satu orang yang bisa menolongnya. Joe. Tapi Joe juga terlalu sibuk mendobrak pintu samping sementara orang lain sudah semakin gila dengan keadaan ini. Bahkan tak sedikit ada orang yang melompat dari jendela.

Erik kembali kepada ibu yang terjebak itu. Ia menarik badannya yang sudah semakin lemas. Belum juga berhasil.

“Ya Tuhan!! Apa yang harus aku lakukan?!!” Erik frustasi.

Erik terus berusaha menyelamatkan nyawa ibu itu dari kobaran api yang sudah semakin dekat menghampiri mereka.

“Nak, selamatkan dulu anakku.  Bawa dia keluar dari sini, jangan biarkan anakku terluka,” pinta ibu.

“Tidak, aku akan berusaha membebaskan kalian berdua, Bu! Bertahanlah, sebentar lagi Anda akan bebas!” ujar Erik. Dengan kerja kerasnya, Erik berhasil melepaskan tubuh ibu dari anak itu dan menuntunnya keluar.

DUAAAAARR!!!

Api mulai melahap seluruh badan bus, sementara disana masih banyak orang yang panik. Joe masih berusaha membuka pintu belakang yang terhalang oleh badan truk. Akhirnya pintu itu terbuka sedikit demi sedikit, dan semakin lebar, muat untuk mengeluarkan seorang-seorang. Orang-orang mulai berdesakan menyelamatkan diri mereka. Bahkan ada yang sampai terhimpit dan terjatuh. Disaat semua orang sedang ricuh berebutan keluar dari bus, anak ibu tadi terdorong ke belakang dan hampir menyentuh bara api.

“Awas!! Bertahanlah!!” Dengan cekatan, Erik melindungi anak itu dari kobaran api dan mulai menuntunnya. Anak itu selamat, tetapi Erik terkena imbasnya. Ia kehabisan oksigen, ia pusing dan batuk-batuk. Ia pun lemas dan tak bisa berdiri lagi.

Joe melihat Erik tak sadarkan diri tak jauh dari kobaran api.

“Erik!!” Joe panik dan mulai menerobos untuk menolong Erik. Joe menutup hidungnya karena terbatuk-batuk. Matanya juga perih sehingga tak dapat melihat dengan benar. Diatas kepala Erik, atap bus itu perlahan mulai meleleh dan siap terjatuh.

“Erik!! Bertahanah, gue pasti bisa nyelamatin lo!!”

Joe menggendong Erik dengan susah payah dikondisi yang sulit untuk melihat. Ledakan kembali terjadi, itu berasal dari tangki pertamina. Joe dan Erik tersungkur akibat ledakan dahsyat itu. Semua orang sudah berhasil keluar yang naasnya juga diluar sana terjadi kebakaran dari tumpahan bensin.

Joe kembali menggendong Erik dan berhasil keluar dari sana dan menerobos bara api. Akibatnya, Joe mengalami luka bakar yang cukup serius di kakinya dan luka yang cukup parah dibagian badannya. Joe terjatuh setelah menidurkan Erik yang jauh dari lokasi kebakaran. Ia benar-benar lemas dan rasanya akan mati.

Joe tersenyum bahagia karena sudah menyelamatkan Erik.

“Syukurlah, gue udah nyelamatin lo, Rik. Gak peduli gue terluka atau mati, yang penting lo selamat. Meskipun lo masih merasa benci sama gue, tapi gue gak akan ngebiarin lo terluka. Karena apa? Karena lo adalah sahabat gue. Dan satu hal lagi, gue akan ngalah sama lo. Gue akan biarin lo deket sama Donna. Ini yang gue pikirin selama ini.” Joe pun akhirnya pingsan setelah menyelesaikan kalimat itu.

 

000

 

1 Januari 2018

“Don, kamu enggak apa-apa, ‘kan? Apa yang sakit? Pantat? Kepala?” ujarnya sambil meraba-raba tubuh Donna penuh kekhawatiran.

“Jangan sentuh pantat gue!!!” Donna menjambak rambut prianya dan menampar wajahnya dengan keras.

Semua orang tertawa miris menyaksikan perdebatan yang selalu terjadi pada pasangan suami istri ini. Pria itu sendiri masih shock setelah mendapatkan perlakuan secara tiba-tiba ini. Istrinya tega menjambak rambut dan menampar suaminya sendiri? Sungguh luar biasa.

“Lo Donna, ‘kan? Atau lo bukan Donna? Kenapa lo jambak dan tampar gue?” tanya pria itu dingin dan kesal. Donna masih menunjukkan wajah kesal kepada prianya.

“Wah, waah...! Suami istri tak terduga ini memang terlihat lucu kalau lagi bertengkar,” ledek Joe dengan smirk smilenya.

“DIAM LO!!!” amuk mereka berdua memarahi Joe. Joe yang terkena semprotan itu ketakutan dan langsung berpura-pura menyisir rambutnya.

“Gara-gara lo gue jadi kayak gini!! Aaahh!!! Nikah sama lo bikin gue stress aja!!” teriak Donna tak ingin kalah.

“Memangnya gue salah apa sih?! Apa-apa salah! Ini salah, itu salah! Gue gak tahu kenapa lo harus menumpahkan kekesalan lo sama gue?! Ini balasan lo setelah gue seharian nungguin lo penuh kecemasan?!” teriaknya juga.

“Bola mainan yang gue injek itu gara-gara lo!! Lo enggak teliti beresin mainan Ranvi, makanya gue kepeleset!! Beruntung gue kagak mati gegar otak gara-gara kecerobohan lo!!” maki Donna.

“Itu, ‘kan bukan kesalahan gue!! Yang punya rumah, noooh!!” tunjuknya kepada Joe.

“Ini semua gara-gara bola mainan milik anak mereka! Kenapa lo salahin gue, sih!?” ia tidak terima atas perlakuan tidak adil itu.

Setelah mendapatkan alasan peristiwa kecelakaan terjatuh yang cukup logis itu, Donna tidak menjawab apa-apa lagi. Ia ciut oleh teriakan suaminya yang membela dirinya sendiri. Sementara suaminya hanya mencibir dan menjambak rambutnya kesal.

Ibu Donna hanya tertawa geli melihat perdebatan sengit Donna dan suaminya. Kemudian tawanya lepas setelah ia teringat nostalgia yang membekas di benaknya. Ibu Donna keluar dari ruangan dengan wajah yang murung. Nana yang berada disamping Ibu Donna nampak bingung dengan sikap Ibu Donna yang berubah menjadi sedih tanpa sebab. Nana mengikuti Ibu Donna keluar dan duduk disampingnya.

“Tante, kenapa tante sedih? Tante sedih melihat Donna yang selalu bertengkar sama suaminya karena masalah kecil?” tanya Nana.

Ibu Donna menggeleng lemah, “Tidak, Na. Melihat pertengkaran suami istri seperti mereka mengingatkan tante kepada almarhum suami tante. Dulu tante dan suami tante sering bertengkar seperti ini karena masalah kecil. Bahkan kami hampir saja bercerai. Tapi untungnya kami bisa menyelesaikan masalah itu dengan baik,” ujar Ibu Donna.

“Tante khawatir karena takut pertengkaran mereka karena takut seperti saat dulu tante bertengkar sama suami tante?” tanya Nana.

“Tidak, tante tidak mengkhawatirkan pertengkaran mereka. Melihat mereka bertengkar, tante bisa melihat ada bayangan tante dan suami tante pada diri mereka. Kami sama-sama enggak mau mengalah, keras kepala dan berhati keras.”

Nana tidak enak hati karena ucapannya pasti telah membuka memori lama Ibu Donna kepada mendiang suaminya. Nana mencoba mencari topik pembicaraan yang lain yang diluar kejadian saat ini.

“Ah, tante, aku sedari dulu ingin tahu tentang satu hal. Jika cinta sejati diperbolehkan dan ditakdirkan untuk bersama, kenapa cinta terlarang tidak akan pernah ditakdirkan?” tanya Nana.

Ibu Donna menatap Nana  tidak percaya, “Untuk apa kamu tanyakan hal itu?”

 

000

 

Sandi menunggu seseorang yang sedang mengambil kopi di lorong depan rumah sakit. Yang sedang ditunggu sudah pergi selama enam menit yang lalu dan sampai ini belum juga kembali.

“Ah, maaf menuggu lama.”

Mieke datang dengan dua gelas kopi hitam ditangannya. Ia tersenyum manis, lebih manis dari gula. Sandi menyukai gurat senyum pada wajah cantik Mieke. Itu mampu membuat jantungnya meledak dalam waktu sekejap.

Mieke menyerahkan satu gelas kopi kepada Sandi. Sandi menerimanya dan segera menyuruh Mieke untuk duduk disampingnya. Mieke menyandarkan kepalanya di bahu Sandi.

“Rasanya hangat,” ujar Mieke.

“Apa yang hangat? Kopi?” tanya Sandi.

“Kamu. Kamu sangat hangat kalau ada dipelukanku,” ujar Mieke.

 “Sudah lima tahun kita bersama. Kita sudah menikmati kerasnya hubungan jarak jauh selama beberapa lama. Tapi kamu tetap setia dan begitu sabar menantiku,” ujar Mieke.

Sandi tidak mengomentari apa-apa.

Mereka terdiam cukup lama. Sandi perlahan menyeruput kopi apricot hangat dalam keheningan. Namun senyumnya tak juga pudar dari wajah tampannya.

“Sayang,” panggil Mieke.

“Hm?” sahut Sandi

“Untuk ajakanmu beberapa hari yang lalu, aku menjawab ‘ya’,” ujar Mieke.

 

000

 

Listen : Merpati Band - Tak Rela

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Wow 4 kepribadian?
    Aku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..

    Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAH
Similar Tags
Antropolovegi
130      115     0     
Romance
"Ada satu hubungan yang lebih indah dari hubungan sepasang Kekasih Kak, Hubungan itu bernama Kerabat. Tapi kak, boleh aku tetap menaruh hati walau tau akhirnya akan sakit hati?" -Dahayu Jagat Raya. __________________________ Sebagai seseorang yang berada di dalam lingkup yang sama, tentu hal wajar jika terjadi yang namanya jatuh cinta. Kebiasaan selalu berada di sisi masing-masing sepanjang...
In your eyes
8575      2000     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Regrets
1045      566     2     
Romance
Penyesalan emang datengnya pasti belakangan. Tapi masih adakah kesempatan untuk memperbaikinya?
Metanoia
3194      1159     2     
True Story
âťťYou, the one who always have a special place in my heart.âťž
ketika hati menentukan pilihan
379      287     0     
Romance
Adinda wanita tomboy,sombong, angkuh cuek dia menerima cinta seorang lelaki yang bernama dion ahmad.entah mengapa dinda menerima cinta dion ,satu tahun yang lalu saat dia putus dari aldo tidak pernah serius lagi menjalani cintanya bertemu lelaki yang bernama dion ahmad bisa mengubah segalanya. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan bersama dion tantangan dalam hubungan mereka pun terjadi mula...
Senja Belum Berlalu
4073      1441     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Perihal Waktu
422      297     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
A You.
865      457     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
Popo Radio
11070      2133     20     
Romance
POPO RADIO jadi salah satu program siaran BHINEKA FM yang wajib didengar. Setidaknya oleh warga SMA Bhineka yang berbeda-beda tetap satu jua. Penyiarnya Poni. Bukan kuda poni atau poni kuda, tapi Poni siswi SMA Bhineka yang pertama kali ngusulin ide eskul siaran radio di sekolahnya.
My Andrean
10972      1912     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...