Ibaratnya yang kaya semakin kaya, yang bahagia semakin bahagia. Yang melarat makin merosot. Seperti tidak ada keadilan.
Hukum alam memangnya begitu? Bukankah roda itu bundar, bumi itu bulat? Selalu berputar tiap detiknya, bergeser walau sedikit?
Aku kadang berpikir, semesta itu gemarnya bersaksi. Sudi saja melihat kisah-kisah madesu-ku.
"Udah mah akadnya absurd, jauh dari kata indah. Eh Sekarang malah ditambah lagi gak honeymoon. Miris banget sih pernikahan lo Ra." cekikik Sisca.
"Gak ada yang lebih miris selain tingkah Samella. Saking cintanya, dia nangis kejer tiap hari karena Saka mau pergi." curhatku bingung.
Entah, Same itu berotak dewasa tapi tingkahnya tidak sedewasa itu. Sisi normalnya masih ada. Dia bahkan bisa marah padaku selama ini karena hal sepele. Childess.
Keabsenanku di acara sekolah seminggu yang lalu amat dipermasalahkan. Giliran ada Papap yang sayang Same malah harus pergi, Bibun gak sayang Same. Pokoknya gak mau seatap sama Bibun!
Seakan menunaikan keinginannya. Gadis kecil itu sudah hijrah ke rumah Ayah diantar Saka tadi pagi.
"Baru ditinggalin Saka ke Jepang seminggu aja udah nangis-nangis gitu." timbrung Gibran yang baru tiba. "Ini kayak ngajarin lo buat baik-baik sama Saka. Gak boleh ada cerai-ceraian!"
"Kali ini gue terpaksa setuju sih sama Gibran." suara Sisca terbit diantara kunyahannya. "Lo udah coba tanyain tentang Chelsea yang kedapatan sering nginep di rumah Saka sebelum kalian nikah?"
Sejauh Saka menutup rapat mulutnya, aku coba mengikuti. Malas bertanya meski penasaran. Serius, dituduh cemburu itu jauh dari menyenangkan.
Pernikahan ini biar berjalan mengikuti arusnya. Aku patuh pada setiap permainan hidup. Menjadi istri seperti pada umumnya, tidak berpikiran untuk bercerai atau apa pun.
Tapi jika kekhawatiran Sisca terjadi. Aku bisa apa selain pasrah? Tentu menerim perpisahan, membiarkan status jandaku tersemat lagi.
Sisca akhir-akhir ini sedikit banyak memperhatikan Chelsea. Selain matanya selalu sebesar telur dinosaurus, wajahnya juga pucat pasi. Dia sering muntah-muntah pula.
Ajaib rasanya, di pagi hari makan rujak, di sore hari saat hujan turun minum pop ice full ice. Sepulang lembur tepatnya jam 8 malam, Chelsea pamer ingin bandros.
Ngidam, bisa jadi anak Saka. Lo siap-siap dicerain kalo enggak dipoligami. Begitulah kata Sisca tempo hari.
"Lo bener kayaknya." simpulku setelah menatap sekilas pojokan kanan restoran Italia ini.
"Bener apa?" heran Gibran menunda buku menunya.
"Oh My God!" kaget Sisca kala mengikuti arah pandangku. "Chelsea fix hamil ini mah."
"Uhuk! Uhuk." Gibran terbatuk karena tersentak. Chelsea termasuk anak didiknya. "Gak mungkin, dia masih SMA."
"Elah lo kaya hidup di zaman apa aja sih. Chelsea hamil anak Saka!" beber Sisca. "Tapi semoga aja enggak deh."
Iya, di pojokan kanan sana ada Chelsea. Persis tingkahnya seperti Vanessa di acara resepsi, tergopoh berlari arah toilet menahan mual.
Tak lama, aku tidak tahu ada hubungan apa antara Chelsea dan Vanessa, si dosen pengganti Saka itu ikut menyusul Chelsea khawatir.
"Tapi masa sih?" tak percaya Gibran. "Hamil lagi? Pusing gue."
"Hamil lagi?" sontakku dan Sisca berbarengan.
"Eh, an, anu." gelagapnya bingung. Dia baru saja keceplosan.
.
.
.
***
Papap, Bibun....
Biar aku yang menjadi langitnya
Gelap gulita ketika malam tiba
Tidak apa, terpenting bintang dan bulan dapat bersinar
Bintang itu Bibun
Sama cantiknya kala Bibun berbinar tertawa untukku
Bulan itu Papap
Sama terangnya kala Papap menyapa hidupku
Biar aku yang menjadi langitnya.
Langit yang selalu seruang dengan kalian.
Tetap temani langit ya Bintang, Bulan.
Samella cinta Papap dan Bibun.
Sebelum kalimat per kalimatnya terlontar lancar, riangnya masih bisa ku temukan. Tawa dan ceria kerap mengundang iri teman sebayanya.
Iya, acara masak-masakan. Walau patner Same bukan seperti yang lain-ayah dan ibunya, tapi Samella menikmati.
Posisiku digantikan oleh Gibran. Jadi Samella berjibaku dengan dua orang pria awam, tidak mengerti dapur. Anehnya mereka memangku juara pertama.
Puncaknya saat pentas seni, Samella yang tidak mengenal gugup, ragu ataupun malu mempersembahkan sebuah puisi.
Titik kecewanya, puisi yang disusun bermalam-malam berasa tidak berarti karena tidak ada aku di sana.
Banyak yang bertepuk tangan, banyak yang terharu, Gibran pun sampai menangis. Saka? Tidak tahu, dia memegang kamera, tidak terekspose.
"Jelek ih!" komentar Saka di belahan bumi sana. "Sayang tuh air matanya dibuang-buang mening kalo keluarnya mutiara."
"Lo kok baru kirim videonya sih? Pantes aja anak lo ngambeknya kebangetan gitu." ucapku.
"Aku kira udah dapet dari Gibran. Dia kan sahabat eh mantan terindahmu kan? Masa gak cerita." kekeh dia di sana. Matanya dihias lingkar hitam.
"Enggak." tukasku lebih tertarik pada warm water zack merah di nakas sana. Saka kram perut? Lebam-lebam? Atau kenapa?
"Tadi mules, sakit banget perutnya." jawab dia seperti mengerti arah tatapku.
"Telat makan? Makan pedes-pedes?" tuduhku menanyakan.
"Gak ada yang ngurusin gimana dong?" lesunya.
Sudah jalan empat hari dia terdampar di negeri matahari terbit. Tak dipungkiri guratan-guratan lelah menyambul.
Tidak tahu apa penyebabnya. Lelah bekerja atau terganggu karena masalah lain? Misal tentang Chelsea yang tercium jelas kehamilannya.
Ibu-ibu di kantor sampai terus bergunjing. Sisca juga kadang menyentil sindiran. Sementara Gibran? Dia kabur entah kemana.
Susah ditemui, membuatku dan Sisca semakin penasaran terhadap rahasianya.
"Makan soup anget. Minum obat terus istirahat!" ujarku. "Udah tutup VC-nya!"
"Ih masih kangen!" rajuknya.
"Nanti mata lo kayak panda beneran lagi." ketusku. Jelas-jelas dia punya waktu untuk istirahat, harusnya lelapkan segala lelah lewat tidur.
"Mau mangga muda. Di Jepang ada yang jual gak ya Ra?" konyolnya.
Membelalak kaget bagai kesetrum. Satu poin penambah kuatnya isu Chelsea hamil anak Saka. Dia pasti sedang ngidam.
Tuhan, bahkan sekarang Saka meninggalkan layar, terberit mual-mual ke arah toilet. Gambaran yang membuatku benci menyaksinya.
Selagi menunggu Saka kembali, dering telpon rumah mendorongku beranjak dari layar.
Pak Budi supir di rumah ayah menelpon. Dia orang handal, mau membantuku mengawasi Same. Tersiar kabar bahwa Same sering mampir ke mall tiap pulang sekolah.
Bukan perkara aneh. Hingga kabar berikutnya cukup membuatku bertanya-tanya.
"Plat nomor itu lagi Mba. Om-nya Radit."
Akalku langsung tersambung pada seraut wajah tampan yang dulu ku puja. Gibran. Selain anti galau, dia juga anti transparan. Sama sekali sulit dibaca. Mulai dari kehamilan Chelsea sampai mendekati Samella. Apa maksudnya?
Seketika teringat cuplikan video tadi. Gibran mengapa bisa hadir? Amat ceria menemani masak-masakan, terlampau baper pada puisi Same?
Menitikan air mata? Bukan Gibran banget!
Sebenarnya ada apa dengan Gibran? Dia siapa bisa care padaku dan Same?Yang ku tahu dia itu sebatas mantan pacarku dan calon suami Camill yang gagal.
Iya seserius itu Gibran pada Camill. Sedalam itu cintanya sampai lupa pada akal sehat. Ayah, ibunya terpaksa bertindak kasar untuk menyadarkan.
Bagaimana bisa orang tua rela melihat anaknya bertanggung jawab pada kesalahan yang bukan diperbuat Gibran sendiri.
Camill mengaku bukan Gibran pelakunya, tapi Gibran memaksa ingin menikahi Camill. Drama banget memang. Ujungnya semua berpisah, sad ending.
Camill meninggal, begitu pun Gibran--meninggalkan tanah air. Dibawa lari entah kemana oleh Tante Maya dan Om Ardi.