Berkali-kali Ilham mengusap wajahnya, suntuk. Raut cemas dan gelisah tergambar jelas di wajahnya. Bukankah seharusnya ia bahagia menjelang hari pernikahannya. Tapi mengapa satu persatu masalah semakin jelas menghadangnya. Pengobatan sang Ibu yang nampaknya tak menunjukkan hasil baik, pekerjaan kantor yang tak ada habisnya, persiapan pernikahannya dengan Andhin yang terbengkalai dan kini tiba-tiba muncul Syabila di kehidupannya.
Tuhan benar-benar tak adil dengannya. Kebahagian yang lama Ilham dambakan tak kunjung datang.
“Karirmu berjalan bagus tampaknya Ham?”
Ilham melirik perempuan yang duduk manis di ruang kerjanya itu. Sudah kali kedua ini Syabila tiba-tiba datang ke ruang kerjanya tanpa diundang.
“Mungkin karirku bisa sebagus kamu kalau aku tetap disini, aku jadi nyesel pindah ke Singapura.” Ujar syabila, wajahnya menunjukkan penyesalan, seolah tak peduli meskipun Ilham seperti tak menganggap keberadaannya. “Kamu tak ingin tahu alasanku ke Singapura Ham?”
Enteng sekali pertanyaanmu Bil, bukankah sudah jelas perjodohan diantara kita hanyalah trik bisnis belaka. Saat peluang keuntungan tak ada dengan tanpa bersalah membatalkan begitu saja. Pergi bahkan tanpa sepatah kata.
“Bil, aku sudah lama lupa tentang masa-masa itu, dan aku rasa diantara kita sudah tak ada lagi yang perlu dijelaskan.” Ilham akhirnya bersuara.
“Kamu masih marah denganku Ham?”
Ilham menggeleng. Sama sekali tak marah, aku hanya kecewa.
“Aku minta maaf jika dulu aku pergi begitu saja Ham, sekarang aku datang untuk menyelesaikan hubungan kita.” Syabila menatap serius laki-laki yang pernah menjadi calon suaminya itu.
“Hubungan yang mana Bil? Bukankah sudah jelas diantara kita memang tak pernah ada cinta. Kita hanya korban dari keegoisan orang tua.” Ilham meninggikan suaranya. Perempuan didepannya itu mulai berkaca-kaca.
“Kamu salah Ham, aku pergi kare-na”
“Bil aku mohon,” Ilham memotong kalimat Syabila “aku sudah melupakan semuanya, aku sudah punya kehidupan yang baru Bil,” Ilham menunjukkan cincin yang melingkar pada jari manisnya “aku sudah bertunangan dan aku akan segera menikah.”
“Aku tak peduli Ham, aku masih mencintaimu.” Syabila menghapus air matanya sembari melangkah pergi dari ruang kerja Ilham. Sekilas ia menangkap wajah cemas pada wajah Ilham. Maafkan aku Ilham.
Ilham menatap nanar punggung Syabila yang melangkah meninggalkannya. Perempuan itu kenapa pergi dan datang sesuka hatinya. Masih cinta? Seenaknya saja ia mengucapakannya, apa ia lupa kepergiannya 5 tahun lalu? Percuma Bil, hatiku sudah tak ada namamu lagi.
Syabila bergegas meninggalkan ruangan Ilham. Ia percepat langkah kakinya sambil mengusap air matanya. Beberapa karyawan menatap heran. Sesampainya di lobby hotel segera ia masuk ke kamar mandi. Membenarkan make upnya yang sedikit luntur karena air mata. Setelah dirasa wajahnya kembali cantik, Syabila melangkah meninggalkan kantor Media Raya Group.
Langkahnya terhenti melihat seorang perempuan dengan tangan penuh dengan setumpuk kertas. Syabila seperti tak asing dengan perempuan tersebut. Bukankah perempuan itu tunangan Ilham?
Syabila mempercepat langkahnya. Saat berpapasan dengan perempuan itu Syabila sengaja menabrakkan tubuhnya.
Bruk
“Aw sorry.” Terdengar jeritan lirih dari perempuan itu, puluhan kertas ditangannya berhamburan berserakan memenuhi lantai.
“Maaf aku sedang buru-buru.” Syabila meminta maaf. Segera ia berjongkok ikut membantu memunguti kertas yang jatuh tak beraturan. Diliriknya perempuan yang nampaknya juga sangat terkejut melihatnya. Wajahnya tidak terlalu cantik, polos tanpa ada sapuan make up sama sekali. Badannya kurus, sungguh tak ada satupun yang terlihat istimewa dari perempuan ini. Syabila heran benarkah ini perempuan pilihan Ilham.
***
Rumah sakit. Pukul 18.00.
Perempuan kurus terbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit. Tatapan matanya sayu, kesakitan yang mendalam tergores jelas pada wajah tua itu. Ilham menggenggam erat tangan sang Ibu. Berkali-kali diciuminya punggung tangan yang mulai keriput, yang hanya dibalas senyuman dari bibir sang Ibu.
“Mama, harus sehat dulu. Ilham janji akan kenalkan Mama ke calon menantu Mama.” Ilham berkata lirih. Sang Mama tampak tersenyum lebar, tenaganya tak cukup banyak sekedar uuntuk mengungkapkan kebahagiannya kecuali dengan tersenyum.
“Namanya Andhin Ma, hatinya baik seperti Mama. Orangnya periang, senang menolong orang lain. Kata orang Andhin tidak terlalu cantik, tapi bagi Ilham Andhin begitu cantik Ma. Matanya indah, bulu matanya lentik alami,” wajah sang Mama semakin sumringah. “Ma, Ilham benar-benar jatuh cinta dengan Andin.”
Ilham tersenyum geli mendengar ocehannya sendiri. Entah mengapa hatinya sangat bahagia hanya sekedar menceritakan Andin pada Ibunya. Inilah kali pertama dalam hidupnya ia bisa mencurahkan isi hatinya pada sang Ibu.
“Mama penasarankan ingin ketemu calon menantu Mama?” Dilihatnya sang Ibu mengangguk pelan. “Makanya Mama harus sehat dulu. Nanti kita jalan-jalan bertiga, aku, Mama dan Andhin.” Ilham tersenyum membayangkan saat bahagia yang masih dalam angannya itu.
“Mama, malam ini sama Mbak Marni ya? Ilham ada urusan kantor yang harus diselesaikan, sama mau ketemu calon menantu Mama.” Ilham pamit sambil mencium kening sang Ibu. “Besuk selesai dari kantor Ilham janji bakal nemenin Mama.”
Sang Ibu tersenyum mengiyakan. Menatap pilu pungggung satu-satunya anak laki-laki yang Ia miliki. Anak malang yang tak pernah mendapat kasih sayangnya hingga tumbuh dewasa. Anak malang yang kini harus menanggung beban pengobatan sang Ibu yang tak pernah ditemuinya. Tanpa terasa butiran hangat meluncur deras membasahi pipi perempuan tua itu.
***
Ilham masih terpaku tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Andhin yang tak pernah sekalipun menggenakan rok, malam ini tampil beda. Balutan rok pendek dipadu dengan kemeja motif bunga sakura benar-benar membuat Andhin terlihat jelita. Rambutnya yang ikal sengaja dibiarkan terurai, dan tunggu, Andhin memakai make up malam ini. Satu hal yang jarang sekali terjadi. Malam ini Andhin berhasil membuatnya terpukau.
Benar kata Anto, terkadang bidadari memang tak bersayap.
Ilham menggandeng erat tangan Andhin, seakan takut kekasihnya itu kabur darinya. Sesekali Ia melirik Andhin yang berjalan disampingnya, masih tak percaya sejak kapan Andhin menjelma menjadi bidadari yang nyata. Yang dilirik tampaknya tak sadar. Masih saja matanya asik dengan baju pesta yang sedang dipamerkan di stand wedding exhibition.
Malam ini diluar dugaan Ilham, Andhin mau menghadiri wedding exhibition dengannya. Mungkin karena paksaan kakaknya, entahlah Ilham tak begitu peduli. Yang jelas akhir-akhir ini Andhin banyak berubah. Andhin yang biasanya banyak pasrah dengan urusan pesta pernikahan, sekarang tampaknya lebih peduli. Bahkan seminggu lalu Andhin mau meeting dengan orang WO untuk menentukan gedung pernikahan. Diam-diam Ilham tersenyum bangga.
Tampaknya tak ada satupun gaun pesta yang nyantol dihati kekasihnya itu. Puluhan stand mereka datangi namun belum ada tanda-tanda Andhin akan memilih gaun yang sesuai dengan hatinya. Lagi-lagi, Ilham tersenyum gembira meskipun kakinya sudah lelah melangkah.
Jangankan sepuluh stand sayangku, bahkan jika harus ratusan stand minta kau datangi aku akan siap menemanimu bidadariku.
Ilham berencana membelikan sepasang cincin dan perhiasan sebagai mas kawinnya nanti, meskipun Andhin bersikeras menolak. Ilham paham betul tabiat gadis pujaannya itu, gadis sederhana yang menolak kemewahan. Saat Ilham menuntunnya ke sebuah restoran mahal pun Andhin mengikuti langkahnya dengan wajah tak ilkas. Kesekian kalinya Ilham hanya tersenyum bangga.
Tak apa sayangku, sesekali kamu juga harus makan enak. Badanmu kurus aku pun akhir-akhir ini juga semakin kurus. Jangan sampai kita kurus kering kerontang di hari pernikahan nanti.
Ilham tersenyum tiada henti. Rasanya ini adalah malam terindah yang pernah ia lewati. Selesai makan malam masih ada satu lagi acara yang harus mereka datangi, meeting dengan orang WO untuk menentukan undangan pernikahan. Badannya memang lelah luar biasa, namun semangatnya masih membara. Asalkan bersama Andhin seribu acarapun siap ia datangi.
Dreett, dreettt. Tiba-tiba Hpnya berbunyi.
“Hallo?”
“Ilham, tolong a-ku”
Suara perempuan diseberang terbata-bata. “Syabila? Ada apa?” Ilham melepaskan gandengannya dengan Andhin, melangkah sedikit menjauh dari kekasihnya itu
“Ilham, tolong. Asma ku kambuh, aku sendirian huk huk… ”
Sambungan terputus. Ilham panik, apa yang harus Ia lakukan. Syabila menderita Asma akut sejak kuliah di Australia. Pernah beberapa kali sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Entah mengapa tiba-tiba pikirannya kacau.
“Andhin sayangku, kamu temui orang WO sendirian ya, ada yang mendadak harus kuselesaikan sekarang.” Ilham berbohong.
“Sekarang?”
Ilham mengangguk. Andin mengiyakan meskipun wajahnya menyiratkan kecewa yang mendalam. Berat rasanya harus meninggalkan Andhin sendirian tapi bagaimana lagi, Ilham tak punya pilihan lain. Dengan hati bimbang Ia melajukan mobilnya menuju sebuah alamat yang dikirim Syabila melalui pesan.
***
“Bil, ayo kerumah sakit seka-rang!” Ilham membuka pintu apartemen Syabila dengan wajah panik.
“Ilham, kamu datang juga.” Jawab Syabila tenang.
Syabila duduk manis di kursi ruang tamunya dengan segelas wine ditangan. Mengenakan gaun warna merah terang yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Perempuan cantik itu tersenyum penuh arti pada Ilham, tak ada tanda-tanda sakit apalagi asma yang kambuh. Ilham sadar ada yang salah dengan semua ini.
“Apa-apaan ini Bil?” Ilham berteriak lantang. Kesabarannya hilang.
“Tenang Ham, aku hanya ingin bersenang-senang denganmu.” Syabila melangkah manja menuju Ilham yang masih mematung didepan pintu. “Minumlah” tak lupa menawarkan segelas wine yang hanya diisi setengah saja.
Ilham menampik tangan Syabila. Kesabarannya sudah berada diubun-ubun. “Bil, aku datang padamu karena aku menghargaimu sebagai sahabatku. Aku mengkhawatirkan mu. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Tapi apa yang kamu lakukan?” Ilham menarik nafas panjang menahan amarahnya. Hatinya terlalu baik untuk melampiaskan kemarahan pada perempuan.
“Kenapa Ham? Kamu sudah tak cinta lagi padaku? Karena sudah ada perempuan kurus itu dihidupmu? Iya? Aku lakukan ini karena aku masih mencintaimu Ham.”
Ilham mendelik. “Jangan pernah kamu bawa Andhin dalam masalah kita Bil. Dia calon istriku, dan aku sangat mencintainya. Lupakan masa lalu kita Bil. Aku datang padamu malam ini tak lebih karena kepedulianku sebagai sahabatmu. Ingat itu!” Ilham melangkah meninggalkan apartemen Syabila, tak peduli dengan teriakan Syabila yang berkali-kali memanggil namanya.
Syabila, percuma. Tak ada ruang yang tersisa untukmu dihatiku. Semua sudah penuh dengan satu nama, Andhin si bidadari tak bersayap.
***
“Apa? Kamu sudah gila ya?” Syabila berteriak, tak percaya. Sementara laki-laki di depannya dengan tenang menghirup aroma kopi hangat yang tersaji diatas meja.
“Pilihan ada ditanganmu Bil, terserah kamu, mau ikut aturanku dan perusahaan ayahmu akan tetap jaya atau.. “
“Kamu mengancamku?” Syabila mendelik.
“Tidak sama sekali. Tapi jika kamu anggap ini sebuah ancaman aku tak keberatan.” Laki-laki muda itu tersenyum dingin.
Syabila terdiam. Perusahaan Ayahnya yang bergerak di bidang perkebunan sawit mengalami banyak masalah akhir-akhir ini. Banyak warga yang protes dengan aktivitas perkebunan bahkan banyak ancaman yang datang. Syabila tahu masalah ini pasti ada campur tangan dari lelaki yang ada didepannya.
“Kenapa harus dia? Aku rasa dia tak punya masalah denganmu, dia juga bukan saingan bisnismu?”
“Itu bukan urusanmu, lakukan saja sesuai permainanku.”
“Persetan dengan semua recana busukmu, aku tak akan tega menyakitinya, apalagi merusak kebahagiaannya.” Syabila mulai menyerah.
“Oh, kalau memang itu keputusanmu, silahkan. Permainan ada di tanganmu Bil, tapi jangan hubungi aku jika hal buruk menimpa bisnis Ayahmu.” Lagi-lagi lelaki itu mengancam Syabila. Dengan langkah enteng ia meninggalkan Syabila yang masih terpaku dikursi rotannya.
Syabila mendesah. Kepalanya ruwet dengan segala pilihan yang harus ia tentukan. Antara menyelamatkan bisnis sang Ayah atau menghianati persahabatannya. Jauh-jauh ia pulang dari Singapura untuk berlibur tapi malah dihadapkan dengan kemelut yang menyakitkan. Ilham maafkan aku, kamu harus jadi korban. Dan kamu Dito, dasar laki-laki bajingan.
***
“Hallo?”
“Ilham, ini aku.”
“Syabila? Ada apa lagi?” Ilham tak percaya perempuan ini masih berani menghubunginya setelah kejadian malam itu di apartemen.
“Ilham, ada yang ingin kujelaskan padamu.”
“Apa lagi? Aku rasa semua sudah jelas.” Jawabnya singkat. Ia sudah tak tertarik mendengar ocehan perempuan yang pernah akan jadi calon istrinya itu.
“Ham, please, dengarkan aku. Ada hal yang harus kamu tahu. Mengenai hubunganmu dengan tunanganmu”
“Andhin? Ada apa dengan Andhin?” Ilham yang tadinya akan memutuskan sambungan telepon mengurungkan niatnya.
“Aku tak bisa jelaskan lewat telfon, datanglah ke hotel dekat kantormu sekarang.”
Ilham melajukan mobil hitamnya dengan kencang menuju hotel. Acara survey ke luar kota yang telah dijadwalkan hari itu terpaksa Ia batalkan. Ilham banjir cacian dari beberapa rekan kerja yang telah menunggunya sedari pagi. Tak peduli, nalurinya berkata sesuatu yang lebih penting harus ia selesaikan.
Sesampainya di hotel, Ia mendapati Syabila tengah duduk menunggunya. Wajahnya terlihat serius.
“Ilham?”
“Dimana Andhin?”
“Duduklah, aku akan jelaskan semua.”
Syabila mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Ilham. Kedatangannya sebulan yang lalu dari Singapura bukan tanpa alasan, melainkan untuk membantu bisnis sang Ayah yang sedang ditimpa banyak masalah. Syabila menceritakan pertemuannya dengan teman SMA yang sekaligus lawan bisnis Ayahnya yaitu Dito. Ia beberkan alasannya menemui Ilham akhir-akhir ini.
“Dito?” Ilham mengerutkan dahi. Merasa tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Iya. Kamu tak mengenalnya kan Ham? Aku pun heran apa yang Dito inginkan darimu.
“Lalu apa hubungannya semua ini dengan Andhin?” Tanya Ilham. Ia masih tak paham dengan semua cerita ini.
“Ham, Dito berjanji menolong bisnis Ayahku yang sedang diambang kebangkrutan dengan syarat aku menghancurkan rencana pernikahanmu. Itulah alasanku datang di kehidupanmu akhir-akhir ini Ham. Awalnya aku mengira kamu adalah salah satu ancaman bisnis kelurga Dito. Tapi ternyata aku salah Ham.
“Lalu?”
“Andhin, tunanganmu.”
Ilham masih tak paham maksud Syabila. “Apa hubungannya semua ini dengan Andhin?”
“Andhinlah tujuan Dito Ham, Dito telah mengenal Andhin setahun belakangan. Aku tak tahu hubungan mereka, yang jelas Dito sangat menginginkan tunanganmu itu.”
“Apa-apaan semua ini Bil?” Ilham meraupkan tangan menyapu seluruh wajahnya. Masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Aku tahu kamu pasti sulit percaya Ham. Percayalah jika tak ingat tentang persahabatan kita, aku tak akan menceritakan semua ini padamu.” Syabila tertunduk menyesal.
Ilham terdiam. Otaknya masih belum sanggup mencerna semua penjelasan Syabila. Untuk sementara tak ada pilihan lain selain mempercayainya. Perempuan yang tengah tertunduk didepannya itu tak mungkin berbohong. Ilham mengenal Syabila dengan baik sejak di Australia.
“Ham, aku minta maaf atas semua yang aku lakukan. Aku akan kembali ke Singapura hari ini. Aku harap kamu bahagia dengan tunanganmu.” Syabila berdiri, menenteng tas yang cukup besar sambil mendorong koper disampingnya.
“Bil tunggu, aku antar.” Ilham tak tega. Bagaimanapun juga Syabila adalah salah satu sahabat terbaik yang ia miliki, meskipun kisah masa lalu mereka menyakitkan. Mereka adalah dua manusia korban keegoisan orang tua. Ilham sadar semua yang terjadi di masa lampau bukan sepenuhnya salah Syabila.
Syabila tersenyum. Tak berubah, kamu masih seperti Ilham yang aku kenal dulu. Hatimu masih saja baik bahkan setelah semua yang kulakukan padamu Ham.
Ilham bangkit, meraih gagang koper merebutnya dari pegangan tangan Syabila. Mendorongnya pelan, berjalan mengikuti Syabila menuju resepsionis hotel. Belum sampai sepuluh langkah, tiba-tiba Ia dikagetkan sebuah suara kencang memanggil Namanya.
“Ilham.”
Reflek Ilham memutar tubuhnya 360 derajat. Betapa kagetnya Ia saat menemukan sosok Andhin dengan mata berkaca-kaca berdiri tepat di belakangnya. “Andhin,” sementara kekasihnya itu masih berdiri dengan wajah tak percaya “aku bisa jelaskan Ndin.”
Nampaknya suaranya hanya angin lalu bagi Andhin. Secepat kilat dan tanpa sepatah katapun Andhin berlari menjahinya dengan airmata berurai. Andhin telah salah paham padanya.
“Ilham, biar aku jelaskan pada tunanganmu.” Syabila bergegas berlari menyusul Andhin, namun tangan Ilham menahannya.
“Biarkan, biar aku yang menjelaskan.”
Ilham menatap nanar. Membiarkan sang kekasih melangkah pergi darinya.
***
sedih, tapi bagus kok
Comment on chapter Bagian 9 (End)