Lunar silver metallic civic hatchback, satu yang ku anggap membanggakan seakan berkhianat. Seperti ingin pindah kepemilikan.
Mau saja dirampok Sisca tanpa acara mogok. Sedang saat menemaniku, roda empat besutan Honda yang didesain agresif dan tajam itu acap kali batuk-batuk.
Keadaan memaksaku, Samella juga ikut andil memaksa. Mungkin menumpang mobil Saka bukan masalah, tinggal duduk tenang di belakang.
Tapi sialnya aku harus duduk di belakang kemudi dan mereka-Saka dan Samella terbahak di bangku belakang. Terlihat seperti supir kan aku?
"Papap hebat!!" pekik Same. "Pekerjaan yang mulia, mencerdaskan anak bangsa."
"Same mau jadi drama queen Pap, tapi Bibun gak ngebolehin." lanjutnya mencebib kesal. "Kalo sama Papap boleh kan?"
"Iya boleh dong. Drama queen di tv kan?" ujar Saka.
"Di mana aja, drama queen kan hebat punya kepribadian banyak. Bisa bersikap pemberani, bisa cengeng dan sebagainya." cerocos Samella. "Hidupnya lebih berwarna kan kalo gitu?"
Aku bergidik ngeri. Sudah kelihatan dari mana Same memiliki sikap begitu, tentu bukan dariku. Mana mau aku jadi drama queen, hidup saja sudah penuh drama. Meribetkan.
"Pap jangan pergi lagi." mohon Samella kemudian.
"Gak akan dong. Papap janji." sungguh Saka memeluk erat. Rasa sayangnya tidak main-main.
"Jagain kita." pintanya melirik arahku. "Terutama Bibun. Jagain ya Pap, jangan sampe selingkuh!"
Refleks pandanganku menusuk lewat kaca mobil, merasa tidak terima. "Ada juga papapmu yang banyak main perempuan di ruangannya."
"Hoax!" sangkal Same. "Bibun tahu dari mana? Jangan fitnah Bib! Yang hampir terciduk kan Bibun, apa-apaan coba jalan di mall berduan sama cowok lain? Sialnya Same cuma liat punggungnya. Gak tahu mukanya, kalo tahu mukanya langsung cakar deh."
Beruntung tempat tujuan sudah di depan mata. Aku bergegas turun, melipir cepat tanpa laporan pada kedua manusia di dalam.
Gerah rasanya. Boro-boro selingkuh, dari Same berojol sampai segede sekarang saja statusku tidak pernah berubah. Janda muda beranak satu.
Tak apa, aku menerimanya. Hatiku saja sabar, menutup seluruh pintu hanya demi menunggu ketukan pria yang jadi ayah Same.
"Makasih ya Mba." ucap seseorang menyerahkan sebrongkos aneka bunga.
Melewati banyak nisan, tepat di samping kanan gerbang TPU tampak Saka sudah menepi duluan.
Pemandangan yang berbeda. Camill kedatangan tamu lain selain Saka. Entah, aku tidak bisa menebak sudah berapa kali dia mengunjungi Camill.
Yang jelas ini kali pertama aku menyaksi keterpukulannya. Ada getaran di bahunya, ku kira dia tengah menangis.
"Lo tenang aja, gue pasti jagain, sayangin dia sepenuh hati." samar Saka saat aku hampir menepi arahnya.
"Gue pegang janji lo." timpal Gibran.
"Andai anak gue selamat pasti,," ucapan Saka terpaksa hilang.
Mulutku kelewat sigap membalap. Bagaimana bisa membisu jika hubungannya dengan Samella.
Tuhan, Samella bersama gadis ABG yang katanya bermata telur Dinosaurus. Keduanya menjauhi latar pemakaman.
"Samella!!" jeritku terberit menyusul.
Pernah mendengar tidak jika orang jahat tercipta dari orang baik yang tersakiti?
Saka bilang Chelsea itu good girls, tapi lain hal jika sudah ditusuk dalam-dalam. Terlebih dia masih remaja, emosi dan akal sehatnya kadang diluar dugaan.
"Chelsea berhenti gak lo!" jeritku panik.
"Oke, oke. Gue bakal minta Saka ceraian gue kalo itu yang lo mau asal lepasin Same." ujarku terengah menghadang jalan mereka. "Oh Tuhan apalagi coba? Turunin cutter lo!"
Panikku tak karuan, cutter mengkilat di tangannya semakin erat digenggam. Tak lupa pergelangan tangan Same ikut dicengkram kuat.
Dia tertawa terbahak. "Apa lo bilang barusan? Cerai?"
"Itu yang lo mau kan?" sebalku. "Lepasin Same!"
"Cutter ini lo pikir buat apa hah?" tanyanya pongah. "Buat nusuk perut ini anak?"
"Lepasin anak gue! Awas ya kalo sampe lecet sedikit pun!" tajamku.
Dia terbahak seiring datangnya Saka dan Gibran. Tak lama ia mendorong Same.
"Heran gue, segitu cintanya sama bocah ini sampai lo lupa diri. Yakin ini anak lo?" sarkas Chelsea.
"Lo liat deh Pak dosen Saka yang terhormat, istri lo berani minta cerai hanya demi Same keparat!" lanjutnya lagi sebelum pergi.
.
.
.
***
Asing, begitu mungkin jadinya jika jejak kaki jarang berpijak lagi. Tidak ada urusan kuliah, namun keabsenanku di hari magang kemarin-kemarin menjadi alasan aku singgah.
Bu Farida sebagai penanggung jawab menuntut penjelasan. Absen dimana pun penting, ada premi juga dari perusahaan tuh- cecarnya.
"Kamu udah nikah sama Pak Saka ya? Kenapa akad sama resepsinya beda hari Ra? Udah gak sabar belah duren ya?" goda bu Farida.
Mendengarnya aku jadi ragu jika bu Farida memanggilku untuk perkara absen. Maksud utamanya pasti tentang pernikahan.
Toh absenku baik-baik saja, perusahaan tidak mengalpa kan. Iya, hari kemarin saat aku bangun pukul 9. Saka segera konfirmasi ke kantor, aku diberi izin.
"Eh, enggak gitu." kataku menggaruk tengkuk tidak gatal.
"Hahaa, beruntung kamu dapetin suami kayak Saka. Dia baik, setia lagi." puji bu Farida.
Detik ini kami tengah menyusuri lorong lantai dua arenanya anak Administrasi Bisnis.
Kelas-kelas pemberi dumel, pernah juga di kelas pojok sana dekat tikungan, Saka mengusirku karena terlambat.
"Kalau kamu pengen tahu Saka itu udah naksir kamu dari dulu tahu Ra." celoteh wanita beranting batu permata itu.
"Ah, gak mungkin Bu. Masa kalo suka dia usir-usir aku dari kelas, buat masalah, sarkas bikin kesel." jujurku.
"Itu karena dia lagi cari perhatian kamu Ra." kekeh Bu Farida.
Terpaku hebat kakiku. Tepat di kelas yang ku sebutkan tadi, di dekat persimpangan menuju tangga lantai satu.
Tampak wanita yang tidak mungkin salah ku taksir sedang terlibat perkuliahan.
Pakaiannya lebih formal, kacamata yang bertengger menambah kesan wibawanya. Dia ternyata dosen di kampusku dan aku baru tahu itu.
Lagi-lagi aku bersyukur, Sisca tidak ikut. Jika ikut dia bisa syok berat. Ku pikir takkan sudi juga Sisca diajar dia.
"Oh itu dosen baru Ra, pengganti suamimu." beber bu Farida.
"Oh gitu, cantik." ceplosku.
Mengenakan rok span selutut beserta atasan body pass cukup membuatnya semakin langsing. Jangan lupakan stiletto tingginya, sukses menambah jenjang kakinya.
Tapi entah aku selalu gagal fokus pada bagian perut wanita tersebut. Terlihat buncit.
"Namanya Bu Nessa. Lengkapnya Vanessa Abraham." terang bu Farida lagi.
Aku mengangguk mulai menekuri anak tangga. Biarlah, sepertinya aku tidak usah bercerita pada Sisca. Takut berperai lagi hatinya.
Sampai di parkiran, mobil Saka sudah bertengger manis. Dia memang ngotot ingin menjemput.
Bukan paling mewah, di samping si hitam kesayangan Saka ada si elegan putih BMW i8. Pemiliknya sesuai ekspektasi, keren berjas putih.
"Loh, Kara?" terkejutnya sampai kantong plastik tipisnya hampir tumpah.
"Eh, Hai Ron." kikukku heran. Untuk apa dia datang ke kampus?
"Kuliah di sini?" tanyanya. Aku mengangguk saja sesekali mataku menerawang kantong plastik bawaannya.
"Elit." dia bergumam lagi mengamati tubuh bangunan kampus. "Gak heran sih lo kuliah di sini."
Disamping Saka yang gesit menyambar, akal sehatku harus banyak merenung, aku perlu pamit sesegera mungkin.
Gila, mataku tidak minus. Folavit, itulah yang ku tangkap dari balik kantong kresek Ronal. Satu merk familiar dari asam folat-vitamin wajibnya ibu hamil.
"Kar, lantai dua di mana ya? Gedungnya anak AdBis?" tanya dia saat langkahku belum jauh.
Tuh kan bener. Vanessa??
"Lo lurus aja nanti ada tikungan terus belok kanan deh. Gak jauh ada tangga, lo tinggal naik aja." Saka yang mendahului.