Ilham pasrah. Andhin kekasihnya sama sekali tak bisa dihubungi. Mungkin sudah ratusan kali Ia mencoba menelfon calon istrinya itu namun hanya jawaban dari operator yang Ia terima. Mungkin Andhin ingin menenangkan diri atau memang sengaja memilih tak mau mendengarkan penjelasannya. Entahlah.
Ilham sadar ada yang tak biasa dengan sifat kekasihnya itu. Andhin yang biasanya terbuka dan selalu mengerti penjelasannya kini sama sekali tak mau mengerti bahkan untuk sekedar bertemu dengannya. Andhin yang terkenal rajin dengan pekerjaan kantor tiba-tiba mengambil cuti selama satu minggu dari kantor. Kabarnya ia pulang ke Jogja.
Sesakit itukah Andhin sayangku sampai bahkan aku tak boleh menjelaskan semua ini padamu? Ijinkan aku menemuimu, akan aku jelaskan semua yang terjadi. Ijikan aku bertanya tentang Dito, siapa orang itu? sungguh akupun berada dalam kebingungan yang sama sekali tidak aku mengerti Ndhin.
Ilham sengaja terbang ke Jogja, berharap Andhin mau menemuinya disana. Ibu Andhin terkejut bukan main Ilham datang ke Jogja tanpa Andhin. Ternyata Andhin tak pulang kerumahnya. Ilham kembali ke Jakarta membawa kecewa. Kepalanya semakin berat dipenuhi berbagai pertanyaan tentang kepergian Andhin.
Seminggu kemudian Ilham kembali dikejutkan dengan sebuah surat pengunduran diri dari Andhin tergeletak di meja. Andhin memutuskan keluar dari Media Raya Group. Ilham semakin sadar kekasihnya tersebut benar-benar tak lagi menginginkannya.
Disebuah café bergaya Eropa yang teletak tak jauh dari kantor Media Raya. Ilham masih duduk mematung menatap sendu pada kekasih yang hampir seminggu tak dapat ia temui itu. Ingin sekali rasanya Ia berhamburan memeluk Andhin, namun wajah yang ia temui sekarang mengisyaratkan kebencian yang mendalam.
Hampir setengah jam mereka duduk bersama dalam satu meja, namun tak ada satupun kalimat yang terucap. Hembusan nafas berat dari keduannya berbaur lirih dengan senandung lagu Eropa klasik. Ilham sengaja diam, menikmati kediaman yang merajam. Mungkin ini bisa jadi pertemuan yang terakhir kalinya.
Ada goresan kebencian yang teramat dalam tersirat jelas pada mata sendu Andhin. Tatapan mata yang dulu mampu meluluh lantahkan Ilham dan seisi hatinya. Namun kini tak dia dapati tatapan sendu yang memikatnya seperti dulu. Hanya ada dua mata penuh amarah yang siap menelan kehidupannya.
Bahkan ketika Andhin mulai berbicara tentang hubungan mereka, tak ada satupun kalimat yang dapat Ilham pahami. Andhin menjelma menjadi sosok yang asing baginya. Sosok yang sepertinya belum ia kenal sebelumnya. Ini bukan Andhinku, Kemana perginya Andhinku?
“Jika tidak ada lagi yang dibicarakan aku pergi.”
Sampai pada kalimat terakhir Andhin dan Ilham sama sekali belum mengerti. Masih saja ia duduk terdiam bagai raga tak bernyawa menyaksikan punggung perempuan kurus itu perlahan meninggalkannya. Hatinya berkata semua ini hanya mimpi tapi otaknya menyadari semua itu nyata.
Mungkin jika tak mendengar penjelasan Kamila sehari sebelumnya Ilham memilih mengejar kekasihnya itu. Meminta Andhin untuk kembali hadir dalam kehidupannya. “Ham, Andhin lagi di Palembang. Katanya sih menemui teman lamanya Namanya Dito.” Ucapan Kamila yang membuatnya terperanjat bagai disambar petir.
Benar kata Syabila, Andhin telah mengenal Dito sebelumnya. Ilham baru sadar semua peristiwa yang menimpa hubungannya dengan Andhin memang seperti kebetulan yang sudah direncanakan. Bagaimana bisa tiba-tiba Syabila datang saat hubungannya dengan Andhin sampai pada tahap serius mempersiapkan pernikahan? Bagaimana bisa kebetulan Syabila menemuinya saat Ia berjanji menemui Andhin? Puluhan kebetulan yang menyadarkannya, ada yang salah dengan semua ini.
***
Andhin bergegas mempercepat langkah kakinya meninggalkan halaman café. Sesosok laki-laki dengan poni hampir menutupi mata telah menunggunya di atas vespa tua. Kedatangannya disambut senyum lebar.
“Gimana?”
Andhin menjawab senyum sambil menerima helm yang diulurkan padanya. Bergegas naik ke atas si vespa tua. Merangkul erat pinggang yang sering menjadi keganasan cubitan tangannya. Dia biarkan angina kencang menyapa wajahnya. “Syabila?”
“Dia sudah balik ke Singapura. Everithing is okay. Ngomong-ngomong aktingmu bagus Ndhin, Lo pantas menerima penghargaan piala citra sebagai artis perempuan terbaik.”
“Dan Lo sutradara terbaik Dit.” Andhin tertawa renyah, hingga getaran Hp pada sakunya mengagetkannya. Sebuah pesan diterima. Ilham?
Andhin, selamat tinggal. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.
Andhin Aku diam bukan berarti aku tak ingin mempertahankan hubungan kita. Aku diam karena aku cukup tahu diri, ternyata aku bukan hati yang kamu rindukan. Ternyata sabarku tak dapat memeluk amarahmu. Sulit aku memahami semua ini, tapi memang terkadang harus seperti itu. Dunia memang suka kelewatan memberi sesuatu.
Andhin, maaf aku telah egois merasa semuanya baik-baik saja diantara kita. Aku baru sadar kebersamaan kita hanya sebatas rasa kasianmu kepadaku bukan cinta. Aku bangun rumah terbaik untuk kita, tapi ternyata bukan aku rumah tempatmu pulang Ndhin. Maafkan aku.
Andhin, seharusnya kita bisa saling mengerti. Kita hanya harus duduk bersama saling terbuka. Harusnya aku memberimu kelapangan menerjemahkan perasaanmu, sehingga kamu tak perlu menciptakan drama seperti ini diantara kita.
Tapi semua sudah terlambat Ndin. Aku sadar aku bukan pilihan hatimu. Maafkan aku telah membelunggumu dengan ikatan pertunangan. Semoga Dito dapat melengkapi apa yang tak bisa kulakukan untukmu.
Ilham.
Andhin terbelalak. Seperti ada tamparan keras tepat pada ulu hatinya. Sejak kapan Ilham tahu skrip naskah drama yang ia ciptakan?
Jadi siapa yang paling bersalah? Innocence. Tak pernah ada yang salah dalam cinta.
sedih, tapi bagus kok
Comment on chapter Bagian 9 (End)