“Manusia bergantung pada waktu secara asasi.”
Kutipan kalimat Martin Heidegger itu memang memiliki makna yang begitu dalam bagi mahluk berakal seperti kita. Tidak banyak yang bisa kumaknai dari setiap kata di kalimat itu. Jujur, sekalipun aku belum pernah mengalami tragedi yang membuat diriku sadar bahwa betapa berharganya waktu itu. Menurutku, waktu berhubungan erat dengan takdir, mereka berdua bagaikan sepasang kekasih yang terikat benang merah. Waktu menunjukkan kapan terjadinya takdir yang telah ditentukan. Takdir menampilkan peristiwa ,tragedi, kehidupan, dan kematian agar waktu memiliki momen-momen yang menarik.
“Hidup tidak lebih dari sekedar permainan.”
Terkadang, seseorang yang telah menyadari betapa palsunya hidup ini, pasti akan menanamkan kalimat itu di dalam pikirannya. Untuk tujuan apa hidup ini dibuat? Pertanyaan itu terus menghantuiku sejak beberapa tahun lalu. Hingga aku memutuskan untuk menjadi Non Player Character; sekedar pengisi kekosongan ruang di dalam permainan. Bisa disebut dengan karakter yang tidak memiliki penokohan. Jadi, tidak ada kewajiban untukku mengikuti langkah yang dilalui oleh para karakter lain di permainan ini. Tidak ada yang menuntutku untuk menyelesaikan misi. Tidak ada yang memaksaku untuk menumbuhkan cinta atau menerima perasaan orang lain padaku; seperti yang dilakukan karakter lain. Hanya alur damai yang aku inginkan; tanpa konflik di dalamnya, sehingga tidak perlu berusaha mencapai klimaks maupun anti-klimaks.
“Wih dingin sekali, ini hebat!” teriak seorang anak laki-laki, girang. Dia berlarian di antara jalanan yang mulai berwarna putih. Bukan karena ketumpahan cat, melainkan karena gumpalan air membeku yang jatuh dari langit.
“Ini hebat! Keajaiban memang ada!” seru remaja wanita di samping anak laki-laki tadi.
Mereka berdua menari-nari di tengah-tengah suhu udara rendah ini. Tidak, bukan hanya mereka berdua, melainkan hampir semua penduduk kota.
Decak kagum dari setiap mulut mereka yang keluar silih bergantian memaksa dirinya menghentikan lamunan. Dia mengendus kesal beberapa kali ketika mengetahui betapa berisik keadaan yang sedang dihadapinya.
Entah sejak kapan dia telah berada di taman kota. Bukan, bukan dirinya tidak mengetahui saat kakak perempuannya mengajak jalan-jalan keluar. Hanya saja dia tidak menyadari jika kedua kakinya telah membawanya hingga berada di sini.
“Dari tadi manyun mulu itu mulut,” ucap kakak perempuannya. Dia melihat ke arahnya sebentar, lalu memalingkan matanya.
“Dingin, ini benar-benar dingin,” jawabnya singkat. Kalimat itu mengandung keluhan pribadinya yang tidak ada habisnya.
“Dirimu bukan beruang yang sedang hibernasi kan?”
“Tapi, setidaknya aku tidak memiliki bulu tebal seperti dia.”
“Hahahaha…sopan sekali dirimu yang menggunakan kata ganti orang untuk binatang.”
“Aku menghargai siapapun yang berkontribusi dalam kelestarian hidup ini.”
Dia begitu terlarut dalam percakapan ringan dengan kakak perempuannya ini. Tiba-tiba dia tersadar ada hal aneh yang sedang terjadi di depan matanya. Hal aneh itu begitu besar, terasa, dan nyata hingga-hingga membuat dirinya sendiri tidak mampu menyadari itu. “Hei kak,” panggil Taka dengan tatapan yang cukup aneh bagi kakaknya.
“Kenapa? Wajahmu terlihat pucat, kedinginan?” Kakak perempuannya yang sedari tadi berdiri, kini mulai duduk di sampingnya. Dia memegangi pundak Taka, lalu memijatnya dengan lembut. Taka menyisihkan tangan kakaknya, lalu berkata, “Bukankah negara kita ini hanya memiliki dua musim?”
Kakaknya mulai menyeringai tajam, menatap sinis, lalu, “Hahahahahaha…” Setelah cukup puas menertawakan hal yang tidak diketahui oleh Taka, dia kembali berkata, “Apa dirimu tidak pernah belajar geografi? Sudah jelas-jelas negara kita merupakan sub-tropis.”
“Ha? Benarkah?” tanya Taka dengan rasa penasaran yang tidak masuk akal bagi kakaknya.
“Bo-doh-bo-doh. Sejak kapan adikku ini menjadi begitu bodoh,” ujar kakaknya sembari menyentil jidat Taka.
“Bisa tidak jangan melakukan pengulangan pada kata itu?” Taka menatap tajam ke arah kakanya yang terlihat begitu bahagia.
“Aduh marah, maaf-maaf.”
“Tunggu dulu, ada yang lebih penting,” sela Taka sembari meninggalkan kakaknya. Dia mulai berlari di atas salju yang membuat langkah kakinya terasa begitu berat.
“Tunggu! Mau ke mana kau?” teriak kakak perempuannya. Taka tidak sempat membalas pertanyaan itu, karena dirinya tengah disibukkan dengan kegilaan yang tengah dialami olehnya.
Tidak ada yang mengatakan jika aku baik-baik saja. Lebih tepatnya, aku berusaha terlihat “Baik-baik saja” di hadapan orang terdekatku. Dalam keadaan ini, siapa yang salah? Aku? Kakakku? Mereka? Dunia? Takdir? Waktu? Jika aku melakukan pemungutan suara dengan volunteernya para penduduk kota, maka sudah jelas diriku yang salah. Aku akan dianggap gila jika tidak menerima realita ini. Sialan! Apa-apaan ini.
Taka mengacak-acak barang yang ada di dalam kamarnya. Dia seperti sedang mencari sesuatu yang begitu penting, memang sangat penting untuk saat ini. Untuk membuktikan kenyataan ini dengan data fakta yang lebih akurat.
“Atlas dunia,” ujarnya seperti menirukan seorang pembawa acara. Dia membuka halaman yang menampilkan wilayah negaranya. Dengan jantung yang berdegup-degup tidak karuan, sebulir keringat bersarang di pelipis, dia berusaha melawannya. Dia kaget bukan main saat melihat wilayah negaranya termasuk dalam bagian negara sub-tropis. Dia yang sedari tadi berdiri tegak dengan atlas dunia di tangannya, kini hanya terduduk lemas tak berdaya.
“Hei apa-apaan ini! Sialan! Aku tidak bisa mencernanya,” teriaknya hingga menggema di dalam kamarnya.
Dia mulai menatap ke arah meja belajar yang biasa digunakan olehnya, lalu berkata,” Hei kau! Jelaskan padaku! Cepat! Atau akan kubakar dirimu.”
Dia menjambak rambutnya sendiri yang sedikit keriting dan bergelombang. Rontok, beberapa helai rambut menempel pada telapak tangannya. Taka memeluk erat kedua lututnya sendiri untuk meredam ketakutannya. Dia merebahkan tubuhnya di atas lantai dingin dalam keadaan masih memeluk kedua lututnya. Mulai memejamkan mata untuk melupakan sejenak kegilaan ini.
Siapapun tolong aku! Tolong jelaskan padaku! Kumohon, siapapun yang mau berbesar hati untuk menolong NPC ini. Hahahaha…mungkin terdengar begitu egois ketika seseorang seperti diriku yang telah menarik diri dari permainan ini, malah mengharapkan pertolongan. Game Master bahkan enggan untuk sekedar memberiku penjelasan melalui kolom informasi. Aku tidak lebih dari karakter pengisi ruang. Sebenarnya, ada atau tidaknya diriku, tidak memiliki pengaruh sedikit pun. Tetapi, sekarang diriku telah menjadi karakter utama yang tengah dihadapkan oleh konflik. Konflik ini bukan aku yang menciptakannya, dan tidak kuharapkan sedikit pun. Jika engkau memang ada, setidaknya berikan aku penjelasan.
“Bisa-bisanya kamu tidur di sini Taka, entar masuk angin loh,” ucap kakaknya, menariknya dari alam mimpi, paksa. Suara kakaknya yang seperti perempuan itu membangunkan dia dari pelariannya. Hanya tidur, lalu berharap bermimpi indahlah yang menjadi satu-satunya pelarian.
“Iya…” jawabnya malas. Dia segera bangkit, dan menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka.
“Palsu!” gumam Taka dengan menggertak pada bayangannya sendiri di cermin. Dia memukul perlahan cermin itu untuk sekadar melampiaskan hal yang tidak diketahui olehnya.
Dia menanggalkan bajunya dengan perlahan, wajahnya menyeringai tajam seketika. Kedua alis tebalnya mengangkat secara bersamaan saat melihat tanda di dada kirinya sedikit menghilang. Tanda itu kini hanya berbentuk lingkaran hitam transparan, hingga dirinya hampir tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Apa ini pertanda baik? Ataukah buruk?”
Dirinya tersenyum ke arah cermin, bayangannya pun melakukan hal yang sama. Dia lega, senang, dan tenang untuk sesaat, untuk saat ini. Dia tidak tahu apa yang dilegakan olehnya. Dia tidak tahu apa yang membuat dirinya merasa senang dan tenang. Mungkin ini, pikirnya.
Dia menuju ke kamar tidurnya dengan harapan dapat merebahkan tubuh di atas kasur. Doa-doa sebelum tidur dirapalkan olehnya dengan khidmat. Harapan agar ketika dia bangun nanti semuanya telah berakhir ikut disertakan. Sebulir air mata mengalir jatuh melewati pipi karena tidak sanggup dibendung oleh kelopak matanya.
Taka mulai merebahkan tubuhnya dengan perlahan di atas kasur yang mulai dingin karena suhu ruangan pun demikian. Satu per satu kelopak matanya dipejamkan.
Mungkin jalan terbaik bagiku untuk saat ini; menerima kenyataan, dan menjalani hari-hari yang akan berujung dengan tenang. Tidak protes dan menentang merupakan yang terbaik. Aku hanya cukup mempertimbangkan hal-hal terbaik yang dapat kulakukan untuk saat ini. Akan kukubur rasa penasaranku dalam-dalam agar tidak memaksa naluriku untuk bertindak lebih jauh.
“Selamat tinggal Taka, dan cepatlah bangun!”
Suara itu, suara mirip perempuan yang benar-benar dikenali olehnya. Bukan, tidak hanya sekadar mengenal, tetapi sudah sangat dekat; memiliki ikatan darah yang erat.
Taka masih berkutat dengan dunia fantasinya sendiri. Di dunia itu dia hanya mendambakan kehidupan normalnya. Bangun dari tidur, sarapan bersama kakak perempuannya, berangkat sekolah, mampir di perpustakaan langganan milik Prisna, masuk ke kelas, pulang sekolah, dan memejamkan mata. Hanya imajinasi itu yang diciptakan olehnya. Hanya kenormalan dan menjadi orang biasa yang diharapkan olehnya, begitu pula seterusnya.
“Taka! Kamu harus segera membuka matamu!”
Suara itu masih berdengung di telinganya, kedua kalinya, bukan, salah. Suara tersebut menggema dan bersarang di dalam pikirannya. Jika begitu dia tidak bisa menutup telinga agar menjadi tuli seketika.
“Kalau begitu tinggal berpura-pura saja,” gumam Taka yang masih di dalam dunianya sendiri.
Di dalam dunia imajinasinya itu, dirinya juga hanya bercengkrama seperti biasa dengan satu-satunya sahabat yang dimiliki olehnya, Farizha. Mereka berdua bercanda seperti biasa tanpa ada amarah yang saling bersikukuh untuk menjaga harga diri. Bagi orang biasa seperti Taka, harga diri bukanlah hal yang dipermasalahkan untuk menjaga kehormatannya.
“Duniamu ini sudah hancur!”
Dia segera terbangun setelah mendengar kalimat itu, entah untuk keberapa kalinya. Kalimat tersebut masih berterbangan di dalam pikirannya yang mulai kacau. Dia mengamati kamar tidurnya menjadi begitu gelap; tidak ada cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah di dinding kamarnya, ventilasi.
Pukul tujuh pagi, ini seharusnya bukan malam lagi. Begitulah yang dia pikirkan setelah melihat deretan angka di jam digitalnya. Tetapi, sang pembawa terang untuk saat ini, entah mengapa belum menunjukkan batang hidungnya sedikit pun.
Taka mulai beranjak dari kasurnya yang basah oleh keringat. Dia menekan saklar lampu, tapi tidak menyala. Tidak ada tanda-tanda pergerakan melingkar yang dilakukan oleh elektron terhadap proton dan neutron di dalam lampu bohlam itu.
Dia menyalakan ponsel dengan niatan ingin menghubungi petugas perbaikan listrik. Sinyal tidak tersedia, hanya kalimat tersebut yang tertulis di layar ponselnya.
“Cihh..sialan! Dasar tidak bisa diandalkan,” gerutu Taka.
Dalam keadaan gelap gulita tanpa cahaya, dia menuruni tangga perlahan untuk menuju ke dapur; cacing-cacing rakus di dalam perutnya telah begitu lama berdemosntrasi sejak dirinya masih menari di ladang bunga. Kakinya berhenti melangkah, lalu dia bergumam, “Tunggu, bukannya aku juga tidak berguna?”
“Hahahahaha….memang betul.”
Monolog yang dilakukannya benar-benar menggaung di seluruh bagian rumahnya; menunjukkan betapa hampa tempat tinggalnya itu.
“Kak, kakak, kamu di mana?” teriak Taka saat di dapur.
Tanpa memedulikan di mana keberadaan kakaknya, dia membuka kulkas, lalu mengambil beberapa frozen food. Mulutnya begitu lancar mengunyah makanan awetan itu. Setelah memuaskan nafsu pribadinya, dia memutuskan untuk keluar dari rumah untuk sekadar mencari angin segar.
Dia salah besar, udara yang dihirupnya tidak lagi segar; bau, penuh debu nan menyesakkan paru-paru. Taka batuk-batuk beberapa kali; reaksi otomatis sistem imun tubuhnya.
“Benar-benar gelap. Ke mana semua orang?” gumam Taka setelah memandangi langit.
Kedua matanya berlarian di antara rumah-rumah penduduk yang terlihat begitu mati.
Matanya kembali mengamati langit yang sama kosongnya dengan rumah-rumah penduduk itu, salah besar, masih ada bintang-bintang. Dia melihat sebaris cahaya yang membentuk seperti gelombang air laut. Cahaya itu berwarna merah darah; pemandangan yang mirip seperti langit senja yang berwarna merah muda ketika matahari masih menunjukkan wujudnya.
“Itu, aurora?” tanya Taka pada dirinya sendiri.
Dia membongkar-bongkar pengetahuan sekilasnya mengenai dunia astronomi. Setelah cukup lama membuka satu per satu berkas di dalam kepalanya, dia berkata, “Memang betul itu aurora, tetapi mengapa berwarna merah?”
“Itu karena warna darah penduduk dunia ini.”
Suara seperti perempuan kembali dia dengar dari balik punggungnya. Suara itu tidak begitu asing, dan tidak terlalu dikenali olehnya. Taka membalikkan badannya perlahan , lalu sumber suara itu kembali berkata, “Ini aku, masih ingatkah kamu?”
Sesosok gadis yang pernah ditemuinya sekali saat malam hari. Bukan, lebih tepatnya dua kali jika Taka yang menganggap demikian.
“Akan kuanggap masih, karena begitu sedikit orang yang kutemui setiap harinya.”
“Be-gi-tu ya,” timpal gadis itu sembari menaruh jari telunjuk di dagunya.
Gadis itu mulai berjalan melewatinya. Taka hanya melihat pergerakan perlahan gadis itu, rambut hitam panjangnya seakan menjadi gaun yang indah baginya. Gadis tersebut berhenti tepat di samping Taka, lalu menunjuk ke arah auorara sembari berkata, “Bagaimana, indah kan?”
“Jika keindahan itu berasal dari kematian seperti yang kamu sebutkan, maka aku hanya dapat menyebutnya kepalsuan.”
“Kamu memang begitu dalam memaknai sesuatu. Dan kamu dapat dengan mudahnya menerima sesuatu dengan cepat.”
“Aku tidak mengatakan jika menerima semua ini. Hanya saja, percuma saja menolak kenyataan yang telah terikat oleh garis takdir.”
“Jadi, kamu menerima kenyataan bahwa duniamu sudah hancur? Jika begitu, menurutmu apa penyebabnya?”
Taka memutar bola matanya, bermain-main sejenak, lantas dia menjawab, “Badai matahari.”
Jawaban singkat dari Taka membuat gadis itu memasang ekspresi kaget di wajahnya. Entah jawaban itu tepat untuk pertanyaannya atau tidak.
‘Gadis tidak bernama’, begitulah Taka memanggilnya di dalam pikirannya sendiri. Dia memang tidak pernah ada niatan untuk menanyakan identitas utama dari gadis tersebut. Sebenarnya masih ada opsi julukan lain yang bisa diberikannya. Tapi, hanya itu yang paling mudah diingat menurutnya.
Gadis tersebut mulai mendekat ke arahnya, memegang lengan kiri Taka, dan menempelkan wajah imutnya. Dia mengusap-usap beberapa kali, lalu mengendus. Dia bergumam, “Aku memang tepat memilihmu,” tanpa ekspresi, tatapan kosong, datar.
Taka mendapat serangan telak untuk saat ini. Serangan secara fisik yang menggoyangkan nafsunya, lalu kalimat berwujud tombak itu begitu menusuk rasa penasarannya. Dia tidak bergerak sama sekali saat gadis tak bernama melakukan aksinya.
“Apa maksud kalimatmu barusan? Dan tolong hentikan ini!” tanya Taka dengan maksud untuk mengklarifikasi.
“Tidak arti khusus di dalamnya,” balas gadis itu.
Taka hanya menyengir sembari menahan perasaan aneh yang sudah tidak karuan.
“Tidak bisa kuhentikan, malah kita akan masuk ke tahap selanjutnya. Persiapkan dirimu! Aku yakin kamu bisa bertahan,” ujar gadis itu sembari mulai menempelkan badan ke dada Taka.
Taka dapat mendengar dengan jelas hembusan napas yang berat dari gadis tak bernama. Bahkan detak jantungnya pun dapat dirasakan olehnya. Tangan kanan gadis tak bernama mulai bergerak-gerak menuju ke dada kiri Taka.
Kruakkk…
Kaos Taka yang disobek oleh gadis tak bernama.
“Apa yang kau lakukan?”
“Ssstttt….” Gadis itu mulai meneteskan air mata entah untuk apa. Seberkas cahaya muncul dari tangan kanannya. Dia menempelkannya pada tanda berbentuk lingkaran hitam yang ada di dada kiri Taka.
“Hentikan!” gertak Taka. Gadis itu hanya tersenyum lembut ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Maafkan aku, dan selamat berjuang!” balas gadis tersebut.
“Untuk apa?” tanya Taka. Tanda di dada kirinya juga mulai mengeluarkan cahaya yang begitu terang.
“Twisting!” teriak gadis tak bernama.
Di mana aku? Kenapa masih gelap? Aku mencium aroma ruangan yang sangat kukenali dengan baik. Bau napas dan keringat ini milik para teman-teman sekelasku. Ini ruang kelasku, tempat bernaungku selama setengah hari. Tempatku menjalani aktivitas layaknya orang normal dan biasa. Syukur, aku bisa kembali lagi ke sini dalam keadaan yang sama. Sama? Mungkin tidak, banyak hal yang terjadi dan berubah.
Perlahan cahaya mulai memasuki ruang kelas Taka; entah dari mana itu berasal. Bulan sudah tidak memancar cahaya, apalagi matahari yang sudah berubah wujud menjadi seperti itu. Aneh, cahaya yang memasuki ruang kelas memiliki warna merah terang.
Dalam keadaan penerangan yang samar-samar berwarna merah, Taka mulai dapat melihat anggota ruang kelasnya itu. Meja dan kursi berjejer rapi seperti tak pernah tersentuh sama sekali. Papan tulis putih yang masih bernoda hitam; bekas tinta spidol.
Taka menganga ketika melihat layar proyektor yang dalam keadaan menyala; dengan warna yang persis saat itu. “Bukankah listriknya sedang mati?” tanya Taka, entah kepada siapa. Taka baru menyadari cahaya merah yang menerangi ruang kelasnya berasal dari layar proyektor itu.
“Betapa lemotnya aku menyadari sesuatu,” gumamnya pelan. Setelah itu diikuti tawa kecil yang berasal darinya. Entah apa yang dia tertawakan dalam keadaan seperti ini. Mungkin saja dia berusaha menghibur dirinya sendiri yang tengah dalam keadaan abstrak ini.
Layar proyektor yang awal berwarna merah darah, kini mulai memutih seperti cahaya dari lampu bohlam. Cahaya itu mati seketika, dan membuat kelasnya menjadi gelap kembali untuk seketika.
“Hoi-hoi! Siapa yang mematikannya? Hahahahaha,” teriak Taka.
“Aku takut, aku takut, hahahaha…bodoh! Kau pikir aku pengecut? Memang betul,” ujarnya sendiri.
Dia mulai berdiri dan mengamati keadaan sekitar dengan cepat. “Gelap, semuanya gelap, tidak ada siapapun di sini,” ucapnya kembali.
“Kamu tidak perlu takut.”
Taka mendengar suara yang mirip dengan gadis itu. Suaranya menggema di dalam ruang kelas dengan jelas. Dia sedikit ketakutan, dan melangkah mundur perlahan hingga dinding menghentikannya.
Layar proyektor menyala kembali, sekarang gadis itu yang ditampilkan olehnya. Gadis itu hanya memasang wajah polos tak berekpresi.
Srekkk…
Pintu kelas terbuka, dan muncul gadis tersebut di baliknya. Dia mulai berjalan masuk sembari membawa selembar kertas di tangan kanannya.
“Itu diriku yang satunya,” jelas gadis itu sembari terus berjalan mendekati Taka yang masih belum bisa memberikan respon terhadap situasi ini.
Gadis itu sekarang sudah berada di hadapannya. Gaun terusan sampai ke lutut berwarna putih membalut tubuhnya. “Ini untukmu,” ujarnya sembari memberikan selembar kertas pada Taka.
Taka menerimanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Jangan dibuka!” tegas gadis tak bernama ketika melihat Taka mencoba membuka dan membaca kertas itu.
“Tunggu saat yang tepat, baru kamu bisa membukanya,” tambah gadis tak bernama. Taka hanya mengangguk tanpa membuka lisannya lagi.
Dalam keadaan saling berhadapan, Taka hanya menunduk tanpa berusaha membuka percakapan, sementara gadis itu tetap menatapnya dengan senyuman. Mulut Taka seakan membeku dan berat sekali untuk dibuka. Dia beberapa kali menggertak dirinya sendiri agar segera angkat bicara.
“Jadi, apa kamu sudah bertemu dengan diriku yang itu?” tanya gadis itu dengan lembut. Wajahnya benar-benar polos, tapi pertanyaannya memiliki makna yang begitu dalam.
“Aku tidak tahu apa maksud perkataanmu, tapi aku sudah bertemu denganmu beberapa menit yang lalu,” balas Taka setelah cukup lama mengumpulkan keberanian.
Gadis tak bernama semakin tersenyum, dia berjalan mendekat ke arah Taka yang sudah tidak bisa bergerak ke manapun karena tubunya tertahan oleh dinding. Gadis tak bernama memegang dada kirinya, lalu berkata, “Begitu, jadi kamu sudah siap dan matang. Baiklah, aku akan menjelaskannya padamu, lalu mempersiapkan itu.”
Taka kembali mengangguk bisu. Gadis tak bernama memahami isyarat yang diberikan olehnya dan mulai berkata,”Jadi, kamu telah terpilih, bukan, ditakdirkan lebih tepatnya. Kamu memiliki takdir untuk menghentikan diriku yang satunya.”
“Tunggu, berapa banyak dirimu di dunia ini?” tanya Taka untuk mengisi jeda yang diberikan oleh gadis itu.
“Sebanyak bintang di alam semesta.”
Jawaban yang sangat mengagetkan bagi Taka si manusia biasa. Dia mencengkram kepalanya sendiri dengan erat. Lalu berkata, “Sebentar, ada satu pertanyaan untukmu sebelum kamu mulai menjelaskan lagi.”
“Apa itu? Silahkan saja, kita masih punya cukup waktu.”
“Kenapa kamu selalu melihat ke langit dan seperti tengah berusaha meraih sesuatu?”
Gadis tak bernama tidak membalas pertanyaan cukup lama hingga keringat menetes dari pelipis Taka.
“Jika kamu enggan menjawabnya, tidak perlu dipaks-“
“Aku sedang berbicara dengan diriku yang ada di sana.”
Taka memangutkan kepala tanpa membalas perkataannya agar percakapan ini tidak berlanjut lebih jauh.
“Kamu akan kukirim ke masa sebelum diriku yang satunya menghancurkan dunia ini, lalu hentikan dia! Buat dia jatuh cinta.” jelas gadis itu kembali.
“Setelah itu, apa yang harus aku lakukan?”
“Jawabannya ada di kertas yang kuberikan padamu. Bukalah di saat yang tepat!”
“Tunggu-tunggu! Tolong jelaskan maksud ucapanmu!” perintah Taka dengan nada yang sedikit meninggi.
Ekspresi gadis tak bernama seketika menjadi sedih, senyuman manis itu hilang sekejap mata dari wajahnya. Dia mengendus-endus beberapa kali. Kemudian dia berucap, “Nanti, kamu akan mengetahuinya sendiri. Kita harus cepat karena diriku yang satunya telah datang.”
Cruattt…
Sebuah pisau menusuk dada gadis tak bernama. Dan di belakangnya, Taka melihat gadis tak bernama kedua sedang menghujamkan pisau pada dirinya sendiri.
Taka menelan ludah beberapa kali, lalu mengangguk bisu. Dalam keadaan bersimbah darah sembari menahan perih, gadis tak bernama menyuruhnya duduk bersimpuh, lalu memejamkan mata. Gadis tak bernama yang terhujam pisau jatuh tersungkur di pelukan Taka.
“Tenang saja, ini semua akan berakhir,” bisik gadis itu. Dia mulai memegang dada kiri Taka dan mengeluarkan cahaya dari tangannya.
“Time leap,” teriak gadis itu sebelum tubuh Taka terasa seperti disedot ke dalam lubang yang begitu besar.
Dia merasa seperti melayang di dalam air, bukan, dia mencoba mengayunkan tangannya, tapi tidak basah sedikit pun. Dia mencoba menghirup udara; masih ada yang bisa mengisi paru-parunya. Dia membuka matanya perlahan; dirinya seperti berada di dalam pipa besar berwarna hitam dengan angka-angka yang tertulis di kanan, kiri, atas, dan bawah.
Taka menyimpulkan jika angka-angka itu memiliki makna khusus, penunjuk waktu, mungkin. Dia terus tersedot dengan tenang tanpa berusaha melawan arus yang membawanya. Padahal tidak ada jaminan jika arus ini akan mengantarkannya ke tempat yang lebih baik.
“Hei! Kau tidak apa-apa Taka?” tanya seseorang padanya.
“Heh? Aku tidak apa-apa Prisna,” jawabnya.
“Akhirnya dirimu mau memanggil namaku dan tidak menyebutku ‘mata empat’ lagi.”
“Enak saja, aku tidak pernah menyebutmu demikian.”
“Cih, aku tahu isi pikiranmu.”
“Terserah-terserah, tunggu! Aku melupakan hal yang penting.”
“Apa itu? Bukumu ketinggalan di kelas?”
“Sekarang, jam berapa?”
“Tepat sebelum matahari terbenam.”
Taka segera berlari meninggalkan ruang perpustakaan tanpa berbicara sedikit pun setelah mendengar jawaban dari Prisna.
“Woi! Mau ke mana? Ini buku yang mau kau pinjam,” tanya Prisna sembari melemparkan buku ke arah Taka. Taka menangkapnya dengan sigap, lalu tersenyum kecil setelah membaca judul dari buku tersebut.