Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (2.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

            Sepertinya hari ini masih seperti biasa, pikirnya. Dia bisa menyimpulkan demikian dikarenakan sepanjang matanya memandang, tidak ada yang berubah. Kotanya masih penuh dengan aktivitas penduduk. Mereka menjalani rutinitas yang monoton layaknya gerakan jarum metronom. Matahari tidak punya malu untuk menunjukkan wujudnya; sengatan cahayanya yang begitu terik dan panas.

            Keringat pula juga tidak segan-segan mencucur deras dari pori-pori kulit. Jika bukan karena tuntutan dan kewajiban menempuh pendidikan, dia sangat enggan menyusuri hari yang begitu panas dan melelahkan ini. Tempat tingalnya sudah seperti gurun pasir, begitu gersang tanpa adanya pepohonan.

            Sebulan yang lalu telah terjadi pembantaian massal di kotanya. Ribuan pohon ditebang dengan alasan perluasan lahan untuk fasilitas publik. Ketika tragedi itu terjadi, dia memilih untung mengurung diri, menutup telinga, dan membuta sesaat, karena tangisan pohon-pohon yang ditebang begitu menyiksa. Darah-darah mereka menggenang membentuk danau kematian. Tetapi, tidak ada tersangka dalam kejadian itu. Hanya ada korban yang tewas tanpa ada tersangka.

            Taka mengusap keringatnya sembari terus berjalan menyusuri jalan beton yang terbentang kokoh. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia membaca buku dari perpustakaan yang dipinjam olehnya.

            Cinta, sepanjang perjalanannya di dunia, singgah di setiap hati mahluk hidup, menciptakan kedamaian, menumbuhkan amarah dan dendam, selalu ada dua pilihan yang tercipta. Ketika tanda-tanda cinta mulai muncul, subyek dapat memilih untuk menumbuhkannya atau membiarkan benih itu mati membusuk. Lalu saat subyek telah memutuskan untuk menumbuhkannya, ada dua pilihan lagi yang muncul; mengungkapkannya atau memendamnya sampai masak, lalu mati membusuk. Dan ketika subyek memilih untuk mengungkap rasa cintanya, terdapat dua pilihan lagi, ditolak atau diterima. Sedangkan bagi subyek yang mendapat ungkapan cinta, mereka memiliki pilihan untuk menolak atau menerima.

            “Benar-benar unik buku ini,” gumamnya pelan sembari membuka pintu perpustakaan langganannya.

            “Tumben sekali pagi hari kamu ke sini?” tanya mata empat yang mulai memfokuskan pandangan kepadanya. Dia berhenti menulis sesuatu pada secarik kertas, lalu menghampiri Taka yang masih mengelap keringatnya.

            “Ini tempat evakuasi darurat, pemerintah sudah memasang tandanya di depan perpustakaanmu.”

            “Benarkah?” tanyanya, lalu dia segera berjalan keluar perpustakaan untuk memastikan ucapan Taka. Dia menggelengkan kepala, kembali masuk ke dalam, kemudian berkata, “Pembohong kelas teri.”

            “Kau yang begitu bodoh, mudah sekali terpancing tipuan murahan seperti ini.”

            “Hahahaha…. Sombong sekali kau ini. Aku hanya mengikuti alurmu saja agar candaanmu tidak garing.”

            “Terserah mulutmu berkata,” jawab Taka dengan singkat. Dia berjalan menuju kursi yang ada di meja peminjaman, lalu duduk di atasnya. Mata empat juga mengikuti apa yang dilakukan oleh Taka.

            Mata empat mulai memasang wajah serius dengan melipat kedua telapak tangan di depan wajahnya. Sesekali dia bernapas begitu dalam untuk menikmati udara sejuk yang berkelana di dalam ruang perpustakaan. Dia mengerutkan dahinya, lalu mulai bertanya, “Jadi apa tujuanmu sebenarnya datang ke sini? Seingatku, kau hanya datang ke sini untuk meminjam buku, dan juga ada sesuatu yang penting. Sedangkan kemarin dirimu sudah meminjam salah satu buku dari perpustkaan ini.”

            “Tepat seperti dugaanmu,” jawab taka. Dia menaruh tasnya di lantai, kemudian membetulkan kerah bajunya. Taka mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, lalu diberikan pada mata empat.

            “Itu artikel tentang badai matahari.”

            “Sejak kapan mulai mempelajari astronomi? Bukannya kau hanya penggelut literasi yang tidak berani?”

            “Sudah cukup bertanyanya, baca dulu saja.”

            Mata empat mengikuti intruksi Taka tanpa mengelak sedikitpun. Dia begitu serius mengejar kata-kata yang berbaris rapi. Sementara itu, Taka mulai membaca lagi buku yang berjudul ‘Menolak Atau Ditolak’.

            Cinta itu ibarat satu buah sayap. Dibutuhkan sepasang sayap bagi seekor burung untuk terbang melenggang bebas di langit. Setiap orang yang dilahirkan sudah memiliki, merasakan, dan menerima cinta. Baik dari orang tedekat, alam sekitar, hal yang tidak terlihat, atau tuhannya. Jadi tidak akan ada masa di mana cinta akan menghilang dari dunia ini. Bukan hanya dunia, tetapi seluruh semesta. Jadi dengan menumbuhkan setengah kepingan cinta, lalu mencari sisanya. Maka akan terciptalah burung yang saling berbagi sayap agar dapat terbang. Mereka yang telah menemukannya akan mampu menggapai dan mewujudkan apapun; bahkan dapat menghancurkan atau menyelamatkan dunia.

            Taka tersenyum kecil setelah selesai membaca kalimat yang ada di buku itu. Sementara Mata empat belum selesai berlari di dalam artikel yang diberikan olehnya. Taka mengetuk-etuk jarinya ke atas meja untuk melawan rasa bosan. Orang yang sedari tadi sibuk memfokuskan diri pada tulisan di dalam kertas mulai menghembuskan napas dengan kasar. Dia mengangguk kepada Taka; sinyal untuk memulai percakapan kembali.

            “Bagaimana?”

            “Aku tidak dapat memberikan tanggapan yang  akurat.”

            “Apakah akan terjadi?”

            “Kemungkinan besar iya. Mengingat beberapa bulan terakhir suhu udaranya begitu tinggi. Pasti beberapa hari lagi akan ada pemberitahuan mengenai ini.”

            Wajah Taka mulai terlihat ketakutan.  Dahinya mulai mengerut, bibirnya menjadi kering, dan napasnya terdengar tegesa-gesa. Dia memegangi dada kirinya, lalu bertanya, “Apa bumi akan hancur?”

            “Dalam sekali pertanyaanmu, aku tidak tahu.”

            “Hahahaha…untuk apa aku begitu memikirkannya,” jawab Taka yang mulai tenang. Mata empat nampak heran melihat perubahan emosi yang sedang dialami oleh Taka. Dia dengan cepat merasa cemas, takut, dan panik. Lalu, dalam waktu tidak sampai semenit, dia sudah bisa tertawa lepas.

            Mata empat menyuruhnya untuk segera berangkat ke sekolah. Taka menuruti ucapannya tanpa membantah. Dia mengambil tas, lalu berjalan keluar dari perpustakaan. Artikel tadi sengaja dia tinggal agar dapat dibaca lebih jauh oleh mata empat.

            Perbedaan suhu antara di dalam dan di luar perpustakaan bagai bumi dan langit. Jika tubuhnya terbuat dari besi, maka tidak butuh waktu lama untuk berkarat dan rapuh.

            Dia mencoba mengingat kembali mengenai kejadian yang dialami olehnya kemarin. Gadis yang mengiriminya surat  masih menjadi tanda tanya besar. Ada dua pertanyaan vital yang terlintas begitu saja benaknya. Pertama, mengapa gadis itu ingin membunuhnya? Kedua, ke mana perginya mayat gadis itu? Ataukah itu hanya imajinasinya saja? Itiu tiga pertanyaan.

            Taka benar-benar tidak mampu memahami. Jika memang itu sekedar ilusi yang  berasal dari imajinasi, maka sejak awal dia tidak pernah menerima surat itu. Dia mempercepat  langkahnya untuk bertemu seseorang agar dapat memastikan suatu hal.

            “Hei,” sapa Taka pada Farizah sembari menepuk pungungnya. Farizha hanya meliriknya sebentar, lalu lanjut menulis sesuatu pada bukunya. Taka bisa menebak jika temannya itu masih sibuk mengerjakan tugas rumah. Dia menggelengkan kepala, memegang dahi, lalu duduk di kursinya sendiri.

            “Ada apa? Tumben sekali dirimu yang memulai percakapan,” tanya Farizha yang nampaknya telah selesai dengan urusannya. Taka menyuruh Farizha untuk mendekat padanya. Lalu dia berbisik, “Apa kemarin saat istirahat makan siang aku menunjukkan sebuah surat padamu?”

            Farizha menyengir, lalu berkata, “Aku memang tidak heran tentang dirimu yang mendapatkan surat apalah itu. Tapi, seingatku tidak ada surat yang kau tunjukkan sekali pun padaku kemarin.”

            “Begitu ya.” Taka mulai mencubit dahinya, menundukkan kepala, kemudian menghembuskan udara lewat mulut. Dia mengetuk meja dengan jari-jarinya berulang kali. Dia memejamkan mata sebentar untuk memudahkannya berpikir.

            Apa-apaan ini? Ini kebohongan kan? Dia sengaja berbohong padaku untuk sekedar bercanda kan? Tidak-tidak, Farizha tidak pernah berbohong mengenai hal yang serius. Tapi, kenapa hanya aku yang mengetahui soal surat itu? Jangan-jangan surat kemarin itu hanya ilusi; gadis itu beserta tragdei kematiannya juga. Soal pesan pada proyektor itu terlihat begitu nyata. Tetapi,  Tidak ada PC yang tersambung pada kabel connectornya. Ditambah lagi ada tanda aneh di dada kiriku.

            “Taka kau tidak apa-apa?” tanya Farizha sembari menjetikkan jarinya. Dia merasa cemas melihat Taka yang terlihat begitu gelisah. Setelah pertanyaannya dibiarkan tanpa jawaban, Taka mulai membuka mata.

            “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya singkat.

            “Tapi dirimu nampak kurang sehat hari ini.”

            “Sudah kukatakan aku baik-baik saja!” bentak Taka yang membuat siswa di kelas mengalihkan perhatian padanya.

            Farizha hanya diam sembari mengangguk agar Taka memiliki jeda untuk memadamkan amarah. Dia kembali mengerjakan tugas rumahnya, sementara Taka masih sibuk memikirkan hal-hal yang dialaminya belakangan ini. “Arrghhh,” erang Taka yang tengah memegangi dada kirinya.

            “Hei kau kenapa?” Farizha menjadi panik, dan memegangi kedua lengan Taka untuk menenangkannya. Taka mencengkram keras dada kirinya dengan tangan kanan. Urat-urat wajahnya yang biasa sembunyi, kini menunjukkan batang tubuhnya. Dia melihat ke arah Farizha sembari berkata, “Aku mau ke toilet dulu.”

            Taka melepaskan tangan Farizha dan  segera berlari kencang meninggalkan ruang kelas. Farizha tidak mengejarnya, dia hanya membiarkannya, mungkin tidak. Taka berlari sekuat tenaga sembari menahan nyeri di dada kirinya. Panas dan perih seperti ditusuk dengan belati panas juga dirasakan olehnya.

            Jarak antara kelas dan toilet terasa begitu jauh baginya. Dirinya bagaikan tentara yang tengah melarikan diri dari medan perang. Sesampainya di toilet, dia segera membasuh wajah dan membuka kancing seragamnya. Nyeri di dada kirinya masih terasa, tetapi mulai berangsur-angsur menghilang.

            “Tanda ini semakin besar,” ujarnya setelah melihat bayangannya sendiri di cermin. Lingkaran hitam yang ada di dada kirinya seperti mengalami perubahan bentuk. Terakhir kali dia melihatnya, tidak ada gambar pedang di dalam lingkaran itu. Tapi sekarang, terdapat gambar dua padang yang saling menusuk silang lingkaran itu.

            “Ada apa ini? Kenapa pengelihatanku menjadi merah?” tanyanya pada diri sendiri. Dia mencengkram kepalanya dengan kuat. Tiba-tiba muncul sesosok gadis pada cermin yang ada di depannya. “Aku akan membunuhmu!” ujar bayangan gadis itu.

            Taka berjalan mundur ke belakang; tertahan oleh dinding, lalu terduduk lemas bersandar.

            “Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu…”raung bayangan gadis yang ada di dalam cermin. Bayangan itu mulai menjadi nyata dan berwujud, konkret. “Kau gadis yang kemarin?” tanya Taka. Gadis itu masih menggunakan seragam yang sama; bersimbah darah.

            “Aku akan membunuhmu! Aku akan segera menyelesaikan misiku. Aku sudah muak bernaung di dunia yang begitu busuk ini,” jelas gadis itu. Dia mulai berjalan mendekat ke arah Taka yang tengah berusaha bangkit dari duduknya. Dia mulai melayangkan pisau di tangan kanannya sembari berkata, “Maaf sudah terlambat.”

            “Cruattt….” suara pisau yang menancap erat pada dada kiri  Taka menggema di dalam toilet. Dari bekas tusukan pisau itu, darah Taka menyembur keluar seperti air mancur. Gadis itu menempelkan tubuhnya pada Taka yang sudah tidak berdaya. Membelainya mulai dari rambut, wajah, dagu, lalu dia berbisik, “Semoga kamu berhasil menghentikan dia.”

            “Di-a-si-a-pa?” tanya Taka sebelum kesadarannya benar-benar menghilang. Dalam keadaan ikatan jiwa dan raga yang akan segera terputus, dia memulai lamunan yang berisi angannya.

            Mungkinkah  aku mati? Tentu saja. Aku sudah tidak bisa merasakan rangsangan-rangsangan dari duniaku. Tubuhku ini terasa begitu ringan. Tapi, kenapa masih saja lingkungan sekitarku gelap? Mungkinkah aku sudah sampai di neraka terlebih dahulu sebelum melewati alam baka? Akankah aku bertemu kembali dengan gadis yang kutemui kemarin malam?

            “Cahaya bulan?” gumamnya dengan lirih. Dia mendengar teriakan seseorang yang benar-benar dikenalinya. “Bangunlah!” sentak Farizha sembari menampar pipinya.  Taka mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya sudah kembali normal; tidak lagi merah darah. Refleks, dia meraba-raba dada kirinya sendiri, lalu berdiri dengan cepat, berjalan ke arah cermin untuk memeriksanya. Farizha hanya menganga melihat kelakuan temannya itu, lalu berkata, “ Bisa-bisanya kau tidur di toilet, kau sudah gila ya?”

            “Ha? Mungkin saja. Aku baru saja mengalami sesuatu yang akan membuatku bernaung di rumah sakit jiwa.” Taka mulai menoleh ke arah Farizha yang membawa sesuatu di tangannya. “Ini untukmu,” ujarnya sembari melemparkan sekaleng kopi hitam pada Taka. Spontan, dia menangkap pemberian temannya itu. Kemudian membukanya, meminumnya hingga tenggakan terakhir.

            “Mendingan?”

            “Sebagai seorang teman yang kurang ajar, ternyata dirimu lumayan peka terhadap orang lain.”

            “Hahahaha, aku memang sejak dulu peduli pada siapapun. Seharusnya kau bercermin cembunglah pada kata-katamu sendiri.”

            “Seenak-enak saja lidahmu itu menciptakan kata,” ketus Taka.

            “Tapi, mungkin kau ada benarnya,” ujar Taka kembali. Kalimatnya barusan cukup membuat obrolan ringan ini menjadi serius.

            “Kupikir kau harus mulai berubah. Jangan terlalu sering menolak perasaan dari lawan jenis,” tutur Farizha setelah menghabiskan kopi kalengan miliknya. Entah kenapa dia mulai meremas kaleng kosong itu. Taka hanya meliriknya sejenak tanpa berkomentar.

            “Jujur saja, aku begitu iri denganmu. Dapat dengan mudahnya para siswi di sini jatuh cinta padamu,” jelas Farizha dengan nada yang serius.

            “Rumput tetangga selalu lebih hijau dan segar.”

            “Hahahaha betul juga apa yang kau katakana. Tapi, aku juga ingin merasakannya sekali saja!” keluh Farizha.

            “Berdoalah pada tuhan yang ada di atas sana,” jawabnya sembari menunjuk ke atas.  Farizha mengangguk seakan-akan mengerti, lalu mulai mengepalkan kedua tangannya.

            “Tuhan…kirimkanlah dewi cintamu padaku,ladang  hambamu ini sudah begitu gersang karena sudah lama tidak dipupuk,” rapal Farizha dengan begitu khidmat.

“Apa-apaan harapan tersirat nan menjijikan itu.” Taka mulai menatapnya dengan sinis. Kemudian, “Hahahahaha…” tawa mereka berdua yang saling menggema di dalam toilet terdengar seperti kicauan burung tak bersayap.

            “Ayo kita kembali kelas!” ajak Farizha.

            “Tentu saja, akan merepotkan jika ada gosip menjijikan yang menyangkut kita berdua.”

            “Maaf saja, aku bukan homo.”

            “Terserah mulutmu!”

            Saat mereka berdua telah tiba di kelas, suasana yang dipancarkan begitu berbeda. Para siswa yang biasanya sibuk mengobrol satu sama lain ketika tidak ada guru, kini hanya diam membisu. Mereka hanya terpaku di tempat duduk dan mejanya masing-masing tanpa melakukan apapun. Bahkan selama apapun diamati, mata mereka tidak berkedip sekalipun.

            Taka hanya mendiamkan hal ini dengan bersikap seperti biasa. Biasa? Entah bagaimana orang-orang menggangap sikap biasanya dia.

            Guru yang mengajar telah memasuki ruang kelas dengan membawa buku mata pelajaran yang akan diajarkan. Taka duduk di kursi miliknya, diikuti pula oleh Farizha yang semenjak keluar dari toilet bersamanya masih belum berkata apapun. Biasanya dialah yang paling banyak bicara di antara mereka berdua.

            “Apa kau merasakannya?” tanya Taka pada Farizha. Bukan menjadi kebiasannya untuk menjadi perintis sebuah percakapan.

            “…” Farizha hanya menolehnya tanpa menjawab pertanyaan Taka, lalu mengangkat tangan kanannya; menggoyang-goyangkan untuk memberi isyarat.

            Cukup biarkan saja, pasti semuanya akan kembali normal seperti kemarin. Kemarin? Normal? Kupikir kejadian kemarin malamlah yang membuat hal-hal abnormal mulai menimpaku.

            “Maaf tuan, anda mau memesan apanya?” tanya seorang pelayan wanita padanya. Pertanyaan itu memecahkan lamunannya. Sejak di sekolah tadi, dia memang sudah memutuskan untuk mampir sebentar di café langganan.

            “Vanilla latte saja satu, panas ya,” jawabnya singkat. Pelayan itu segera menulis pesanannya pada selembar kertas, lalu meninggalkannya.

            Mata Taka berselancar mengamati seisi café yang penuh dengan pelanggan siswa sepertinya. Ada tiga orang siswi yang berbeda seragam dengannya tengah sibuk memainkan ponselnya masing-masing.

            “Untuk apa jika kumpul kalau hanya begini jadinya,” gumamnya lirih. Lalu matanya tertarik pada sepasang kekasih yang tengah bermesraan dalam satu meja. Dia hanya tersenyum kecil melihat pemandangan yang ditampilkan di hadapannya.

          “Benar-benar romantis, keren, andai saja aku tidak seperti ini, maka aku akan jadi budak cinta seperti mereka.” Untuk mengalihkan perhatiannya, dia kembali membaca buku yang dipinjamnya dari perpustakaan.

            Setali tiga uang dengan obat, cinta juga memiliki efek samping. Cinta juga mampu membuat penggunanya menjadi ketergantungan, hingga rela mengeluarkan apa saja untuk menggapai dan merasakannya.  Cinta juga mampu memberikan delusi yang tidak terbatas; melayang-layang di antara awan-awan semu nan empuk. Membuat penggunanya lupa untuk menengok realitanya karena sibuk dengan imajinasi itu. Tetapi, sama halnya dengan obat yang berperan untuk mengobati suatu penyakit. Maka cinta pula juga mampu berperan sebagai pembawa kedamaian, kebahagiaan, dan ketenangan. Tapi juga bisa antonimnya, mungkin.

            “Buku yang benar-benar unik,” gumamnya untuk kesekian kali. Tanpa disadari, minuman pesanannya sudah berada di atas meja. Mungkin saja pelayan itu segan untuk menganggu imajinasiku, pikirnya.

            Dia menyeruput perlahan vanilla latte yang masih dipenuhi uap panas itu. Rasanya yang manis begitu menenangkan pemikirannya. Dia tertawa kecil ketika membayangkan kacamata milik penjaga perpustakaan itu dipenuhi dengan uap air yang menempel saat meminum ini.

            “Beeppzz…” ponsel miliknya berbunyi; pertanda ada pesan yang masuk. Benar saja, ada pesan yang masuk dari kakak perempuannya. Pesan itu berisikan, “cepatlah pulang! Makan malam sudah siap.”

            Dalam keadaan yang masih panas, dia segera menenggak minumannya dengan cepat. “Tunggu dulu, sejak kapan kakakku memasak?” tanyanya lirih pada diri sendiri.

            “Terima kasih sudah berkunjung,” ucap seorang pelayan sembari menunduk pada Taka yang berjalan keluar melewati pintu.

            Dia mempercepat langkah kakinya ketika menyusuri jalanan yang hanya diterangi oleh cahaya bulan. Entah sejak kapan dia menjadi penakut akan kegelapan. Dengan merapal doa-doa yang diketahui olehnya, sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Berwaspada jika ada sesuatu yang menyerang, pikirnya.

            Benar saja, ada sesuatu yang membuatnya harus menghentikan kakinya. Gadis yang ditemuinya kemarin malam kembali muncul di hadapannya. Dia kini tetap melakukan hal yang sama seperti kemarin malam; menatap ke arah langit dengan tangan kanan diangkat ke atas seperti berusaha meraih sesuatu.

            Tapi, ada yang berbeda dengan pakaiannya kali ini. Dia mengenakan jaket hoodie hitam, beanie hat putih, dan celana jeans hitam. Bagi Taka, pakaian itu terlihat begitu normal. Karena itu merupakan gaya yang sedang tren untuk jenis pakaian santai.

            Jarak mereka berdua berkisar sepuluh langkah kaki Taka. Tanpa memerdulikan rasa takut yang melandanya, dia melanjutkan langkhnya dengan berani. Perlahan tapi pasti, tidak, tidak ada yang dapat memastikan keadaan ini akan berjalan baik-baik saja.

            Ketika mereka berjarak tiga langkah, gadis itu berkata, “Aku tahu realita memang kejam, tapi hanya pengecut yang melarikan diri darinya.”

            Aku memang pengecut, batin Taka. Dia menelan ludah, mengusap keringat yang tidak malu untuk keluar.

            “Bintang-bintang di langit jika dilihat dari sini memang nampak saling berdekatan seperti keluarga, sepasang kekasih, ataupun sahabat,” ujar gadis itu. Dia masih saja menatap langit. Setelah cukup lama dalam kebisuan, dia menurunkan kepalanya, dan mulai menatap  Taka dengan lembut. Dia tersenyum lebar ke arahnya dengan tulus. Taka merasa begitu terpesona, karena ini pertama kalinya melihat seorang gadis yang tersenyum begitu manis dan tulus.

            “Tapi, sebenarnya di antara mereka terdapat jarak fisik yang begitu jauh,” sambung Taka untuk menyelesaikan kalimat gadis itu.

            “Ahaa, akhirnya kamu bicara juga. Kupikir kamu salah satu penderita disabilitas.”

            “Tidak, enak saja mulutmu berbicara. Hanya saja aku mengalami hal yang dirasakan oleh pengecut.”

            “Ketakutan? Kenapa?”

            “Kemarin malam saat kita bertemu, aku mengalami suatu hal aneh yang tidak bisa dijelaskan.”

            “Kemarin malam?” tanya gadis itu sambil menaruh jari telunjuk pada dagunya. Entah untuk apa dia tersenyum kecil. “Kemarin malam aku tidak keluar sama sekali. Seingatku, aku hanya pulang ke rumah, belajar, lalu tidur.”

            “Begitu ya,” jawab Taka. Jawaban yang diberikan oleh gadis itu semakin memberikan tanda tanya besar padanya.

            “Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” tanya gadis itu kembal sembari menaruh kedua tangannya di belakang tubuhnya sendiri.

            “Si-lah-kan saja,”ujar Taka dengan terbatah-batah. Dalam keadaan yang mulai serius, dia memulai kembali terkaannya.

            Apa yang akan dia katakan? Perkataan yang memiliki makna khusus atau biasa saja? Mungkin pernyataan cinta seperti yang diungkapkan oleh para gadis padaku. Tapi, tidak mungkin kan, karena kita baru bertemu beberapa kali, tidak beberapa kali, melainkan sekali, katanya tadi. Namun jika memang benar itu merupakan pernyataan cinta, maka daya tarikku ini benar-benar luar biasa.

            “Duniamu ini sudah hancur,” jelas gadis itu dengan tegas. Taka bergeming, matanya terbelalak, tubuhnya bergetar seperti tersengat listrik. Dia mencoba membuka mulutnya dengan berkata, “Dari mana kamu mengetahuinya?”

            “Aku dapat melihatnya dengan mataku ini,” jawabnya sembari menunjuk matanya sendiri.

            “Kamu juga bisa melihatnya,” sambung gadis itu.

            “Tunggu-tunggu, ini semua sungguh sulit untuk kumengerti.”

            Gadis itu meninggalkannya dengan berjalan menjauh sembari melompat-lompat kecil layaknya anak keci. Dia berhenti, membalikkan badan, lalu berkata, “Lihatlah realita!  Sampai kapan kamu akan hidup di dunia yang sudah hancur ini?”

            Taka hanya menundukkan kepalanya dengan begitu dalam untuk memahami semua ini. Pikirannya sudah mencapai batas untuk mencari benang merah. Gadis itu sudah menghilang ketika dia mengangkat kepalanya sendiri.

            Benarkah yang dikatakan oleh gadis tadi? Kurasa tidak, bahkan dia tidak mengingat pertemuan pertamanya denganku. Mungkin saja dia salah satu pasien rumah sakit jiwa yang sedang mencari angin. Atau mungkin saja aku yang sedang sakit jiwa. Delusi ini, kumohon berakhirlah. Jika ini mimpi, semoga kakakku menyiramkan air padaku agar terbangun.

            “Hei kau kenapa? Melamun mulu dari tadi, galau?” tanya kakak perempuannya. Suara kakaknya itu membuat dirinya tersadar dari lamunannya. Dia tidak begitu bernafsu untuk makan malam.

            “Tidak kenapa-kenapa, hanya saja sedang banyak tugas yang harus kuselesaikan.”

            “Begitu, cepat habiskan bila begitu.”

            “Siap bos!” jawabnya dengan tegas. Usahanya untuk menyembunyikan hal itu sepertinya berjalan lancar. Dia segera melahap makanan yang tidak ada rasanya itu. Sebenarnya ada banyak bumbu yang digunakan, tetapi lidahnya sendirilah yang mematikan rasa itu.

            “Aku selesai, aku mau ke kamar dulu.” Taka segera membereskan dan mencuci peralatan makanannya sendiri. Kakaknya hanya mengangguk ke arahnya.

            Setelah selesai menata peralatan makannya di lemari, dia berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.

            “Apakah tidak apa-apa jika dibiarkan kupendam sendiri?” tanyanya pada diri sendiri sembari menaiki tangga.

            “Sialan! Aku lupa, biji akan tumbuh jika dipendam di dalam tanah. hahahahahaha...”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1333      656     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4435      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5462      1525     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.