Sarapan di rumah oma tidak sama rasanya saat sarapan di rumah, itulah yang Gify rasakan kira-kira. Wajah oma tampak kaku, keluarga yang lain pun tak ada yang berani angkat bicara, oma memang sangat tegas dengan tata krama, berbicara saat makan menurut oma tidak sopan, bisa saja berbicara asal oma duluan yang mengajak bicara.
“Gify kamu udah mau wisuda ya?” tanya oma tepat setelah semuanya sudah menghabiskan sarapan, dan Gify baru sadar kalau sisa papa, mama dan oma di meja makan sedang yang lain mungkin sudah ke ruang tengah menonton TV.
“Iya Oma,” jawab Gify pelan.
“Alrinita juga ya Ma? Kalau gitu Mama kalau ada waktu datang ya, kan dua cucu Mama yang wisuda,” Papa Gify berbicara dengan nada cerah, ia sangat senang dengan kelulusan Gify, tentu ada kebanggandidirinya sebagai orang tua.
“Anaknya Resa juga lulus loh yang teknik itu, hebat ya mamanya pengacara hebat anaknya calon insinyur,” puji oma dengan mata berbinar jarang sekali oma berekspresi seperti itu terhadap Gify atau Gia. Gify melirik mamanya yang tersenyum kecil mendengar celotehan oma, Gify tahu mamanya pasti sebenarnya mulai tak nyaman membicarakan mantan calon tunangan papa kali ini, Tante Resa anak teman oma, menantu idaman oma, katanya dulu pernah hampir tunangan sama papa. Oma sering sekali membandingkan Mama Gify dan anak perempuan temannya itu.
“O bagus lah Ma,” Gify bernapas lega, walau oma sering sekali memuji-muji Tante Resa tapi papanya tampaknya tak pernah menanggapi terlalu peduli, papa sepertinya memang sangat mencintai mama.
“Kalau kamu ga sibuk hubungin dong si Resa bagaimana pun juga kalian kan pernah akrab jangan sampai putus silaturahim, kalau perlu kunjungi rumahnya kan sama-sama di Jakarta,” Papa Gify hanya tersenyum kecil tidak menanggapi apapun, sedang Mama Gify mulai menunduk, siapa yang nyaman di situasi seperti ini.
“Nah kalau udah mau lulus, kamu mau gimana sama pacar kamu itu, Gify?” Gify hanya terdiam, benar ternyata pertanyaan papanya kemarin ada hubungannya dengan oma.
“Kalian pacaran sudah lama, kamu sudah mau lulus, pacar kamu juga sudah mapan kan? Oma lihat juga karirnya makin bagus, kalau memang sudah saling suka kenapa ga ke tahap serius,” Gify semakin menunduk ia dan Rion belum membicarakan hubungan mereka sejauh itu.
“Tapi mereka kan masih muda Ma, biar Gify dan Rion kejar karir dulu,” Mama Gify mencoba menyelamatkan Gify dari pertanyaan-pertanyaan oma.
“Mama bukan nyuruh mereka nikah, ya kayak Alrinita kek gitu, tunangan dulu ga ada salahnya kan?” semua yang di meja makan hanya saling lirik, bingung juga mau menanggapi apa.
***
Gify merenung sambil menatap bunga pohon mangga yang gugur, angin memang lumayan kencang. Ensiklopedia tumbuhan yang di genggamannya hanya terbuka begitu saja, biasanya Gify akan sangat antusias mengobservasi tumbuhan koleksi oma dari ensiklopedinya. Karena asik termenung Gify tidak sadar kalau ia sudah berada di perbatasan halaman villa neneknya dengan tetangga sebelah, dank arena itu pula ia tidak sadar ada kerikil dihadapannya, jadilah Gify tersandung dan ensiklopedi yang digenggamannya nyebur ke parit.
Gify spontan berteriak panik, lalu berusaha menjangkau parit yang lumayan dalam, dengan susah payah Gify menjorokkan tubuhnya berusaha menjangkau sambil menjaga keseimbangan tubuhnya ga tidak ikutan nyebur.
“Gify? Kamu ngapain?” Gify menengadahkan kepalanya dan terkejut melihat seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak merah biru, yang lengannya dilipat sampai ke siku.
Lelaki itu melirik apa yang sedang ke dalam parit, dan langsung paham, mana bisa terambil kalau dari atas begitu, paritnya cukup dalam, dan curam bisa-bisa kepeleset ikutan nyebur. Gify hanya terperangah melihat lelaki itu menggulung celana jeans coklatnya lalu turun ke parit itu.
“Kak Abriel, aduh jadi ngerepotin makasih banget ya,” ucap Gify sesaat setelah lelaki itu sudah naik dari parit, ternyata lelaki itu Abriel. Sedang Abriel hanya tersenyum kecil lalu memanggil salah satu karyawannya dan menyuruhnya untuk mengeringkan buku ensiklopedi yang sudah basah kuyup itu.
“Ga papa kok Kak saya bisa ngeringin sendiri.”
“Kamu salah satu cucunya Oma Winata?” Gify hanya mengangguk.
“Saya ga tahu kalo Kakak anaknya Om Darma,” Abriel hanya tertawa, Gify tidak tahu kalau Abriel ternyata sangat ramah.
***
Malam ini halaman belakan Villa oma sudah dihias sedemikian rupa untuk merayakan ulang tahun oma. Tema pestanya bukan yang mewah-mewah hanya acara bakar-bakar hasil kebun saja. Selain keluarga ada beberapa tetangga terdekat yang diundang salah satunya keluarga Kak Abriel, tetangga sebelah.
“Wah ga nyangka loh kalau Gify sama Abriel udah kenal, dunia sempit banget ya,” ujar oma riang sepertinya oma cukup dekat dengan Abriel terlihat dari gesturnya yang amat ramah dengan lelaki itu. Kalau sama Om Darma sih tidak heran dia teman masa kecil Papa Gify.
“Baru kenal belakangan ini kok Oma, saya kan baru aja jadi dosen di tempat Gify.”
“Wah bisa dong ya Gify kalau mau tanya-tanya sama Nak Abriel, kan udah lebih senior,” Abriel hanya tersenyum tipis diiringi tawa Papa Gify dan Papa Abriel.
“Oma bakar jagungnya biar saya aja ya yang nerusin, Oma, Om Bagus, sama Papa istirahat aja,” Gify mengernyit memangnya laki-laki seperti Abriel bisa, tahu bumbunya gitu?
“Wah Abriel memang selalu membantu, kamu bantun gih Fy, kasian Abriel sendirian,” Gify mengangguk lalu mengikuti Abriel.
“Kakak memangnya bisa?” tanya Gify.
“Kamu lihat aja, menurut kamu gimana?” Gify hanya mencebik bibirnya, hawa-hawa dosennya kok kebawa banget ya Abriel ini, tapi dari penglihatan Gify Abriel memang sigap dan tampak telaten mengerjakan pekerjaannya.
“Saya suka berkebun, ngolah hasil kebunnya, ini semua udah saya lakuin sejak kecil, sejak SMA karena sekolah asrama saya jadi jarang, kalau liburan aja ngerjain ginian,” Gify hanya mengangguk paham, pantas Gify tak mengenal lelaki di sebelahnya, dia sudah sekolah asrama sejak SMA lagi pula Gify memang jarang ke desa omanya.
“Keliatannya kamu jarang kesini.”
“Saya ga pernah liat kamu sebelumnya,” lanjut Abriel melihat wajah Gify yang seolah bertanya. Sedang Gify hanya tersenyum canggung menengar dugaan Abriel tak mungkin dia menceritakan secara jujur kan alasannya.
“Kakak kapan balik Jakarta?”
“Minggu depan mungkin, mau dekat wisuda kalian, soalnya masih mau ngurus kebun, besok aja mau ke desa sebelah ngambil pesanan pupuk,” Gify mengangguk paham lagi.
“Memang di sini ga ada jual Kak? Lagi pula Kakak ga buat pupuk kompos?” Setahu Gify omanya seperti itu, memanfaatkan kotoran ternak untuk menjadi pupuk.
“Buat sih tapi yang aku butuhin itu pupuk khusus yang dibuat di desa sebelah. Kamu udah pernah ke desa sebelah?” Gify menggeleng lemah, selama ini ia jarang jalan-jalan di desa ini karena bingung juga mau ajak siapa, ia tidak terlalu akrab dengan sepupu pihak papanya, ia lebih dekat dengan saudara mamanya.
“Di sana pemandangan sungainya keren banget kalau di sini kan keliatan paritnya doang,” Jelas Abriel semangat, itu salah satu alasan yang membuatnya rindu kampung halaman.
“Belum pernah Kak, aku kan jarang ke sini,.”
“Ya udah besok mau ikut?” Abriel tidak tega juga melihat wajah muram Gify, ia dapat melihat Gify sedikit terasing diantara sepupu-sepupunya. Sedang Gify mendengar tawaran Abriel langsung menatap lelaki itu dengan mata berbinar lalu mengangguk semangat. Setidaknya kunjungannya kali ini ke rumah oma sepertinya tidak akan terlalu buruk.
@aryalfaro terima kasih sudah mampir
Comment on chapter Bingkai 1 : Anak itu