Pertama jumpa dan takdir terjalin
~o~
17 Juni 2002
Seorang gadis kecil masuk ke sebuah ruangan yang bercat hijau muda. Banyak anak-anak seusianya yang bersenda gurau dan ada pula yang sepertinya sedang dipetuahi panjang lebar oleh para orangtua.
Hari ini adalah hari pertamanya merasakan dunia sekolah sesungguhnya setelah lulus dari taman kanak-kanak yang lebih banyak bermain dan bernyanyi, matanya melirik pada baliho besar di dalam ruangan bertuliskan 'Selamat Datang di SD Swasta Mahardika'.
"Selamat pagi Ibu, selamat pagi Nak, hai saya Bunda Maida nama kamu siapa?"
Pandangan gadis itu akhirnya berfokus pada wanita muda yang kini menatap teduh padanya, senyumnya ramah dan bersuara lembut. Aura amat kuat tapi lembut membuat siapa saja tenang hanya dengan tatap matanya.
"Gifyta Dewi," ujar gadis itu dengan sedikit malu-malu. Sedang wanita itu tersenyum kecil.
"Jangan malu-malu Sayang, Bunda bisa panggil Kamu apa?"
"Gify," ujarnya singkat dan menatap polos wanita dihadapannya mengundang senyum gemas dari wanita yang akan menjadi gurunya di sekolah ini.
"Nah kan Gify sudah kenalan sama ibu guru, sekarang Mama pulang ya," Gify mendongak pada wanita bersuara lembut yang sedari tadi menggenggam tangannya, mamanya tersayang. Gify hanya mengangguk sebagai jawaban. Dengan sedikit bercakap menitip dirinya pada Bunda Maida setelahnya mamanya pun pergi. Tidak seperti anak baru pada umumnya ia cukup mandiri menhadapi hari pertama sekolahnya. Bunda Maida pun membimbingnya untuk duduk di kursi yang diatur melingkari sebuah meja bundar yang dipenuhi buku-buku bergambar dan mainan. Tangannya terulur mengambil sebuah buku bergambar, sejak berumur satu tahun gadis kecil itu memang sudah diperkenalkan orang tuanya dengan buku. Sehingga ia lebih terbiasa dengan buku dibanding mainan.
Suara ceria Bunda Maida memecah keributan anak-anak yang tadinya sibuk bermain. Satu persatu bocah-bocah itu pun diminta memperkenalkan diri. Sampai akhirnya giliran seorang anak laki-laki berkaca mata yang tampak tertunduk. Ia tampak malu-malu, bahkan ia tak menjawab satu patah kata pun pertanyaan kecil Bunda Maida, bahkan hanya pertanyaan, 'Apakah Kamu baik-baik saja?'.
Tangisan anak laki-laki itu tiba-tiba mengejutkan seisi ruangan, sampai akhirnya teriakan salah seorang anak di sampingnya membuat Gify mendongak.
"Bunda dia ngompol,"
Seisi kelas memerhatikannya dengan seksama, sebagian tertawa, sedang Bunda Maida sibuk menenangkan anak itu. Walaupun menangis Gify dapat melihat anak laki-laki itu tampak makin terpojok melihat tatapan-tatapan yang memburunya. Gify kecil tahu anak lelaki itu tak menyukai itu. Saat mata anak lelaki itu bersiborok dengan matanya, selama beberapa saat mereka terpaku, Gify dengan perlahan memutus pandangan itu dan kembali sibuk dengan buku bergambar. Sedang lelaki itu dibawa Bunda Maida entah kemana dan masih menangis.
***
Setelah melakukan kegiatan luar kelas seperti senam dan bermain mereka pun masuk kembali ke dalam kelas. Anak-anak itu berlari berhamburan mencari tempat duduk. Mencari teman yang paling mereka senangi untuk dijadikan teman sebangku. Sedang Gify yang baru masuk kembali ke dalam hanya menatap dari depan pintu masih melihat di mana tepat yang cukup nyaman untuk duduk.
"Bunda, Kia ga mau duduk sama anak ini, dia kan yang tadi ngompol, pasti bau deh," setelah mengucapkan hal yang rasanya kurang sopan itu seisi kelas kembali menertawakan anak lelaki yang tadi mengompol itu. Sedang anak itu hanya tertunduk meringkuk tak berani menoleh kemana pun.
"Lagian kamu aneh, cupu deh, udah gede, udah SD pula masih ngompol aja, siapa yang mau duduk sama kamu," ujar anak lelaki bertubuh tambun di depannya. Semakin meringislah anak itu.
Sampai mereka sadar saat mendengar suara gesekan kain dan meja yang ternyata suara tas yang diletakkan di atas meja. Anak bertubuh tambun, anak perempuan, Bu Maida dan anak berkaca mata itu menatap penuh pada Gify yang kini sudah duduk anteng di samping anak lelaki itu.
"Wah jadi Gify ya yang duduk di situ?"
"Pemandangannya bagus," ujar Gify singkat sambil menatap ke arah jendela, ya meja anak lelaki itu memang bersisian langsung dengan jendela yang mengarah ke arah taman sekolah tersebut. Gify dapat melihat Bunda Maida yang tersenyum memandangnya lalu ia mengalihkan pandangannya pada anak lelaki berkaca mata yang kini menatapnya dan Gify tidak tahu apa yang dipikiran bocah itu lagipula Gify terlalu malas untuk berpikir, ia hanyalah gadis kecil yang hanya tahu melihat-lihat buku bergambar dan bermain barbie.
***
Sudah hari ketiga Gify kecil sudah menjadi teman sebangku anak yang menangis di hari pertama sekolah itu, tapi sampai saat ini tak ada percakapan yang mereka lakukan, Gify hanya tahu anak itu dipanggil Rion oleh Bunda Maida. Anak itu terlalu pemalu bahkan hanya sekadar untuk menoleh pada Gify pun ia terlalu malu sedangkan Gify terlalu cuek pada lingkungannya dan biasanya hanya larut pada buku bergambar yang dibawanya kemana-mana.
Sampai saatnya makan siang Gify melihat sedikit kerisauan di sampingnya tidak sedikit tapi memang terlihat risau dan gelisah. Gify kecil yang cuek awalnya ingin mengabaikan apa yang dirasakannya tapi entah mengapa bibirnya gatal untuk bertanya, ia merasa anak disampingnya ini butuh bantuan dan dia sudah terbiasa dididik oleh mama dan papanya untuk segera menolong orang yang kemungkinan dapat ditolongnya.
"Kamu kenapa?" Anak lelaki itu terkejut mendengar anak perempuan yang akhirnya mau berbicara dengannya. Saat sadar bahwa ia ditanyai anak itu menggigit bibir bawahnya ragu untuk menjawab. Melihat ekspresi Gify yang tampak serius menanyainya dan tak ada kesan ingin menjahilinya seperti teman-teman yang lain ia pun menjawab dengan pelan.
"Aku lupa bawa bekal."
Anak itu segera tertunduk setelah mengungkapkan kerisauannya sejak tadi menunggu apa tanggapan anak perempuan disampingnya. Pandangan yang semula hanya berani menatap ujung sepatunya kini terangkat saat melihat Gify yang meletakkan tutup bekalnya disertai nasi dan beberapa nugget serta brokoli dan wortel dihadapan Rion. Anak lelaki itu langsung menolehkan kepalanya menatap bingung.
"Makan! masakan mamaku enak kok."
"Kamu ga kekurangan kalo ngasi aku, nanti kamu laper lagi gimana?" kalimat terpanjang yang Gify dengar dari anak ini.
"Mama bawainnya terlalu banyak, aku ga bakalan habis, atau Kamu mau sekalian saosnya?" Sontak anak itu menggeleng.
"Ga usah begini aja, makasih ya Gify," ujar anak itu, ternyata walau pemalu dan tak banyak bicara ia masih memiliki kepedulian dengan sekitar buktinya ia tahu nama teman sebangkunya.
"Oh iya kita belum kenalan," ujar anak itu sebelum menyantap makanannya.
"Kamu udah tahu namaku, aku juga, berarti udah kenal kan?" ujar Gify polos.
"Tapi kata Bunda kenalan itu ada jabat tangan gitu, di film yang aku tonton juga gitu," ujar anak lelaki itu tak kalah polos.
"Bunda Maida?"
"Bukan kata Bundaku di rumah, jadi kita kenalan beneran ya, nama aku Dafrion Adrian, biasa dipanggil Rion, hobi aku main mobil-mobilan, nonton,nyanyi, main musik juga," ujarnya semangat tak lupa menjulurkan tangannya untuk dijabat seperti film yang ditontonnya.
"Namaku Gifyta Dewi, biasa dipanggil Gify, aku suka buku," ujar Gify sederhana lalu menyambut tangan dihadapannya. Perkenalan resmi mereka yang akhirnya terjadi setelah tiga hari dari pertemuan mereka.
"Kalau gitu ini buat kamu, sebagai tanda terima kasih," Gify terpana melihat buku dongeng di hadapannya.
"Dulu kakak aku suka nyeritain ini ke aku, aku rasa karena kalian sama-sama perempuan kamu juga bakal suka."
"Putri Ikan?" dengan nada bertanya dari Gify sambil meneliti buku dongeng digenggamannya.
"Iya seru deh baca aja," Gify merasa tak enak ini mungkin buku favorit bocah lelaki ini makanya sampai dibawa ke sekolah, seperti dirinya yang sering membawa buku karena mencintai buku. Dengan sedikit menggeleng ia menyodorkan buku itu kembali pada pemiliknya.
"Ga papa untuk kamu aja, sebagai hadiah dari aku," Gify menatap polos terpaku pada Rion, baru kali ini ia mendapat hadiah buku selain dari orang tuanya, orang-orang lebih sering memberikannya hadiah, bando atau boneka hal yang sebenarnya kurang disukainya.
***
Tanpa terasa pertemanan kedua bocah kecil Gify dan Rion berlanjut sampai mereka akan lulus dari SD Mahardika. Yang artinya mereka sudah enam tahun berteman. Dan selama enam tahun pula mereka selalu sekelas dan menjadi teman sebangku. Rion masih tak berubah masih menjadi anak lelaki pemalu yang hanya berani bercerita banyak pada Gify. Bisa dihitung jari temannya di sekolah itu termasuk Gify di dalamnya.
"Gify kamu kok mau si temenan terus sama Rion, jadi teman sebangkunya pula enam tahun, ga bosen apa?" tanya anak lelaki tambun yang enam tahun lalu juga sempat mengejek Rion.
"Memangnya kenapa?" tanya Gify ringan tanpa masalah sambil memakan bekalnya, bersama teman sekelasnya.
"Kan ga keren temenan sama dia, berkaca mata, cupu, tukang ngompol lagi, paling yang bagus dari dia kepintarannya di matematika" Gify mengkerut kenapa sebutan itu masih belum lepas juga dari Rion padahal setahunya setelah kejadian itu Rion tak pernah lagi ngompol di sekolah, Rion juga mengaku saat itu ia terlalu gugup dan takut di hari pertamanya sekolah.
"Memangnya kenapa ?"
"Dia itu aneh, cowok kok cupu banget, suka nunduk, penakut lagi."
Gify terdiam dan tampak berpikir dengan otak polosnya, dia pun tak tahu bagaimana bisa ia berteman begitu lama dengan Rion. Padahal bila dipikir-pikir cukup sulit untuk mereka jadi teman, yang satu pendiam dan yang lainnya pemalu. Bahkan kedua orang tua mereka pun akrab, siapa yang tahu ternyata, Bunda Rion dan Mama Gify adalah teman dekat saat SMP, apalagi sekarang Gify menjadi satu satunya teman dekat Rion yang pemalu.
"Sesama teman ga boleh saling menjelekkan," suara lembut Bunda Maida mengalun memecah obralan seru bocah dua belas tahun itu.
"Eh Bunda, maksud Bimo itu... mmm," ujar Bimo gelagapan, ia merasa tak enak terciduk Bunda Maida menjelek jelekan teman sekelasnya.
"Bimo, Rion itu bukannya aneh atau cupu, dia juga sama seperti kamu maupun lainnya, coba deh kamu berteman sama dia pelan-pelan pasti kamu bakal tahu kenapa Gify bisa sampai bersahabat sama Rion sampai enam tahun, bagaimana pun juga Rion kan teman kamu juga, sering bantu kamu juga kan kalau dapat tugas matematika dari bunda, " ujar Bunda Maida tanpa nada menuntut atau menyalahkan Bimo, tangannya mengusap sayang pada puncak kepala Bimo.
Bocah lelaki itu menunduk dan mengangguk mengakui, ya walau tampak aneh, sejujurnya Rion memang anak yang baik. Tidak jail atau pun nakal, tipe-tipe murid kesayangan guru, apalagi dia pintar, apalagi pelajaran berhitung alias matematika.
Saat bel berbunyi para murid pun akhirnya berhamburan ke meja masing-masing, tapi Bunda Maida merasa bingung melihat Gify kecil yang masih terdiam.
"Gify kenapa?" tatapan polos Gify membuat Bunda Maida mendekatkan dirinya dan merangkul bocah kecil itu.
"Kenapa sih Bun, orang-orang bilang Rion aneh, mereka ga tahu Rion yang sebenernya, dia baik kok, ramah juga, kenapa ga ada yang mau nemenin dia? Gify jadi suka sebel kalo denger yang ngejekin Rion, Rionnya juga diem aja tiap diejekin," ujar gadis itu dengan kesal, jarang sekali ia melihat salah satu siswinya yang cuek ini berbicara dengan penuh ekspresi seperti ini, seketika guru muda tersebut tersenyum.
"Kalau begitu sudah menjadi tugas Gify untuk membantu Rion supaya bisa lebih berani dan percaya diri, Bunda tahu cuman Gify yang sekarang bisa memahami Rion, untuk itu bantu Rion juga untuk memahami lingkungannya juga teman-teman kamu yang lain supaya mengerti tentang Rion," dengan polos bocah itu mengangguk dan berlarian kembali ke tempat duduknya, dan guru muda itu hanya tersenyum melihat tingkah bocah itu, ia punya firasat kedua bocah itu akan terus saling bergantungan satu sama lain, karena dengan kedua sikap dari masing masing mereka yang cukup sulit dipahami sebenarnya akan cukup sulit bagi kedua bocah itu memiliki teman yang benar-benar mengerti tetapi nyatanya, hanya perlu tiga hari bagi kedua bocah itu untuk saling peduli.
@aryalfaro terima kasih sudah mampir
Comment on chapter Bingkai 1 : Anak itu